6. Pursuit
Ini pengambilan waktunya setelah insiden di butik Sabiya dan sebelum Mahendra nge-bom ya. Biar inget aja. Ada yang kangen Aryo?
***
Sementara di bagian kota yang lain.
"Halo, Nik." Aryo tersenyum pada Niko yang berdiri di hadapannya.
Setelah kejar-kejaran seru dengan motor di jalanan malam, dia memutuskan untuk menemui Niko untuk mengirimkan pesan.
Niko menghela nafas sambil menatap satu anak buah Aryo yang sudah terkapar tidak sadarkan diri. Mereka berada di salah satu lapangan pinggir kota yang sepi dan jauh dari jalan utama.
"You really mess things up." Niko sama murkanya karena Sabiya terluka dan masih tidak sadarkan diri.
"Kemana Hanif? Atau dimana dia? Lebih baik lagi jika kalian kirim Faya. I miss her, so much."
"Manusia gila." Kepala Niko menggeleng kecil. "Mari tidak buang-buang waktu dengan bicara. Atau otak gila lo itu sudah terganggu jadi nggak bisa lawan gue?"
"Gue nggak mau buang-buang tenaga lawan lo, Nik. Panggil Arsyad atau Hanif, Mareno juga lumayan." Aryo mengacungkan senjata perlahan paham benar Niko akan bergerak cepat melakukan hal yang sama.
"Ayolah, Nik. Lo tahu kemungkinan besar lo akan kalah kalau gue pegang senjata."
'DUAR-DUAR'
Niko menembak lebih dulu namun Aryo sama gesitnya, sudah menggeser tubuhnya cepat dan menembakkan peluru yang sama. Tubuh Niko mundur satu langkah karena salah satu peluru Aryo mengenai bahu yang dibungkus pakaian anti peluru. Ketika Niko teralihkan selama sepersekian detik, tangan Aryo sudah ingin menarik pelatuk lagi sampai laras pistol yang dingin menyentuh kepalanya di belakang.
Tubuh Aryo diam sejenak tapi kemudian senyumnya terkembang. "Halo, Sayang."
Kepala Niko menoleh tidak percaya karena Faya sudah ada di sana, menodongkan senjata di belakang kepala Aryo. Earphone Niko sudah berbunyi.
"Nik, bilang kalau itu bukan Faya." Suara Hanif di sana.
"She's here." Niko berbisik.
Hanif di ujung sana sudah bersumpah serapah lalu berkata. "Gue ke sana sekarang."
Sementara Aryo dengan gerakan yang sangat cepat langsung berbalik dan memukul tangan Faya hingga senjata itu terpental jauh. Faya juga melakukan hal yang sama. Niko sudah menyarungkan senjatanya karena pertaruangan Aryo-Faya dengan jarak dekat seperti itu membuat dia tidak bisa membidik Aryo dengan benar. Jadi dia sudah melangkah mendekati mereka dan mulai membantu Faya menghantam Aryo.
Fokus Aryo sempurna. Ya, laki-laki itu seperti tentara perang yang benar-benar tangguh. Gerakannya efisien menghadapi Faya dan Niko bersamaan. Tidak ada rasa takut sama sekali di matanya. Niko sudah mundur karena tendangan cepat Aryo sementara satu tangan Aryo menahan pukulan Faya.
"Sayang, ayolah. Jangan marah," ujar Aryo yang kali ini menahan tendangan Faya.
Faya yang makin murka membiarkan Aryo menangkap satu kakinya sementara dia menggunakan momentum itu untuk melontarkan dirinya ke atas dan menendang Aryo dengan kaki yang lain. Tubuh Aryo mundur ke belakang dua langkah lalu dia meludahkan darah.
"Oke, gue biarkan yang tadi itu karena lo seksi banget kalau melakukan gerakan tadi. And I miss you, Fa." Aryo malah tersenyum pada Faya.
Mereka bertiga terengah-engah tapi masih memasang kuda-kuda. Niko sudah menahan tubuh Faya yang ingin maju lagi karena emosi. "Jangan terpancing, Fa."
"Oh, kenapa mesti ada lo Nik." Kemudian Aryo menerjang maju kepada Niko dan benar-benar fokus untuk melumpuhkan Niko saja.
Faya membantu tapi ketika Aryo benar-benar serius dengan perkelahian itu, Niko dan Faya juga kewalahan. Lalu entah bagaimana, Aryo dengan cepat menunduk dan merebut pistol dari tubuh Niko dan menodongkan cepat ke arahnya.
"Mundur." Dia menatap Niko dan Faya.
Niko mundur dua langkah, sementara Faya tidak bergeming dan malah memiringkan kepalanya sedikit.
"Hai, Sayang." Aryo tersenyum sambil menatap Faya dan masih mengacungkan senjata pada Niko.
Rahang Faya mengeras dan mulai bergerak untuk menghantam lagi. Lalu Aryo menembakkan lagi senjatanya dan itu membuat goresan pada telinga Niko. Tubuh Faya otomatis berhenti.
"Niko ternyata berguna." Aryo menghirup nafas panjang. "Jadi, lo dengan Hanif." Seluruh makian kotor sudah keluar dari mulut Aryo. Matanya yang jelas terluka menatap Faya.
"Lo tembak Sabiya!! Itu Sabiya, apa salahnya?" Faya meledak juga.
"Lo bohongi gue, lo buat ini semua jadi lebih pribadi. Itu salahnya!!" Kepala Aryo menoleh sejenak ke Niko sambil menggeleng memperingati agar Niko tidak bergerak. Kemudian dia kembali menatap Faya.
"Kalau gitu tembak gue. Bunuh gue. Dasar brengsek!!"
"Gue pingin, Fa. Karena gue marah. Tapi gue nggak bisa. Sayangnya gue nggak bisa. Tapi gue bisa membunuh semua orang yang berarti buat lo. Semuanya, Fa. Tanpa terkecuali."
"Itu yang bikin gue nggak punya perasaan yang sama. Lo pembunuh, tega sakitin orang yang nggak salah. Gimana bisa gue...hrrrgggghhhh."
"Itu pekerjaan, Fa. Itu pekerjaan. Nggak pakai hati sama sekali."
"How could you say that?" Faya menggelengkan kepala tidak percaya. "Jadi lo tahu jawaban gue soal kemarin itu kan? Itu cuma misi buat gue, Aryo. Nggak pakai hati sama sekali." Desis Faya marah.
Senjata dia todongkan ke Faya dan langsung di tembakkan saja. Leher Faya tergores kecil. Ekspresi wajah gadis itu terkejut namun mengeras dingin. Faya mulai melangkah cepat ke arahnya. Dia menembak tiga kali ke dua kaki Niko dan tangannya. Niko jatuh dan dia paham itu karena momentum tembakan pada tubuh Niko yang dibungkus pakaian anti peluru. Kemudian senjata itu dia bongkar dan buang, siap menyambut Faya.
Faya menyerang dan dia tahu dia tidak punya waktu banyak. Jadi dalam empat gerakan tubuh Faya sudah berhasil dia kunci. Tubuhnya berada di belakang tubuh Faya yang dia tahan. Satu tangannya melingkari leher Faya dan satu lagi berada di antara tubuh mereka di belakang, juga mengunci tangan Faya dari belakang. Langkah Niko berhenti karena tahu satu tangannya menggenggam pisau tajam dan mengarahkan ke leher Faya.
Dua anak buahnya datang dengan motor dan langsung meminta perintah. "Bos?"
"Urus Niko," ujarnya tegas.
Niko sudah mulai sibuk, kemudian dia berujar lagi di telinga Faya. "Hanif, apa hebatnya dia?"
Tubuh Faya meronta tapi masih tidak bisa berbuat apa-apa.
"Gue bilang gue akan jemput lo, Fa. Tapi bukan sekarang."
"Bunuh aja gue sekalian."
"Tawaran yang menggoda." Hidungnya menghidu leher gadis itu. "Lo mati, jadi gue nggak jadi gila begini. Paling nggak, lo bukan punya siapapun." Kemudian dia terkekeh kecil. "Tapi lebih baik lagi kalau Hanif gue bunuh, Fa. Jadi kita bisa bersama. Kita bisa pergi dari ini semua. Lo akan bisa maafkan gue nanti saat kita hanya berdua aja."
"Gue nggak merasakan apapun..."
"Bohong!!" Aryo menghirup nafas perlahan. "Bunuh gue, Fa. Sekarang. Gue kasih lo kesempatan."
Dengan cepat dia melepaskan Faya dan memberi pisau itu padanya. Ekspresi wajah gadis itu terkejut lalu dia mengayunkan pisau pada tubuh Aryo yang diam. Pisaunya berhenti 1 senti dari leher Aryo.
"Kalau gue nggak bisa bunuh lo, bukan berarti gue punya perasaan!!"
Aryo terkekeh. "Perasaan itu bisa diusahakan."
"Lo tembak Sabiya, lo lukai Leo. Cinta macam apa itu? Dasar manusia gila!!" Pisau itu Faya buang ke tanah dan dia meninju wajah Aryo yang diam saja. Tiga pukulan lagi Aryo terima dan laki-laki itu terbatuk dan meludahkan darah.
"Apa sudah?" Dia menatap Faya dan mengusap darah pada bibirnya yang pecah.
Faya makin marah dan mulai memukul dan menendang lagi. Sementara dia diam saja menerima segalanya. Dia paham tubuhnya masih bisa menanggung itu semua. Dia hanya ingin Faya tahu, kalau dia sudah benar-benar jatuh dan tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali lagi.
Gadis itu terengah, wajahnya kacau dan air mata sudah ada di pelupuk matanya. Oh, Faya jauh terlihat lebih cantik jika berekspresi seperti itu. Sangat cantik. Dia kembali berdiri tegak setelah menerima pukulan Faya. Matanya menangkap motor-motor ADS datang dan dia tersenyum.
"Gue akan dapatkan lo, Fa. Sekalipun gue harus membunuh seribu orang untuk itu. Sampai ketemu nanti." Dia melangkah mundur ke belakang. Berbalik dan berlari menuju motor salah satu anak buahnya kemudian pergi.
***
Tubuhnya duduk di tanah sambil menggelengkan kepala keras. Niko sudah berada di sisinya menepuk pundaknya perlahan. Kenapa bisa tadi dia tidak membunuh Aryo saja? Si gila itu akan menyakiti orang-orang terdekatnya. Apa juga yang ada di otaknya yang bodoh dan lamban ini? Apa?
"Fa, lo nggak apa-apa kan?"
Motor Hanif baru saja tiba dan parkir di dekatnya. Niko langsung menjauh membiarkan mereka berdua bicara.
"Kenapa kamu nyusul ke sini?" Hanif berdecak kesal sekali.
Laki-lakinya itu sudah duduk di sebelahnya sambil memindai tubuhnya cepat. "Kamu nggak apa-apa kan?"
"Nik, lo bisa minta yang lain duluan ke markas?" Faya menatap Niko yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Niko mengangguk mengerti dan dia pergi bersama timnya yang lain. Setelah hanya ada mereka berdua saja, dia menatap Hanif sedih.
"Gue nggak bisa bunuh dia, Nif. Nggak bisa." Air matanya sudah jatuh satu-satu.
Hanif menghirup nafas panjang, kemudian memeluk Faya perlahan.
"Sementara dia akan membunuh semua orang lainnya." Sungguh kenyataan pahit itu menyakitinya. Jadi dia menenggelamkan wajah pada dada Hanif yang bidang. Rasanya nyaman, tenang. Paham benar dia bisa bercerita apa saja, dan juga menangis seperti saat ini.
Hanif diam saja, sambil satu tangannya mengusap punggungnya lembut. Laki-laki itu juga mencium puncak kepalanya sayang. Mereka berada pada posisi yang sama selama beberapa saat.
"Kamu suka Aryo?"
"Kalau pertanyaan itu artinya apa gue bisa membayangkan diri gue bersama dia setiap hari seumur hidup gue? Atau apa gue mau tidur sama dia? Jawabannya nggak." Dia menggeleng perlahan. "Gue...merasa bersalah. Karena sudah buat dia begitu. Rasanya salah. Andai aja gue dulu nurut apa kata lo, biar nggak main hati, semua nggak akan jadi begini."
Hanif terkekeh kecil. Laki-lakinya itu sudah melonggarkan pelukan dan menatap matanya lembut. "Kalau kamu nggak main hati, Aryo sudah bunuh kamu, Fa. Kemungkinan kamu masih hidup sampai sekarang cuma 1%." Hanif diam sesaat. "Semua terjadi, karena memang harus terjadi. Memang begini yang paling baik, sudah ada yang mengatur, Fa. Jadi lebih baik, kamu berhenti salahkan dirimu sendiri dan kita hentikan Aryo."
"Bagaimana cara menghentikan Aryo, Nif? Bagaimana? Dia akan terus kejar gue, melukai orang-orang di sekitar gue, memaksa gue. Gue harus bagaimana?"
"Pertama, jangan bertindak gegabah seperti tadi, Komandan. Ya Tuhan, Fa. Kamu benar-benar buat aku khawatir." Hanif memeluknya lagi. "Sisanya kita harus susun rencana bersama, bergerak bersama, jangan pernah bergerak sendiri-sendiri dan kehilangan kordinasi. Belajar dari kasus Leo kemarin, Fa."
Dia mengangguk perlahan. Hanif berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membangkitkannya juga dari posisi duduk di atas tanah. Mereka berjalan beriringan menuju motor Hanif. Motornya sendiri sudah di bawa oleh tim ADS tadi ke markas.
"Kemana?" tanyanya.
"Apartemen. Istirahat."
Dua tangan merengkuh Hanif kuat dari belakang, sementara motor itu melaju membawa mereka pulang. Saat matanya terpejam, kata-kata Aryo terus berulang di kepala.
"Gue akan dapatkan lo, Fa. Sekalipun gue harus membunuh seribu orang untuk itu. Sampai ketemu nanti."
Ketakutan mencengkram kuat. Jika itu bahaya untuk dirinya, dia tidak akan setakut ini. Tapi ini bahaya untuk orang-orang yang dia cinta. Jadi ini semua benar-benar membuatnya khawatir. Kemudian Hanif seperti tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Satu tangan laki-laki itu menggenggam kuat lengannya yang melingkar di tubuh Hanif. Lalu helmnya menyala. Hanif Daud calling.
"Answer," ujarnya.
"Mungkin kita nggak dapat jawabannya malam ini. Tapi semua yang di awali dengan niat yang baik dan benar, akan berakhir baik-baik saja, Fa. Trust me."
"I trust you, with all my heart." Bisiknya lirih sambil makin mempererat pelukannya.
***
Arsyad berdiri dari luar kaca ruang steril, menatap tubuh Sabiya dengan seluruh selang-selang yang menancap. Dia sedang dihukum dengan hukuman yang paling berat. Dia paham itu. Jadi sekalipun dia benci dengan apa yang dia lihat sekarang, matanya tetap di sana.
Mahendra duduk pada kursi sebelah Sabiya. Wajah adik paling kecilnya itu kacau sekali. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat jelas perasaan Mahendra pada Sabiya yang selama ini ditutupi. Tangan Mahendra bahkan menggenggam tangan Sabiya perlahan, sementara matanya terus menatap wanita itu.
Lalu dimana dia sendiri, berdiri statis sambil menatap itu semua. Ini sudah satu minggu. Pikirannya kacau sekali, dan hampir tidak ada satu pun yang bisa mengalihkannya. Kecuali saat-saat dia menghamparkan sajadahnya di sepertiga malam. Hanya saat itu saja dadanya tidak bergemuruh hebat, sekalipun sakit masih tinggal menetap.
Kepala dia gelengkan keras, mengusir bayangan bagaimana dia melihat wajah Sabiya yang pucat dengan tubuh berdarah dan tapi bisa tersenyum sambil menatap Faya yang berjongkok di dekatnya. Dia datang terlambat, dia terlambat. Aryo yang murka karena berita pernikahan Hanif dan Faya sudah mulai tersebar. Cinta. Musuhnya yang terkuatpun harus tunduk dengan satu kata itu. Kata yang sangat berbahaya. Jika tidak dikendalikan dengan baik, semua disekitarnya bisa hancur mengatasnamakan satu kata itu.
"Bang," Mareno sudah berdiri di sisinya juga menatap ke tempat yang sama.
"Ada kabar dari Tania?"
"Tim dokter menunggu hasil test terbaru. Setelah itu serum bisa diberikan, dengan resiko, karena memang belum pernah dicoba langsung. Mama-Papa Sabiya sudah setuju. Semua prosedur tepat sudah dilakukan. Sabiya akan bangun, Tania terus bilang itu. Entah kenapa, gue percaya Tania. Jadi, jangan terlalu khawatir, Bang."
Dia mengangguk mengerti.
"Jadi lo udah tahu?" Mareno menggendikkan kepala ke arah Mahendra dan Sabiya.
"Gue tahu, sudah lama. Hanif juga sudah tahu."
"Kalau Bang Hanif gue nggak heran." Ya, Hanif sangat mahir membaca ekspresi seseorang.
"Gue tahu saat lo mulai suka sama Tania, sekalipun gue kaget saat lo bilang mau serius. Gue nggak sangka bagian itu. Gue tahu soal Mahendra. Yang gue sama sekali nggak tahu soal Hanif-Faya."
"Bang Hanif itu master of disguise, Bang. Wajar aja lo nggak tahu."
"Gue cuma mau bilang kalau gue memperhatikan, Ren. Banyak hal yang gue tahu, dan gue perhatikan."
"Ya ya, termasuk Tommy dan Sharon. Gimana kabar mereka?"
"Sudah satu bulan Tommy nggak berkunjung. Sharon bungkam, seperti biasa. Cewek itu cinta mati sama Tommy."
"Karena gue tolak, coba gue maju." Mareno tersenyum konyol.
Arsyad tersenyum kecil melihat ekspresi Mareno. "Biasanya lo dan Mahendra yang paling konyol dan selalu bisa bercanda bahkan di saat yang paling tegang." Kepalanya menoleh menetap Mahendra lagi.
"Mahendra nggak akan bisa bercanda sampai Sabiya bangun, Bang. Akhirnya sadar juga si anak geblek itu, kalau cewek yang berwujud itu beneran lebih segalanya daripada artificial intelligence buatannya."
Dia mengangguk lagi sambil menatap ke lantai. "Damar gimana?"
"Haaa...itu dia. Kalian luar biasa. Gue dan Tania baru married terus disuruh jagain Damar. Tania seneng banget dan gue dicuekin. Ini sudah seminggu ya. Jadi minggu depan giliran Hanif dan Faya. Lo curang, Bang. Lo harusnya ambil giliran. Gue bakalan ngomong sama Hanif dan Mahen."
"Dua hari, itu maksimal," sahutnya.
"Gila, adek-adeknya giliran seminggu lo mau enak dua hari doang."
"Ren, gue selalu nggak jago soal itu."
"Lo pikir gue jago? Damar itu nggak ngerepotin, kok. Cuma karena dia juga kaget dengan kondisi Mamanya, tidurnya terganggu. Dia suka nangis malem-malem, ketakutan dan minta lihat Mamanya. Kalau sudah begitu, Tania langsung tidur di sebelahnya. Dan gue dimana? Dicuekin."
Pintu terbuka dan Hanif masuk.
"Nah nih dia. Nif, gue anter Damar hari ini ke tempat lo ya."
Hanif menggelengkan kepala. "Pasti dia lagi ribut soal berkurang jatah ya, Bang?" Tanya Hanif padanya.
Kepalanya mengangguk dua kali mengiyakan.
"Lo itu satu-satunya orang yang masih mikirin hal itu aja di saat kayak begini, heran gue. Tania malah lebih pengertian dari lo, Ren."
"Nanti ya, kalau kalian udah married, baru tahu rasanya dicuekin berhari-hari sama istri. Lihat nanti, pada kuat nggak."
Obrolan mereka terhenti melihat Mahendra keluar dari ruang steril dengan ekspresi datar.
"Gimana, Hen?" Hanif bertanya pada Mahendra.
"Stabil. Serum akan dikasih minggu ini. Tubuh Sabiya butuh waktu, itu tebakan gue."
"...dan tebakan istri gue." Mareno tersenyum kecil lalu menepuk pundak Mahendra. "Hen, gue yakin Sabiya bangun. Jangan bermuram durja terus dong."
"Gue emosi karena Abang kita yang satu ini belum kasih gue ijin ngeledakin Aryo dari jauh." Mahendra menatapnya kesal.
"Aryo berada di tempat ramai, Hen. Banyak korban nanti. Kecuali lo sudah bisa temukan markasnya yang baru. Gue setuju, serius gue setuju." Dia menjelaskan. Ingat benar Mahendra terus melacak Aryo dan belum menemukan tempat persembunyiannya yang baru.
"Manusia gila itu lihai banget, dan gue udah nggak sabar, Bang. Sudah habis sabar gue." Mahendra berujar kesal.
"Herman sudah kembali dari perjalanan dinas untuk membangun citra dirinya. Kita ketemu di markas besok, susun rencana." Dia menatap ke arah adik-adiknya. Mereka berempat berdiri dalam lingkaran.
Kepalanya menoleh ke Hanif. "Gue butuh Faya datang besok, gue mau tahu segalanya yang dia tahu soal Aryo. Mungkin ada informasi baru yang terlewat. Tolong dapatkan informasi juga dari Brayuda. Semua yang sedang terjadi di dunianya Bapak Besar, di bawah sana. Gue harus tahu semua, Nif."
Kemudian dia menoleh pada Mahendra. "Hubungi El Rafi, terakhir Rafi bantu kita untuk menemukan markas milik Aryo tempat Faya ditahan. Cek semua properti atas nama Aryo, Herman, Wibowo dan Tommy Daud. Atau nama lain yang mencurigakan. Kita harus urai kasus-kasus lama dari buku merah, Hen."
Terakhir Mareno. "Pastikan seluruh kegiatan persidangan Danika lancar, gue percayakan itu ke elo, Ren. Mahendra dan gue harus mulai cek semua data di buku merah."
"Gue masih bisa bantu, Bang. Jadwal telpon pagi gue dengan Pak Lukman dan Pak Sardi masih jalan," sahut Mahendra.
Dia mengangguk. "Reno, pastikan kasus Michelle berakhir cepat, jangan menghabiskan waktu di sana. Gue butuh kalian semua untuk atur strategi selanjutnya. Jangan hilang fokus dan terkecoh sama berita kecil yang nggak ada kaitannya dengan ini." Matanya memindai satu-satu wajah adik-adiknya.
Mareno menggelengkan kepala. "Ck, berat banget hidup ya. Padahal tadinya gue mau bulan madu."
"Lo...gue lempar juga lo, Ren." Mahendra menatap Mareno kesal.
"Bercanda, Hen. Lo sensitif banget sih, kayak alat test pack?" sahut Mareno dan itu membuat Hanif tersenyum dan menggelengkan kepala.
Pintu terbuka lagi dan Tania sudah masuk. "Jangan bilang kalian meeting di sini. Ini rumah sakit, ampun deh." Tania sudah menggelengkan kepala tidak percaya.
Kemudian dia juga ingat bahwa dia harus menghubungi Bayu Tielman untuk menanyakan suatu hal yang penting. Tubuhnya sudah ingin beranjak ke luar ketika Hanif berujar.
"Tan, nanti sore nggak perlu jemput Damar di tempat les. Saya aja," ujar Hanif.
"Loh, kenapa?" tanya Tania heran.
"Sayang, ini kan sudah seminggu. Emang harus gantian sama Hanif," timpal Mareno.
"Aku nggak keberatan kok kalau Damar mau di tempat aku dan Reno aja sampai Sabiya bangun. Kamu bukannya lagi sibuk kejar pelakunya, Nif?" ujar Tania.
"Sayang..." Mareno berusaha menjelaskan kemudian wajah Tania menatap Mareno tidak percaya dan memotong kalimatnya.
"Ini pasti ulah kamu deh." Tania menatap Mareno galak kemudian kembali ke Hanif. "Nif, aku nggak apa-apa kok Damar di aku dulu. Seneng malahan. Damar pinter banget dan lagi ngajarin aku main game online. Dia juga bisa gambar. Gambarnya bagus lagi. Kemarin kami makan siang sama Papaku dan Papa seneng banget sama Damar."
Dia hanya menggelengkan kepala sambil menarik Mahendra untuk keluar ruangan, membiarkan Mareno, Hanif dan Tania masih berdiskusi di dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro