7. The Blue Box
Tubuh Hanif berlari kecil setelah memarkirkan mobil di pinggir lapangan sepakbola. Anak-anak tim sepakbola masih bermain di lapangan, sementara pelatih mereka menghampirinya.
"Bang Hanif."
"Assalamualaikum, sore Pak." Dia tersenyum sambil menjabat tangan laki-laki separuh baya itu.
"Wa'alaikumsalam. Gimana kabar Mama-nya Damar?" tanya Bapak pelatih.
"Oh, akan membaik." Yang mereka tahu Sabiya kecelakaan mobil ketika berkendara. Tidak ada yang tahu sebenarnya. "Damar gimana, Pak?"
Sang pelatih menolehkan kepala ke kursi penonton. Damar duduk di sana menatap teman-temannya bermain, terlihat tidak bernafsu.
"Dia butuh sedikit suntikan semangat. Konsentrasinya buyar."
Hanif mengangguk mengerti. "Saya bisa jemput sekarang saja? Saya akan bicara dengan dia di jalan."
Tangan si pelatih menepuk pundak Hanif sambil mengangguk. "Saya turut prihatin dengan kecelakaan itu. Saya harap Ibu Sabiya baik-baik saja dan segera bangun."
"Kondisi Sabiya baik, operasinya sukses Pak. Mohon doanya saja."
"Oke, silahkan jika Damar mau pulang. Saya teruskan dulu." Si pelatih kembali mengawasi jalannya latihan dari pinggir lapangan, menjauh darinya.
Sementara Damar yang sudah melihat kedatangannya segera mengambil ransel dan berjalan ke arahnya. Mereka berdua berjalan beriringan dalam diam ke mobil.
Di dalam mobil.
"Ini mobil Om Mahen. Anti peluru. Kalian selalu jemput aku pakai mobil ini sekarang. Pasti Mama nggak kecelakaan kan?" ujar Damar sambil duduk di kursi depan sebelah Hanif dan memasang seatbelt.
"Keren nggak mobilnya? Kayaknya Ayah juga mau punya satu." Dia menyahut ringan sambil menjalankan mobil.
"Nggak, nggak keren. Aku suka mobil jeep Ayah. Atau mobil besar Om Arsyad."
"Lihat lagi Mar, mobil ini mewah banget dalamnya. Masa nggak suka?"
"Aku nggak suka karena kalau aku dijemput dengan mobil ini, rasanya ada yang salah. Wajah mereka panik, seperti takut, seperti mau ulangan matematika. Aku nggak suka mobil ini." Ekspresi Damar masih murung.
Kepalanya menengok sebentar ke Damar. "Damar, kamu sudah besar. Kamu harus bisa beradaptasi, dan belajar untuk bisa menerima hal-hal yang tidak gampang."
"Terus, kenapa Ayah bohongi aku? Kalian semua berbohong."
"Ada hal-hal yang kamu saat ini belum bisa tahu. Nanti, kalau sudah lebih besar." Dia tersenyum sambil menepuk puncak kepala Damar.
"Apa kalian juga bohong soal kondisi Mama? Itu Mama-ku. Bukan hanya kalian yang sayang dia."
"Hey-hey." Sejenak dia meminggirkan mobil. Nafasnya dia hirup panjang lalu dia menatap Damar yang matanya juga sudah berkaca-kaca.
"Wajah Tante Tania aneh banget kalau aku tanya soal Mama. Dia tersenyum, tapi seperti sedih. Om Mareno selalu tersenyum. Kalian terlalu sering tersenyum. Jadi itu aneh. Apa Mamaku baik-baik saja? Aku percaya dengan kamu, Ayah. Kamu nggak pernah bohong."
"Apa kami pernah meninggalkan kalian selama ini?" tanyanya perlahan.
Damar menggeleng.
"Apa Ayah selama ini nggak pernah menjaga kalian dengan baik?"
Damar menggeleng lagi.
"Mama memang tidak mengalami kecelakaan mobil. Tapi ada orang yang sangat jahat yang ingin celakakan Mama, juga Ayah, juga semua Om."
"Tante Tania dan Tante Faya juga?"
"Semuanya. Orang ini jahat dan usil sekali. Karena itu, kami sedang berusaha menangkap orang jahat itu."
"Jadi, apa Mama baik-baik saja?"
"Mama akan bangun, Damar. Om Mahendra sudah buatkan obat khusus buat Mama. Kamu tahu Om Mahen sangat pintar kan?"
Damar mengangguk.
"Sekarang, tugas Damar adalah bersekolah yang baik, solat tepat waktu, berdoa sama Allah minta agar Mama cepat bangun. Ayah juga rindu Mama. Semua kepingin Mama bangun. Bukan cuma kamu. Tapi kami nggak diam dan merengek saja, Damar. Karena kami laki-laki dewasa." Matanya menatap Damar sayang. "Apa kamu mau jadi dewasa?"
Damar mengangguk kuat, satu dua air mata sudah jatuh di pipinya.
"Laki-laki dewasa hanya menangis ketika berdoa, Damar." Dua tangannya merengkuh Damar kuat. Memeluknya hangat.
Mata Damar terpejam erat, berusaha mengalihkan tangisnya. Pelukan ayah Hanif selalu menenangkan, memberi kekuatan.
Hanif menyudahi pelukannya itu. Menatap lembut Damar yang sedang menghapus sisa air matanya sendiri.
"Apa nanti kalian akan ajarkan aku bagaimana cara melindungi Mama?"
Dia tersenyum. "Kamu mau?"
Damar mengangguk lagi.
"Oke. Tapi itu akan berat Damar. Butuh disiplin tinggi." Dia mulai melajukan mobilnya lagi. "Ayah dengar, kamu masih tidak mau membereskan pakaian dan mainanmu sendiri. Laki-laki dewasa tidak berperilaku seperti itu."
Damar diam sejenak. "Aku akan bereskan."
"Nilai bahasa Indonesiamu buruk."
Anak itu berdecak kesal. "Ah, Ayah seperti Mama."
"Damar, bagaimana kamu bisa melindungi Mama, kalau kamu tidak bisa membereskan hal-hal yang kecil?"
"Oke, oke. Apalagi?"
"Ayah dan semua Om, sudah bisa memasak ketika kami seumur kamu."
"Ayaaah...masak? Itu tugas cewek. Cowok tidak memasak," keluh Damar.
Dia tertawa. "Kamu yakin? Jadi apa hanya cewek aja yang butuh makan? Makan dan minum kebutuhan dasar, karena itu harusnya cewek dan cowok bisa memasak. Untuk memberi makan diri mereka sendiri."
"Ayah selalu lebih jago ngeles."
"Hey, itu fakta. Silahkan browsing nama-nama chef yang mendunia dan selalu mendapatkan Michelin Star. Gordon Ramsay, Anthony Bourdain, Thomas Keller, mereka mayoritas laki-laki."
"Aaahhh...oke oke. Memasak. Ini menyebalkan sekali."
"Mau tahu apa selanjutnya?" Dia mengerling jahil.
"Noooo..."
Tawanya lepas begitu saja, melihat ekspresi Damar yang kesal namun sudah lebih baik daripada sebelumnya.
***
Sementara itu di tempat Mareno dan Tania.
"Aku kangen sama Damar." Tania menatap kursi meja makan yang biasa ditempati oleh Damar dari tempat dia memasak makan malam.
"Aku kangen sama kamu." Mareno barus selesai mandi dan menghampiri Tania yang sedang masak.
Dia sendiri sudah mandi ketika mereka tiba di apartemen tadi. Dua tangan Mareno sudah merengkuh tubuhnya yang sedang berdiri di depan kompor. Kepala suaminya tersuruk ke ceruk di antara lehernya.
"Ren, aku lagi masak. Kamu nggak lapar?"
"Lapar yang lain."
"Marenooo, ini nggak selesai-selesai nanti." Kepala Tania menoleh menatap Mareno sejenak kemudian mencium pipinya singkat.
"Kamu sengaja masak pasta ya? Biar lama masaknya." Mareno melepaskan pelukannya dengan berat hati.
"Aku pikir Damar makan malam di sini. Dia suka pasta." Dia mencicipi saus Bolognese yang dia buat.
"Oh, aku nggak suka kamu sebut Damar terus."
Matanya melirik kemudian tertawa. "Ren, kamu cemburu sama Damar?"
"Ya nggak lah. Aku cuma merasa kamu lebih perhatian sama Damar, daripada aku."
Senyum kecilnya terkembang. Tangannya mengecilkan api kompor untuk memastikan saus itu matang dan tidak gosong. "Masa? Contohnya apa?"
Tubuhnya sudah berbalik dan bersender ke counter dapur, sambil memperhatikan polah suaminya yang lucu sekali.
Mareno berdiri bersedekap tidak jauh darinya. Tubuh sempurna suaminya itu bersandar pada kitchen island di seberangnya. "Banyak. Kamu asyik sama Damar terus, aku nggak diurusin. Masak buat Damar, coklat hangat buat Damar, belanja buat Damar, kamu belikan peralatan mandi Damar padahal anak itu cuma satu minggu di sini. Oh, jangan lupa, tidur sama Damar hampir setiap malam."
Tawanya sudah pecah saja. "You are jealous, Beiby. Oh, God. You're so cute."
"Tania, aku nggak cemburu. Sembarangan kamu." Mareno mendengkus kesal.
Dia menyelesaikan tawanya kemudian menatap suaminya sayang. "Aku nggak cinta Damar, Beiby. Aku sayang sama dia. Apalagi tahu kondisi Sabiya sekarang. Jangan cemburu dong."
Kepala Mareno menggeleng kesal. Tingkah suaminya itu benar-benar kekanakkan dan ini pertama kalinya. Ya, mereka belum lama menikah, jadi memang masih banyak yang dia tidak tahu tentang suaminya itu. Tapi ini menarik sekali.
Tubuhnya kembali berbalik untuk mengecek masakannya. Mungkin jika kenyang Mareno berhenti merengek. Sekalipun sebenarnya dia menikmati ini.
"Boleh bantu aku tiriskan pastanya?" pintanya lembut sambil tersenyum. Tangannya sudah mematikan kompor.
Tahu Mareno tidak menyahut, dia berbalik dan menatap suaminya itu yang masih cemberut. Tawanya dia tahan dan nafasnya dia hirup perlahan. Dia melangkah mendekati Mareno yang malah memalingkan wajahnya ke samping.
"Rahang kamu bagus banget." Dia mencium bingkai wajah suaminya sambil mengalungkan dua tangan di leher dan sedikit berjinjit.
Bibirnya terus menyusuri wajah Mareno yang wanginya sungguh menggoda. Suaminya itu masih bersedekap kesal dan tidak memperdulikannya. Kemudian dia memutuskan untuk memberikan penawaran yang Mareno tidak akan bisa menolak. Mulutnya sudah mendekat dan berbisik mesra.
Untuk sejenak, rahang Mareno mengeras mendengarkan apa yang dia tawarkan. Kemudian wajah suaminya itu berbalik menatapnya. Bibirnya dia gigit sambil menatap Mareno penuh arti.
"Do it now." Senyum kecil Mareno terkembang.
"Makanan utama dulu, Sayang. Oke?"
"Penyihir menyebalkan." Dengan satu gerakan Mareno merengkuh dan mencium bibirnya kuat. "I won't be nice tonight."
Kepalanya mengangguk mengerti. "I know."
Kemudian Mareno merengkuhnya lagi dan mencium lehernya sejenak. "I want it now."
Dia menggeleng sambil tersenyum dan melepaskan diri perlahan. Setelah itu Mareno membantunya meniriskan pasta, sementara dia menyiapkan meja dan segalanya untuk makan malam mereka.
"Besok kita ada acara di tempat William Wongso," ujar Mareno saat mereka mulai makan.
"Papaku juga datang. Apa kamu mau datang?"
"Audra datang, dan mungkin Herman. Karena itu aku harus datang. Siapa tahu ada informasi yang bisa aku dapatkan. Juga untuk menjaga Audra."
"Menjaga Audra?" tanyanya heran.
"Ya, dia sangat marah pada Herman, sama seperti kami. Tapi dia perempuan."
"Wow, kamu diskriminatif. Apa hubungannya gender dengan kemarahan?"
"Maksudku, reaksi Audra selama ini berlebihan. Dia sulit berpura-pura. Aku khawatir dia tidak bisa menahan dirinya sendiri saat bertemu Herman."
Dia mengangguk setuju. "Apa kamu tahu ada acara apa?"
"Kemungkinan besar pengumuman pernikahannya."
Dahinya mengernyit sejenak. Aryan bercerita padanya bahwa Alexandra sudah pulih dan memang sudah tidak dalam masa perawatan lagi di MG. Kemungkinan besar pernikahan ditunda dan mereka akan mengumumkan tanggal yang baru. Wajar.
"Apa hubungannya dengan keluargamu? Maksudnya, bisnis keluarga William di bidang tekstil, sedangkan kalian di teknologi."
"Kamu selalu lupa bisnis inti keluarga Daud, Sayang. Produksi kapas kami dan juga peternakan ulat sutra yang sebagiannya dipegang oleh Audra dan Herman, adalah salah satu penyuplai terbesar pada industri tekstil William."
"Oh, ya. Benar juga. Aku hanya ingat bahwa suamiku adalah pebisnis di bidang teknologi dan juga merangkap sebagai secret agent." Dia terkekeh kecil meledek Mareno. Makanannya sudah habis dan dia sedang meneguk air minum.
Mareno tersenyum kecil juga sambil meletakkan piring-piring di kitchen sink dapur. Lalu suaminya itu kembali duduk. "Ya, aku seperti James Bond."
Dia tersedak minumnya sendiri lalu tertawa sambil terbatuk.
"Hey, kenapa kamu tertawa?" Mareno terkekeh juga sambil meletakkan sendok dan segera minum.
"Aku nggak paham kenapa aku bisa jatuh cinta dengan laki-laki yang sangat narsistik. Kamu harus ikut terapi khusus untuk menghilangkan penyakit itu, Sayang. James Bond? Come on. You're not even close." Batuknya belum pergi seperti tawa kecilnya.
"Sayang, jangan terus tertawa. Kamu tersedak." Mareno menghampirinya dan menepuk punggungnya lembut. Suaminya itu juga masih tersenyum geli mengingat apa yang dia katakan sendiri.
"Oh, bajuku basah." Refleksnya adalah sedikit mengangkat kaus putih polos oversize yang dia kenakan sambil masih tersenyum geli, batuknya sudah pergi.
Kemudian dia baru sadar bahwa dia tidak mengenakan apapun lagi dibalik kaus itu. Oh, no. Matanya menatap Mareno yang sedang melihat ke arah dadanya dengan kaus putih basah dan transparan. Mata suaminya itu menggelap, kemudian bibirnya tertarik sedikit ke atas.
"No no no, aku belum sikat gigi..."
"I want my dessert." Suaminya sudah mengangkat tubuhnya mudah kemudian diletakkan di sebelah bahu, dan membawanya ke arah kamar mereka.
"Mareno, tunggu dulu." Tawanya sudah membahana karena tangan Mareno mencengkram erat betisnya. Sementara kepalanya berada di bawah.
Langkah Mareno terhenti dan dia berbalik ke dapur. Mengambil es krim dari dalam lemari es dan juga whipped cream.
"Mareno Yusuf Daud, put me down." Entah kenapa dia masih tertawa geli sendiri, membayangkan apa yang akan suaminya lakukan padanya malam ini.
"I will, Beiby. I will put you down."
Ya, Mareno meletakkannya di atas meja makan lalu merobek kausnya. Dasar gila.
***
Hanif mengangkat tubuh Damar dari sofa ruang tengah. Anak itu minta dia bermain piano. Namun belum sempat dia menyelesaikan satu lagu, Damar sudah tertidur. Tubuh Damar dia selimuti, kemudian dia mencium keningnya sayang. Damar sudah dia anggap anaknya sendiri, sejak dulu.
Matanya menatap ke sekeliling kamar Sabiya. Ya, Damar ingin tidur bersamanya malam ini di kamar mamanya. Kemudian ingatan-ingatan itu datang. Tentang bagaimana malam-malamnya bersama Sabiya dulu. Menjaga Damar yang entah kenapa siklus tidurnya sangat berantakan. Malam jadi siang, dan sebaliknya. Damar kecil akan tertawa dan berceloteh riang jika malam tiba. Jadi dia dan Sabiya akan bergiliran bangun.
Ponsel yang dia letakkan di meja luar berbunyi. Dia berjalan keluar kamar dan menyambungkan ponsel itu pada wireless earphonenya.
"Assalamualaikum, Fa."
"Hai, lagi apa?"
"Jawab dulu dong salamnya."
"Wa'alaikum salam, Bapak Hanif. Lagi apa?"
"Damar baru aja tidur." Dia berbicara sambil sibuk membereskan piring-piring kotor dan meletakkannya di dapur. "Lagi mau cuci piring nih. Ke sini dong, bantuin aku."
Faya tertawa di seberang sana. "Besok, ada tugas dari Arsyad dan Niko. Tapi setelah itu aku ke sana. Jadi besok aja ya."
"Bukan soal Aryo kan?"
"Kali ini bukan. Aku diminta untuk pasang mata untuk persiapan acara William Wongso. Arsyad juga minta Mareno datang."
Pasang mata berarti menurunkan orang-orang lapangan yang akan menyamar sebagai pelayan, atau pasangan dari salah satu tamu William.
"Kamu nggak ikutan nyamar kan?"
"Nggak, wajahku sudah familiar. Hanya mengarahkan orang-orang. Banyak orang penting yang akan datang. Tugas mereka mendapatkan informasi dan melindungi Bayu Tielman."
Dia mendengarkan sambil mencuci piring-piring kotor. "Audra akan datang, dan kayaknya aku harus minta dia lebih tenang. Dia benar-benar sering meledak."
Faya terkekeh kecil di sana. Senyumnya terkembang membayangkan wajah Faya yang tersenyum dalam kamarnya di ADS.
"I miss you," bisik Faya.
Piring terakhir sudah dia bilas dan letakkan di rak bersih. Karena terkejut dengan kalimat Faya, tanpa sengaja dia menyenggol tempat pisau dan membuat refleks tangannya menangkap pisau yang akan jatuh di lantai dengan tangan lain.
"Hmmmhh..."
"Kenapa?" tanya Faya.
Dia terkekeh melihat tangannya yang tergores dan berdarah. "Kamu buat aku kaget dan jadi senggol pisau."
"Kamu nggak apa-apa kan?" nada Faya khawatir.
"Aku sangat baik. Apalagi habis digombalin begitu."
"Aaaah...aku menyesal ngomong itu ke kamu. I take it back."
Kepalanya menggeleng lalu dia tertawa. Tubuhnya sudah berjalan untuk mencari kotak P3K di buffet terdekat.
"Sayang, istirahat. Kamu butuh semua tenaga besok. Aku obatin tanganku dulu," ujarnya pada Faya.
"Oke. Selamat malam, Pak Hanif."
"I love you, Fa. Berkabar besok."
Hubungan disudahi sekalipun senyumnya masih terus mengembang. Dia masih belum bisa menemukan kotak P3K Sabiya atau koper pertolongan pertama Mahendra. Padahal biasanya Sabiya meletakkannya di buffet ini. Matanya terus mencari. Dahinya mengernyit melihat kotak biru gelap yang ada di sana.
Apa Sabiya mengganti kotak P3K nya? Tapi biru? Harusnya merah, Bi.
Kemudian dia duduk di sofa sambil membawa kotak biru itu. Yakin benar dia akan menemukan peralatan P3K di dalam. Darah dari tangannya sudah berhenti. Tutup kotak sudah dia buka. Dahinya mengernyit dalam, melihat isi di dalam kotak biru milik Sabiya. Rasa penasaran menguasai dirinya. Harusnya dia menghargai rahasia yang berusaha Sabiya sembunyikan selama ini. Bahkan dari dirinya. Tapi dia tidak bisa menghentikan matanya untuk melihat, membuka, membaca. Apa-apa yang seharusnya dia tidak tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro