Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17 - Scared

Sebelum Venchy dan Uwel berangkat ke koja, Vinci baru saja selesai menulis rangkuman bab geografi---mata pelajaran lintas jurusan di kelas MIPA 1---untuk ia pahami besok. Ia berniat menonton kegiatan pengurus OSIS yang berkumpul di luar setelah mengemasi buku ke dalam tas, sekadar ingin tahu sesibuk apakah Uwel dalam mengurusi acara bulan bahasa. Vinci akan pulang sendiri jika----

"Vinci?" Atensi Vinci teralihkan ke sumber suara, di mana seorang gadis dengan kacamata bertengger di tulang hidung, sudah berdiri di ambang pintu. Dia nampak enggan bertemu dengan mata Vinvi, senyum pun tampak masam. "Kamu mau pulang?"

"Bukannya Venchy harus ke koja?" Vinci justru balik bertanya, bangun menggendonh tas. "Aku bisa pulang sendiri."

"Gak." Satu kata terlontar bersama gigi yang bergemeletuk. "Firasatku tak enak kalau belum anterin kamu, Vin. Plis, izinkan aku mengantarmu pulang. Sekali ini saja."

Vinci tersenyum sembari menggeleng pelan. "Uwel bakal lama nungguin kamu. Salah-salah dia capek menunggu kamu yang anterin aku pulang, akhirnya dia sendiri yang ke sana."

Venchy mendongak resah. "Tapi, Vin----"

"Venchy," potongnya menempelkan jari telunjuk di bibir merah sang kakak. "Aku gak apa-apa. Aku jauh lebih cemasin kamu sama Uwel, siang malam mengurus acara sekolah, bahkan Uwel rela mengurusi kasus pembullyan di sekolah kita."

Gadis berkucir ekor kuda itu terdiam sesaat, menunduk mengalihkan pandangannya yang menyipit dan berkaca-kaca. Sekali lagi dia melirik Vinci lewat tatapan sayu. Keluarlah seuntai kalimat singkat sebelum pergi.

"Jaga dirimu baik-baik."

Lelaki dengan rambut model mangkuk terbalik itu mengangguk mantap, memperhatikan sosok Venchy yang berlari, menghilang ditelan tanaman hias yang rimbun. Kini seorang gadis berambut ikal sedada dengan bando kain warna kuning muncul di hadapan Vinci. Mendadak badannya menegang, tak kuasa melangkah mundur.

"Kamu gak dianterin Venchy, Vin?" tanyanya menelengkan kepala.

Vinci cepat-cepat menggeleng, mencengkeram kedua tali tas amat erat. "Mau aku anterin pulang?"

"G-gak...." Vinci membungkuk buang muka. "A-aku ada urusan sama Uwel," jawabnya setengah berkilah.

"Urusan apa?"

"A-aku tak tau.... D-dia yang minta aku tungguin di sini."

"Gitu, ya?" Gadis itu mendesis kesal. "Dasar Uwel! Baik kamu pergi ke parkiran, biar aki yang antar kamu setelah marahin dia."

Vinci hanya mengerjapkan mata bulatnya, melihat dia pergi dengan langkah gusar ke lorong menuju parkiran sekolah. Bahkan ocehan---yang menurut Vinci---menggemaskan masih terdengar dari sini, apalagi barusan dia berteriak memanggil Uwel.

Datang sebuah respon dalam bentuk mata terbelalak. Ia kembali ke kursi, memeriksa kolong meja dirinya dan Uwel. Kamus bahasa Indonesia-Inggris tersimpan di kolong meja Uwel. Lantas, Vinci mengambil buku tebal itu untuk masuk ke tas. Sudah menjadi kebiasaan Uwel yang mudah ia tebak, dia selalu pinjam buku paket dalam sehari.

"Aku cepat bosan kalau banyak waktu luang." Begitulah Uwel bercakap tentang alasan buku pinjaman selalu dia kembalikan dalam sehari. Vinci sempat tanya bagaimana dengan tidur karena waktunya dipakai belajar berjam-jam.

"Aku akan tidur seharian pada hari libur: Sabtu dan Minggu. Sudah semestinya begitu, kan? Aku masih kuat untuk datang menangani urusan OSIS di waktu libur kok." Ia ingat beliau menjawab dengan santai, padahal sekitar matanya menghitam akibat kurang tidur.

Dasar Uwel, pikir Vinci menggeleng tersenyum lembut.

Pintu tertutup keras, memacu adrenalin Vinci yang bergidik ngeri. Banyak orang masuk ke kelasnya. Kebanyakan lelaki berjaket hitam, berdiri membelakangi sekumpulan gadis berseragam putih abu.

"Gimana?" Perempuan berambut merah panjang mulai buka suara dengan senyum sinis. "Cocok buat lo hajar? Lumayan, gue di sini mempermudah lo dalam mencari umpan buat Chia."

Chia? Vinci tahu dia. Chia adalah Venchy. Mengapa mereka menginginkan Venchy? Vinci mundur terseok-seok. Keseimbangannya sedikit roboh hingga mengandalkan bangku sebagai penuntun.

"Dia pernah kami hajar, dan Chia gak datang," jawab seorang pemuda berambut lurus panjang sedada.

"Udahlah, hajar aja dia!" sergah puan dengan buah dada besar mengetatkan seragam. "Aing muak lihat tuh orang ada di sini!"

"Baiklah, akan kami hajar dia nanti malam."  Mereka datang disaat ia mendekam di antara bangku, mundur sebisa mungkin dari musuh. Begitu ia berkedip, dirinya terdampar di hadapan para gadis. Dingin menusuk kulit. Ia mendekam di sudut ruangan dalam keadaan telanjang bulat. Beberapa tubuhnya telah dicoret spidol, pun luka gores.

"Cupu amat lo jadi cowok!" Vinci mendongak cepat. Wajah mereka kabur, mencoret sekujur tubuh Vinci dengan spidol. Para lelaki berjaket hitam pun ikut andil, menendang bahkan memukul badan tak berdaya ini dengan benda tumpul.

"Baik setelah ini kamu aduin ke Chia!"

****

"Gak!" Napas Vinci memburu menyamai laju kereta api. Ia sedikit lega. Plafon dikuasai lampu pijar yang tertidur. Muncul wajah mirip Vinci, memandang cemas sambil mengulur tangan, mengelap wajah Vinci dengan lembut.

"Kamu kenapa? Mimpi buruk?" tanya gadis itu bangkit menghampiri sakelar. Lampu terbangun memancarkan sinar putih yang menerangi kamar kecil. Dia kembali kemari, mengembuskan napas pelan di sela membangunkan Vinci. "Mau makan dulu sebelum tidur?"

Vinci tak menjawab, melainkan memeluk Venchy dengan keeratan akan ketakutan. Ia pun tahu, badan ini dapat dia rasakan getarnya. Ia tenggelamkan wajah di bahu Venchy, melampiaskan semua emosi kalut di hati lewat isak memekakkan telinga.

"Kejadian itu...." Makin kuat tangan yang melingkar di leher sang kakak. "Mereka ... geng Darah Hitam, juga para gadis yang merupakan teman sekelasku. Mereka yang membuatku begini, Venchy...."

Dia tak membalas melalui kata-kata selain mengusap pangkal kepala Vinci.

"Aku ... aku percaya padamu. Aku tidak akan menghalangimu lagi. Aku tak mau melihat mereka lagi, Venchy. Aku tak mau lihat mereka ada di kehidupanku lagi!"

Untuk kedua kalinya, Venchy tak menjawab selain menaruh rahang bawah dia di pundak Vinci.

"Aku harus bagaimana, Venchy? Kenapa mereka ingin kita menderita?" Ucapan Vinci berakhir dengan rengekan menyayat hati.

"Kau bersedia aku mendapatkan banyak luka demi melindungimu?" Vinci mengangguk berulang kali. "Baiklah jika itu yang kamu mau."

Dia melepaskan pelukannya. Dengan mata memerah, terlihat kilat putih melintas cepat di manik cokelat Venchy. Tiada senyum di bibir. Raut muka dia begitu sulit ditebak.

"Aku akan menghabisi mereka sampai mau bertunduk padamu, Vinci." []

Asiiik, Venchy mulai serius mengurusi geng Darah Hitam dan pembullyan. Sebrutal apa nanti Venchy dalam bertarung melawan ratusan anggota geng Darah Hitam? Tunggu chapter selanjutnya!

Revina_174

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro