Chapter 18 - Revenge
22 Oktober 2021
Dua mangkuk bakso seukuran bola kasti tersaji di meja, lengkap dengan minuman berupa teh soda. Lail tampak lahap melenyapkan bakso berisi daging sapi giling hingga wajahnya memerah, sedang Venchy butuh waktu kurang lebih 2 menit untuk mengunyah satu bakso kecil. Kerutan timbul di antara alis Lail.
"Gak selera makan lo?" tanya Lail mengelap peluh di seluruh wajah menggunakan tisu warna-warni. "Biasanya nafsu makan lo nambah kalau makan bakso mang Emod di hujan deras, mana hari ini hujan. Ceria dikitlah, Ven."
"Aku gak punya waktu buat bersenang-senang." Venchy mengakhiri kalimat dengan penekanan penuh geraman. Ketika menikam bakso kecil pun menimbulkan cipratan kuah, sempat membuat Lail mengelak ngeri. "Selama Vinci tertekan gara-gara mereka?"
"Vi-vinci tertekan?" Lail melotot dan menganga kecil, mengelap cipratan di wilayah Venchy. "Kok bisa? Siapa yang buat dia tertekan?"
"Aku masih mencarinya," jawab Venchy melahap makanan berbahan dasar tepung dan daging itu. "Waktu menganalisa informasi Vinci----"
"Makan dulu baru ngebacot," sela Lail menyipit jengah.
Venchy menuruti tanpa dijawab, mengunyah dengan cepat kemudian menelannya. "Waktu menganalisa informasi Vinci, sepertinya geng Darah Hitam disuruh orang."
"Kenapa lo berpikiran begitu?"
Amarah Venchy mulai menurun. Ia membuang muka, kadang menyisir bagian tengah rambut ke belakang menggunakan jari. "Entahlah.... Tapi coba kamu bayangkan. Vinci dibully oleh para cewek, kata dia di belakang mereka ada orang berjaket hitam. Bisa ditebak dong kalau cewek-cewek bangsat yang bully Vinci melakukan kerja sama dengan geng Darah Hitam."
"Iya sih, tapi gimana caranya cari mereka?" tanya Lail mengetukkan jemari rampingnya di meja.
Itulah yang kupikirkan, batin Venchy menggigit ibu jari. Lama sekali mereka berkutat dengan pikiran masing-masing. Ia jadi teringat dengan curhatan Citra semasa di sekolah. Masa itu, istirahat baru saja berbunyi. Venchy sudah satu bangku dengan dia.
"Kemarin aku lihat Vinci mau pulang sendiri."
Tanpa sadar Venchy menggigit bibir bawahnya, mendesis nyaris kehilangan suara.
"Aku tau itu, Citra. Dia gak sekolah sekarang." Teringat dirinya menggeram sebal.
"Kenapa sama Vinci, Ketua?"
"Dia sakit."
"Sakit? Perasaan kemarin baik-baik aja, Ketua. Dia mau nungguin Uwel selesai urusi acara bulan bahasa."
Tangan Venchy mulai mengepal kuat. Seandainya ada jeli kemasan sachet, mungkin sudah berceceran bak gunung meletus. Yang jauh lebih murka adalah diri sendiri terlalu memercayai omongan orang lain termasuk Vinci.
"Haa? Dia gak bilang gitu ke aku."
"Iyakah? Aku gak tau, Ketua. Vinci sendiri yang bilang gitu. Tadinya mau kupanggil Uwel, tapi telanjur berangkat sama Ketua. Pas balik ke kelas 11 MIPA 1, Vinci malah ngilang ninggalin bercak darah di lantai."
Itu dia! Spontan menggetok meja dengan kepalan tangan, menimbulkan peralatan makan bergemerincing. Lail tersontak hingga batuk-batuk tersedak bakso. Beberapa bihun rebahan di bibir bawah dia.
"Lo ... udah nemu sesuatu?" Lail bertanya seraya memasukkan kembali bihun yang bersantai tadi ke dalam mulutnya.
"Iya!" Sekilas Lail melihat kilat berkobar api mencerahkan manik cokelat Venchy. "Aku sudah temukan orangnya untuk cari informasi lebih lanjut soal Vinci!"
****
"Aku langsung pulang setelah cari Vinci ke mana-mana, Ketua." Setangkai tiruan bunga dahlia dari kresek bekas ia taruh memecah belah puluhan bunga mawar palsu. Mereka berkumpul di tengah lingkaran tiga manusia yang duduk bersila.
"Seriusan lo gak denger suara kayak ... jeritan atau tawa orang gitu, Cit?" Tiruan bunga yang melahirkan kesan romantis bertambah satu.
"Gak. Kupikir Vinci pulang sendiri karena mimisan." Puluhan kawat yang membelit buntalan kresek berkumpul di samping Venchy. Dari pertama memotong kresek setelah melilitkan bagian dengan kawat, gadis itu belum buka suara. Sorot matanya menggelap memandang dua perempuan di depan.
"Mau tak mau aku harus cari sendiri orangnya," kata Venchy mengembuskan napas gusar. "Vinci gak mau ngomong lagi soal pelaku yang melakukan hal keji padanya. Tapi, aku yakin 'cewek-cewek' yang Vinci maksud adalah teman sekelas."
Citra mendongak, menghempaskan bunga dahlia ke tumpukan flora. "Kalau Ketua tak keberatan, aku mau bantu carikan pelaku yang bully Vinci."
Dua pasang mata menyambut kelanjutannya. "Aku kenal banyak siswa di kelas 11 MIPA 1. Walau tak secara langsung, aku bisa kasih tau beberapa siswa yang kukenal.
"Selain Uwel si ketua OSIS dan Vinci yang merupakan korban bullying, ada satu siswi yang terkenal di sekolah." Citra mengotak-atik ponselnya kemudian menunjukkan foto seorang gadis tengah berpose memasukkan kedua tangan di jas merah marun. "Ini Anita, anak dari seorang donatur. Orangtuanya berprofesi sebagai direktur di perusahaan makanan terkenal se-Indonesia. Siapa saja yang berurusan dengan Anita dengan latar belakang orang kurang mampu atau berprestasi, dia akan segera dikeluarkan."
"Ketahuan banget nih gurunya gak mau kehilangan gaji banyak," omel Lail menatap datar.
"Aku pernah lihat dia bully Vinci...." Venchy menggumam panjang, memijit dagu menggunakan dua jari. "Dia bukti kuat buat kasus bully soal Vinci, tapi tak cukup kuat untuk menangkap cewek-cewek bangsat yang kumaksud."
"Seingatku, Anita punya kawanan," kata Citra menambahkan. "Mereka bakal ikuti perintah Anita, salah satu kawanannya adalah Diya, teman sekelas kita. Sejauh ini, aku belum pernah lihat mereka bekerja sama dengan geng Darah Hitam selain Anita."
"Atau bisa saja kawanan Anita tak lagi takut sama dia, jadi mereka melakukan kerja sama dengan geng Darah Hitam tanpa sepengetahuan Anita." Lail berargumen melirik Venchy.
"Bisa jadi, tapi apakah mereka mengabaikan risiko?" tanya Citra mengambil tiga tangkai kawat untuk disulap menjadi bunga dahlia.
"Risiko apa?"
"Ada yang bilang kalau mereka berperilaku seperti meremehkan geng Darah Hitam, mereka akan binasa di tangan geng."
"Gue rasa mereka bakal tenang-tenang aja," sanggah Lail meraup tiruan bunga yang sudah jadi, "kalau cewek-cewek kampret termasuk orang kaya. Geng Darah Hitam dikenal haus harta. Hail to the money. Para anggota geng situ akan terus tunduk layaknya budak cewek-cewek yang menjalin kerja sama, selama mereka terus memberikan uang yang banyak."
"Udah, kalian malah melenceng dari pembahasan kita ah," sela Venchy memajukan bibirnya. Ponsel bergetar di paha telanjang, menampilkan sebuah pesan dari Uwel yang menghalangi wallpaper bergambar sosok ikemen boy* dengan setelan jas formal.
Cepat, aku udah di sekolah.
Satu kata ingin ia cetuskan ke depan muka Uwel: Menyebalkan! Bergegas ia ambil jaket dan kunci motor, mengenakannya di tengah menaiki motor tipe ninja.
"Lo mau ke mana, Ven?"
"Aku lupa harus patroli sekolah!" jawab Venchy mengenakan helm. Dua kali ia menginjak tuas injeksi, mesin berhasil menyala dengan tanda lampu menerangi jalan sempit antar kamar kos dan rumah mimi kos. "Tolong beresin tiruan bunga selama aku pergi!"
"Kampret! Lo malah ninggalin anak orang di sini!"
"Maaf, ini terpaksa! Nanti kutraktir kalian es dawet!" Motor mulai berjalan keluar dari area kos-kosan dengan kecepatan mulai tinggi. Spidometer menunjuk angka 60 km/jam. Tak perlu mengulur banyak waktu untuk sampai di sekolah.
Jalanan sepi di antara terangnya lampu di beberapa bangunan, hanya kendaraan berbobot berat atau motor yang melaju sama cepat dengan motor Venchy. Sejenak ia bergidik ngeri ketika sampai di halaman depan sekolah, mungkin sebab pohon beringin yang berumur ratusan tahun. Namun, kerutan timbul di dahi Venchy.
Ada cahaya mirip lampu motor di jalan yang memasuki parkiran dan area sekolah, merangsang rasa penasaran di lubuk hati. Ia dekati sumber cahaya itu, menduga kalau itu Uwel atau Rafka yang sedang menunggu.
Kehadiran sosok serba hitam dengan motor ninja hitam mampu meruntuhkan dugaan Venchy dalam sekejap. Terlebih lagi orang itu mengenakan hiasan rantai yang menggantung di saku celana. Kobaran api memantik amarah beserta ketakutan di mata Venchy.
"Pemimpin geng Darah Hitam...." []
Majalengka, 9 Maret 2021
Ikemen boy: Sebutan cogan di Jepang, biasanya terjadi saat bermain game dating sim atau menyaksikan drama/anime.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro