Chapter 19 - You
Beberapa orang----kebanyakan bapak-bapak----tengah menikmati secangkir teh manis, duduk dan mengisap sebatang rokok di pinggir jalan yang ramai akan kendaraan berbobot berat. Tak ada angin tak ada bising selain dengkur transportasi raksasa, dua motor melintas secepat kilat di depan mata mereka. Tampak dua kendaraan tersebut menyalip puluhan mobil. Hanya kilat merah yang mereka lihat di kegelapan.
Motor Venchy melaju begitu cepat, jarum spidometer menunjukkan kecepatan sepeda motor yang berada di angka 180km/jam. Ia nyaris kewalahan menyetir kendaraannya, mengarungi jalanan sepi diapit pejalan kaki dan transportasi umum. Rambu lalu lintas di perempatan yang menyalakan lampu merah pun mereka lintasi. Dia masih mampu mengejar Venchy.
Tepat di perempatan jalan kedua, Venchy langsung belok kiri, memasuki jalan menuju pabrik gula yang konon rawan kecelakaan. Stok bahan bakar mengarah ke huruf E. Persetan habis bensin! Ia tambahkan kecepatan mesinnya.
"Gimana menurutmu soal suasana dari atas cerobong asap pabrik gula?" Bayangan lelaki itu kembali menghampiri pikiran Venchy. Pedal gas perlahan melonggar.
"Ngeri banget, Rifki! Kenapa kamu ngajak aku ke sini?" Air mata mulai melapisi kedua mata Venchy.
"Tempat ini rawan dikunjungi orang putus asa." Kedua tangan berselimutkan sarung tangan kulit mencengkeram stir motor.
"Terkadang kalau aku ke sini...." Seringai lebar memperlihatkan gigi bergemeletuk.
"Aku ingin terjun dan melihat tubuhku berceceran di bawah rerumputan liar."
"Kenapa kau harus berkata seperti itu?" Buncahlah tangisan yang susah payah ia tahan, menempatkan jarum spidometer menuju kecepatan yang seharusnya.
Namun ketika tiba di halaman area pabrik gula, motor mati sendiri dan disusul guncangan hebat yang membuat Venchy terjatuh ditimpa kendaraannya sendiri. Ia mendengkus gusar, berusaha lolos sebelum orang itu datang menangkapnya.
"Ayolah, kau tak bisa diajak kerja sama!" pekik Venchy mendesis menahan panas di kaki.
Deru motor ninja hitam datang menyusul Venchy yang lolos dari tindihan motor. Gadis itu berlari terpincang-pincang, membuang helm ibarat kantong sampah. Sesekali ia memberontak dengan cara menerjang titik kelemahan lawan seperti perut atau rahang bawah bila tangannya dicegat.
"Jangan lari kau!" Dia tetap mengejarnya meski harus menghapus rasa sakit di titik terlemah manusia saat kena pukulan. Namun Venchy tak mendengar, lebih memilih pergi ke menara yang sudah berlumut dengan memijak rerumputan liar.
Gadis itu baru memijak satu tangga tanpa pegangan, melepaskan terkaman lawan yang menarik kakinya. Ia terus mengikuti tangga mirip pondasi rumah yang melingkari menara dalam keadaan tengkurap bak bayi belum pandai berjalan. Mereka nampak seperti sepasang cicak hendak kawin, merayapi bangunan setinggi hotel.
Dari atas sini, nyali Venchy langsung menciut. Ketinggian yang amat mematikan sebelum candi borobudur. Ucapan Rifki menghantui isi kepalanya. Terlintas niat turun kembali, tapi orang itu telah sampai untuk menghalau jalan Venchy menuruni menara.
"Kau mau ke mana, Chia?" Dia pun melepaskan helm, makin kuat harapan Venchy agar melihat mukanya. Sayang sekali sosok bersuara berat itu masih tak dapat memamerkan muka, tertutup topi dan tudung jaket hitam. Dia berjalan pelan menarik jarak dengan Venchy, seiring hujan deras mengguyur mereka berdua.
Akibatnya, wajah pucat Venchy ditutupi rambut basah. Ia ambruk mencengkeram tumbuhan paku yang tumbuh bersama lumut, sesekali menatap ngeri ke arah bawah menara.
"Berbulan-bulan aku mencarimu, itulah mengapa kau susah ditemukan." Dia berhenti melangkah. Kilat petir menampakkan senyum miring sang lawan, lain Venchy yang terlihat kacau. "Kau ingin menghancurkanku dari belakang, kan?"
Venchy nyaris tak menjawabnya jika saja dendam kesumat perihal mendiang kekasih tak mengalahkan ketakutan pada ketinggian. Ia bangkit kaku, memberikan sorot khas algojo bila mengingat kata-kata Rifki.
"Nampaknya kau tau kelemahanku, hah?" Venchy menarik sebelah sudut bibirnya. "Aku memprediksi kau mampu mengalahkanku."
Lelaki itu mendecih. "Jangan BERCANDA!" Tanpa berpikir panjang, dia berlari dan Venchy langsung memasang kuda-kuda untuk menyerang. Namun, dia dengan gesit melumpuhkan sebelah kaki Venchy, kemudian menarik tangan supaya dapat menekan dada atas sang lawan. Ia bisa merasakan sakit hebat di area punggung. Tak kalah kuat, ia meninju rahang bawah lelaki itu hingga terpental menjauhinya.
Ternyata dia menguasai beladiri judo, patutlah disegani banyak orang, batin Venchy bangkit memegang dada. Aroma besi menyeruak di dalam mulut, lantas ia keluarkan setetes cairan merah bercampur ludah. Kini giliran Venchy yang menyerang, melesatkan pukulan straight yang berhasil dia tangkap. Namun bukan itu serangan utama Venchy, justru ia cengkeram balik untuk dipilin sebelum menargeti wajah lawan dengan tendangan tinggi.
Serangan Venchy pun punya kekurangan, terlihat dari tangan mungil nan berotot yang ditarik kemudian menerkam pinggang Venchy, membantingnya ke belakang seperti karung beras. Lagi-lagi tulang punggung jadi sasaran empuk, bahkan nyaris terjun ketika kepala Venchy menggatung di sisi menara.
Bunyi geledek kembali menyambut pertarungan sengit di puncak menara. Dengan tertatih-tatih, Venchy melihat orang itu mencabut balkon berbahan besi tipis begitu mudah, mengorbankan telapak tangannya yang berdarah. Ini peluang besar bagi Venchy, berlari secepat kilat dan menendang punggung dia.
Sang lawan kembali membaca pergerakan Venchy, berbalik menangkap terjangannya mencoba membanting lagi. Akan tetapi, Venchy berhasil menghancurkan pergerakan dia dengan pukulan hook telak di wajah. Dia lengah, Venchy kembali meletuskan serangan dengan menarik kaki dan melayangkan uppercut.
Kini kondisi mereka payah sekali. Sama-sama berdarah, sama-sama mendapatkan luka lebam, sama-sama sempoyongan. Pada awalnya, Venchy masih menyimpan tenaga, oleh karena itu ia mampu menarik jaket lawan untuk dijatuhkan. Gadis itu duduk bertekuk lutut di atas sang pemimpin geng Darah Hitam, mencoba melepaskan topi yang menghalangi wajah dia. Lelaki itu pula memberontak menyingkap rambut yang menghalangi wajah Venchy. Hujan kian deras membersihkan darah di sekujur tubuh mereka.
Pada guntur yang muncul ke sepuluh kali, wajah mereka saling terekpos dengan mata melotot. Rambut Venchy berhasil disingkap; Topi pemimpin itu terbang selepas ia buang.
Wajah itu.... Mereka saling membatin. Venchy melotot gelisah, lain seorang pemuda yang menyipit kalut.
"Apa ini kau ... Uwel?" Dengan hati-hati, Venchy bertanya pelan. Air mata meleleh bersama air hujan dan darah di sekitar dagunya.
"Iya...." Badan Venchy berdesir dingin. Makin ciutlah iris hitam Venchy, tanpa sadar ia menggigit bibir bawah. Guntur masih berkeliaran menonton pertunjukkan ini. Ia menunduk tenggelam di dada Uwel, cengkeramannya semakin erat.
"Tak kusangka, orang yang kupercaya ... sebagai teman dekat," Venchy terisak dikalahkan tangisan langit, "ternyata mengkhianatiku."
Uwel tertegun, lantas mengelus kedua lengan Venchy meski akhirnya dia bangkit menjauhi. "Venchy, aku bisa jelaskan semua ini. Bahkan----bahkan aku tak tau kalau orang yang kucari adalah kau."
"Diam kau!" Kilat kembali menyinari wajahnya yang mengulum senyum masam, melangkah mundur mendekati sisi menara. "Dari dulu aku sudah curiga padamu, Uwel. Mengenai seseorang yang kau cari semasa diskusi di kantin, kau yang tau Chia saat minum di sana, apalagi soal tugas rahasia yang meminta seksi dokumentasi untuk merekam kejadian malam hari di sekolah. Semua itu mengarah padaku! Aku coba tahan agar identitasku sebagai Chia tidak terkuak, tapi sepertinya kau sudah tau dari awal."
"Venchy, aku benar-benar tidak tau kalau kau adalah Chia," kata Uwel mendekati gadis yang ia ketahui bernama Chia. "Dan jangan sekali-sekali kau terjun dari sana!"
"Lalu kau mau apa dariku?" sergah Venchy menatap bengis dengan mata memerah. "Menangkapku dan dijadikan sasaran empuk keroyokan? Kau mau aku mati, kan? Supaya kau tak punya saingan?" Venchy menggeleng lemah. "Aku akan mengabulkan keinginanmu dengan cepat."
"Aku bilang jangan, Venchy!" pekik Uwel merentangkan sebelah tangan ke depan. "Kau tak mengerti apa yang kurasakan saat bersamamu! Kau tak tau tujuanku mencarimu!"
Langkah Venchy terhenti, berjarak beberapa milimeter dari sisi menara. Ia tertawa sumbang. "Kau tak mengerti, Uwel. Aku lelah dihantui mimpi tentang kekasihku. Aku lelah keluargaku mengandalkan diriku untuk melindungi Vinci yang terus mengalah dihajar orang. Aku lelah dengan sikap Vinci yang menderita tapi aku tak boleh melindunginya.
"Bahkan aku lelah karena kau sudah mengkhianatiku...." Sorot matanya menggelap kala memandang lelaki itu. Tiada secercah cahaya pun masuk mengurangi kegelapan sepasang iris.
"Aku sungguh minta maaf, Venchy," kata Uwel menyipit sesal. "Dulu aku memang mencari Chia, tapi setidaknya dengarkan penjelasanku. Banyak hal yang tak kau ketahui soal aku, soal Vinci, bahkan geng Darah Hitam dan mendiang kekasihmu."
"Sudah cukup, Uwel," tolak Venchy menggeleng satu kali. "Hari ini aku harus tidur...." Tubuhnya mulai terhempas di antara udara dan tetesan air sejuk. Sebelah tangan terulur lemah menyambut ratusan air hujan.
"Untuk selamanya." Suara Venchy menghilang setelah itu. Ia mendengar suara berat Uwel yang berteriak, tapi kalah oleh geledek keras bagai hendak menyambar TV. Venchy tahu yang dia katakan. Namun, isi hati tak mengizinkan ia untuk menerima perkataannya. []
Majalengka, 20 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro