Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. On Fire

Keluarga Alexa sudah datang sejak dua hari lalu. Papa dan mamanya. Sikap Papa selalu hangat, tapi juga selalu tidak berdaya dihadapan mama. Sedangkan mama? Oh, jika dia bisa meminta, dia ingin menukar dengan mama lainnya saja. Bagaimana tidak, seumur hidupnya dia selalu dinilai dan dibandingkan. Penampilan fisiknya dicermati, kemampuan berbahasa, etika dan juga nilai-nilai di sekolah. Saat salah satu dari hal itu tidak sesuai dengan ekspektasi mama, wanita itu akan mulai membandingkannya dengan anak dari teman-teman mama yang lain, atau teman-temannya sendiri.

Tubuhnya bahkan diperiksa dengan seksama setiap hari oleh mama, atau asistennya. Tidak boleh ada luka atau lecet sedikitpun. Sikapnya harus sempurna setiap saat, postur dan berat tubuhnya harus ideal, aksen perancisnya harus sangat baik, dan daftar panjang kriteria anak sempurna di mata mama lainnya dia harus penuhi. Melelahkan.

Tapi dibalik itu, dia selalu mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan yang tersulit, atau termahal. Mama dan papa akan memberikan segalanya yang dia minta. Kecuali karir modelling yang saat ini dia geluti. Mama mempersiapkannya untuk menjadi aktris, atau perancang busana, atau calon istri dari pebisnis sukses, politisi juga boleh. Atau yang paling gampang meneruskan usaha keluarganya. Bukan menjadi model yang jam kerjanya tidak menentu dan bayarannya sangat kecil. Ya, itu harus dia akui kebenarannya. Tapi setelah dia terkenal, pundi-pundi itu mengalir begitu saja. Penghasilan bersihnya satu bulan itu sama dengan laba dua butik mamanya yang terbesar dalam bulan yang sama. Jadi akhirnya mama bungkam.

Entah kenapa, sejak pertemuannya dengan Mahendra Daud pada insiden di butik Sabiya, dia mulai memikirkan hal-hal yang tidak pernah dia pikirkan sungguh-sungguh selama ini. Misal, kenapa ada orang yang mau susah payah melindungi orang lain yang tidak mereka kenal dengan baik. Dalam hidupnya, hal itu jarang sekali terjadi, tidak pernah bahkan. Tidak ada satu pun orang terdekatnya mau untuk mengorbankan hidup mereka untuk dirinya.

Dulu, ketika dia kecil dan sedang bermain di dalam kamar, gempa berskala kecil terjadi. Yang mamanya lakukan adalah lari lebih dulu keluar dari rumah. Dia hanya bisa meringkuk dan menangis di bawah tempat tidur karena takut. Sampai petugas pemadam kebakaran datang karena mamanya yang panik memanggil mereka. Atau saat dengan tidak sengaja dia bermain api dan membuat kebakaran kecil di dapur, mama dan papa sibuk dengan pertengkaran mereka tentang salah siapa, dibandingkan mengecek jarinya yang sedikit terbakar.

Dunia modelling yang dia geluti juga sangat kejam. Dalam hitungan jam, teman bisa menjadi musuh dan saling memangsa hanya karena satu pekerjaan saja. Jadi, apa yang Mahendra dan Sabiya lakukan untuknya, itu benar-benar mengusik segala yang dia tahu dan rasa selama ini.

Juga cinta. Tentang bagaimana dadanya bernyanyi, terasa hangat, juga merasa terlindungi ketika Mahendra berada di dekatnya. Dia tidak pernah merasakan itu, sama sekali. Bahkan ketika dia jatuh cinta pada Jason, sang calon senator, debaran itu ada, juga nafsu yang menggebu. Tapi bahkan Jason tidak bisa memberinya perasaan aman dan nyaman. Apalagi ketika perselingkuhan mereka terbongkar, Jason menyangkal semua yang terjadi dan membuangnya begitu saja. Padahal saat awal Jason-lah yang mengejarnya membabi-buta. Meyakinkan bahwa ada masa depan untuk hubungan mereka. Hingga dia jatuh pada pesona Jason. Dia bodoh, sangat bodoh.

Lalu William. Dia sudah pernah bertanya, William tidak berbohong dengan mengatakan bahwa saat ini semua hubungan mereka adalah atas dasar perjodohan dan itikad baik dari William untuk menyelamatkan wajahnya dari skandal sebelumnya. Alasan yang aneh, tapi dunianya memang aneh. Hanya ada kepalsuan, keserakahan, dan saling menjatuhkan. You killed, or you get killed.

Malam ini dia menatap dirinya di cermin. Sempurna, seperti biasa. Tubuh indah yang dibalut dengan gaun rancangan desainer dunia, sepatu heels terbaik dengan permata, perhiasan mewah, make up yang menawan dan rambut yang setiap helainya dirawat dengan baik. Kulitnya bahkan sedikit kecoklatan dan memancarkan wangi lembut yang mewah. Tapi, ada perbedaan yang jelas bisa terlihat oleh dirinya sendiri. Matanya memancarkan kehampaan. Seperti berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya. Untuk pertama kalinya dia sadar, dia tidak bahagia. Sama sekali tidak pernah benar-benar bahagia.

Bibirnya dia tarik ke atas, tapi senyumnya kali ini terasa sangat palsu. Itu malahan membuatnya ingin menangis. Pintu kamarnya diketuk. Mama dan William masuk.

"Oh, Sayang. Kamu luar biasa. Bukan begitu, Will?" Mama menoleh pada William.

"Selalu, Alexa selalu sempurna."

Hatinya tambah nyeri saat mereka berdua menatapnya seolah dia hanya boneka. Sebagai hiasan hidup mereka agar lebih sempurna. Apa mereka tidak sadar kalau biru pada matanya meredup?

"Ayo Sayang, tamu-tamu sudah menunggu." William mengulurkan tangannya.

Ya, dia sudah siap untuk dipamerkan ke seluruh dunia. Kakinya melangkah perlahan. Pikirannya terpisah dari raga. Seolah melihat dirinya sendiri tersenyum palsu dan menyapa para tamu di sebelah William. Pesta diadakan di apartemen penthouse premium milik William yang nanti akan mereka berdua tempati. Dia menyapa ramah, tersenyum kecil, dan berusaha mengingat nama dan profesi para tamu. Mencoba mengabaikan kekosongan hati yang saat ini mulai menggerogoti.

***

Mareno menatap ke sekeliling tempat mewah ini. William Wongso tidak main-main, mengadakan pesta tertutup dan mengundang seluruh relasinya. Matanya memindai dan segera tahu orang-orang ADS yang menyamar di sana untuk melindungi Bayu Tielman dan mendapatkan informasi.

Herman belum terlihat, namun harusnya pamannya itu datang. Audra Daud hari ini terlihat anggun sekali. Datang sendiri tanpa pasangan, Audra memang tidak perlu dipasangkan oleh siapapun. Aura wanita itu kuat, percaya diri.

"Halo, sepupu." Audra mencium pipinya sejenak.

"Sissy, kontrol emosimu malam ini, oke? Paman kita akan datang," bisiknya di telinga Audra.

"Hey, aku baik." Audra terkekeh sopan sambil balas membisiki telinganya. "Aku akan meracuni paman kita tersayang perlahan. Benar-benar perlahan."

"Sissy, ayolah." Dia tersenyum kecil sambil menatap Audra konyol. Tania sudah kembali ke sisinya.

"Halo, Nyonya Mareno Daud. Bagaimana rasanya memiliki suami seorang Don Juan?" tanya Audra berkelakar.

"Oh, Audra. Rasanya hebat, sangat hebat." Tania membalas kemudian dua wanita itu tertawa kecil.

Gelas didentingkan dari podium simple nan mewah di tengah ruangan. William Wongso berdehem sejenak lalu menatap orangtuanya di pinggir ruangan sambil tersenyum. Lalu seperti yang mereka sudah duga, William mulai memberi tahu maksud diadakannya pesta ini. Pengumuman pernikahannya dengan Alexandra Walton, yang malam ini terlihat bersinar seperti bintang.

"Wow, dia seperti bidadari ya. Biru pada matanya bahkan terlihat dari sini." Tania menatap sosok Alexa dengan kekaguman yang tidak ditutupi.

"Aku sudah punya satu, dan yang terbaik." Dia berbisik mesra di telinga istrinya, sambil menggenggam tangan Tania erat.

Wajah Tania bersemu merah dan sedikit menunduk. Oh, tugas ini benar-benar menyebalkan. Karena saat ini yang dia inginkan adalah menarik Tania ke salah satu kamar mandi dan melampiaskannya di sana.

Setelah itu mereka tertawa karena Harold Walton sedikit memberikan humor satir. Lalu gelas-gelas diangkat dan mereka melakukan toast dan bertepuk tangan. Tidak lama, Herman datang dengan Aryo Kusuma di belakangnya. Tubuhnya otomatis menegang dan tanpa sadar dia menggenggam tangan Tania lebih erat.

"Ren, kenapa?" Tania menatapnya tidak mengerti.

Wajah istrinya melihat ke arah dia melihat, kemudian langsung bisa membaca situasi. "Apa itu Aryo Kusuma?"

Matanya tidak bisa lepas begitu saja dari sosok Aryo. Kemudian dia berbisik pada Tania. "Aku harus bekerja, Sayang. Selalu berada di dekat Ayahmu. Kami pasang banyak perlindungan di sini. Kalian akan aman."

Tania mengangguk mengerti dan segera berjalan mendekati ayahnya. Satu tangan Mareno memijit micro-earphone pada telinga. "Biru, Putih, rubah sudah datang." Biru adalah kode Mahendra dan putih adalah kode Hanif.

"Merah, Biru tidak dalam jangkauan. Erick, tolong cek dimana Biru," suara Hanif di sana. "Gue hubungi Kelinci dan cek. Coklat dan HItam berada di perimeter luar gedung itu. Tapi Biru tidak terlihat."

Mareno memindai ke sekelilingnya. Apa mungkin Mahendra ada di sini?

"Hitam di sini. Misi berubah. Tangkap Aryo, hidup atau mati." Suara Arsyad kali ini.

"Oh, Ya Tuhan. Kalian serius? Tania dan Bayu Tielman ada di sini," bisiknya.

"Keluarkan mereka. Cari alasan," ujar Arsyad. "Coklat, siapkan tim. Hubungi Kelinci kecil agar bersiap-siap."

"Saya menuju ke sana," suara Hanif.

Lagi-lagi dia mencermati seluruh ruangan, mencoba mencari keberadaan Mahendra. Bisa jadi Mahendra tahu lebih dulu tentang kedatangan Aryo karena memang selama ini dia yang selalu bertugas sebagai pengintai misi-misi mereka. Jadi dia menyelinap ke pesta ini. Dan dia sangat tahu Mahendra sangat emosi. Penilaiannya sedang tidak benar dan itu bisa membahayakan dirinya sendiri.

Apa ciri-ciri Mahendra, Ren? Apa? Pikir.

Otaknya berputar berusaha mengingat apa ciri-ciri khusus adiknya. Selama ini Hanif yang ahli perihal membaca gesture tubuh, bukan dia. Oh, shit. Dia mengatur posturnya dan bergerak perlahan berusaha tidak mencurigakan. Jam digital di dalam sakunya bergetar. Paham benar instruksi baru sudah disebar ke tim lapangan. Ini bisa jadi buruk, sangat buruk.

"Malam, Reno. Kamu sehat?" Dia berhadapan dengan Herman yang sedang tersenyum dan menawarkan jabatan tangan. Matanya menatap Aryo yang berdiri tidak jauh dari Herman dan sedang menyeringai sambil menatapnya.

Uluran tangan Herman dia sambut singkat. "Baik, Paman. Apa kabarmu?" Senyum kecilnya terkembang. Dia selalu mahir perihal ini.

"Kemana istrimu?" Kepala Herman mencari dan menemukan Tania sedang mengobrol hangat dengan beberapa tamu dan juga ayahnya. "Ah, itu dia. Sangat berkelas dan pintar."

"Yang terbaik untuk yang terbaik," sahut Mareno sambil sedikit memiringkan kepala angkuh.

Herman tertawa. "Ya, ya, ya. Tapi Alexandra malam ini luar biasa. Bukan begitu?"

"Hati-hati, Paman. Jangan sampai William dengar. Dia bukan seorang yang pemaaf, seperti saya."

Lagi-lagi Herman tertawa. "Anak muda jaman sekarang. Penuh ambisi dan hawa nafsu."

"Saya pikir itu juga berlaku untuk hampir seluruh tamu di sini. Ambisi dan nafsu. Bukan begitu, Paman?" Mareno tersenyum kecil lagi.

Kepala Herman mendekat padanya dan berbisik. "Selalu ada alasan, pada setiap tindakan." Kemudian Herman tertawa sambil berlalu dari situ.

Tubuhnya berada dekat sekali dengan Aryo yang ikut berjalan di belakang Herman.

"Bagaimana kabar si cantik Sabiya?" tanya Aryo sambil tersenyum kecil.

Tangan Mareno terkepal keras di dalam saku celana, tapi wajahnya tersenyum lebar. Kepalanya menatap Aryo sesaat. "Sabiya baik-baik. Sedang menyiapkan gaun pernikahan cantik untuk Fayadisa. Apa kamu mau saya beritahu kemana mereka berdua akan menghabiskan bulan madu panjang?" Alisnya dia angkat sedikit. "Rahasia." Kemudian dia tertawa kecil yang menyebalkan.

Rahang wajah Aryo mengeras. "Salam buat Hanif."

"Saya akan sampaikan. Empat melawan satu selalu terlalu banyak." Tangan Mareno menepuk pundak Aryo dua kali. "Semoga beruntung." Kemudian dia berlalu.

"I got him," bisiknya singkat pada earphone ketika dia sudah menjauh dan masih mencari Mahendra. Maksudnya adalah dia sudah berhasil memasang basic tracker device yang kecil sekali pada kerah kemeja Aryo tadi. Semoga laki-laki itu tidak menyadarinya.

"Good job, Merah. Sekarang cari biru. Erick bilang biru menyamar dan masuk ke dalam sana. Amankan Tielman, dan temukan biru segera," perintah Arsyad.

"Got it."

***

"Selamat Alexa. Kamu luar biasa malam ini."

"Wow, haute couture dress. Salah satu masterpiece dari Giambattista Valli. Aku dengar ini dibuat khusus untukmu?"

"Ya Tuhan, warna matamu. Kamu sungguh beruntung, Alexa."

Puluhan pujian dia terima malam ini. Carrolina Wongso bahkan tidak segan-segan memperkenalkannya dengan bangga pada beberapa kolega. Dulu, dia akan senang sekali dengan situasi ini. Memiliki calon suami tampan dan datang dari keluarga terpandang, fisik yang sempurna, dan karir yang hampir dipastikan akan cerah.

Tapi, setiap pujian itu datang dan senyum-senyum untuknya terkembang, dia tambah merasa sesak. Dia pajangan sempurna, cantik namun tidak diberi jiwa, pintar tapi tidak pernah didengarkan, mendamba tapi tidak tahu siapa yang bisa memberinya cinta. Dia menyedihkan, ini menyedihkan.

Kemudian dia pamit sopan pada William untuk pergi ke toilet. Dia memilih toilet pada kamar utama miliknya dan mengunci pintu itu. Tubuhnya duduk di atas toilet dan dia mulai menangis. Dia tidak ingin ini semua lagi. Tapi lalu apa? Apa yang dia inginkan? Dia tidak tahu dan tidak punya jawabannya.

Jadi bagaimana Alexa? Bagaimana? Kamu harus memutuskan sekarang. Terjebak pada dunia yang kamu tidak suka, namun dunia itu adalah satu-satunya yang kamu tahu. Atau, keluar dari zona nyamanmu. Menantang takdir di luar sana.

Pikirannya terus berputar. Tangisnya sudah mereda. Dulu, dia pernah pada posisi ini ketika tawaran dan agency model pertama dia terima tanpa sepengetahuan mamanya. Dan jalan yang dia ambil adalah jalan yang sulit. Tapi lihat dia sekarang. Dia sukses, berhasil. Pada bidang pekerjaan yang dia suka. Entah seberapa kejamnya dunia modelling yang dia geluti, dia tetap sudah jatuh cinta dengan segala ritmenya.

Saat ini, dua pintu tersedia dihadapannya. Kali ini lebih berat karena ini akan menyeret seluruh keluarganya. Pintu pertama adalah dia tetap ada di sini, menikah bersama William dan menjadi wanita yang tidak bahagia. Atau pintu kedua, yang dibaliknya banyak ketidakpastian dan besar kemungkinan dia terluka, atau bahkan gagal. Kepalanya dia gelengkan perlahan, lalu dia menghirup nafas dalam. Pintu manapun yang dia pilih, selalu tidak ada jalan kembali.

Entah mendapatkan kekuatan darimana, dia mulai berdiri dan membetulkan riasannya sejenak. Seorang wanita yang akan berbuat sesuatu yang gila, juga harus terlihat sempurna.

***

Mahendra menatap titik merah pada tablet di genggaman. Dia berada di kamar mandi kecil di area dapur. Mareno sudah memasang alatnya. Semua pembicaraan saudara-saudaranya bisa dia dengar. Namun, mereka tidak bisa melacaknya. Malam ini dia akan menghabisi Aryo. Dengan atau tanpa saudaranya. Jadi, semua tidak boleh meleset.

Matanya mencermati kamera CCTV utama yang berada di tengah ruangan, pusat acara berlangsung. Aryo berada tidak jauh dari Herman. Ya, karena Herman tahu Arsyad akan menurunkan orang-orang ADS untuk melindungi Bayu Tielman. Laki-laki bajingan itu tidak menyentuh sama sekali kudapan. Tapi, seorang Aryo Kusuma tidak pernah menolak segelas anggur kualitas terbaik yang memang disediakan oleh William Wongso. Karena dia melihat mata Aryo tidak lepas dari gelas-gelas anggur yang sedari tadi lalu lalang di dekatnya. Lalu dia tersenyum. Tahu persis apa yang harus dia lakukan.

Tangannya sudah sibuk mengetik pada keyboard lipat elastik yang tersambung pada tabletnya. Dia akan memberikan perintah palsu pada tim ADS yang sedang menyamar menjadi pelayan dan memang bertugas menyediakan minuman.

Botol kaca kecil, di rak ketiga sebelah kanan seberang lemari pendingin. Campurkan pada anggur-anggur dan pastikan sampai pada target.

Tim ADS akan membaca perintah itu pada jam tangan mereka dan mereka akan mengira itu perintah Arsyad. Setelah itu, dia akan menunggu laki-laki bajingan itu sendiri akan datang padanya di tempat yang dia mau. Kemudian dia berjanji, dia tidak akan berbicara apapun dan langsung menembak Aryo di tempat saja. Sempurna.

Bilik toiletnya diketuk. Dia memijit tombol flush dan menyembunyikan tablet kecil itu di balik baju pelayan yang dia kenakan. Wajahnya sudah ditutupi penyamaran, mereka tidak akan tahu.

"Gantian dong." Salah satu laki-laki segera masuk ketika dia keluar dari bilik toilet.

Kemudian dia mengawasi dengan seksama. Pelayan ADS sudah mengambil apa yang dia minta. Obat itu sudah dicampurkan diam-diam pada empat gelas anggur. Lalu si pelayan wanita itu berjalan melenggang santai menuju Herman dan Aryo. Si pelayan sengaja merendahkan nampan yang dia bawa hingga tamu lain tidak mengambil gelas-gelas anggurnya. Tapi ketika dekat dengan sosok Aryo dan Herman, nampan mulai dia naikkan. Beberapa kali dia sedikit berputar perlahan sekali, untuk menarik minat Aryo pada apa yang dia bawa.

Dan ya, bravo. Nice move. Dia akan cek siapa petugas lapangan wanita itu nanti. Karena sungguh si pelayan seperti benar-benar tahu apa yang dia lakukan.

Sementara agar tidak menimbulan kecurigaan karena dia berdiri mematung di area dapur bersih, dia juga mulai bergerak. Sambil mengawasi Aryo yang sudah menggenggam gelas anggurnya. Gelas itu sudah Aryo angkat, bibirnya sedikit tersenyum karena Herman sedang berkelakar dengan salah satu kolega. Pinggiran gelas sudah menyentuh bibir, sebelum cairan berwarna merah darah itu menyentuh bibir Aryo, alarm di apartemen mewah William Wongso berbunyi. Kebakaran.

***

Nah, seru lagi nih. Siap-siap jantungnya part berikutnya ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro