Prolog
Seumur hidupnya, dia tidak pernah sekalipun dihadapkan pada pilihan hidup atau mati. Tidak pernah. Oh, dia bahkan jarang terluka. Mama dan papa menjaga dia dengan sangat baik, terlalu baik. Hingga akhirnya dia bosan dan memberontak dengan cara keluar dari rumah dan mengejar apa yang dia inginkan. Tapi bahkan setelah dia menggeluti profesi yang awalnya tidak disetujui oleh keluarga, papa dan mama akhirnya setuju. Ya, lagi-lagi dia menang. Jadi, apa yang ada dihadapannya sekarang, benar-benar membuatnya gentar.
Belum pernah dia melihat sebuah perkelahian langsung. Ya, kecuali perkelahian antar model dulu di agency hanya karena merebutkan sebuah pekerjaan. Tapi perkelahian model hanya melibatkan kata-kata kotor dan jahat saja. Tanpa ancaman, tanpa senjata, tanpa wajah pias, dan juga tanpa darah. Wajah Aluna Sabiya siang ini di butik, pucat sekali. Tangannya sedikit bergetar dan matanya tertutup. Sementara seorang laki-laki menodongkan senjata padanya.
Dimana dia sendiri? Dia diminta duduk sebagai tamu menonton dari pojok ruangan. Membeku dengan tubuh bergetar hebat dan tangis yang ditahan karena sadar benar mereka berdua besar kemungkinan akan mati. Lalu senjata itu meledak seiring dengan keributan di luar butik Sabiya. Saat itu terjadi, refleks tubuhnya adalah melindungi diri atau lebih tepatnya jongkok meringkuk di lantai masih di pojok yang sama dengan dua tangan melindungi kepala.
Satu laki-laki merangsek masuk setelah sebelumnya melemparkan motor besar itu ke jendela utama butik. Ya, motor itu terbang dan menghantam jendela besar dan saat ini berada di dalam butik. Gila, ini sungguh gila. Sang penjahat yang tadi mengacungkan senjata malah tertawa pada sang laki-laki yang terlihat sangat murka. Oh, dia bahkan tidak berani menatap wajah mereka, mengerikan. Mereka mulai berkelahi, dan di luar butik kondisi sama menyeramkannya. Lalu, dia melakukan apa yang seumur hidupnya tidak pernah dia lakukan. Berdoa, memohon pada Tuhan agar dia selamat dari ini semua.
Tubuhnya kaku, kehilangan seluruh daya untuk melarikan diri dari semua yang tiba-tiba terjadi. Kepalanya menoleh menatap Sabiya yang masih berdiri dengan darah di tubuhnya. Tangisnya tambah hebat.
Kemudian dia mendengar suara Sabiya berteriak. "Alexa, lindungi Alexa."
Ada seorang laki-laki lain yang menghampirinya. Dia menjerit panik, apa ini salah satu penjahat lain yang akan membunuhnya di tempat? Namun tangan itu menarik lengannya.
"Hey, hey. Tenang dulu. Kamu Alexa?"
Matanya menatap laki-laki itu kemudian kepalanya mengangguk. "Saya nggak tahu apa-apa. Jangan bunuh saya."
"I know. Pakai ini dan tetap menunduk." Laki-laki asing itu menutup kepalanya dengan helm hitam.
Dia langsung dilingkupi dengan wangi maskulin milik sang laki-laki. Tubuhnya sedikit didorong untuk bersandar ke tembok dengan kursi yang melindungi. Matanya berkedip beberapa kali, karena pemandangan di dalam helm lebih gelap. Kemudian layar depan helm yang tadinya bening berubah hitam.
"I am Angel. Welcome guess. Saya akan putarkan musik dengan volume yang disesuaikan atas permintaan dari Tuan Mahendra Daud. Silahkan menikmati."
Kemudian layar helm menunjukkan langit malam dengan banyak bintang jatuh. Lalu lagu Coldplay – sky full of stars berkumandang.
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
I'm gonna give you my heart
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
'Cause you light up the path
Awalnya dia terkejut, kemudian musik itu mengalihkan pikirannya dari apa-apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Telinganya dipenuhi dengan melodi. Selama ini dia hanya menikmati musik ketika dia berada di atas catwalk. Membiarkan musik menguasai tubuh dan membuat kakinya melangkah luwes di sana. Saat ini, dia mendengarkan dan menyerapi lagu itu.
"Saya, mau lihat kondisi di luar." Entah kenapa dia berkata begini, karena dia sungguh ingin tahu apa yang terjadi.
"Izin sudah diberikan sebelumnya. Sedang memproses." System itu menyahut. Lalu layar itu berubah menjadi terang. Dia bisa melihat bagaimana laki-laki bernama Mahendra bertarung di dekatnya, melindunginya, sekalipun hanya musik itu saja yang berdentum di telinga.
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars
I want to die in your arms, oh
'Cause you get lighter the more it gets dark
I'm gonna give you my heart, oh
Lalu air matanya turun. Banyak orang yang melindungi dia dari kecil. Ya, papa dan mama menempatkan penjaga dulu. Tapi, mereka semua tidak pernah berdarah untuknya. Tapi laki-laki ini, gerakannya luwes dan santai. Matanya penuh kemarahan yang ditahan. Tubuhnya tinggi menjulang dengan mata coklat gelap. Sudah ada darah di pelipisnya, tapi dia abai. Wanginya yang tertinggal di helm sungguh membuai.
Jantung ini mulai berganti detakannya. Bukan lagi karena ketegangan tadi, tapi lebih karena dia merasa aman. Karena keberadaan laki-laki ini.
I don't care, go on and tear me apart
I don't care if you do, oh
'Cause in a sky, 'cause in sky full of stars
I think I see you
'Cause you're a sky, you're a sky full of stars
Such a heavenly view
***
Beberapa jam setelahnya
Alexa berada di salah satu rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap. Oh, dia tidak perduli karena masih sangat terkejut dengan semua kejadian tadi. Matanya terus mencari sosok laki-laki itu, Mahendra Daud. Sekalipun dia harus kecewa karena tidak bisa menemukannya dimanapun.
"Hasil-hasil test akan selesai beberapa jam lagi. Keluarga anda akan segera datang." Suara seorang dokter laki-laki membuyarkan lamunannya.
"Maaf, anda siapa?" tanyanya.
Sang dokter tersenyum kecil. "Saya, Dokter Aryan. Sepertinya kamu masih sangat shock. Itu wajar. Saya akan resepkan obat penenang jika dibutuhkan, setelah semua hasil test keluar. Keluarga kamu sudah dihubungi, sebentar lagi datang."
Dia tersenyum miris. "Siapa? William? Papa dan Mama saya jauh. Mereka tidak mungkin datang."
"Ya, William. Tunanganmu."
Tidak ada apapun yang dia rasa saat nama itu disebut.
"Dimana Sabiya, Dok? Bagaimana kondisinya?"
"Sabiya sedang berjuang di meja operasi. Saya harus ke sana setelah ini."
"Tadi itu apa? Kenapa bisa begitu?"
Kepala Aryan menengok karena seorang laki-laki lain masuk. "Saya tinggal dulu." Aryan berkata lalu keluar dari ruang periksa.
"Siapa kamu?"
"Hai, saya Niko Pratama."
Laki-laki dihadapannya ini bertubuh tegap dengan senyum yang menawan. Giginya bersih dan rapih sekali.
"Tadi itu apa?"
"Saya di sini ditugaskan untuk memastikan kondisimu, Nona."
"Serius, itu tadi apa?" nadanya sudah mulai tinggi.
"Dan saya hanya akan memberi tahu apa yang kamu boleh tahu. Yang tadi itu bukan apa-apa. Hanya kesalahpahaman antar keluarga. Kamu aman dan selamat, itu yang penting."
"Sabiya, bagaimana dengan Sabiya?"
"Sabiya akan selamat. Dia lebih kuat dari apa yang kita semua lihat, dia selalu begitu."
Lalu air matanya jatuh lagi, apa yang terjadi tadi seperti terulang kembali di pikirannya. Sabiya dengan tubuh yang berdarah, tapi masih bisa meminta orang-orang yang ingin menolong wanita itu untuk melindungi dirinya saja. Kemudian si laki-laki asing yang rela berdarah untuknya. Menerima pukulan dan hantaman dari orang lain yang ingin menyakitinya. Sabiya bukan sahabatnya, Mahendra juga orang asing. Tapi mereka melindungi dirinya seperti dia sangat berarti.
"Hey hey, matamu jadi buram birunya kalau kamu menangis begitu," ujar Niko.
"Mahendra Daud, siapa dia?" tangannya sibuk membersihkan air mata.
"Nona..."
"Namaku Alexa."
"Oke, Alexa. Semakin sedikit kamu tahu, semakin kamu aman. Jadi yang terpenting kamu aman dan selamat."
"Bagaimana kalau si penjahat kejar saya?"
"Dia akan kami tangkap sebelum mengejar kamu."
"Saya trauma, kalian harus tanggung jawab." Ini sesungguhnya dia lakukan hanya karena dia tidak ingin kehilangan jejak tentang laki-laki itu.
"Ya, pasti. Keluarga Daud adalah orang-orang yang sangat bertanggung jawab. Semua biaya pengobatanmu akan ditanggung hingga sembuh. Kamu akan mendapatkan akses di rumah sakit canggih ini dan seluruh identitasmu dilindungi di sini tanpa biaya."
"Saya bukan orang miskin. Keluarga saya bisa membayar segalanya sendiri."
Niko mengangguk setuju. "Oke. Silahkan."
"Tapi saya ingin bertemu dengan Sabiya dan Mahendra. Mereka melindungi saya. Akan sangat tidak pantas jika saya tidak beterimakasih."
"Saya akan sampaikan."
"Saya ingin sampaikan sendiri." Nadanya mulai tinggi karena kesal.
Niko menghela nafas. "Alexa, pulanglah setelah ini. Lupakan semua dan jalani hari-hari seperti biasa. Kamu pasti sangat sibuk biasanya. Itu pilihan yang paling baik. Saya akan sampaikan rasa khawatirmu tadi. Tenang saja, Sabiya akan selamat dan Mahendra baik-baik saja." Niko memberi jeda kemudian berujar lagi. "Saya pamit." Tubuh Niko sudah ingin berbalik.
Rasa penasarannya sudah terlanjur terusik. "Niko, tolong saya." Satu tangannya refleks menahan lengan Niko. "Paling tidak kabari saya kalau Sabiya sudah bangun. Tanyakan pada Mahendra apakah dia mau menemui saya? Saya ingin berterimakasih langsung."
"Oke." Tangan Niko ingin mengambil helm Mahendra yang ada di samping meja.
"Jangan. Apa boleh saya simpan dan kembalikan nanti?"
"Daya-nya akan habis besok malam." Niko menatapnya heran.
Dia hanya mengangguk kecil. Lalu William melangkah masuk terburu-buru sementara Niko pamit pergi.
"Ya Tuhan, Lexa, ya Tuhan. Kamu nggak apa-apa?"
William menenggelamkannya dalam pelukan. Rasanya kosong, hampa. Dia membiarkan William memeluk tubuhnya. Tapi matanya terpaku pada helm hitam di atas meja. Ketika matanya terpejam sejenak, hanya ada wajah laki-laki itu di sana.
Mahendra Daud.
***
Gue kasih link lagunya coldplay lagi ya. I love this song. Happy Monday!!
https://youtu.be/zp7NtW_hKJI
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro