Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21 - Withdrawn

"Bertahanlah sedikit lagi." Sudah kali kelima Uwel buka suara dengan kalimat yang sama untuk menenangkan Venchy selama turun dari menara, meski gadis yang berada dalam gendongannya hanya mengerang lemah. Dia mampu mengeratkan rangkulan di leher Uwel semasa kedua tangan dipakai menggantung pada undakan tangga mirip pondasi.

Uwel mendarat dengan selamat. Tangan terkubur hingga ke siku oleh darah. Tiada rasa sakit di sumber luka. Namun, bau macam besi karat itulah yang ia benci. Venchy kembali meringis lirih. Panik telah berkuasa di otaknya.

"Tenang, aku akan langsung membawamu ke rumah," kata Uwel mengangkat kedua kaki Venchy, dibalas kelitikan kecil di leher lewat embusan napas.

"Ketua!" Seruan kaum lelaki menarik perhatian Uwel. Mereka berbondong-bondong datang padanya yang disebut 'ketua'.

"Akhirnya Chia kalah!" pekik seorang pemuda gemuk mengangkat sebelah tangan ke atas dengan penuh semangat. "Ini sebuah sejarah baru, di mana geng kita akan menjadi yang terkuat!"

Semua orang bersorak akan kemenangan Uwel. Tercetak wajah semringah yang takkan pernah ia lupakan. Mereka berdamai, bercengkerama, bahkan beberapa orang berniat makan-makan. Namun, semua itu tak menular pada Uwel. Lelaki dengan luka lebam di beberapa bagian tubuh itu pergi bersama Venchy yang tidur dalam gendongannya, menuju posko satpam yang tak terurus. Saking banyak tenaga yang hilang, Uwel sampai terseok-seok.

Mereka yang semula bersuka ria seketika hening memperhatikan tindakan ketuanya yang membaringkan sang lawan, sebelum datang kemari sembari melepas jaket. Nampak jelas kekalutan seorang ketua bila berhadapan dengan bawahan.

"Aku akan keluar dari geng kalian." Sekali Uwel banting jaket yang senantiasa berada di pelukannya, mereka kaget bukan kepalang karena dua hal.

"Apa?" Salah seorang anggota bermasker hitam angkay suara, memamerkan senyum miring untuk Uwel. "Ketua bercanda, kan? Ini kesempatan bagus untukmu. Dengan kalahnya Chia, otomatis jejak tentang kematian Rifki akan hilang."

"Iya, tapi bukan itu alasan aku keluar," kata Uwel memandang dingin.

"Jangan bilang kau keluar karena seorang cewek."

"Kau akan menjadi penerus Rifki, hah?"

"Aku menyesal bisa percaya padamu, Ketua bego!"

"Bangsat!"

Puluhan cercaan tak pernah ia tangkap, sebelum akhirnya desah gusar membungkam mereka semua. "Biar ku beritahu satu hal. Tujuan utamaku bergabung dengan geng kalian adalah mencari teman masa kecilku yang dirumorkan telah menjadi berandalan remaja. Dan kalian tau siapa orang itu?"

Mereka bergeming, sama-sama menyimak jawaban Uwel.

"Dialah orangnya." Segaris senyum lembut terpatri di bibir berhiaskan luka. "Dengan ditemukannya teman masa kecilku, urusanku di sini sudah selesai."

"Apa?" Gerombolan lelaki jaket hitam itu kembali riuh mempertanyakan keputusan Uwel. Masa bodoh dengan mereka. Ia kembali ke posko yang baru saja didatangi tiga orang pria berseragam satpam. Mereka berlari ke kerumunan di belakang Uwel dengan tongkat pendek dalam genggaman.

"Mau ke mana kamu, Dek?" Salah seorang satpam bertubuh gempal menghadang jalan, tapi tak ia gubris. Pandangan Uwel hanya tertuju pada Venchy yang ditemani satpam berbadan kurus. Suara mereka yang memberontak seakan lenyap, tergantikan dengan denging macam kemasukan air. Uwel juga mendengar detak jantung yang amat dalam.

"Kau ketinggalan satu syarat untuk keluar dari geng Darah Hitam!" Seuntai kalimat melintas di telinga Uwel, membuahkan respon iris hitam yang kian pekat. Langkahnya berhenti, perlahan berbalik setengah badan menatap orang dengan tak minat.

"Kau melupakan peraturanmu sendiri saat memberi syarat pada Rifki, hah?" Lelaki berambut gimbal itu yang bicara di tengah mencoba meloloskan diri dari kawalan satpam.

Sejenak pandangan Uwel beralih ke bawah dengan sendu, sebelum mendekati satpam tersebut untuk menyabet sebuah belati karatan. Kesadaran mereka amat tajam, seketika target yang mereka cekal beralih mendekati Uwel yang melangkah mundur.

"Ma-mau ngapain kamu, Dek?" Satpam yang kehilangan belati bertanya dengan hati-hati. Namun, mereka mau tak mau mesti turuti apa kata Uwel yang telah mengeluarkan pistol.

"Jangan bergerak," kata Uwel merendahkan nada bicara. Tubuhnya sempoyongan menjauhi kerumunan. "Kalau kalian berpikir aku akan mengakhiri hidup, aku tidak akan melakukannya selain terjun dari ketinggian."

"Setidaknya letakkan pistol itu jika memang tak berniat bunuh diri." Suara lembut Venchy terdengar parau, menghentikan langkah Uwel. Ia lirik ke arah sumber suara.

Gadis itu berdiri sedikit gemetaran sambil mengacungkan belati ke depan. Genggaman dia tak terlalu kuat. Sekonyong-konyong Uwel jatuhkan pistol itu begitu saja, bersamaan dengan Venchy yang kembali ambruk keletihan hingga matanya terpejam.

"Aku akui, aku yang membuat peraturan itu, tapi aku sendiri yang lalai dengan peraturan tersebut." Tangannya cekatan mengambil ujung rambut yang terikat. Dalam hitungan detik, belati itu mampu melepas ribuan helai rambut dalam ikatan karet gelang. Ia pula yang taruh dua benda di kedua tangan layaknya sampah.

"Dengan ini, aku resmi keluar, kan?" Hal yang mereka dapatkan setelah kalimat itu terlontar adalah senyum lembut yang misterius. Sosok yang tak asing dengan sebutan 'ketua' kini hilang dalam kalbu, terhuyung membawa Venchy pergi menggunakan motor milik dia.

****

Sampai motor berhenti di depan kamar kos Venchy, keadaan begitu sunyi. Uwel tak mau diracuni pikiran buruk. Bisa saja mereka terlelap. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang mendiami kamar kos Venchy. Seorang gadis berkerudung datang sebelum senyum yang merekah manis di bibir lenyap sekali kejap, selepas mendapati Venchy yang terkulai dalam pelukan Uwel.

"Apa yang terjadi dengan Venchy?" Dia berlari menangkup wajah sahabatnya. Akan tetapi, Uwel malah berpaling menghindari tatap mata dengan dia. Ia tetap memperlakukan Venchy seperti cara membalas budi terhadap anggota OSIS yang berpartisipasi.

Tanpa menjawab ucapan gadis itu, Uwel turun membopong Venchy menuju sofa lapuk. Netranya sempat menangkap sosok Vinci yang meringkuk di atas karpet tidur. Wajah mereka amat bertolak belakang. Vinci terlihat mempatenkan ekspresi penuh ketakutan, lain hal Venchy yang tenang meski memar menghiasi titik muka tertentu.

"Uwel, jawab!" Dia memekik menunggu jawaban, begitupun Uwel yang kembali mengabaikan apa kata gadis itu dan memilih keluar.

"Lail...." Uwel berhenti di ambang pintu, melirik sedikit seraya menggigit bibir bawah bergoreskan luka. "Sampaikan maafku pada mereka, terutama Vinci."

"Maaf?" Lail mengernyit bingung, mencoba mendekati Uwel. "Maksud lo apa?"

Uwel justru refleks menjauh. Ia tak menggubrisnya lagi selain menyalakan mesin motor. Kendaraan roda dua itu melaju cepat dengan sejuta pertanyaan yang menjadi konspirasi di kepala Lail.

Andai insting Lail sama kuat dengan Uwel, sebenarnya lelaki itu hanya mengendarai motor sampai ke lapangan basket di daerah sini. Ia duduk di trotoar, menunduk, menenggelamkan wajah oleh kedua belah tangan. Ia merasa beruntung berada di sini, tiada siapa-siapa yang menaruh perhatian sosok yang menangis dalam diam ini....

Yang secara perlahan akan melukai hati. []

Majalengka, 22 April 2021

Hiya, pukpuk buat Uwel.
Gimana nih nasib mereka? Apakah mereka telah memutuskan apa yang mesti dilakukan untuk mengobati hatinya? Nantikan di chapter selanjutnya!

Oh ya, aku pengen tau.
Kalian mau gak baca semua novelku di Karyakarsa? Aku gratisin kok, karena isu mirror web yang baru bikin aku bimbang apa harus terusin semua novelku di Wattpad. Dan aku putuskan bakal upload semua novelku di sana.

Jadi untuk ke depannya, semua novelku tetap terupdate, tapi isi hanya bentuk spoiler. Baca versi lengkapnya di Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro