Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6 - Karma

Sebuah tangan kekar menarik engsel pintu. Ia berniat menguncinya, tapi seseorang menendangnya dari belakang, mendobrak pintu hingga dadanya menghantam meja. Dengan tertatih-tatih, ia melirik tamu tak diundang itu. Hanya berupa siluet seorang siswi dengn jaket hoodie menutupi seragamnya. Namun makin ke sini, barulah terlihat wajahnya yang dingin. Di tangan gadis itu terdapat linggis, entah dari mana dia dapat. Dia berjongkok menodong lehernya dengan ujung runcing.

"Kau anggota organisasi darah hitam?" tanyanya dingin.

"Ke, kenapa lo incar gue?" Pemuda itu balik bertanya, gelagapan seiring tubuhnya menegang.

"Aku tanya, apa kau anggota organisasi darah hitam?" Ia menekan sedikit, menghasilkan cairan merah marun di atas ujung linggis.

"Iya, gue anggota situ!" jawabnya pasrah, menahan sakit di lehernya. "Tapi kenapa gue yang lo incar?"

"Dari pada mengetahui alasannya, baik kamu beritahu di jam berapa pimpinanmu datang," katanya menjambak rambut panjang sang lawan. Ia menjauhkan linggisnya.

"Gue gak bakal bilang!" Ia membentak lawannya. Tak ayal gadis itu mendekatkan ujung linggis ke lehernya, tapi dengan sedikit tekanan yang lebih kuat. Selagi anggota organisasi darah hitam tak mengatakan jawabannya, benda besi karatan ini akan terus terdorong dan bisa memotong tulang lehernya.

"Jam 4 sore! Sudah cukup, kan?" Kali ini dia meringkuk ketakutan. Kedua tangannya berusaha melepaskan benda dingin di lehernya, walau lawan masih menekannya.

"Belum," jawabnya. "Kamu sampaikan pesanku untuk pimpinanmu. Bilang padanya, jangan ganggu Vinci atau aku yang akan membunuh semua anggota organisasi darah hitam. Kau mengerti?"

Nyalinya lenyap, ia mengangguk cepat. Gadis itu berdiri. Namun bukannya dibebaskan, gadis berambut dikucir ekor kuda malah menendang rahang bawahnya. Alhasil, ia mendongak tak sadarkan diri. Linggis dibuang begitu keras, menimbulkan bunyi kelontang. Luka di leher menganga lebar mengalirkan banyak darah. Ia tak peduli keadaan orang lain, keluar merogoh sesuatu di saku rok kelabu.

Ini papan nama miliknya versi pin. Tertanda Venchy Mariana, tapi segera dimasukkan kembali.

"Aku percaya pengakuanmu, tapi aku tidak percaya bila kamu bebas dari cengkeramanku." Venchy mengerudungi kepala dengan tudung jaket, mengendarai motor ninjanya dengan kecepatan di atas 100 km per jam.

****

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif...." Selalu operator yang menjawab teleponnya. Sudah sepuluh kali ia menelepon salah satu anggota gengnya, tapi berakhir sama, tak ada yang berubah. "Kenapa dengan dia?" omelnya bersandar di kursi tahta, menaikkan sebelah kaki beralaskan sepatu sekolah di atas paha.

Ia membolak-balik surat dari Venchy, mengeluarkan isi untuk kedua kalinya. Pemuda bersurai sebahu itu mendengkus sinis. "Tak kusangka, Venchy bisa melacak pelaku sampai serinci ini."

"Ketua!" Datang tiga laki-laki memasuki ruangannya dengan keadaan terluka. Dua dari tiga orang itu memiliki banyak lebam di muka. "Chia ... dia tanpa sepengetahuan kita sudah menyiksa beberapa anggota," kata pemuda bertubuh ceking.

"Lukanya cukup parah," timpal pemuda berbadan gemuk besar. "Paling parah adalah korban dengan luka menganga di leher."

"Chia?" Ia mengernyit. "Mereka pelaku yang bully Vinci kemarin malam?"

"Iya, Ketua!" jawab mereka serempak. Kini lelaki jangkung berkata, "Sekarang, Chia sedang mencari Ketua untuk minta penjelasan soal Vinci yang menjadi umpan."

Ketua pun makin termenung. Pikirnya, tadi siang Venchy bilang kalau pelaku yang menyelamatkan Vinci dinyatakan negatif. Pertanyaannya, kenapa Chia mengetahui soal insiden kemarin malam? Ini mencurigakan.

Ia penasaran dengan rupa Chia, tapi kini kondisinya memburuk. Banyak anggota yang terluka hanya demi melindunginya. Sorot mata yang semula kosong pun menggelap kedinginan, berbalik menghampiri jendela. "Beritau dia, aku sedang tidak ada."

"Ketua mau ke mana?" tanya anak buahnya yang terteleng.

"Aku mau ketemu sama seseorang," jawabnya keluar dari jendela. Mereka tak merisaukan pimpinannya, ada balkon besi dengan tangganya sekali. Dari sini, ia melihat kawanannya babak belur dalam tangan seorang gadis berjaket hitam. Setiap kali ia bergerak, rambutnya melambai menggoda. Wajahnya mengkilap dibasahi keringat, tapi tangan dan kaki gadis itu tak kenal lelah.

Ada musuh yang mengunci tubuh Venchy di belakang, ia membungkuk melemparnya pada gerombolan musuh. Meja berserakan, botol dan gelas pecah belah, semuanya kacau bak diratakan puting beliung. Dari semua lelaki gondrong yang terluka, tak ada yang bangkit melawan Venchy lagi. Bahkan tangan gadis ini penuh darah dan peluh. Beberapa bagian tubuhnya tergores dan tertancap kaca. Ia berdiri mengatur napas.

Sepasang sepatu sekolah yang kotor akan minuman alkohol pun bergerak menindihi salah satu korban yang di ambang hilang kesadaran. "Di mana pimpinanmu?"

"Di, dia sudah ... pergi...."

"Bangsat!" Venchy. menendang dada lelaki itu tanpa merasa bersalah. Hatinya tersulut emosi. Ia pun berlari mendobrak pintu menuju ruang pemimpin organisasi darah hitam. Melihat kejadian barusan, pemuda bergelar pemimpin ini menyimpulkan.

Mulai hari ini, Venchy patut dicurigai.

****

Di depan kamar kos Venchy, seorang pemuda berkacamata duduk bergeming di kursi. Nampaknya dia tengah menunggu Venchy pulang. Wajahnya bertekuk dingin begitu deru motor milik Venchy terdengar menampakkan diri. Dia langsung bangkit dan menghampiri gadis itu.

"Oh!" Pengendara motor ninja itu terkejut dengan kedatangan tamu. Ia melepas helmnya sekaligus mematikan mesinnya. Senyum manis merekah di bibir pucatnya. "Vinci? Mau main di sini dulu?"

"Kamu pindah sekolah?" tanya Vinci langsung ke inti.

Pandangan Venchy berubah kaku. "Iya," jawabnya ramah. "Aku tepati janjiku supaya satu sekolah sama kamu."

"Kamu gak berulah lagi, kan?" tanya Vinci dengan tatapan mengintimidasi. "Gerak-gerikmu terlalu gampang dibaca. Kamu gak berantem di sekolah lagi, kan?"

Senyum Venchy memudar. Pandangannya berganti murka. "Kenapa kamu marah? Harusnya kamu senang ada kakak yang melindungimu! A, aku bingung sama kamu. Bisa-bisanya kamu mau diperlakukan kayak kucing liar sama mereka."

"Aku kebal sama perlakuan mereka, Venchy!" Vinci membentak. Air mata membentuk kaca yang melapisi bola mata. "Aku emang bersalah, kita gak punya hak untuk lawan mereka. Bukankah orang yang bersalah patut dihakimi?"

"Aku tak mengerti jalan pikiranmu...." Venchy menggeleng tersenyum miring. "Apa kau berpikir mereka selalu benar? Apa kau berpikir aku salah di matamu? Aku lakukan ini untukmu! Aku tak peduli aku berurusan sama polisi lagi! Aku kebal sama mereka! Karena aku tau, ibu pasti menyalahkanku saat melihat kamu banyak luka."

"Karena itu mending urusi dirimu sendiri," kata Vinci melemah. Setitik air mata jatuh membasahi pipi. "Percuma kamu lindungi aku. Percuma aku menjelaskan pada ibu soal kamu melindungiku. Jangan pernah usik aku lagi."

Venchy tak mampu berkata-kata, sedang Vinci melengos dari pandangan sang kakak kembar. Barulah cairan asin membuncah di Netra Venchy. Ia menunduk sesenggukan, memukul dadanya berulang kali demi hatinya tak sakit. Isak keluar dari mulutnya. "Tapi aku tak kebal lihat kamu menderita, Vinci...."

Vinci pun sama. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Irisnya bergerak ke mana-mana supaya air mata tak mengalir lagi. "Aku tak kebal kita berpisah karena kamu dipenjara lagi...."

Mereka sama-sama mengungkapkan dalam hati, Aku hanya ingin kamu bahagia, hanya itu. []

Majalengka, 15 November 2020

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro