Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13 - Main

Jendela baru saja ditutup pada malam hari. Uwel memandang keadaan di luar sana. Jalan di depan rumah masih menghadirkan kilat lampu kendaraan. Di seberang ada kedai dimsum yang sepi pengunjung. Uwel teringin makan dimsum, tapi hujan melarangnya. Alhasil, ia mengembus berat, meninggalkan embun tak kasat mata di kaca.

Berbalik mengambil ponsel di meja belajar yang kursinya membelakangi ranjang, menghempaskan tubuh jangkung berbalut kaus putih dalam keadaan terlentang. Selama 5 menit, Uwel mencoba untuk beristirahat. Hanya saja bayang wajah Venchy kembali mengganggu konsentrasinya. Melihat senyum manis di bibir merah jambunya seakan racun bagi otak Uwel.

"Kenapa aku kepikiran Venchy, bukannya Chia?" Uwel bermonolog. Tangan bergenggam ponsel ia angkat, mengotak-atik menuju kontak Venchy. Tak ada foto profil. Uwel tersentak, kini ia bingung harus apa.

Sementara di kamar kos yang berhadapan dengan warung milik mimi kos, Venchy telah menyiapkan mi kuah pedas dan teh hangat di meja kopi depan TV. Tas telah bersandar di meja. Venchy duduk bersila, mengeluarkan semua isi tas hingga sebuah buku kusam jatuh bersama kotak pensil. Venchy sedikit terkesiap, meraih buku dan membaca dengan sebelah tangan menekan paha.

Mimpi buruk menimpaku, Venchy.
Mereka mulai menerorku. Mereka mulai membuatku menderita.
Apa yang harus kulakukan, Venchy?
Aku tak tahan dengan mereka!

"Rifki...." Venchy memicing, menguatkan cengkeraman di buku. Ingatannya diambil alih, menayangkan sebuah adegan di mana seorang pemuda duduk bersandar kaku di ranjang. Ia ingat betul, pergelangan tangan lelaki itu terus mengeluarkan cairan merah, menodai seprei putih yang awut-awutan.

Venchy juga ingat, catatan yang ia baca ditulis sehari sebelum kematiannya. Waktu itu, keadaan Rifki benar-benar kurus kering pun pucat pasi. Pelupuk mata menghitam, memperburuk keadaan bila melotot padanya. Dia menggenggam tangan Venchy yang penuh luka lebam, bilang dengan beruraian air mata, "Mereka, geng darah hitam ... mereka mencoba membunuhku. Membunuh kita berdua."

Kesadaran Venchy kembali pada tayangan sinetron kesukaan mimi kos yang tengah bertengkar antar suami-istri. Dua titik airmata mendarat di kertas kusam, tak memudarkan tinta yang tertuang menggambarkan kalimat demi kalimat. Tangan terkepal kuat hingga gemetaran.

"Geng darah hitam...." Venchy menyipit dan menggertak, kemudian menyisir rambutnya ke belakang. Bersandar di tepi sofa bulukan serta menjatuhkan tangannya begitu saja, Venchy mendongak mendesah berat. "Geng darah hitam sialan. Suatu hari, aku akan menghajarmu. Kalau bisa...."

Tangannya melepaskan buku, terulur seolah hendak meraih sinar lampu pijar. "Aku akan melenyapkan kalian semua!" Penekanan kalimat Venchy menyertai kepalan, menganggap ia mampu memecahkan lampu pijar menjadi partikel debu bercahaya. Namun, kepalannya melemah mempersilakan sinar lampu masuk ke sela-sela jari, menerpa beberapa bagian wajah, juga mata yang menyipit lemah. "Tapi aku tak tau dengan cara apa aku menghadapi mereka, Rifki."

Ia teringat akan ucapan Vinci, yang melarang main tangan hanya perkara dirinya perempuan. Dering ponsel mengalihkan perhatian Venchy. Dengan malas mengambil dan melihat nama kontak yang tertera di layar: Ketua OSIS.

Venchy mengernyit sebelum berakhir mengusap ikon hijau. "Halo, Uwel?"

Hanya desahan yang Venchy dengar. Rasa jenuh akibat menunggu jawaban memberi sinyal ingin makan mi. Sensasi pedas dari kuah mi memacu adrenalin di otak, tapi ia tahan sambil mendengar jawaban dari telepon. "Apa aku mengganggumu, Ven?"

"Gak juga," jawab Venchy mendesis kepedasan. "Apa ada sesuatu yang harus kukerjakan?"

"Gak kok." Uwel ber-a panjang, seperti memikirkan sesuatu. "Aku cuma...." Dia berhenti berkata lagi. Venchy memutar bola matanya dengan malas, menyeruput mi tebal berlumuran kuah merah. "Aku cuma pengen telepon sama kamu."

Venchy terbatuk hebat sampai tak mendengar kelanjutan saking sibuk cari penawar gatal di tenggorokan. Berlari mengambil gelas dengan sembarang kemudian mengambil air galon. Ia minum sekitar dua gelas, selama dua saluran di lehernya masih gatal.

"Kau tersedak, Ven?" Gadis tanpa kacamata itu mendelik sambil tersenyum, baru sadar ia masih menggenggam ponsel ke telinga.

"Hah?" Di sisi lain, Uwel malah mengerutkan dahi, mengerling keheranan. "Ah, iya. Tadi aku makan mi kuah pedas, mungkin kena minyak cabe, makanya tersedak. Mana panas lagi." Bahkan Uwel tak tahu kalau Venchy tengah berkilah atau tidak. Namun, ia menggeleng dan tersenyum geli.

"Makanya hati-hati kalau makan pedas," kata Uwel memberikan sedikit waktu bagi Venchy untuk bernapas lega. Pikirnya, syukurlah dia tak curiga. Ia terkekeh kecil, berjalan ke tempat singgasana melahap makanan pemicu adrenalin. "Iya, makasih udah diingetin. Tapi, tumben Ketua mau teleponan sama aku."

"I-itu...." Mata Uwel bergerak ke mana-mana sambil tersenyum paksa. "Aku gabut!" dalihnya tertawa sumbang. "Iya, aku gabut. Aku bosan sama kerjaan OSIS sama belajar. Wajar kan kalau aku menelepon seseorang?"

"Benar juga." Uwel bangkit dari ranjang, duduk di meja belajar dan mengambil map merah berisi proposal acara pelantikan ketua OSIS angkatannya. "Kamu lagi ngapain?"

"Sedang kerjakan tugas seabrek." Terdengar isakan buatan ala Venchy yang pantas pakai di sinetron kesukaan emak-emak. "Kepalaku berasa mau pecah."

Uwel tertawa kecil, disusul nada merajuk Venchy. Makin meledaklah ia. "Terus, terus ketawain penderitaan aku." Uwel terkesiap dengan kedua alis terangkat tinggi. "Gak, aku gak ketawain kamu."

"Coba kamu pap soalnya ke aku," sela Uwel mengundang kerling berikut mengangkat sebelah alis Venchy. "Kamu gak punya soal lagi, Ketua? Sampai minta pap soal pula."

"Ya udah, gak usah. Padahal aku mau bantu kamu." Venchy melotot dan berkata tergesa-gesa, "Oke, aku pap soalnya! Plis, kepalaku mumet sama soal."

Permohonan Venchy ibaratkan rayuan yang menggigit hati, menampakkan senyum miring di bibir Uwel. "Aku tunggu, ya."

Tak ada jawaban selain bunyi gerebek dari pihak Venchy. Sambungan telepon pun berakhir. Mungkin dia tengah memotret beberapa lembar soal. Begitu lama Uwel menunggu kiriman sehingga ia mengirim satu balon chat berisi, "Ven, kau mau mendengarkan keluh-kesahku?"

Ia kembali menunggu sambil mengecek pesan masuk dari grup kelas dan eskul yang digabungi. Selain menobatkan diri sebagai pengurus OSIS, Uwel memegang amanah sebagai pelatih pengganti pembina di eskul judo. Sorot kekosongan terpatri di iris sehitam arang, terdapat setitik putih dari sinar monitor.

"Mending ajak Uwel deh, Pak."

"Skill dia gak kaleng-kaleng, makanya Kak Uwel jadi panutanku biar jago judo."

"2in. Uwel juga sering juara di bidang situ, kan?"

"Fix, Uwel mewakili sekolah kita, valid no debat!"

Ia memilih mematikan layar, menaruhnya tepat saat merebahkan tubuh ke dekapan kursi. Mata terpejam lama. Satu tarikan napas menghempaskan rasa malas menanggapi pesan, lebih lagi kalau berurusan dengan pembina eskul judo.

"Mungkin aku harus mengurung diri dari pandangan mereka."

****

18 Oktober 2021

Terik matahari memanaskan jalanan di kos-kosan, sampai Venchy harus nyalakan kipas angin berdiri di sela melipat baju, tersisa 5 pakaian lagi. Namun peluh membasahi bagian ketiak dan punggung piyama jenis kemeja. Sesekali muka Venchy yang lembek mendesah keras, bahunya tak kuasa tegak.

Venchy mendengar deru motor yang makin jelas menuju wilayahnya. Ia menerka tipe motor tersebut, salah-salah ketahuan oleh anggota geng Darah Hitam. Lantas, gadis berambut cokelat terurai itu mengambil kacamata yang bertengger di meja TV, hanya untuk menyamarkan identitas. Dengan langkah waspada, ia mengintip seseorang di luar dari sisi pintu dekat jendela.

Seorang laki-laki bersetelan kemeja motif suasana pantai baru turun dan melepaskan helm. Sosok berambut gondrong awut-awutan itu meraih totebag yang menggantung.

Alhasil, Venchy terkesiap bersama jantung berdegup nyeri. Mengambil ancang-ancang keluar dari rumah lalu menyapa dengan senyum lebar. "Dari mana kau tau tempatku, Uwel?"

"Dari seseorang," jawab Uwel berjalan sembari mengubek sesuatu di totebag merah. "Aku gak bisa kasi tau karena kamu udah kenal sama dia."

Venchy malah mengerutkan dahi. Pikirnya, siapa yang pernah chat dengannya? Mira? Rafka? Entahlah, yang pasti mustahil kalau Uwel kenal Lail. Ia terperanjat akan tindakan Uwel menyodorkan sebuah buku. Sorot mata Venchy terlukis rasa keingintahuan mengenai buku tulis tersebut kala menatap Uwel.

"Kemarin aku ketiduran," Uwel seakan membaca arti dari tatapan Venchy, "jadi pagi-pagi udah berurusan sama rumus dan angka."

Venchy mengangguk paham, menerima buku bertuliskan Uwel sebagai pemiliknya. "Ada beberapa soal yang belum bisa aku kerjakan," tambahnya membuat Venchy membelalak. "Kok bisa, Uwel?"

"Menurut aku," Uwel mengusap dagu dengan ibu jari dan telunjuk, "soal-soal yang gak kukerjakan masuk soal HOTS. Gak semua orang mampu menyelesaikan soal tersebut dengan cepat, bahkan mahasiswa membutuhkan banyak waktu untuk sekadar jawab satu soal."

"Wew, ngerinya...." Hal itu mampu menerbitkan senyum lebar di bibir Uwel. Dengan tangan terkepal kuat ia berkata, "Karena itu aku mau kita berdiskusi mencari jawaban soal yang belum kukerjakan. Kalau memungkinkan, kita akan menyelesaikan beberapa soal HOTS dari internet."

Venchy refleks mendongak. Mata yang membulat siap menyokong mulut sedikit menganga, seperti hendak mengatakan 'ha?'. Dalam benak, hari yang sudah buruk bagi Venchy malah berakhir mengenaskan. Bersama Uwel, mengerjakan soal, juga membereskan rumah dari debu dan pasir hingga tetek bengek pengotor furniture dan lantai. Ingin rasanya Venchy berteriak....

Jangan bercanda!

****

Makin ke sini, panas matahari mulai mereda. Namun, tetap saja Venchy merasakan uap di badan. Mengerjakan satu soal HOTS begitu lama, lalu ke dapur untuk mencuci piring, kembali ke meja kopi untuk mengerjakan soal yang belum tuntas. Ia lakukan selama berjam-jam. Sekarang gadis yang rambutnya telah dikucir cepol itu kembali ke area belajar, menyamakan rumus di buku paket dengan rumus yang ia tulis seraya menyeka peluh di wajah.

"Istirahat aja dulu, Ven." Venchy merasa terpanggil, lantas menengok dengan napas terengah-engah. Dia tampak tak mengamati wajah Venchy yang mirip nasi basi, menaruh semua perhatiannya pada ratusan soal yang mampu menghabiskan satu buku dalam sekejap.

"Akhirnya!" Ketika bangun, kekuatan di tangan dan kaki Venchy sudah semakin memudar. Mau tak mau, ia terlentang di lantai, menjadikan sekitar siku sebagai bantal. Baru Uwel biarkan 10 menit, dengkuran Venchy begitu membahana.

Ia tersenyum geli, bangkit mengitari kamar Venchy untuk meredakan nyeri di punggungnya. Sesuatu menarik perhatian Uwel. Rak kayu yang berdiri di samping pintu kamar mandi berjejerkan handuk, tas dan sepatu sekolah, buku, boneka, dan beberapa bingkai foto.

Namun, salah satu potretnya amat familier di ingatan Uwel. []

Hayoo, Uwel ngapain tuh? Emangnya sebelumnya Uwel pernah ketemu sama Venchy? Kok bisa bilang amat familier di ingatan dia?

Udah ketebak lah yaa. :)

Majalengka, 12 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro