48. The Protector
Part terakhir cerita ini. Hope you enjoy it!
***
Sabiya berada di dalam rumah dan sedang mengepak barang-barang saat Damar datang.
"Ma, kaus bolaku dimana?"
"Dalam lemarimu sendiri. Kamu harus mulai bisa mencari barang-barangmu sendiri, Damar."
Anaknya itu duduk di pinggir tempat tidur. "Kita mau pergi berapa lama sih, Ma?"
"Sepanjang liburan sekolahmu." Dia masih menggulung baju rapih dan menempatkannya di koper besar yang terbuka di atas stool panjang.
"Ah, padahal Ayah Hanif janji mau ajak aku ke hutan untuk belajar berburu liburan ini. Tante Faya bahkan bisa ikut." timpal Damar kesal.
"Kamu bisa pergi berburu setelah itu."
"Kenapa Mama mengepak baju banyak sekali?"
"Hanya untuk berjaga-jaga."
"Apa kita pergi dengan Om Ganesha?"
"Om Ganesha tinggal di sana. Dekat dengan Oma dan Opa. Jadi ya, kita akan temani Om Ganesha pulang."
"Tapi kita akan kembali lagi ke sini, kan?" tanya Damar.
Dia diam sejenak lalu menatap Damar. Tubuhnya berdiri kemudian dia menggeser satu kursi untuk duduk di hadapan anak satu-satunya itu.
"Mungkin kamu akan suka di sana. Dekat dengan Oma dan Opa, udara yang lebih sejuk, lingkungan yang lebih baik, dan jauh dari para penjaga di sini."
"Apa serunya itu? Dan bagaimana dengan Om Arsyad, Tante Tania, Ayah Hanif, Bung Niko..."
"Om Niko, Damar."
"Iya-iya. Bagaimana dengan mereka semua?"
"Om Mareno sudah punya Tante Tania, Ayah Hanif milik Tante Faya, Om Mahendra juga sekarang sudah punya pacar."
"Masih ada Om Arsyad dan Om Niko. Mereka tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan jaga mereka?"
"Om Arsyad dan Om Niko sangat kuat, mereka tidak perlu dijaga."
"Tapi aku sayang mereka."
"Mama juga sayang mereka." Satu tangannya membelai lengan Damar lembut. "Tapi kita tidak bisa terus meminta mereka menjaga kita, Damar."
"Jadi Om Ganesha yang akan jaga kita?"
Kepalanya mengangguk perlahan. "Kita sudah bicara soal ini kan."
"Apa Om Ganesh bisa memasak seenak Om Mahendra? Atau bisa berburu seperti Ayah? Apa dia punya gudang senjata seperti Om Arsyad atau koleksi mobil keren seperti Om Mareno?"
Dia tersenyum kecil. "Om Ganesha bisa menemanimu bermain game online sepuasnya, dan dia punya waktu untuk bermain bola denganmu."
"Ya, itu keren. Tapi, apa Om Ganesha sayang kita? Seperti semua Om dan Ayah sayang kita?"
Nafasnya dia hela. "Ya, Om Ganesh sayang sekali dengan kamu, dan Mama."
"Benarkah? Apa Om Ganesha mau mati untuk Mama? Ayah, dan semua Om mau mati demi Mama."
"Mama tidak tahu, tapi semoga saja kita tidak ada dalam bahaya lagi, Damar. Jadi tidak ada satu orangpun yang harus mati karena kita berdua."
"Aku akan tanyakan itu ke Om Ganesha nanti. Kalau dia rela mati demi Mama, oke. Aku pertimbangkan dia jadi ayah baruku. Jika tidak, aku tidak mau."
Dia tersenyum kecil. Damar masih belum mengerti jika terkadang, sesuatu yang baik belum tentu hal itu yang kita mau. "Sebaiknya kamu siap-siap sana. Sebelum mulai melantur lagi. Om Ganesh akan datang sebentar lagi untuk antar kamu latihan bola." Tangannya mengacak rambut Damar sayang.
Damar berdiri kemudian berbalik di dekat pintu. "Apa Mama bahagia?"
Dia tertegun sejenak mendengar pertanyaan itu. Kemudian senyumnya terkembang. "Mama bahagia."
"Aku tidak paham, kenapa orang dewasa suka sekali berbohong. Karena sikap Mama nggak seperti orang yang bahagia."
Kemudian sosok Damar keluar dari kamarnya. Meninggalkan dia duduk di kursi yang sama dan termangu. Ada apa dengan dirinya? Kenapa dia ragu? Tidak ada yang dia nanti di sini. Hanya bahaya yang ada. Ya, dia akan sangat kehilangan abang-abangnya, terutama Hanif. Tapi dia mampu. Mereka masih bisa selalu bertukar kabar dan bertemu sesekali nanti. Dia hanya akan menikah, bukan meninggalkan dunia ini.
Matanya menoleh menatap kotak biru pada meja kamarnya. Kotak yang dia tahu Hanif sudah buka, karena posisi barang di dalamnya berubah. Dia melihat CCTV, dan paham benar Hanif sudah tahu. Rahasia yang selalu dia jaga selama ini.
Itu tidak akan membuat perbedaan apapun, Biya. Jangan bermimpi.
Bel yang berbunyi membuat dia berdiri dan melangkah ke pintu depan. Wajah Ganesha terlihat segar dengan senyum lebar, kaus polo shirt biru dan jins gelap. Laki-laki itu membawa buket bunga yang cantik sekali.
"Hai, sedang sibuk?" Mereka saling menempelkan pipi.
"Hanya sedang siap-siap. Barangku banyak. Wow, bunganya bagus sekali. Terimakasih." Senyum lebarnya terkembang.
Ganesha tertawa. "Nanti aku urus bagasinya dan ya, bunga ini untukmu. Beautiful flowers for the beautiful lady, My Lady."
"Masuk." Dia tersenyum lalu berbalik badan. Tapi tangannya ditahan oleh Ganesha perlahan.
"Sabar dulu, di dalam ada Damar, dan aku merindukanmu."
Tanpa dia duga Ganesha menarik tubuh rampingnya dan mendekatkannya pada tubuh Ganesh sendiri. Kemudian kepala Ganesha sedikit miring dan bibir laki-laki itu tiba di bibirnya. Menciumnya lembut, tidak tergesa. Ini bukan ciuman pertama mereka. Tapi biasanya tidak pernah sedalam ini. Hanya singkat karena dia belum terbiasa. Kali ini, bibir Ganesha membelainya lembut. Lama-lama. Hingga dia harus berpegangan kuat pada lengannya. Dia menutup mata, berusaha menikmati seluruh sensasi yang harusnya ada.
Sabar, Bi. Perasaan itu akan datang seiring dengan waktu. Jangan kecewakan laki-laki baik ini.
Ganesha tersenyum lembut lalu mengecup keningnya. "I love you, Biya. More and more each day. Seriously."
Senyum kecilnya mengembang, menatap mata kelabu milik Ganesha. Tanpa tahu, ada seseorang yang melihat itu semua dari dalam mobil besarnya.
***
Arsyad belum memberi tahu tentang kedatangannya. Tapi dia ingin datang karena ingin bertanya langsung. Apa-apa yang dia lihat di CCTV menunjukkan Sabiya yang sedang bersiap pergi. Apakah hanya New York Fashion Show saja? Atau ada agenda lain? Mengajak Damar berlibur seperti biasanya ke Washington DC? Atau apa? Kapan Sabiya akan kembali karena tiket pulang belum Sabiya beli.
Ganesha Putra adalah laki-laki dengan track record yang bersih. Dia sendiri yang memeriksa hal itu. Seluruh laporan Ganesha dia cermati. Sosok laki-laki itu adalah laki-laki yang sempurna untuk Sabiya. Keluarga kaya yang terpandang, dengan reputasi baik. Adam Anderson, ayah Ganesha bahkan memiliki rumah sakit untuk anak berkebutuhan khusus di sana. Ganesha sendiri juga praktek di rumah sakit itu. Jadi Sabiya akan memiliki kehidupan yang normal, jauh dari bahaya. Bukan hidupnya saat ini.
Nafas dia hirup panjang, sementara tangannya mencengkram setir mobil kuat ketika melihat Ganesha mencium Sabiya di depan pintu. Ciuman panjang. Dia memaksa kepalanya untuk tetap menghadap ke sana, melihat kenyataan yang ada. Kemudian setelah mereka berdua masuk ke dalam rumah, dia melajukan mobilnya.
***
"Sekilas info. Presiden dengan resmi mengangkat Herman Daud sebagai Menteri Dalam Negeri. Ini berkaitan dengan kinerja dan program-program perusahaan Benang Sutra milik Herman Daud yang dinilai benar-benar sejalan dengan program pemerintah saat ini. Prestasi Herman Daud perihal..."
Herman duduk di dalam ruangan sambil menatap layar televisi. Duduk berhadapan bersama Darius, Irsan, Wibowo, dan dua kolega lain. Pertemuan tertutup untuk merayakan keberhasilannya yang sudah dengan resmi menjabat sejak dua hari lalu.
"Selamat. Langkah pertama sudah selesai." Darius mengangkat gelasnya. Diikuti dengan Irsan dan yang lainnya.
Senyumnya terkembang sempurna. "Masih ada banyak tugas. Ini hanya awal."
"Benar." Darius mengangguk setuju.
Diantara semua pendukungnya, Darius lah yang paling ambisius. Laki-laki itu punya banyak agenda, dan salah satunya adalah menjatuhkan Darusman. Karena bisnis properti yang Darius punya, tidak akan menjadi nomor satu jika Darusman tidak diguncang. Dia sendiri ingin menjatuhkan Sanjaya Darusman karena paham benar, laki-laki itu yang terus berada di sebelah Ibrahim selama ini. Jika dulu Ibrahim bisa menghancurkan pion-pionnya, maka kali ini, dia yang akan menghancurkan sahabat-sahabat terdekat Ibrahim.
"Bagaimana dengan Mulyana?" Irsan bertanya. "Idris ikut terseret dan jatuh. Kondisi Mulyana makin gawat, tidak akan bertahan lama."
Darius menggeram marah. Karena sesungguhnya Darius juga pelanggan anak-anak asuh Caro. Mereka semua di sini paling tidak pernah sesekali mencicipi wanita-wanita itu. Jadi ketika Caro tidak ada, kesenangan mereka seperti diambil paksa. Bagusnya nama mereka tidak ada di dalam list. Sebenarnya nama Mulyana juga tidak ada. Tapi sayang saksi kuat sudah ada.
"Kamu terlalu lamban, Man. Membiarkan keponakan sialanmu itu ikut campur begitu jauh. Saya ambil alih dari sini. Saya akan habiskan mereka, jatuhkan satu per satu," ujar Darius geram.
Dia tertawa. "Silahkan. Saya tidak perduli."
"Bagus," desis Darius. "Karena saya akan menyewa yang terbaik dan tidak pernah gagal. Saya akan buru mereka dan bunuh satu per satu. Mulai dari wanita-wanita mereka."
"Menurutku kamu berlebihan, Yus. Jangan libatkan wanita mereka. Salah satunya putri Bayu. Kamu tahu Bayu masih menjabat dan masih menjadi anak emas Presiden kan? Jika Bayu bereaksi, bisa berbahaya."
Darius tertawa congkak. "Itu masalahmu, Man. Terlihat kejam di luar, tapi menyakiti wanita kamu tidak bisa? Apa-apaan itu?"
"Bowo!! Tunjukkan apa yang saya lakukan pada Jessica Sharon dulu pada Tuan Darius." Nadanya berubah dingin. Dia benci ketika seseorang menghina kekuatannya sendiri.
Wibowo sudah mengambil tablet dan menunjukkan apa yang dulu mereka lakukan pada Jessica Sharon karena menyerahkan dokumen yang disangkanya asli pada saksi lain.
"Saya bahkan masih memburu Tommy, anak saya sendiri. Jadi silahkan, sesukamu. Pastikan saja saya tidak terkait dengan itu semua. Tapi hati-hati dengan Antania dan Bayu. Berpikir cerdas, jangan dibutakan oleh emosi."
"Bagus. Orang-orang saya akan mulai bekerja. Para Daud itu harus diberi pelajaran."
Herman tertawa lebar. "Dan saya pun Daud." Kemudian ekspresi wajahnya dia ganti. Matanya menatap Darius tajam, senyumnya hilang. "Silahkan bersihkan mereka, tapi jangan pernah menghina nama keluarga saya."
"Hey hey, sudah-sudah. Kita sedang dalam perayaan. Wanita-wanita sebentar lagi datang." Irsan menengahi.
***
Hanif menatap Sabiya dari kejauhan. Wanita yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri itu sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Ganesha sepertinya dengan cepat mengerti profesi Sabiya. Karena Ganesha menyiapkan satu mobil lagi untuk mengangkut koper-koper Sabiya yang jumlahnya memang banyak. Selain liburan Damar, Sabiya juga harus bertolak ke New York untuk fashion show nya. Amy juga sibuk membantu.
Matanya menatap jam tangan, sambil menunggu dengan sabar. Setelah semua barang masuk, dia bisa melihat Sabiya menatap rumahnya lama-lama. Lalu masuk ke dalam mobil dengan Ganesha dan Damar. Amy pada mobil lainnya. Setelah itu mobil mereka melaju, dan dia mengikuti di belakang.
Airport
Langkah Hanif terhenti ketika Sabiya selesai melakukan check-in. Dia menatap ke sekeliling perimeter area, memeriksa, apakah ada orang-orang yang mencurigakan dan bisa membahayakan Sabiya? Lalu ponselnya bergetar.
"Ya, Nik."
"Faya, Nif. Faya diserang."
"Maksudnya?" Jantungnya sudah berpacu. Dia mengerti apa kata Niko, hanya masih tidak percaya. "Nik, apa ada orang ADS yang kawal Sabiya sekarang? Dia sedang di airport."
"Yang terbaik. Hubungi Faya, Nif," ujar Niko cepat. "Herman nggak main-main kali ini. Dia sewa professional."
"Brengsek." Tubuhnya memindai cepat sekali lagi, lalu melihat seseorang dengan topi ADS ada di sana. Lalu dia berjalan pergi sambil menghubungi Faya.
"Sayang..."
"Aku baik-baik, Nif."
"Dimana kamu?" Kakinya berlari menuju tempat parkir.
"Aku serius baik-baik. Bung Niko selalu berlebihan."
"Fa, kamu dimana?"
"MG."
Dia menggeram marah. "Kalau kamu baik-baik, kamu nggak akan ada di MG. Siapa, Fa?"
"Profesional. Aku hanya sedikit lecet. Ini bukan apa-apa. Ah, kalian berlebihan."
"Dimana orangnya sekarang?"
"Mati, aku tidak punya banyak pilihan, Nif. Orang itu tidak mau berhenti. Tania ada di MG, dia yang memeriksaku tadi. Harusnya aman."
Sumpah serapahnya sudah keluar begitu saja. "Tunggu aku di sana."
***
Mata Arsyad memindai cermat ketika laki-laki dengan topi hitam ADS itu bergerak. Hanif bisa tertipu, tapi dia tidak. Hanif lupa bahwa orang ADS tidak akan menunjukkan identitasnya begitu saja. Berita Faya sudah sampai di telinganya, juga Hanif. Jadi mungkin konsentrasi adiknya terpecah.
Tiket sudah diurus oleh Janice. Dia tidak akan pergi, hanya akan masuk dan mengawal Sabiya pergi. Juga mengirimkan pesan pada siapapun yang mengganggu keluarganya, bahwa dia ada. Selalu ada. Dan tidak ada satu orang pun yang bisa menyentuh orang-orang yang dia lindungi. Tidak lagi.
Keterangan dari Niko orang yang menyerang Fayadisa bukan sembarang orang. Terbaik di bidangnya, dan benar-benar tidak akan berhenti sampai targetnya mati. Bagus, dia selalu tidak suka sesuatu yang terlalu mudah. Matanya mengikuti orang itu bergerak, lalu bibirnya tersenyum. Umpan. Laki-laki itu hanya umpan. Karena sudah ada dua orang lagi di sana yang juga mulai bergerak perlahan. Mencurigakan karena mata mereka tidak lepas dari Sabiya yang sedang bergandengan tangan dengan Ganesha sambil sibuk mengawasi Damar yang asyik dengan ponselnya.
Dia membawa Ram dan Max bersamanya. Juga beberapa tim lain untuk membersihkan sisa-sisa nanti. Niko sudah dia kirim untuk menjaga mama. Alex, Rico dan Elang juga sudah siaga menjaga Dara dan keluarga Darusman lainnya.
Oke, si laki-laki dengan jaket biru adalah giliran pertama. Nafasnya dia hirup perlahan, lalu dia mulai bergerak diam-diam.
Targetnya sedang berdiri di toko jaket dan sepatu yang tidak ramai. Senjata dengan peredamnya sudah siap. Ketika targetnya berjalan perlahan mengawasi Sabiya sementara dua partnernya berada jauh di depan, matanya memeriksa si penjaga toko yang sedang asyik dengan musik pada headphone di telinga. Bagus.
"Biru, apa sudah aman?" Dia bertanya pada Mahendra melalui earphone..
"Beres. Silahkan." Maksud Mahendra seluruh CCTV sudah diamankan.
"Buat pengumuman di speaker airport sekarang," perintahnya cepat.
Mahendra sudah memasukkan suara panggilan palsu yang bergaung pada speaker ketika dia memulai. Langkahnya cepat dan dia merangkul target pertama lalu menembakkan senjatanya yang hanya menyebabkan bunyi yang tersamarkan dengan suara pengumuman palsu tadi. Kemudian Max masuk untuk merangkul korban yang sudah tidak bernyawa dan membawanya keluar toko cepat. Mengamankan tubuhnya di salah satu gang yang mengarah pada kamar mandi. Di sana sudah ada tim yang lain untuk membersihkan sisa. Si penjaga toko masih asyik menggumamkan lagu. Aman.
"Hitam, Damar dalam bahaya." Mahendra berujar cepat.
Ram ada di depannya. Damar berjalan ke arah toilet dengan headset terpasang diikuti dua orang tadi di belakang anak itu. Sementara Max sudah kembali untuk mengikuti Sabiya di depan yang duduk menunggu di coffee shop bersama Ganesha. Dia dan Ram yang akan bereskan.
"Pantau Max dan Biya, Biru. Gue beresin ini dulu."
"Beres," sahut Mahendra.
Dia mendengar pekikan Damar dari dalam kamar mandi sementara Ram sudah menjatuh target kedua yang berdiri di depan pintu berjaga. Tubuhnya masuk dan melihat sang laki-laki dengan topi ADS berusaha mendorong pintu kamar mandi yang ditahan Damar dari dalam bilik.
"Hey, pick your own size. Damar, tetap di dalam."
Laki-laki itu mengacungkan senjata yang sudah dia tepis cepat. Tangannya bergerak cepat menghantam kepala target dan membenturkannya ke dinding. Dia harus bertanya, siapa yang mengirim mereka. Jadi dia tidak bisa menggunakan senjatanya sementara ini. Dua lainnya terlanjur mati. Hebatnya, laki-laki itu berdiri tegak dan tersenyum miring. Oh, dia suka ini.
Lalu kakinya melangkah cepat sementara kepalanya sudah menunduk menghindari pukulan. Dengan tiga gerakan dia berhasil mengenai ulu hati, lalu leher target. Kaki kirinya dia hantamkan pada tungkai kaki target hingga terdengar bunyi retak dalam dan membuat target menjerit ngeri. Laki-laki itu di lantai, tidak berdaya.
"Siapa?" Dia mengeluarkan senjatanya.
Pintu bilik kamar mandi terbuka sendiri dan Damar berdiri pucat di ujung sana.
"Tutup mata, Damar. Gunakan headsetmu dan keraskan volumenya." Dia berjongkok dekat dengan targetnya di lantai.
Damar menangis takut tanpa suara, kemudian melakukan apa yang dia perintahkan. Lalu dia mengokang senjata dan menoleh lagi pada targetnya. "Jadi, siapa?"
Laki-laki itu tertawa. "Pamanmu sendiri, juga teman-temannya. Kami tidak akan berhenti. Bayarannya sepadan."
"Bagus." Senjata dia tembakkan cepat ke kepala target. Lalu tubuh itu lemas tidak bernyawa.
Nafas dia hirup panjang, lalu dia berdiri dan menyimpan senjata.
"Biru, status."
"Aman, harusnya hanya tiga."
"Cek terus, jangan lengah. Mereka pro."
"Ya, katanya begitu," sahut adiknya.
Kemudian dia menarik lengan Damar perlahan dari dalam bilik. "Jangan buka mata dulu, oke."
Damar mengangguk takut. Setelah mereka berada di luar kamar mandi tapi masih berada di gang yang menutupi, dia berjongkok menatap Damar. Ram sudah masuk ke dalam kamar mandi dengan beberapa tim lainnya untuk membersihkan.
"Hey jagoan." Satu tangannya menepuk puncak kepala Damar. "Jangan menangis lagi, sudah aman. Silahkan buka mata, Damar."
Mata Damar membuka dan mengerjap untuk menghapus air mata. Kemudian tanpa dia duga Damar memeluknya kuat. "Siapa itu tadi, Om?"
"Orang jahat." Tubuhnya kaku sesaat, namun kemudian dua tangannya juga merengkuh Damar hangat.
"Apa dia akan bunuh aku dan Mama?" Pelukan Damar makin erat.
"Enggak, karena Om, Ayah dan Om yang lainnya akan terus jaga Damar dan Mama. Dimanapun kalian berada."
"Sekalipun Mama akan menikah dengan Om Ganesha?"
"Ya, sekalipun Damar punya Ayah baru. Kami akan tetap menjaga Damar dan Mama. Dimanapun kalian berada. Jangan khawatir." Dia melepaskan pelukan itu perlahan, sekalipun dua tangannya masih berada di bahu Damar.
"Aku tidak mau Om Ganesha yang jadi Ayahku. Apa bisa Om saja yang jadi Ayahku? Karena Ayah Hanif sudah punya Tante Faya, dan Om Mahendra sudah punya Tante Alexandra."
Lagi-lagi dia menghirup nafas. "Damar, pekerjaan Om sangat berbahaya. Mama dan Damar bisa berada dalam bahaya juga."
"Tapi sekarang, sekalipun Om Ganesh yang akan menikah dengan Mama, orang jahat tetap ada. Om Ganesha tidak bisa bertarung seperti Om, dan Ayah Hanif."
"Tapi Om Ganesh bisa menyembuhkan orang. Dia dokter yang hebat. Dia juga punya banyak waktu untuk Damar dan Mama."
Mata Damar terlihat sedih sekali, seperti mata Sabiya dulu. Dan sungguh itu menyiksanya sendiri.
"Janji pada Om antara sesama laki-laki dewasa. Bisa?"
Damar mengangguk.
"Jangan ceritakan soal ini pada Mama. Mama bisa ketakutan."
Damar mengangguk lagi.
"Om Ram, akan ikut ke sana. Untuk jaga Mama dan Damar di sana. Tapi Damar tidak boleh bilang Mama. Apa Damar bisa janji?"
"Iya. Aku janji."
"Terakhir, jaga Mama baik-baik. Jangan biarkan Mama sedih."
"Mama selalu sedih sekarang, sekalipun dia tertawa," jawab Damar polos.
Dia hanya bisa mengangguk perlahan, dan menerima satu pelukan kuat lagi dari Damar. Topi sudah dia kenakan, Ram sudah keluar dari kamar mandi dan selesai membersihkan dengan tim lainnya yang baru saja pergi. Ketika dia ingin berdiri tegak, satu tangan Damar menahannya.
"Om, tadi Mama jatuhkan ini dari tasnya. Ada nama Om, tapi aku belum buka isinya apa." Tangan Damar mengulurkan kertas putih lusuh yang terlipat rapih.
Lalu sebelum dia bisa menolak pemberian Damar, anak itu sudah menjejalkan kertas putih lusuh tadi pada tangannya dan berlari pergi menuju coffee shop tempat Sabiya menunggu. Kertas itu dia genggam erat, lalu kepalanya menoleh pada Ram yang sudah berdiri siap menerima perintah.
"Jaga baik-baik, Ram. Saya sudah hubungi tim kita yang bertugas di sana untuk membantu kamu."
Ram mengangguk singkat. Ketika tubuh Ram ingin pergi, dia menahan pundak Ram lagi.
"Jaga, sekalipun kita semua harus kehilangan nyawa. Paham, Ram?"
"Mati dalam bertugas itu selalu lebih baik."
"Saya sangat berharap tidak perlu ada yang mati, Ram. Selalu waspada."
Ram berlalu setelah menjawabnya dengan anggukkan.
Dia menatap dari kejauhan, mengawasi. Bagaimana Sabiya tersenyum menatap Ganesha yang sedang bergurau, atau bagaimana Sabiya bertanya pada Damar kenapa ke toilet lama sekali. Damar hanya diam, sambil mencari sosok dirinya dari tempat anak itu duduk. Tubuhnya masuk ke dalam bayangan yang melindungi, hingga tidak ada satu orang pun tahu, tentang apa yang berkecamuk di dalam hatinya sendiri.
Ketika Sabiya, Ganesha dan Damar sudah mulai beranjak ke ruang tunggu, dan Ram sudah dengan aman mengikuti, dia mulai melangkah ke arah yang berlawanan sambil mengenggam kertas pemberian Damar tadi.
"Biru, kita punya banyak pekerjaan."
Mahendra terkekeh di sana. "Emang dari kemarin nggak ya, Bang?"
"Angel, kumpulkan semua di markas besar. Sekarang."
***
Alhamdulillah, satu cerita lagi selesai. Duh, makin lama nulis Daud gue nya sendiri makin baper. Rasanya ga rela kalau cuma sampai cerita Arsyad aja #eeehhh
Anyway, what a hell of a ride we had.
It's been super exciting, super fun, heart-pumping, cheek-blushing, and all of the mixed feelings. Kalian bener-bener super seru sampai gue kehabisan kata-kata. Comment-comment kalian yang super kocak beneran bikin gue tambah semangat update dan nulis. Untuk itu semua, I feel blessed and thankfull. Terimakasih ya.
Jadi, siap-siap buat ceritanya Abang besar. Konsep ceritanya akan ada sedikit perbedaan. Nanti dikasih tahu yah. Doakan aja kita semua sehat dan semua ide lancar.
Siapa yang nggak sabar?
See yaa in my next one.
-luv,ndi-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro