Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. The Lonely girl

Mata Mahendra menatap keadaan sekeliling dengan marah. Tamu-tamu panik karena melihat asap dari arah dapur. Oh, dia bahkan tidak perduli bahkan jika apartemen ini hancur dan rata ke tanah dengan dia di dalamnya. Sungguh, dia hanya ingin Aryo Kusuma mati. Rencana yang sudah dia susun rapih sekali itu gagal. Karena Aryo sudah melindungi Herman dan berusaha mengeluarkannya dari area apartemen.

Kemudian tubuhnya di tarik kasar oleh seseorang. Hanif datang mengenakan topi hitam dan berjalan menunduk sambil menarik lengannya. Abangnya itu terus meminta tamu agar tidak panik dan segera berjalan ke luar. Sementara tubuhnya di bawa ke salah satu kamar mandi yang sudah kosong.

"Lo gila!!" Hanif berteriak marah ketika tubuhnya berbalik menatapnya.

"Brengsek, gue nggak punya waktu." Dia sudah membalik tubuhnya ingin pergi mengejar Aryo.

Namun Hanif menarik kerah lehernya cepat dan memojokkan tubuhnya ke dinding. "Aryo dan Herman akan pergi ke atap. Helikopter mereka sudah menunggu. Di sana, seluruh tim taktis akan berbenturan dengan penjaga Herman. Termasuk Faya, Niko, Arsyad. Mareno dipaksa Arsyad untuk mengamankan Tania dan Bayu Tielman. Ini kacau, Hen. Bukan begini caranya."

"Tim, siap-siap benturan. Putih, minta Biru selesaikan apa yang dia mulai di sana. Tugas Biru hanya satu sekarang, memastikan seluruh tamu selamat. Tanpa terkecuali. Target urusan gue, hanya gue." Mereka berdua bisa mendengar suara Arsyad pada earphone mereka. Murka.

"Kebakaran itu bukan gue!!" Dia berteriak sama marahnya.

"Bereskan, Hen. Bereskan semua di sini. Gue harus melindungi Faya," ujar Hanif menahan emosi.

Sebelum sempat berujar apapun, tubuh Hanif sudah keluar dari toilet dan menghilang. Dia sendiri bersumpah serapah pada kebetulan yang entah kenapa pas sekali terjadi. Dengan kesal dia keluar dari toilet dan mulai mengecek seluruh area apartemen. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Masih ada satu dua orang yang seperti kebingungan. Dia meminta mereka untuk turun dengan tenang.

Lalu dia mulai mengecek area dapur yang masih berasap. Sprinkler di area dapur sudah menyala dan sudah memadamkan asal api. Jadi area dapur memang basah. Dia melepas atribut penyamarannya karena berpikir sudah tidak ada tamu yang tertinggal di belakang. Tapi kemudian dia melihat seorang wanita di balkon. Berdiri membelakanginya sambil merokok. Dia langsung tahu siapa wanita itu, Alexandra Walton.

***

Alexa masih ingat benar saat ayah ibunya sibuk berdebat saat dapur mereka terbakar dulu. Padahal dirinya sendiri terluka dan ujung rambutnya juga sedikit terbakar sekalipun dia sudah berhasil memadamkannya. Ya, saat itu orangtuanya lebih memilih berdebat itu kesalahan siapa dibandingkan memeriksa kondisinya. Suster yang merawatnya yang melakukan itu.

Setelah memutuskan tentang apa yang ingin dia lakukan tadi di kamar mandi, dia langsung saja melaksanakan rencananya. Dia memilih untuk bisa menentukan sendiri, apalagi ini soal hati. Dia ingin seorang laki-laki yang bisa memberikannya perasaan yang tidak terbeli, nyaman dan aman. Dia ingin laki-laki itu hanya menatapnya saja, mencintai dia dengan segala kekurangannya. Dia juga ingin laki-laki itu mau berdarah untuknya, memperjuangkannya. Dia ingin...Mahendra Daud saja. Bukan yang lain.

Akhirnya, dia memulai api di dapur. Karena ingin melihat reaksi orang-orang terdekatnya. Sudah pasti William langsung menyelamatkan diri sendiri. Ya, dia hanya pajangan untuk William. Pajangan selalu bisa diganti. Mama sibuk berkeluh kesah karena pesta yang terganggu. Papa mencari dia, tapi kemudian karena dapur yang penuh asap, kaki papa berhenti melangkah ke sana dan juga memilih turun dan pergi. Dia melihat itu semua dari tempat persembunyiannya. Lidya memang tidak datang hari ini karena suatu urusan. Tapi, dia yakin Lidya akan melakukan hal yang sama.

Kemudian saat semua tamu sudah keluar, dia juga keluar dari tempat dia sembunyi karena tahu benar water sprinkler akan menjalankan tugas dengan baik untuk memadamkan api. Dia berjalan melangkah ke arah balkon. Menatap pemandangan langit Jakarta yang kelam di luar sana, dan mulai menyalakan sebatang rokok.

Air matanya jatuh satu-satu. Sesaat tadi dia seperti wanita yang bahagia dan memiliki segalanya. Tapi semua kenyataan saat ini sungguh menunjukkan tidak ada yang berubah sedari dulu. Dia sendiri, selalu sendiri. Asap rokok itu dia hembuskan dan kemudian memudar di udara. Hidupnya seperti asap yang dia hembuskan tadi. Semu, dan selalu menyisakan rasa sesak di dada.

Kamu baik-baik saja, Alexa. Kamu akan baik-baik saja.

Apa boleh dia terisak? Karena hampa itu datang dan menyergapnya tanpa ampun. Lalu tanpa bisa dia cegah lagi, dia terisak nyeri. Andai saja, ada seseorang yang datang sekarang untuk menyelamatkannya. Mungkin, rasanya tidak sesakit ini.

"Wanita itu aneh sekali."

Matanya membelalak terkejut. Mahendra? Isakannya sudah dia redam kemudian tubuhnya berbalik sempurna. Dan...laki-laki itu di sana, berdiri menatapnya.

"Kamu seperti sangat bahagia tadi, tapi kemudian kamu mulai ini semua. Membahayakan hidup semua orang seperti ini, dan berusaha membunuh dirimu sendiri dengan tidak segera menyelamatkan diri. Bagus, Nona." Suara Mahendra sinis sekali.

Dia menghirup nafasnya dalam. Keberadaan Mahendra benar-benar bisa mengacaukan kontrol dirinya sendiri. "Apinya sudah padam."

"Ya, kamu beruntung malam ini, api tidak menjalar ke aliran gas dan meledakkan semua." Mahendra menggelengkan kepalanya terlihat marah. "Dan, kamu mengacaukan rencana saya yang sempurna. Luar biasa, Nona."

"Namaku Alexa. Bukan Nona."

"Nama yang terlalu indah untuk seorang wanita yang egois sekali." Mahendra menatapnya dalam. "Kamu lebih tahu jalan turunnya. Apa ada berlian yang kamu ingin selamatkan dulu? Silahkan?" Tubuh Mahendra bergeser sedikit ke samping mempersilahkannya untuk pergi dari balkon dan mulai turun ke bawah.

Mereka sudah bisa mendengar sayup-sayup suara mobil pemadam kebakaran. Sebentar lagi tim DAMKAR akan naik.

"Kenapa..." Air matanya menetes lagi. Dadanya sesak mengetahui laki-laki yang dia suka malah ternyata menganggapnya buruk sekali. "...semua orang selalu menyakiti saya?"

"Selalu mulai dengan dirimu sendiri. Apa kamu sering menyakiti orang lain?" Mahendra menatapnya dalam. "Saya permisi."

"Mahen..." Dia berusaha menahan Mahendra yang masih terus berjalan menuju pintu keluar. "Hen, ini mungkin kedengarannya aneh. Tapi saya ingin kamu. Saya nggak ingin yang lain."

Langkah Mahendra tambah cepat menuju tangga darurat ke lantai atas. Tubuh Mahendra menghilang dibalik pintu. Sebelum dia sempat menyusul, engsel pintu ditembak dari arah dalam hingga lepas. Jadi dia tidak bisa membuka dan menyusul Mahendra. Tangisnya makin terisak, tapi dia hanya bisa jatuh duduk di lantai. Lagi-lagi, sendirian.

***

Herman sudah selamat dan pergi dari area atap gedung, sementara Aryo memutuskan untuk tinggal bersama Doni dan beberapa tim yang lain. Karena tim ADS yang berseragam hitam-hitam tanpa pengenal sudah mulai menyerang mereka. Kenapa dia tinggal? Alasan yang benar-benar konyol dan gila. Karena dia rindu Fayadisa. Dia ingin menatap wajahnya.

Semua penyerang mengenakan topi dan masker hitam. Wajah mereka tertutup tapi dia sendiri bisa menandai Niko Pratama dan Arsyad. Dimana gadisnya itu? Doni masih sibuk dengan Niko sementara dia berdiri berhadapan dengan Arsyad.

"Kenapa lo masih di sini?" tanya Arsyad sambil menatapnya tajam. Penutup wajah Arsyad sudah dibuka. Memperlihatkan tatapan murka dengan garis luka panjang pada wajahnya.

"Mana Faya? Gue cuma pingin lihat dia." Kekehnya konyol.

Dengan cepat Arsyad membidikkan senjata dan menarik pelatuknya. Gerakannya sendiri sama cepat. Tubuhnya bergerak ke samping untuk menghindari peluru dan menembak Arsyad juga. Mereka saling menembak sekalipun belum ada satupun peluru yang bisa melukai mereka. Karena tubuh mereka dilindungi dengan pakaian khusus anti peluru, juga karena ketika satu peluru itu mengarah ke wajah, salah satu dari mereka pasti sudah menembakkan peluru lain untuk melumpuhkan satu peluru itu. Ya, penguasaan senjata mereka berdua sempurna.

Jarak keduanya makin dekat hingga dia lebih dulu membuang senjata. Arsyad pun meladeni dan bersiap untuk menghantam. Pertarungan sengit itu seimbang. Sama cepat, sama lihai. Seolah keduanya sedang bersenang-senang. Selama beberapa saat sedikitnya dia menikmati ini. Memiliki lawan tarung yang tangguh adalah suatu keistimewaan sendiri. Sampai, sosok itu muncul. Gadis yang dia rindu.

Timnya sudah dia perintahkan untuk tidak melukai Faya. Dia masih sakit hati untuk tahu hati gadis itu sendiri bukan untuknya. Sungguh dia pernah tergoda untuk membunuh Faya saja, hingga tidak ada satu orangpun yang memiliki Faya. Sialnya bagaimanapun sakit yang dia derita, dia belum mampu melaksanakan keinginan gila itu.

Pertarungan makin sengit karena Hanif datang. Dia tersenyum gembira. Laki-laki itu yang dia cari, bukan yang lainnya. Tapi Arsyad bahkan makin beringas, dia tidak bisa lepas begitu saja. Dan tiba-tiba keinginannya terkabul. Hanif Daud berlari ke arah mereka, lalu berdiri bersisian dengan Arsyad.

"Oh, ayolah. Kalian pikir gue nggak bisa kalahin kalian berdua."

Dua bersaudara itu maju dan menyerang. Oke, mereka berdua bersama ternyata lebih kuat daripada dugaannya. Gerakan Hanif dan Arsyad selaras, saling melengkapi hingga dia sedikit kewalahan juga. Doni yang melihat berinisiatif membantu. Dia mundur sedikit menjauh setelah tendangan Arsyad terakhir, dan Doni melemparkan senjata ke arahnya.

This is it. He will die tonight.

Dia berlari untuk mengambil senjata itu. Arsyad sudah mulai menembaki dia. Satu dua peluru bersarang di tubuhnya sekalipun tidak bisa menembus pakaian khusus yang dia kenakan. Tubuhnya sedikit bergeser karena momentum tembakan Arsyad, tapi senjata itu sudah di tangannya. Dengan cepat dia menembakkan peluru ke Hanif. Dan tanpa dia duga, Faya berlari dan membentengi tubuh Hanif dengan tubuhnya sendiri. Seumur hidup dia tidak pernah menyesal untuk menarik pelatuk, tapi kali ini rasa sesal dan cemas langsung membanjiri cepat.

Tubuh Faya sudah ditangkap Hanif yang wajahnya juga sama pucat. Dia tidak pernah meleset, tidak pernah. Matanya membelalak ngeri, apa dia benar-benar sudah membunuh gadis yang dia cinta dengan tangannya sendiri. Manusia macam apa dia?

Sebelum dia bisa berlari ke arah Faya, Doni menariknya pergi karena heli sudah kembali datang menjemput. Tali-tali dari heli menjulur panjang. Arsyad membidik kepalanya tapi satu dua timnya yang tinggal di bawah menghalangi. Tubuhnya sendiri sudah menggelantung dibawa pergi. Sementara matanya tetap tinggal, hatinya tetap di sana. Berdenyut nyeri melihat gadis yang dia cinta terbaring di atas atap gedung karena ulahnya sendiri.

What did I do?

***

Sementara di tempat yang lain.

Mama dan papa tidak pernah terlihat begitu marah dan kecewa. Mereka sudah berada di ruang perawatan sederhana berukuran sedang yang tersedia di lantai bawah apartemen. Lidya sudah berdiri di sampingnya menyampirkan selimut pada tubuhnya yang sedikit basah karena air dari pemadam api di dapur apartemen tadi.

"Bilang satu kali lagi, apa yang tadi kamu ucapkan." Suara mama bergetar penuh emosi.

Tekadnya sudah bulat. Jalan dihadapannya memang tidak menentu, tidak pasti. Tapi dia ingin mencoba dan berusaha. Seperti dulu ketika dia bisa meraih karirnya.

"Saya tidak ingin menikahi William. Saya akan batalkan segalanya."

"Kamu gila, Alexa?! Ini memalukan. Anak tidak tahu diri. Rubah keputusanmu dan jangan pernah mengucapkan hal itu pada William." Mamanya sudah menjerit sementara papa bertolak pinggang.

William memang masih dimintai keterangan oleh petugas di luar, jadi dia belum tahu perihal ini.

"Apa kamu yang memulai api?" tanya papa.

Dia mengangguk singkat.

"Dia persis seperti kamu. Impulsif, selalu bertindak sesuka hati." Mama menatap papa marah.

"Oh ya? Gadis ini anakmu. Terkadang dia sama gilanya seperti kamu."

Drama keluarga Walton dimulai. Mereka berdua akan saling membalas kata, memaki, mencaci, saling menyalahkan. Luar biasa.

Lidya berbisik di telinganya. "Lo mabok ya? Lo nggak serius kan, Lexa?"

Oh, dia benci dengan semua ini. Dia muak sekali. Seluruh orang di ruangan tidak ada yang benar-benar perduli. Mama dan papa berhenti ketika William masuk ke dalam ruangan.

"Dimana Mama dan Papamu, Wil?" tanyanya perlahan.

"Sudah aku minta untuk pergi ke MG Hospital."

Dia mengangguk setuju.

"Kamu juga harus ke sana, Lexa. Aku antar," ujar William lagi.

Mama dan papa menatapnya penuh ancaman.

"Nggak perlu, William." Dia melepas cincin berlian itu dari jarinya. "Wil, maafkan saya. Tapi saya batalkan semua. Ini untuk kamu juga. Agar kita berdua bisa berhenti berpura-pura bahagia. Berpura-pura Itu melelahkan, Wil."

"Alexa, jangan bercanda. Ini sangat tidak lucu." Wajah William memerah.

"Aku sangat serius."

"Alexa sepertinya butuh istirahat, Wil. Biarkan dia beristirahat dulu." Mama sudah mulai tersenyum dan mengalihkan. Tangan mamanya sudah mendorong halus punggungnya.

Ini benar-benar terasa tidak tertahankan. Luapan perasaan sedih, sendiri, sepi, yang sudah menggerogoti jiwanya bertahun-tahun seperti meledak saja.

"Cukup!! Sudah cukup!!" teriaknya. "Aku yang memulai api. Kenapa? Karena aku ingin tahu, siapa dari kalian yang benar-benar punya rasa kemanusiaan. Aku tidak minta kalian cintai, sudah tidak lagi! Tapi sebagai sesama manusia, harusnya kalian mencari aku." Air matanya sudah jatuh satu-satu.

Herannya dia malah terkekeh sebelum melanjutkan. "Kamu langsung turun, Wil. Oh salah, kamu sempat bilang pada asisten pribadimu untuk menyelamatkan lukisan-lukisan mahal itu." Dia tertawa, sambil menangis.

"Dan kalian, seperti biasa, kalian tidak pernah ada." Matanya menatap kedua orangtuanya, kecewa.

"Alexandra, sudah hentikan omong kosong ini!" teriak papa.

"Ya, kalian hanya saling berteriak. Sejak aku kecil dulu. Tapi siapa yang memeriksa apa aku terluka Pa? Nanny ku sudah meninggal dunia. Hanya dia satu-satunya yang perduli padaku. Bukan kalian, tidak pernah kalian."

Air mata itu dia hapus cepat. Dagunya dia angkat. "Ini hidup saya. Saya yang menentukan." Kepalanya menoleh lagi ke William. "Saya akan ganti seluruh kerugian kamu, Wil. Sekali lagi, maafkan saya."

Kemudian dia melangkah pergi sambil memberikan cincin pertunangannya pada tangan William, Lidya menyusul di belakang.

Di dalam mobil Lidya, asistennya itu menatapnya dari samping sambil menghirup nafas panjang.

"I really need to drink," ujar Lidya.

Dia menangguk setuju, kemudian terkekeh sambil menahan isak tangisnya lagi. Mobil Lidya melaju cepat, meninggalkan semua bagian dirinya yang lama di belakang. Dia tidak ingin menoleh lagi, dan tidak ingin kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro