Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 - Pendekatan

Bel istirahat berteriak, meminta seluruh siswa untuk merehatkan otak selama setengah jam. Dibanding keluar membeli jajanan mahal, Venchy sudah membawa rujak buah buatan sendiri. Hanya pepaya potong yang disiram saus kacang yang manis, rasanya sudah seperti makan royal.

Hanya saja Venchy tak punya teman untuk makan siang bersama. Pikirnya, apa tak masalah kalau ajak Citra? Celingak-celinguk ia tak menemukan Citra. Venchy mengembuskan napas kecewa. Ia meringkuk menulis materi yang terpampang jelas di papan tulis dengan lesu.

"Ini makanannya, Diya." Venchy yang meringkuk tak minat makan rujak pun duduk tegak dengan mata cerah. Citra berlari membawakan satu plastik berisi lima tusuk pentol ayam. Tangannya langsung menggaet lengan Citra, merampas makanan yang Citra beli.

"Duduk di sini." Venchy memberi sedikit ruang di kursinya, memaksa Citra untuk duduk. "Aku mencarimu tau."

"Mencariku?" Alis Citra terangkat tinggi-tinggi. "Benarkah?"

"Iya, buat makan siang bareng." Ia mengeluarkan kotak bekal dari kolong meja. Ia mendekatkan wajahnya. "Sekalian ngehindar dari Diya." Wangi gula merah menggoda selera Citra saat kotak bekal dibuka, bahkan terdengar desisan di lidah Citra sebagai bentuk isyarat ingin menyicipi.

"Rujak! Tapi cuma gedang*," kata Citra membungkuk kecewa.

"Rujak pepaya paling enak dibanding rujak campuran buah, apa lagi yang dicampur kedondong sama bengkuang." Venchy menjulurkan lidah, memasang wajah kecut. "Rasa pepayanya bakal hilang, keras pula."

"Iya juga sih." Citra mengambil garpu yang Venchy keluarkan bersama kotak bekal tadi. "Boleh kumakan satu, Ketua?"

"Apa?" Venchy baru saja memasukkan buku ke kolong meja. "Oh, boleh dong. Makan aja." Melipat tangan di atas meja, Venchy memandang jajanan Citra yang hendak diberikan pada Diya dengan selidik. Diletakkan sebagai penghalang wilayah meja. "Pentol ayamnya ... kamu beli pakai uang sendiri?"

Citra mengangguk sembari menangkup tersenyum lebar, mengagumi paduan rasa pepaya dan saus kacang manis. "Rujaknya enak banget...." Imajinasi Citra mengenai cita rasa rujak bagaikan letupan kembang api di sekeliling.

"Terus dikasih ke Diya?" Dahi Venchy makin mengerut, tidak dengan Citra yang melotot, lepas dari zona buaian rasa makanan. "Buat ap—" Sekonyong-konyong Citra merangkul dan membekap mulut Venchy.

"Jangan kuat-kuat," sela Citra mengerling gelisah. "Walau kita berusaha membela diri sendiri, semua omongan kita gak ada apa-apanya sama gelar orangtua Diya." Suara Citra tercekat macam pengidap pilek.

Dengan kasar, Venchy melepaskan bungkaman Citra dan menatap berang. "Ngapain sih kamu takut sama dia? Cuma gara-gara gelar orangtua yang nyumbangin dana buat sekolah, itu tuh namanya sombong. Gak usah takut, mending kamu makan tempolnya."

"Udah kubilang jangan keras-keras ngomongnya."

"Biarin aja dia dengar omonganku."

Tingkah Venchy yang kian akrab dengan Citra membuat urat di pelipis Diya—duduk bersandar di tembok belakang kelas—timbul. Kepalan tangan kian kuat hingga buku-buku jarinya memucat. Tepat saat mereka menyantap rujak pepaya, Diya datang menendang meja Venchy. Kotak bekal jatuh. Potongan buah oranye berceceran bersama saus kacang yang menyatu dengan air buah. Namun, hanya Citra yang tersentak.

Semuanya hening, termasuk siswa laki-laki yang asyik menyetel efek suara dengan bantuan pengeras suara portable.

"Rujaknya!" pekik Citra, bangkit berdiri melempar tatapan bengis pada Diya. "Kamu keterlaluan ya, Diya! Venchy susah payah bikin...." Ucapan Citra terhenti, melirik Venchy yang menarik pundaknya dengan kepala tertunduk. Gadis berhiaskan bando di kepalanya mampu menangkap seringai lebar Venchy, lebih lagi masa melakukan pemanasan di area leher.

"Enaknya diapain, ya?" Tangannya menarik kerah seragam Diya, mempersilakan sang lawan untuk memahami makna tersirat dari sorot mata yang mengecil dari balik rambut, memerah dan berkaca-kaca bagai ditetesi air lemon.

Diya tak menjawab, justru menampar wajah Venchy berulang kali. Serangan Diya ibarat api bagi otak Venchy. Ia langsung mencengkeram kedua tangan Diya, membanting tubuh Diya ke meja teman di sebelah bangkunya, menimbulkan jeritan keras bagi siswi yang asyik bergosip. Tidak dengan pelajar laki-laki. Mendekat dan bersorak meminta Venchy agar segera mengeksekusi Diya. Ia menekan dada lawan dengan kakinya hingga rok sepan selutut robek, menarik cengkeramannya, sedang tangan satunya lagi mengambil pensil mekanik, menekan pendorong isi pensil dua kali untuk menodong leher Diya yang memucat. Arang pensil itu tumpul, terasa dingin dan menyakitkan di kulit Diya. Sekali lagi bila Venchy menambahkan tinggi arang pensil, cairan merah akan keluar.

Manik hitam Diya terlukis wajah Venchy. Tiada senyum, tiada arti di balik netranya. "Aku tak tau kalau cewek sepertimu bisa marah juga. Jika aku jadi Citra, aku sudah lakukan hal ini kepadamu sebelum disuruh beli jajanan yang kau sukai."

"Venchy." Spontan pemilik nama tersebut melirik bengis, dengan rambut kusut bak gelandangan.

Uwel mematung di ambang pintu, sama seperti Citra. Kalau sampai dia berbicara yang aneh tentangnya, Venchy akan merancang rencana lain. Pandangannya beredar mengamati orang-orang yang juga hening, tak lagi bersorak ataupun menjerit.

Ia melirik Diya yang bergidik ngeri. "Kali ini kumaafkan, tapi kau harus membersihkan kekacauanmu sendiri." Venchy melepaskan mangsa. Diya ambruk gemetaran, dibantu teman-teman yang menonton pertunjukkan tadi. Sedangkan Citra bergegas cari sapu lidi dan serok di sudut belakang kelas.

Begitu Venchy keluar seraya merapikan rambut pun, Uwel masih enggan buka suara. Orang-orang yang menonton dari luar mulai menyingkir seperti gelombang laut. Lelaki itu berdiri di belakang Venchy yang berbalik mengelap lensa kacamata menggunakan dasi.

"Maaf," kata Venchy tersenyum palsu. "Kau ... melihatku berkelahi."

Dia masih melotot tak percaya, sama sekali bergeming. Venchy dibuat heran. Dalam benak, apa yang Uwel pikirkan tentangnya? Malahan, tangan besar Uwel berlingkar jam tangan hitam terulur menangkup pipi Venchy, mengusap dengan lembut, juga memperpendek jarak di antara mereka.

"Apa yang...." Napas Venchy tertahan. Wajahnya seolah mengeluarkan kepul panas. Ia mundur selangkah meski Uwel masih mampu meraihnya. "U-uwel!"

Uwel terperanjat, melepaskan tangkupan di wajah Venchy. Sekujur tubuh menimbulkan uap yang buat dirinya gerah. "A-aku ... tadi aku ngapain?"

Mulut Venchy terbuka dan berpaling. "Ha-harusnya aku yang nanya kayak gitu." Ia mengerling jengah. "Tadi kamu ngapain?"

"Aku?" Mata bulatnya bergerak ke mana-mana. "Aku cuma ... kepikiran sama dia."

"Dia?" Venchy mengerutkan keningnya. "Cewek yang kamu bicarakan waktu diskusi di kantin?"

"Iya...." jawab Uwel ragu-ragu sambil mengusap tengkuk. "Lihat kamu berantem sama Diya tadi, gerakanmu mirip sekali dengan targetku."

"Benarkah?" Gadis berkacamata itu menyadari, mereka masih memandang ia dan Uwel. Segera menarik lengan kekar Uwel, menjauh dari kerumunan siswa-siswi yang berbisik. "Tadi kau ke kelasku mau apa?"

"Kita ada rapat OSIS." Langkah Venchy terhenti di tengah anak tangga menuju ruang OSIS, menoleh ke arah Uwel. Yang ditatap malah berpaling membenarkan rambut ikalnya.

"Kita belum benar-benar masuk rapat, kan?" tanya Venchy menunduk pergi ke lorong kelas 11 IPS, melipat tangan di atas balkon tembok untuk mengamati keadaan area sekolah dari atas sini. Tatapan sendu mengundang rasa penasaran Uwel yang menyusul Venchy.

"Belum, memangnya kenapa?" Uwel memandang lapangan kosong dengan sebelah tangan mengelus puncak balkon. "Ada sesuatu yang penting?"

"Aku pun tak tau apakah yang aku ucapkan bernilai penting." Venchy menggeleng lemah. "Tapi aku berhak beritahu padamu, mengenai alasan aku pindah sekolah."

Uwel melirik intens. Venchy melanjutkan, "Aku pindah sekolah semata-mata mengawasi Vinci. Aku sering mendapat keluhan dari ibuku sendiri, kalau Vinci sering pulang dalam keadaan luka-luka. Bahkan seragamnya kotor akan spidol permanen atau pilox, sampai ibuku membelikan seragam yang kesekian kali."

"Apa itu berarti kau bisa berkelahi?" tanya Uwel. "Karena bila kau pindah sekolah untuk mengawasi Vinci, itu artinya kau akan mengerahkan semua cara termasuk berkelahi dengan pelaku bullying."

"Iya, tapi jumlah mereka banyak, hingga mataku selalu mengartikan kalau mereka adalah musuh." Kala Venchy menoleh, matanya membulat berkaca-kaca. "Aku tak mau seumur hidupku ditorehkan banyak korban, darah, atau balas dendam." Venchy menunduk mengepalkan tangan, tak menyadari Uwel yang mengulurkan kedua tangan. "Aku berusaha untuk tidak peduli dengan Vinci yang melarangku berkelahi lagi, tapi aku tak bisa!"

Venchy tersentak begitu tangan kekar Uwel melingkar mendorong tubuhnya. Ini pelukan. Dia mendekapnya. Tangan dia di punggung Venchy, dada dia di muka Venchy, nyata hangat di badan. Elusan lembut di rambut pun rasanya hampir mirip dengan cara mendiang memperlakukan Venchy. Sekujur tubuh bergetar dan berdesir panas.

"Aku pun sama, Venchy," kata Uwel mengulum senyum tipis. "Aku dianggap teman dekat oleh Vinci, sudah sepatutnya aku membalas pandangan Vinci dengan cara melindunginya."

"Jadi kau teman dekat Vinci?" tanya Venchy meleraikan pelukan, mendongak mengelap pipinya yang basah.

"Iya," Uwel menatap kelasnya yang nyaris tertutupi balkon dan tanaman hias. "Aku ingin melakukan apa saja untuk Vinci, seperti yang akan kau lakukan jika dia terluka. Aku ingin tau apa yang terjadi dengan dia bila aku tak berada di sisinya. Apalah daya, Vinci sama seperti yang lain, tak mau mengungkapkan kejadian yang menyebabkan Vinci terluka. Dari situ, aku merasa gagal menjadi teman dekat Vinci."

"Sebab itu kau mengadakan misi rahasia? Agar kau bisa menemukan pelaku pembullyan atas Vinci?"

"Bisa dikatakan begitu."

Sekarang, Venchy bingung. Angin sepoi-sepoi menyibak rambut mereka—sama-sama dikucir ekor kuda. Sesekali mengerling, Uwel termenung menatap kosong. Venchy kembali menunduk, kali ini menghela napas berat.

"Jika kau tak keberatan," perhatian Uwel teralihkan, menunggu kalimat selanjutnya dari gadis berkacamata yang menatap gedung kelas 10, "apa kau akan membantuku memberantas bully di sekolah?"

Uwel tak menjawab. Manik sehitam arang bergerak ke mana-mana sebelum buka suara. "Kalau tujuanmu agar Vinci tak diperlakukan kasar lagi, maka aku akan lakukan keinginanmu."

Venchy spontan menghadap pimpinan OSIS. "Benarkah?"

Dibalas anggukan mantap. "Jika memungkinkan, kita bisa lenyapkan mereka sampai ke akar."

Perkataan Uwel seakan pemantik api yang menyalakan bara di hati Venchy, mendatangkan senyum lebar dan sorot mata berapi-api. "Mohon kerjasamanya, Ketua!"

"Tapi sebelum itu, kita harus buat rencana." Di tengah mereka bercakap sebelum beberapa pengurus OSIS datang, seseorang tengah memata-matai mereka dari balik tembok kelas 12 IPS 6. Dia mengenakan jas merah marun sebagai tanda bukti pengurus OSIS, menerbitkan seringai lebar.

"Aku akan membuatmu marah." []

*gedang: Pepaya (Bahasa Sunda)

Hmm, siapa tuh yang nguntit Venchy sama Uwel? Gak ada kerjaan bener. Pengen tak hih!

Majalengka, 6 Februari 2021

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro