Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. The Dinner

"Give me your phone," ujar Mahendra sambil menatap gadis aneh dihadapannya ini. Tangannya sudah terbuka memberi tanda meminta dengan baik.

Alexandra hanya diam menatapnya dan dia tidak mengerti apa arti tatapan itu. Kemudian dia berujar lagi. "Saya bisa memaksa. Tapi saya tidak mau."

Gadis itu berdehem sementara wajahnya merona merah. Apa dia marah? Kemudian dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan mengambil ponsel Alexa dari tangannya. "Saya pinjam sebentar."

"Hey, itu ponselku." Sahut Alexa kesal sambil berusaha merebut kembali ponsel dari tangannya yang sudah mengangkat ke atas. Itu membuat tubuh mereka bertubrukan dan Alexa hampir saja jatuh ke lantai karena gaunnya yang merepotkan jika dia tidak menahan tubuh Alexa.

Gadis itu cepat-cepat memisahkan diri dengan wajahnya yang tambah merah. Gadis ini aneh sekali.

"Can you give my phone back?" tanya Alexa sedikit kesal.

Dia tidak memperdulikan protes Alexa dan malah memanggil salah satu pelayan untuk mengambilkan koper yang tadi dia bawa dan simpan di lemari bar restoran. Pelayan itu mengambilkan benda yang dia mau sementara dia mengamati ponsel Alexa. Merek ternama edisi terbaru. Lalu dia tersenyum karena tahu koper peretas miliknya tidak pernah gagal melaksanakan tugas.

Tangan Alexa masih mencoba menggapai ponsel yang dia genggam. "Ya Tuhan, kamu kekanakkan sekali. Ini pelanggaran hak pribadi. Saya bisa adukan..."

"Kekanakkan? Kamu yang mengancam soal pertemuan ini dan kamu bilang saya kekanakkan? Lagian saya hanya pinjam 15 menit." Dia memasukkan ponsel itu pada koper hitam kecil yang diserahkan oleh pelayan tadi.

"Kalau kamu berniat untuk curi data-data pribadi saya..."

"Hey, Nona. Kamu tidak sepenting itu untuk saya. Saya tidak punya motif apapun kecuali ingin menghentikan ancaman kamu dan Managermu. Itu aja."

"Nona?" Alexa mengambil nafas panjang dan dia makin tidak mengerti dengan sikap aneh gadis ini.

Kemudian pertengkaran mereka berhenti saat pelayan mulai menyajikan makanan pembuka. Sup krim jamur hangat mengepul di meja.

"Oh, saya benar-benar lapar. Makan?" Dia duduk kembali di kursi dan segera mulai makan.

Rahang Alexa menggertak keras dan gadis itu duduk juga. "Saya nggak makan sup."

"Oke. Nanti pelayan angkat mangkuknya."

Sup ini adalah sup terbaik. Dibuat dari jamur champignon segar yang dihaluskan dan dicampur dengan bumbu-bumbu segar dan krim lembut. Dia bergumam dalam hati fokus pada sup yang sedang dia nikmati. Tidak menyadari Alexa yang menatapnya dengan wajah kesal dan heran.

Setelah selesai dia membersihkan mulutnya. Kemudian pelayan mengganti mangkuk sup mereka dengan menu utama.

Steak dengan aged US-Prime beef meat yang dibakar dengan kematangan yang sesuai. Daging kualitas terbaik, marbling yang luar biasa dan porsi yang pas. Sepertinya dia sudah lama tidak makan di restoran keluarganya sendiri. Kenapa menu ini terlihat menggoda sekali.

Matanya menatap Alexa yang masih menatapnya diam. Dia tidak tertarik untuk mengartikan tatapan itu dan asyik saja dengan makanan-nya. Sambil mengingat-ingat dia harus memeriksa berapa gaji Anthony - chef di restoran mereka, untuk memastikan chef itu tidak akan kemana-mana.

"Kamu tidak makan daging?" tanyanya pada Alexa yang masih diam.

"Tidak untuk makan malam."

"Oh, iya. Pekerjaanmu ya." Dia berujar sambil masih menikmati hidangan itu.

"Kenapa kamu mau bertemu denganku?" tanya Alexa.

"Kenapa kamu ingin bertemu saya hingga mengancam?"

Alexa diam sejenak. "Saya ingin berterimakasih. Soal insiden itu."

Kunyahannya melambat. Matanya menatap Alexa yang tiba-tiba berwajah sedih.

"Bagaimana dengan Sabiya? Apa kabarnya? Apa dia sudah bangun?" tanya Alexa.

Semua keinginannya untuk melanjutkan makan tiba-tiba hilang. Bayangan bagaimana Sabiya berdarah-darah di pangkuannya kembali tercetak di pikiran. Pisau dan garpu sudah dia letakkan, kemudian dia meneguk perlahan air minumnya.

"Apa kondisi Sabiya separah itu?"

Piringnya sudah dia dorong menjauh. Luka Sabiya adalah jenis luka akut yang disebabkan oleh cedera mekanikal karena faktor eksternal yaitu tembakan. Harusnya tidak berubah menjadi luka kronik, karena kondisi Sabiya yang sehat dan tidak punya penyakit keturunan. Serum yang dia buat untuk Sabiya sudah dia kombinasikan dengan rekombinan eritropoetin, bahkan serum itu lebih advance dari milik dia dan saudara-saudaranya. Tapi sebaik apapun serumnya, tubuh tetap butuh waktu untuk menyesuaikan diri setelah trauma pasca operasi. Jadi dia masih harus bersabar.

"Mahendra..." Suara Alexa menyadarkan lamunannya.

"Ya." Piring dihadapannya sudah berganti dengan piring salad dan Alexa mulai makan. Sementara dia sendiri sudah kehilangan minatnya.

"Aku akan berhenti bertanya soal Sabiya. Ekspresimu berubah."

Dia berdehem merasa tidak nyaman. Alexa sudah menyelesaikan makannya yang sedikit sekali.

"Tapi aku benar-benar berterimakasih, sungguh. Sekalipun aku penasaran juga dengan apa yang terjadi di butik Sabiya. Siapa laki-laki jahat itu? Kenapa dia ingin membunuh Sabiya? Laki-laki itu juga bertanya tentang waktu suatu acara, entah apa, dan bilang kalau kalian keluarga Daud juga sudah sering membunuh orang."

"Stop. Kamu terlalu jauh, Nona." Nafasnya dia hirup perlahan. "Saya menerima ucapan terimakasihmu. Saya juga ingin minta maaf karena kamu terlibat sesuatu yang berbahaya padahal hal itu tidak ada kaitannya denganmu. Jadi sebenarnya apa yang saya lakukan saat itu, benar-benar hanya karena tugas untuk mengurangi korban jiwa, dan melindungi orang yang tidak bersalah. Hanya itu."

'Dan karena Sabiya meminta. Jika tidak, saya pasti akan berlari ke sisi Sabiya untuk melindunginya. Bukan malah melindungimu,' gumamnya dalam hati.

Alexa menggigit bibirnya sendiri. Gadis ini memiliki banyak ekspresi, sekalipun dia tidak paham apa artinya. Siapa juga yang perduli.

"Apa benar hanya itu alasannya?"

"Ya. Saya bukan orang yang suka berbasa-basi atau berbohong. Buang-buang waktu."

Kemudian gadis itu menatapnya sungguh-sungguh, dan dia mulai merasa tidak nyaman. Matanya melirik pada koper hitam di meja sebelah yang sudah berkedip hijau. Proses penyalinan data sudah selesai, dia bisa menghapus foto bukti itu nanti, atau bahkan jika diperlukan dia bisa mengendalikan ponsel itu dari jarak jauh. Jaga-jaga jika Alexa dan managernya mengancam lagi.

"Oke, jika sudah. Mari kita akhiri malam ini." Tubuhnya sudah ingin berdiri ketika tangan Alexa menahannya.

"Mahen..."

Dia menatap tangan mulus dan ramping yang sedang menggenggam lengannya. Tubuhnya duduk lagi perlahan.

"Mungkin ini sedikit aneh. Tapi, saya ingin jujur saja," lanjut Alexa.

"Ada apa?" Setelah ini dia akan menyesal sudah bertanya hal tersebut. Harusnya dia segera pergi dan tidak perlu mendengarkan apa-apa lagi.

"Saya..." Alexa menelan salivanya perlahan sebelum melanjutkan. "...nggak bisa berhenti memikirkan kamu." Dia bisa menangkap helaan kecil nafas Alexa.

Matanya membulat heran tetapi mulutnya bungkam. Berusaha mencerna kalimat barusan. Kemudian otaknya yang sudah dengan cepat mencerna, mencari seluruh penjelasan dengan akal logika tentang fenomena ini.

"Maksudnya, saya sudah berusaha melupakan kamu. Tapi saya nggak bisa. Ini pertama kali untuk saya, jadi..."

Dengan cepat dia memotong. "Rasionalitas berkembang lebih lambat dari naluri kita. Sekalipun belum terbukti, penyebab rasa ketertarikan sementara kamu itu adalah Neuropeptide oksitosin atau hormone pengikat. Tapi efeknya hanya sementara, tenang saja."

Kali ini wajah Alexa yang membelalak kaget. "Maksudnya?"

"Sayangnya saat ini saya belum bisa membantumu untuk memblokir hormon oksitosin itu agar bayangan saya di kepala kamu bisa hilang. Penelitian panjang dan rumit, saya punya banyak hal yang lebih penting sekarang. Jadi kamu harus berusaha sendiri."

"Oke, saya nggak yakin atas apa yang kamu bilang tadi."

Dia mendengkus kesal karena lawan bicaranya benar-benar lambat dalam mencerna kata-kata. "Ketertarikan kamu pada saya itu hanya sementara. Nanti akan hilang sendiri."

Alexa diam sesaat seperti berpikir. "Tapi...ini..."

"Ini bukan apa-apa," timpalnya. "Saya bisa jelaskan pada kamu berjam-jam soal proses kimia ketika hormone itu bekerja di dalam tubuh kita. Untuk membuktikan bahwa itu tidak ada sangkut pautnya dengan hati, dan benar-benar murni karena perpaduan ketegangan yang terjadi kemarin, juga rasa penasaran yang tinggi."

Dahi Alexa mengernyit. Semoga itu tandanya wanita ini setuju dengan apa yang dia sampaikan. Karena sungguh dia tidak punya waktu. Dia harus segera membantu memantau pengejaran Aryo Kusuma malam ini. Tubuhnya sudah berdiri untuk berpamitan.

"Saya pikir urusan kita sudah selesai." Tangannya mengeluarkan ponsel dari dalam koper dan memberikan benda itu pada Alexa yang masih duduk dengan ekspresi aneh. "Ini, saya kembalikan. Saya tidak akan salah gunakan semua data-data milikmu. Keluarga kami bukan keluarga sembarangan dan suka usil dengan urusan orang lain. Selama tidak ada yang mengusik kami. Selamat malam."

Dia sudah berbalik sempurna ingin pergi ketika lagi-lagi tangan Alexa menahan lengannya.

"Tunggu sebentar."

"Apa lagi?" Mereka berdiri berhadapan kali ini.

"Sejujurnya, saya juga nggak paham. Tapi, saya ingin coba sesuatu yang membuktikan teori kamu tadi." Alexa masih menggenggam lengan Mahendra.

"Apa?"

Lalu tanpa aba-aba, wanita itu sudah menariknya mendekat dan mencium bibirnya Refleksnya adalah membelalakkan mata. Tubuhnya juga membeku tiba-tiba dan selama beberapa detik bibir mereka sungguh bersentuhan. Lalu detik lainnya dia sudah mendorong tubuh Alexa menjauh. Tangannya terkepal keras untuk menahan kemarahan yang tiba-tiba datang.

"Dasar gila!" Tanpa sadar dia berteriak marah.

Mata Alexa mengerjap dua kali, ekspresi wajah wanita itu aneh. Matanya menatap ke lurus ke depan kemudian satu tangan Alexa memegang dadanya perlahan.

"Saya tidak tertarik denganmu, sama sekali. Lupakan saya. Selamat malam."

Sungguh dia tidak perduli dengan wajah Alexa yang masih diam di sana, atau tubuh wanita itu yang kemudian duduk di kursi lagi dengan mata yang masih menerawang ke depan. Karena dia sendiri sudah melangkah cepat-cepat pergi sambil merutuki kejadian tadi dalam hati. Sambil menggelengkan kepala keras berusaha menghilangkan rasa yang tertinggal pada bibirnya sendiri.

Di dalam mobil, nafasnya dia hirup banyak-banyak untuk menenangkan diri. Rasanya dia ingin menghantam sesuatu, persis seperti ketika Sabiya terluka kemarin dulu. Dua tangannya sudah mencengkram setir mobil keras. Matanya terpejam erat. Sabiya, wanita yang istimewa untuknya. Tidak ada yang bisa menggantikan Sabiya, tidak boleh ada.

***

Ponselnya berdering hingga dia tersadar kembali. Lidya.

"Gue nggak ganggu kan? Lagi ngapain kalian?" Lidya terkekeh di sana. "Lexa, nggak boleh bobo bareng ya. Ingat, lo dan William belum resmi. Apalagi kalau sampai ketahuan pers, William bisa ngamuk nanti."

Dia hanya diam, masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa ingin keluar. Sungguh, ciuman tadi memberi efek yang tidak biasa pada dirinya sendiri. Kenapa dia jadi begini? Bahkan dengan seorang calon senator AS, dia baik-baik saja. Kenapa dengan Mahendra Daud berbeda?

"Lex? Jangan bilang lo tinggalin hp entah dimana dan lagi make-out sekarang. Lex?"

"Berisik, Lid. Aku balik sekarang."

"Hah? Kok cepet banget?"

Dia sudah memutuskan hubungan ponsel itu dan segera menghubungi supir untuk menjemputnya di teras restoran.

Di dalam mobil. Matanya menatap keluar, lalu selama beberapa saat terpejam karena rasa bibir Mahendra masih tertinggal. Dia adalah perempuan yang matang dan dewasa, kenapa tingkahnya aneh sekali sekarang. Dia juga wanita yang berpengalaman. Maksudnya, dia sudah pernah berhubungan dengan beberapa laki-laki lain. Tapi tidak ada satupun yang dapat membuatnya bersikap aneh seperti tadi. Oh, biasanya para lelaki antri hanya untuk janji makan malam dengannya. Sampai Lidya terkadang sibuk melakukan pengecekan latar belakang singkat dan mengatur janji-janji temunya dengan deretan laki-laki itu.

Sedangkan Mahendra? Laki-laki menyebalkan itu benar-benar tidak memperdulikannya. Untuk pertama kali ada seorang laki-laki yang tidak terpana melihat fisiknya, atau matanya yang biru. Mahendra dingin sekali, acuh tak acuh malah sibuk dengan pekerjaan, atau makanannya tadi. Belum lagi bicaranya yang aneh sekali. Mana dia tahu apa itu oksitosin.

Dasar laki-laki aneh. Dia menggerutu tapi kemudian tersenyum kecil juga. Tingkahnya persis seperti orang konyol.

Ponselnya lagi-lagi berbunyi.

"Lexa, dimana?" Suara William di seberang sana.

"Dalam perjalanan pulang."

"Aku ingin mengingatkan jamuan makan malam beberapa hari lagi di apartemenku. Maaf, apartemen kita yang baru nanti. Aku sudah hubungi Lidya dan sekertarisku untuk bantu mengatur segalanya. Mama dan Papamu akan datang, beberapa politisi penting juga akan datang, pers..."

"Apa keluarga Daud datang?"

"Ya. Audra Daud. Mungkin Mareno dan istrinya juga akan datang, karena aku mengundang Bayu Tielman. Kenapa bertanya?"

"Aku hanya penasaran."

"Pastikan kamu sempurna, oke. Aku akan mengumumkan tanggal baru pernikahan kita. Aku tidak ingin ada kesalahan, Lexa. Seluruh berita tentangmu di New York sana sudah selesai. Jangan bertingkah." Nada William menekan.

Dia hanya diam, sedikitnya merasa sakit hati karena peringatan itu.

"Will..."

"Ya?"

"Apa kamu sungguh-sungguh mencintaiku?" tanyanya lirih.

Hembusan nafas William bisa dia dengar. "Cinta selalu bisa diusahakan, Lex. Tapi kita cocok, aku suka apa yang kamu suka. Penampilan kita sempurna. Bahkan beberapa fans-mu sudah membuatkan akun Instagram untuk kita berdua. Seluruh keluarga setuju. Apalagi, Lexa?"

Salivanya dia loloskan perlahan. William tidak mencintainya. Tapi bukan itu yang membuatnya sedih. Yang membuatnya sedih adalah karena saat ini dia tahu, dia sedang jatuh cinta dengan seseorang, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mendapatkan orang itu karena sebentar lagi kebebasannya hilang. Sirna.

"Sayang, aku akan mencintaimu. Semua akan baik-baik saja, Alexa. Percaya padaku, okey?"

Lagi-lagi dia diam dan memutuskan hubungan ponselnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro