Chapter 15 - Impostor
21 Oktober 2021
"Yo, semuanya kumpul kuy." Venchy makin dibuat suntuk, hanya karena banyak pengurus OSIS dan perwakilan eskul yang belum datang. Padahal, tiang dengan terpal tebal sudah terpasang melindungi tempat kumpulnya dari terik sinar senja, walau masih ada yang tembus menghangati tubuh orang. Chat di grup pun telah dilakukan supaya langsung ke lapangan depan lorong kelas 11 MIPA usai jam pelajaran terakhir.
"Udahlah, Mir." Venchy menguap dan menunduk, melepas rasa kantuk. "Langsung aja ke inti. Yang lain bisa nyusul."
"Ya udah deh."
Uwel tak bereaksi selain berdiri mengamati muka pengurus OSIS yang mencoba kabur, atau melihat jam di ponsel. Sekarang pukul 4 sore, harusnya mereka keluar kelas. Di sisi lain, Uwel terus mendengar segala keluhan Mira dalam berbagai macam nada. Kadang meninggi saat mengumpat, bisa pula merendah seperti pasrah pada keadaan.
"Buat sekarang, kamu beli pernak-pernik sama bahan dekorasi ke koja bareng Uwel," kata Mira menoleh ke arah pemuda yang dimaksud. Venchy pun mengikutinya.
Dia duduk bersila, membungkuk bertopang dagu dengan mata menyipit. Kesan pertama di penglihatan dua gadis itu adalah tatapan ingin membunuh. Mereka antara enggan dan terdesak membuyarkan konsentrasi Uwel.
Tangan Venchy berselimutkan tali rambut hendak menyambar pundaknya, tapi kerlingan Uwel menghantam nyali. Sambil memandang dua pengurus OSIS dengan sorot polos, ia bertanya, "Apa ada yang kulewatkan?"
Venchy gelagapan mencari kata-kata. Nasib baik Mira berkacak pinggang mengulangi ucapannya. "Kamu sanggup boncengin Venchy ke koja buat beli bahan dekorasi?"
"Oh, tentu." Lelaki berambut gondrong itu bangkit mengulurkan tangan ke depan muka Venchy. Ia menerimanya. Sekelebat Venchy merasa kalut begitu berjabat tangan. Teringat Vinci yang pulang tanpa Uwel memperburuk kesehatan emosialnya. Lantas, ia menghadang Uwel dengan satu tangan direntangkan.
"Baik kamu anterin Vinci pulang dulu, Ketua," kata Venchy terburu-buru. "Aku takut dia kenapa-napa. Biar aku sendiri yang ke koja."
Namun, Uwel mengelus kepala Venchy, menggeleng tersenyum geli. "Kamu terlalu cemas sama dia. Vinci sendiri yang bilang mau nungguin aku selesai rapat OSIS sama eskul."
Benaran teman dekat ya.... Venchy menerbitkan senyum manis mendengar untaian kalimat yang terlontar dari mulut Uwel. Turunlah kadar kecemasan di hatinya. Secercah keyakinan menyelimuti benak. Uwel ada di sisi Vinci dan dirinya. "Oke, aku ke kantin dulu."
Tak perlu menunggu lama, Venchy berlari kecil menuju parkiran. Tangannya tergenggam kresek hitam berisi dua botol minuman isotonik. Bagi Venchy, Uwel yang bekerja keras hingga merelakan banyak waktu untuk berdiam di ruang OSIS layak diberi hadiah, walau hanya sebotol minuman dingin.
Mulut Venchy terbuka, kemudian menutup kembali disertai langkah yang berhenti mendadak sesampai di depan parkiran. Mata yang membeliak mendukung detak nyeri di organ vital.
Lelaki itu duduk dengan santai di atas motor hitam, menghabiskan masa menunggu lewat membaca buku paket. Rasa curiga menghantui otak Venchy. Namun, bukan saatnya ia memikirkan siapa Uwel sebelum dia menoleh memamerkan cengiran penambah mood.
"Ayo, naik!"
****
Motor melaju kencang menyalip banyak kendaraan. Terpaksa Venchy memeluk Uwel, berlindung dari kuatnya angin yang dia seberangi. Suara mesin motor pun memenuhi gendang telinga, tak tega mengurangi ketajaman dalam mendengar. Sepanjang perjalanan, tiada dialog yang mengisi perjalanan melintasi hidup dan mati ini.
Mereka berhenti di sebuah toko buku---mereka menyebutnya koja---pun tiada percakapan mengikuti setiap langkah mengamati alat tulis dengan barang elektronik. Benda seperti kertas kelap-kelip, kertas krep yang umum dipakai saat acara ulang tahun seorang anak SD, atau balon warna-warni mereka beli.
Venchy merasa pelik kala memandang ketua OSIS yang berdiri di depan lapak. Berkacak pinggang, tiada senyum di bibir maupun sorot mata yang selalu dia perlihatkan pada orang-orang, agaknya Uwel tengah memikirkan sesuatu.
Tangan ini enggan mengusik keseriusan Uwel, tapi di sisi lain Mira pasti menunggu. Ia pun menepuk pundak lebarnya. Uwel terperanjat kaget seraya menepik tangan Venchy. Sorot mata yang menyala sempat membuay Venchy mati gaya.
Uwel melotot cemas. "M-maaf! Aku tak sengaja." Dengan liar Uwel menggenggam tangan Venchy yang kena damprat untuk diperiksa. "Bagian mana yang sakit?"
"Aku gak apa-apa kok, Uwel," sela Venchy meloloskan diri dari cengkeraman Uwel. "Kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu. Mau rehat dulu? Kita bisa minum es dawet dekat SD."
Dia mengiakan tawaran Venchy dengan kelimpungan. Makin kuatlah rasa penasarannya. Uwel sedang memikirkan apa? Adakah hubungan Venchy dengan masalah yang dia pikirkan? Jarak dari toko buku ke lapak es dawet yang Venchy sebutkan tak terlalu jauh. Secara kebetulan tukang seblak bersebelahan dengan tukang es dawet, maka Venchy pun sekalian beli.
Perasaan Venchy makin kacau akibat Uwel. Saat dia menyeruput kenyalnya dawet dan manis dari gula merah yang larut bersama air es, raut wajah lelaki itu tak kunjung cerah. Terakhir kali dia menatap kagum dengan rasa es dawet yang mengusir dahaga. Ia jadi bingung mau membuka topik dari----
"Kamu kenapa, Ven?" Venchy nyaris tersedak ketika mendengar suara Uwel yang berat nan lembut. Ia menengok melemparkan pelototan bernilai tanda tanya. "Apanya?"
"Kamu," jawab Uwel menelengkan kepala, menarik senyum geli pada gadis berkacamata di samping. "Kamu kayak mikirin sesuatu."
"Aku?" Mula-mula Venchy mendengkus remeh, lalu tergelak keras hingga menampar punggung Uwel yang mengaduh kesakitan. "Tau aja kamu."
Tawanya mereda. Embusan napas panjang mendampingi badan Venchy yang membungkuk menaruh gelas di sisi kakinya, sementara sorot mata meneduhkan ia persembahkan untuk Uwel. "Padahal kamu juga mikirin sesuatu yang penting," sambungnya.
Uwel mematung dengan mulut sedikit terbuka. "Dari tadi kamu lihatin aku?"
"Iya," Venchy terkekeh kecil menerima pesanan dari tukang seblak, "sejak kita kumpul di lapangan upacara."
"Dasar." Hidung pesek Venchy diserang jepitan lembut dari Uwel, tapi ia merengek menyentil lengan kekarnya. "Aku baik-baik aja, jangan cemasin aku."
Barulah hidungnya bebas meninggalkan sakit yang tak terlalu kentara. "Setidaknya, kamu bilang kek kalau kamu baik-baik aja. Dari pagi melamun terus."
"Baiklah, maaf udah bikin kamu cemas," kata Uwel menyeruput minumannya sampai habis. "Enaknya.... Kamu sendiri mikirin apa?"
Kini Venchy dilanda bimbang, lain Uwel yang minta tambah es dawet. Ia tak yakin harus menceritakan hal ini pada Uwel. Namun, dia teman dekat Vinci, dia tak pernah berkhianat. Menghela napas, gadis berkacamata itu berkata, "Aku mikirin soal geng darah hitam."
"Geng darah hitam?" Venchy keasyikan termenung begitu mendengar reaksi dia yang bernada terkejut. Ia hanya mengangguk lamban. "Aku dengar Vinci selalu dibully oleh mereka. Aku gak terima dia digituin terus, makanya aku saranin kamu antar Vinci pulang dulu sebelum pergi ke koja."
Tak ada sahut atas curahan hati Venchy, maka ia menoleh. Uwel telah berpaling menghabiskan es dawet, tertegun melihat Venchy yang memandang resah. Secara halus Uwel menarik tubuh Venchy ke dalam pelukan, menenggelamkan kepala di dada bidang.
"Kamu akan baik-baik aja selama ada di sisiku." Itulah ujarannya, membunuh kegelisahan batin. Namun tetap saja, bayangan Vinci yang terbaring tak berdaya dengan luka dan darah di sekujur tubuh datang memerankan mimpi buruk bagi otak. Ia mencengkeram seragam Uwel. Semerbak parfum khas laki-laki memanjakan indera pernapasan Venchy.
"Sudah merasa baikkan?" tanya Uwel memandang jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang. Venchy menggeleng lemah.
"Gini aja...." Wajahnya yang semula muram mulai cerah, melepas pelukan dan ingin tahu kelanjutannya. "Besok malam, kita akan lakukan misi rahasia. Kau tau, kan?"
"Memeriksa keadaan sekolah?" terka Venchy membenarkan letak kacamata dengan punggung jari telunjuk. "Mau ngapain?"
"Ya kita cari tau, Ven. Mana tau Vinci diculik geng darah hitam terus digebukin malam-malam, selama Chia gak ada di sekolah kita. Sekalian cek apa ada orang datang malam-malam ngehancurin tiang pelindung buat acara bulan bahasa."
Alis Venchy bertautan. Barusan Uwel menyebut nama Chia. Pertanyaan baru yang mesti ia pecahkan....
Dari mana Uwel tahu dirinya yang ringan tangan? []
Nah loh, Uwel sama Venchy saling curiga. Siapa yang lebih dulu tau? Apa yang mesti Venchy lakukan jika identitasnya terbongkar?
Nantikan di chapter selanjutnya, badders!
Revina_174
Majalengka, 4 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro