Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 - Tata Tertib

Sudah setengah jam Uwel mengawasi Venchy sambil memeriksa proposal dari eskul lain. Gadis berkacamata itu menjerit menangkup wajahnya sendiri di tengah menggenggam ponsel. Terkadang dia meracau saat bermain ponsel.

Uwel memicing lelah. Apa yang membuat Venchy kegirangan? Tak ayal ia mencebik, "Seberapa pentingnya sih hape buat dia sampai gak perhatiin aku?"

Untungnya dia tak mendengar. Suara Uwel ditimbun jeritan konyol Venchy. Ia diam-diam mempertajam pendengarannya. Ada suara pria yang bercakap bahasa aneh di dalam ponsel Venchy.

"Mir," Uwel menengok ke arah gadis yang meletakkan tumpukan kertas ke mejanya, "Venchy kenapa?"

"Lihat aja sendiri." Mir—Mira—berkacak pinggang sambil menyelipkan rambut ikalnya. "Berapa kali kamu suruh-suruh aku?"

"Cuma nanya, bukan minta." Namun, perkataan Mira ada benarnya, seperti sudah tahu apa yang Uwel katakan jika Mira menjawab pertanyaannya. Atau emang sering begini?

Kalau dibiarkan penasaran malah membuatnya menderita. Celingak-celinguk memeriksa keadaan, ia diam-diam beranjak dari kursinya dan berjalan berjongkok menuju sofa yang Venchy tempati. Untungnya dia sedikit menghadap ke pintu. Uwel sudah menempel di kaki sofa dan Venchy belum menyadarinya. Dengan perlahan, Uwel bangkit berdiri. Penampakan layar ponsel mulai terlihat. Semakin terlihat. Uwel sampai membatin agar tidak mengulangi tindakannya barusan. Peluh memenuhi kening dan pelipisnya.

"Maaf Ibu telat." Waktu seakan terhenti. Uwel seakan disihir medusa menjadi batu. Hanya ia yang mematung, yang lain bergegas duduk di sofa, termasuk Venchy yang kebingungan melihatnya.

"Ngapain ... Ketua di sini?" tanya Venchy berusaha seramah mungkin.

Mampus, aku harus jawab apa? Mulutnya terbuka tanpa bersuara, berdiri tegak sembari mengetuk lantai menggunakan ujung kaki. "Nganu, Ven. Cuma...."

"Riqquel!" Bagai ibu-ibu pengincar tupperware, wanita paruh baya berjilbab merah cerah itu berjalan gusar. Dengan kuat menarik rambut ikal Uwel yang dikucir ekor kuda. "Udah berapa kali Ibu bilang? Kamu tuh ketua OSIS, harusnya jadi cerminan sebagai siswa yang taat tata tertib pada teman-temanmu, kakak kelasmu, ataupun adik kelasmu! Kapan terakhir kali kamu jawab mau pangkas ini rambut, hah?"

Semua anggota OSIS yang hadir di ruang sempit ini bergidik ngeri saat cengkeraman tangan gemuknya menguat. Jeritan Uwel makin membahana.

"Mi-minggu kemarin, Bu," jawab Uwel meringis. "Minggu depan ba-bakal saya pangkas, Bu."

"Benar Minggu depan rambutmu sudah pendek?" Guru itu memperpendek jarak dengan muka Uwel. "Ibu pegang ucapan kamu. Ibu tak peduli kamu seorang anak donatur atau anak prestasi. Siswa tetaplah siswa di mata Ibu."

"Ini berlaku untuk kalian juga yang telah hadir di ruang OSIS," sambungnya merangsang ketakutan di muka mereka. Semuanya berpikir, wali kelas 11 MIPA 6 memang menyeramkan seperti keadaan murid-muridnya.

Barulah Uwel lepas dari terkaman guru bernama Kurniasih. Biar ia tebak, puluhan rambut akan bersarang di karet akibat tarikannya. Lelaki itu duduk di bangku ketua OSIS.

"Di sini, saya sebagai pembina OSIS akan membimbing kalian dalam merancang acara bulan bahasa," kata Bu Kurniasih berjalan bolak-balik merebut proposal yang baru saja Uwel pegang. "Kita dapat proposal dari kepala sekolah, berisi apa saja yang harus kita adakan di acara tersebut."

Mira dan Venchy sebagai perwakilan seksi yang mereka pegang menyalakan perekam suara di ponsel, menaruhnya di meja. Begitupun dengan Uwel selaku ketua OSIS.

"Berdasarkan proposal, kepala sekolah ingin memeriahkan perayaan bulan bahasa dengan mengadakan lomba dan pameran. Tujuan diadakannya lomba dan pameran bulan bahasa adalah untuk meningkatkan minat baca, kreativitas, menguatkan cinta tanah air, dan mengembangkan potensi siswa di bidang bahasa. Urusan anggaran dana, biar Ibu dan Uwel yang berurusan dengan bendahara. Yang perlu kalian siapkan hanyalah jenis lomba yang cocok untuk acara bulan bahasa. Acara ditetapkan pada tanggal 28."

"Lomba dan pameran?" tanya Uwel menyipit tajam, mendalami tiga kata yang ia ucap. "Untuk lomba kita bisa menentukannya, tapi pameran? Apa yang patut mereka pajang? Dan apa balasan bagi mereka yang menyumbangkan karya untuk pameran?"

"Izinkan saya untuk mengemukakan pendapat." Mira berdiri dan merunduk lemah gemulai. "Bagaimana bila kita jadikan hasil lomba untuk dijadikan pameran? Maksud saya sebagai contoh, pada lomba cerpen, kita bisa pajang cerpen tulisan para peserta untuk pameran dengan apresiasi penempelan memo bertuliskan alasan mereka pilih cerpen itu. Memo tersebut akan menjadi pertimbangan memilih cerpen yang layak mendapat juara." Mira kembali duduk, disambut tepukan bahu dari Venchy.

"Berarti penilaian cerpen ditambah banyaknya apresiasi pengunjung yang memiliki nilai tambah untuk cerpen lalu dibagi dua?" Uwel bersandar memutar pulpennya.

"Benar, Ketua."

Bu Kurniasih mengangguk dan menggumam paham. "Ibu setuju dengan pendapat Mira."

"Tapi kalau boleh saya sanggah," Rafka mengacungkan tangannya, "ini akan menjadi kerugian bagi peserta yang nilai murni dari jurinya tinggi tapi nilai apreasinya rendah. Tidakkah lebih baik mengandalkan nilai murni dari juri? Untuk apresiasi, bisa dipublikasikan oleh pengurus OSIS yang memegang akun instagram atau dipajang sebagai cerpen terfavorit pembaca."

"Waktu diskusi sampai jam setengah lima," kata Bu Kurniasih memeringati.

"Baik, Bu." Mereka serempak menjawab sebagai bentuk bahwa mereka ingat. Tidak dengan Uwel. Ia punya janji temu yang tak bisa dibatalkan. Uwel berkeringat dingin. Jemarinya kaku karena tangannya mengepal begitu lama.

"Saya juga ... ada acara mendadak," sela Uwel mengheningkan pengurus OSIS yang berkumpul hari ini. "Jadi, kita buat jadwal aja. Kita punya waktu seminggu untuk diskusi dan lima hari untuk mendekorasi wilayah sekolah. Dua hari terpakai untuk upacara penyerahan kuasa kepada OSIS angkatan kita."

"Bagaimana caranya?" Kini Venchy yang bercakap. "Aku sih kapan aja bisa, tinggal yang lain."

"Kalau memang mau diskusi di luar sekolah, baik kita lakukan metode individu banding kelompok." Sekretaris OSIS beranjak menuju papan tulis putih, menuliskan seksi yang terlibat dalam merancang acara bulan bahasa di tiap sudut. Kemudian, gelar Ketua OSIS ditulis di semua seksi.

"Mau tak mau Uwel harus terlibat dengan seksi yang aku tulis," sambungnya menghadap sebentar ke arah Uwel. "Masing-masing seksi perwakilannya harus masuk ke tim seksi yang lain. Misal Rafka sebagai perwakilan seksi dokumentasi akan diskusi dengan tim seksi acara, ke seksi sarana, lalu ke seksi keamanan. Siapa yang mau mewakili?"

Empat orang mengacungkan tangan: Rafka dari seksi dokumentasi, Mira dari seksi acara, seorang gadis berkerudung dari seksi sarana, dan seorang pemuda berkulit gelap dari seksi keamanan.

"Oke...." Dia kembali menuliskan nama-nama yang mengajukan diri sebagai perwakilan. "Yang terakhir, siapa yang akan mewakili hasil diskusi semua seksi kepada Ketua OSIS?"

"Aku mengandalkan Venchy untuk menyampaikan hasil diskusi," kata Rafka bersandar sambil menaruh sebelah kaki di atas paha.

"Iya, anggap aja ini tugas pertama Venchy sebagai pengurus OSIS," timpal Mira tersenyum manis. "Gak apa-apa, kan?"

"Iya, gak apa-apa kok." Venchy tersenyum palsu. Uwel memahami raut mukanya. Ia senang Venchy menerima tugas hari ini meski dengan keadaan terpaksa karena mereka tak tahu soal tugas rahasia. Tidak, Rafka tahu perkara tugas anehnya.

"Baiklah, mohon diskusikan masa tenggat berkumpulnya."

Perhatian Uwel terhenti oleh ponselnya yang menyala. Ada pesan masuk dari temannya. Suara obrolan mereka seakan mengecil di telinganya.

"Ketua, aku sedang menunggumu di sekolah, tapi aku melihat motor milik Chia. Waspada, Ketua."

Mata indah Uwel mulai menyipit. Rahangnya mengeras. Yang ia dengar hanyalah dengung dengan frekuensi setara dengan kelelawar. Begitu menyakitkan hingga terlontar ringisan pelan. "Apa yang buat kamu membiarkan tubuhmu dirusaki demi orang lemah, Chia?"

"Uwel?" Pemuda berambut ikal ini tertegun melihat semua orang menatapnya. Ada yang cemas, ada pula yang keheranan. Sekretaris menelengkan kepala sembari menanyakan keadaannya.

"A-aku baik." Uwel terkekeh renyah. "Jangan khawatirkan aku." Dengan cepat ia membalas pesan rekannya.

"Apa kau yakin? Dilihat dari wajahmu, kau seperti cemas karena melewatkan janji temu," kata sekretaris itu.

"Gak," kilahnya tanpa menoleh. "Aku gak punya janji temu."

Balasannya terkirim dengan kalimat....

"Cari dia sampai ketemu." []

Majalengka, 9 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro