Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Meet my parents

Safe House

"Maheeeen..." Tubuhnya langsung berdiri ketika tahu Mahendra tidak ada di dalam ruangan.

Kakinya melangkah ke luar lab untuk mencari sosok itu. Sejak insiden laknat kemarin, mimpi-mimpi buruk masih datang. Dia menjadi lebih sensitif, mudah takut dan cemas. Ruang dapur kosong, tidak ada Mahendra di sana.

"Lexy, dimana Mahendra?"

"Tuan sedang memeriksa perimeter area. Sarapan anda ada di meja makan dan juga catatan dari Tuan."

Matanya menatap sarapan yang Mahendra sudah siapkan untuknya. Satu tangan menghapus air mata cemasnya tadi lalu mengatur nafas panjang.

Jangan cengeng, Lex. Kamu aman di sini.

Kemudian dia duduk dan meneguk air mineral untuk menenangkan diri. Setelah beberapa saat, dia mulai menggeser piring sarapan yang terlihat menggoda ke hadapannya.

"Tuan Mahendra menghubungi," ujar Lexy.

"Hen, kamu dimana?" terkadang dia terkejut sendiri tentang betapa manjanya dia pada Mahendra.

"Aku sedang cek perimeter dan memastikan senjata pesanan Arsyad yang baru datang benar terpasang. Kamu baru bangun?"

"Cepat kembali, aku nggak mau makan kalau nggak ada kamu."

"Jangan konyol. Lexa. Makan dulu. Aku sebentar lagi selesai. See you."

Hubungan disudahi dengan dia yang mencebik kesal.

"I love you, Lexa. Be nice oke, I made that breakfast only for you. You should say that Heeeen. Hrrrghhh...." makinya gemas sendiri.

Sikap Mahendra masih hangat, tapi tetap pelit sekali dengan kata-kata manis. Kemudian Lexy berujar lagi.

"Nona Lidya menghubungi."

"Tolong sambungkan, Lexy. Terimakasih," jawabnya. Dia mulai mengunyah pancake buatan Mahendra yang enak sekali.

"Hai, tuan Putri. Udah enakkan?" sapa Lidya.

"Lumayan. Kenapa, Lid? Aku belum mau kerja."

Lidya tertawa di sana. "Iya lah, orang lagi berduaan. Kemarin gue suruh libur, nggak mau. Sekarang janji udah penuh, nggak mau kerja. Tapi anyway, pemberitaan udah keluar dan klien mengerti dengan rehat lo kali ini. You are safe."

"Good. Kalau perlu setahun, sampe Mahendra bilang I love you lagi sama gue."

Lidya tambah tertawa. "Dasar manja. Tapi gue mau ngingetin kalau besok ada makan malam resmi sama Ratu Jovanka. Jangan lupa. Gue udah datengin MUA langganan untuk koreksi lebam-lebam lo."

Lebam. Oh sh**. Dia memaki dalam hati lalu mendorong piring sarapannya menjauh.

Tubuhnya berdiri panik berputar mencari timbangan digital di kamar bawah dan langsung naik ke sana.

"Lex, berapa berat badan lo terakhir?" tanya Lidya.

"Ah, Liiiidddd...I hate it."

"Lo pasti lupa prosedurnya, Lex. Nyokap lo bakal complain habis-habisan. Gue nggak mau nge-push lo begini, tapi..."

Dia mendekati cermin seluruh tubuh di dalam kamar lantai bawah yang dulu dia tempati, mengamati segalanya dengan cermat. Masih ada sedikit biru pada bibirnya, juga garis luka tipis sekali yang mengering pada salah satu pipi.

Itu bisa ditutupi dengan make up. Tapi berat badan. Dia menyumpah serapah lagi.

"Lex, mau gue kirimin obat biasa?"

"Yes, of course. Bye, Lid."

Dia langsung berlari ke kamar mandi. Oh, dia benar-benar lalai beberapa hari ini setelah insiden itu. Marendra benar-benar memanjakannya hingga dia lupa bahwa dia harus menjaga tubuhnya. Satu jari sudah masuk ke dalam mulutnya. Pancake yang lezat tadi harus dia keluarkan segera atau mama akan memakinya.

"Hoek!!" Dia memuntahkan lagi apa yang dia makan tadi. Sambil berharap dalam hati semua makanan dari malam sebelumnya juga ikut keluar.

Bayangan pandangan mata mamanya yang merendahkan dan meremehkan sungguh membuat dia tidak tahan sendiri. Dia mulai panik dan terus mendorong keluar makanan yang sudah hampir kosong hingga rasa pahit berganti di mulutnya.

"Alexa!!" Pintu kamar mandi diketuk dari luar.

Dia langsung berdiri menuju wastafel untuk mencuci wajahnya. Mahendra tidak boleh tahu.

"Alexa, kamu nggak apa-apa?" tanya Mahendra cemas.

Pintu kamar mandi dia buka. "Aku nggak apa-apa."

"Kamu sakit?" Mahendra menarik lengannya keluar kamar mandi dan menuju ruang tengah. "Lexy, pindai Alexandra."

"Memindai."

"Hen, aku nggak apa-apa."

"Nona Alexandra baik-baik saja. Tapi kortisolnya naik tinggi setelah hubungan ponsel dengan Nona Lidya."

"Rekamannya," pinta Mahendra.

"Hen, stop. Aku nggak apa-apa," ujar Alexa panik.

Terlambat, Lexy sudah memperdengarkan rekaman pembicaraannya dengan Lidya. Wajah laki-lakinya itu berubah tegang sekali. Mereka berdiri berhadapan.

"Kamu muntahkan makanannya karena kamu takut gemuk?"

Bibirnya dia gigit cemas. "Hen, aku model, dan mamaku..."

"Jadi sejak dulu ketika kamu pertama datang ke sini, seluruh makanan yang kita makan bersama, kamu muntahkan lagi?"

Ekspresi Mahendra marah sekali dan itu membuatnya makin gelisah. "Aku...tidak boleh gemuk."

Satu tangan Mahendra memijit dahinya dan tangan lainnya bertolak pinggang menahan kesal. Dia sendiri berdiri dan mulai berkaca-kaca, benar-benar takut Mahendra marah.

Apakah Mahen akan dingin lagi seperti dulu? Oh, bunuh saja aku.

"Jangan marah, aku minta maaf. Jangan jauhi aku." Dia benar-benar merengek dan tidak perduli pada gengsinya sendiri. Satu tangannya sudah menggenggam erat pinggiran kaus abu-abu Mahendra.

Nafas Mahendra hirup panjang, panjang sekali. Laki-lakinya itu masih terlihat marah sementara dia menangis sesunggrukkan. Karena ini dunianya, dunia yang penuh tuntutan dan pura-pura. Dia sudah tinggal di dunia itu sejak kecil. Saat ini dia tahu Mahendra benci dengan satu-satunya dunia yang dia tahu. Sementara dia ingin Mahendra masuk ke sana, mengerti dia. Karena sungguh dia tidak tahu bagaimana cara keluar dari dunia itu.

Kemudian Mahendra melangkah mendekatinya. Dua tangan Mahendra membingkai rahangnya lembut. Mata laki-laki itu menatap dalam. "Dengarkan aku. Aku tidak perduli dengan berat tubuhmu, atau jika nanti kamu akan tua keriput dan rambut indahmu ini berubah jadi putih semua. Bahkan mungkin gigimu tidak lagi ada. Aku tidak perduli, Alexa. Berhenti menyiksa dirimu sendiri. Kamu cantik apa adanya."

Tangisnya tambah keras lagi. Itu kata-kata manis terpanjang dan terindah yang pernah dia dengar dari seorang laki-laki. Apalagi ini laki-laki yang dia cinta. Jadi ketika Mahendra memeluknya lembut, dia tenggelam di sana.

***

Apartemen Alexandra

Alexa menatap Mahendra yang terlihat gelisah. Sikap laki-laki itu tidak seperti biasanya dan dugaannya adalah karena Mahendra masih memikirkan pertengkaran kecil mereka kemarin. Setelah beberapa hari beristirahat di safe house, orangtuanya tiba dan ingin bertemu dengannya. Ini untuk pertama kali mereka akan bertemu. Maksudnya Mahendra yang akan bertemu dengan orangtuanya sendiri.

Lidya sudah menyiapkan makan malam lengkap dengan Mahendra yang mendatangkan chef keluarga Daud ke apartemennya. Sebenarnya dia tidak ingin ini. Dia masih ingin duduk di sofa safe house dan bemanja-manja pada Mahendra yang sedang sangat manis sikapnya. Tapi mama dan ayah memaksa, dan mama adalah seseorang yang perfeksionis, terlalu perfeksionis. Hingga Lidya harus memastikan make up-nya sempurna dan menutupi sisa lebam biru di wajahnya. Juga dia yang berusaha memuntahkan seluruh makanan sebelum Mahendra mengetahui segalanya dan membuat dia berjanji untuk tidak melakukan itu lagi.

"Ada apa? Kamu gugup?" Matanya menatap Mahendra yang berdiri di dalam kamar. Lidya yang juga berada di kamar dan sedang membantunya bersiap-siap seperti mengerti, lalu segera keluar dari ruangan memberi mereka ruang untuk bicara.

"Aku tidak suka," jawab Mahendra ketika pintu kamar tertutup.

"Dengan?" Tubuhnya berdiri berjalan mendekati Mahendra. Laki-lakinya itu sempurna dengan setelan Armani tanpa dasi.

"Dengan semua kepura-puraan ini. Kamu baru saja mengalami trauma. Apa orangtuamu tidak bisa bersikap selayaknya orangtua normal yang menengok anaknya? Ada apa dengan makan malam formil? Segala make up yang menutupi lukamu? Juga makanan yang kamu muntahkan? Insiden kemarin bukan maumu. Tapi kamu harus berpura-pura baik-baik saja pada orangtuamu sendiri?"

Dia meletakkan dua tangan di dada Mahendra. "Welcome to my family." Senyum kecilnya terkembang. Hatinya terasa hangat karena Mahendra benar-benar memikirkan perasaannya. "Kamu akan terbiasa."

"Tidak akan pernah." Kepala Mahendra menoleh ke samping.

"Mereka keluargaku, Hen. Seburuk apapun itu."

Satu tangan Mahendra menyentuh pipinya lembut. "Maafkan aku. Aku hanya..." Mata Mahendra menatapnya lembut. "Mamaku bahkan hanya akan berlari dan memeluk kami kuat, tidak perduli dengan pakaian kami ketika dia tahu kami terluka."

"Aku senang mengetahui itu." Dia tersenyum lembut berusaha menenangkan Mahendra. "Kamu tampan sekali. Aku tidak pernah melihatmu dengan setelan formil seperti ini. Terimakasih, karena sudah mau mengerti."

Kepala Mahendra menunduk lalu bibirnya mencium lembut. Refleks tangannya mengalung pada leher Mahendra, menyambut ciumannya.

"I love you, just the way you are. No need to wear make-up, you are perfect for me already," ujar Mahendra sambil menatapnya. Jari-jari Mahendra mengusap pipinya lembut.

Tubuhnya terasa melayang tinggi mendengar kalimat Mahendra tadi. Mahendra bukan seseorang yang mengumbar kata-kata manis. Tapi laki-lakinya itu seperti mengerti, bahwa terkadang dunianya sendiri bisa terasa sesak sekali. Tuntutan sikap sempurna, penampilan sempurna, dalam situasi dan kondisi apapun. Padahal tidurnya bahkan masih dihantui mimpi-mimpi yang buruk sekali. Tapi dia dituntut untuk tidak memperlihatkan luka jiwanya. Hanya pada Mahendra dia bisa bersikap apa adanya. Paham benar, Mahendra akan selalu ada di dekatnya.

"Sejak hari pertama, sekalipun aku selalu diabaikan, aku sudah jatuh cinta pada laki-laki kutu buku paling tampan dan sempurna. Namanya Mahendra Daud. Oh, dia menyebalkan sekali terkadang. Membuatku harus melepas bajuku untuk mendapatkan baju lainnya."

Mahendra tertawa sambil mencium pipinya kecil-kecil. Dia pun tertawa geli, karena Mahendra berpindah ke lehernya. Pintu kamarnya terbuka, dan Lidya berdehem.

"Tuan dan Nona, tamu sudah datang." Lidya memberi tahu.

Mereka melepaskan diri perlahan dan berjalan ke luar ruangan.

"Terimakasih, Hen. Karena sudah melindungi Alexa dan membuat dia sebahagia sekarang." Dia bisa mendengar suara Lidya di belakang yang bicara pada Mahendra. Kemudian senyumnya terbit lagi.

***

"Sayang, ya Tuhan. Kamu baik-baik?" Harold langsung memeluk putrinya erat.

Oke, itu reaksi yang baik. Harold sepertinya ayah yang baik, gumam Mahendra dalam hati.

Mata Mahendra ganti menatap Jovanka. Dagu wanita itu terangkat tinggi, seolah berkata bahwa Harold melebih-lebihkan sikapnya.

"Harold, kamu berlebihan. Alexa selalu baik-baik saja. Lihat dia."

Jovanka sudah berbalik menatapnya, memindai dia cermat, dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Oh, kenapa bisa ada wanita seperti ini di dunia? Jovanka tidak memiliki mother-material sama sekali. Tatapannya dingin, sikapnya kaku, wajahnya angkuh dengan sikap seolah semua orang adalah pembantu-nya.

"Saya Mahendra Daud." Dia memperkenalkan dirinya sendiri sambil mengulurkan tangan.

Jovanka tidak tersenyum, hanya menatapnya tanpa ekspresi sambil masih menilai. Tangannya hanya dijabat sesaat.

"Sepertinya anak saya selalu dalam bahaya ketika bersama kamu," ujar Jovanka dengan nada dingin.

"Mahendra yang menjagaku, dan William adalah penipu kotor. Begitu adanya, Ma." Tubuh Alexa sudah mendekat padanya.

Oh, kendalikan emosimu, Hen. Rahang dia rapatkan.

Harold menjabat tangannya lebih hangat sambil mengucapkan terimakasih. Dia tersenyum kecil pada Harold.

"Apa kabar ayahmu? Aku harus bertemu dengannya?" Harold berbasa-basi.

"Ayah baik, beliau mengirimkan salam. Saya akan sampaikan jika anda ingin bertemu. Ayah pasti senang sekali," jawabnya.

Lidya sudah mengantar mereka ke meja makan. Dia menggeser kursi untuk Alexa, lalu juga melakukan hal yang sama untuk Lidya yang menatapnya heran.

"Duduk, Lid." Dia menatap Lidya yang kebingungan.

"Lidya tidak makan dengan kami, Mahendra," sahut Jovanka angkuh.

"Saya yang mengundangnya hari ini. Lidya tamu saya." Dia menatap Jovanka tajam.

"Sudahlah Jo, sikapmu buruk sekali. Duduk, Lid. Jova hanya lelah karena penerbangan panjang," ujar Harold.

"Aku tidak mendapatkan kursi dekat jendela. Kerjamu buruk sekali, Lid." Tatap Jovanka tajam pada Lidya.

"Lain kali, saya akan minta jet pribadi saya untuk menjemput anda. Jadi anda tidak perlu ribut karena kursi tanpa jendela. Seluruh jendela akan jadi milik anda. BIlang saja kapan anda ingin menengok dan memeriksa kondisi Alexandra. Saya akan pastikan jet saya tersedia." Tubuhnya sudah duduk menikmati ekspresi kesal Jovanka.

"Maafkan istri saya. Perjalanan kami memang panjang." Harold menengahi.

"Saya mengerti." Dia tersenyum pada Harold. "Tapi tawaran jet saya bukan basa-basi, Harold. Jangan sungkan."

Kemudian makan malam mulai dihidangkan. Ada tiga pelayan yang dia datangkan juga Anthony, chef andalan keluarga mereka. Dia masih memperhatikan Jovanka yang menahan ekspresinya ketika makanan pembuka dihidangkan.

"Ini rasanya luar biasa." Harold sudah mulai menyantap cold appetizer yang terhidang dihadapannya.

"Ini hanya appetizer biasa, Harold. Jangan berlebihan," sahut Jovanka.

"Tapi bumbunya lebih segar dan sedikit berbeda," jawab Harold.

Anthony yang berdiri tidak jauh dari meja tersenyum senang. Kepalanya mengangguk sambil tersenyum juga lalu Anthony berlalu ke dapur. Menyiapkan hidangan utama.

"Apa kamu karnivora, Harold?" dia bertanya membuka pembicaraan.

"Kamu pikir kami binatang?" sindir Jovanka.

"Kita semua spesies mahluk hidup. Lebih tinggi dari binatang pastinya. Istilah karnivora bukan hanya digunakan oleh binatang saja."

Harold tertawa menengahi. "Aku omnivora, Hen. Pemakan segala."

"Bagus, karena Anthony sudah menyiapkan fillet mignon spesial."

"Kami tidak makan berat di malam hari," sahut Jovanka lagi.

"Ya, saya paham. Hidangan anda dan Alexa akan berbeda. Saya, Harold dan Lidya akan menjadi karnivora malam ini." Dia sengaja menggunakan kata karnivora lagi untuk membuat kesal Jovanka.

Alexandra menoleh kepadanya lalu tersenyum cantik, tangan gadis itu mengenggamnya perlahan. Sementara Harold tertawa lagi.

"Selera humormu unik sekali, anak muda. Saya suka," ujar Harold dengan senyum lebar.

Lalu makanan utama dihidangkan. Mereka makan sambil mulai berbincang lagi.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Lexa? Semua baik di sini?" Harold membuka pembicaraan.

"Baik, Daddy. Lidya hebat sekali menangani segalanya. Walaupun tanpa agency. Aku jadi berfikir Lidya bisa mendirikan sebuah agency dengan segala kemampuannya," jawab Alexa.

Alisnya terangkat. "Kenapa tidak? Itu ide bagus, Alexa." Dia menatap Lidya yang sedikit gelisah. Manager Alexandra yang biasanya sangat percaya diri, dan ceplas-ceplos, ketika berhadapan dengan Jovanka seperti tikus kecil yang bahkan tidak berani mencicit.

Hah, Jovanka memang seperti dementor yang bisa menghisap semangat orang dengan pandangan angkuhnya. Sekalipun itu sama sekali tidak berpengaruh padanya.

"Lidya? Agency? Ide buruk apa itu?" Jovanka menatap Alexa tajam.

Dia menatap Jovanka. "Itu saran yang sangat masuk akal. Agency Caroline ditutup karena usaha kotor yang illegal. Saat ini hanya ada dua agency lain yang tidak terlalu besar. Hanya lima puluh sampai tujuh puluh persen besarnya dari agency milik Caroline. Lidya bisa memulai agencynya sendiri, mungkin kolaborasi bersama Alexandra yang sudah sangat pengalaman di luar sana. Alexa tidak bisa selamanya jadi model. Ada batasan waktu. Tapi saya yakin Alexa bisa menjadi seperti Josephine Zara di negara ini. Mencari wanita berbakat dan mendidik mereka."

"Wow, itu terdengar sangat bagus. Aku pikir aku hanya asal bicara." Alexa menatapnya heran.

"Ya, kamu asal bicara. Kami tidak akan menggelontorkan uang untuk hal yang sia-sia, Alexa," timpal Jovanka.

"Saya bisa mendanai jika proposal Lidya cukup menarik. Lagipula, ini untuk masa depan Alexa juga." Satu tangannya menggenggam tangan Alexa yang dingin. Wanitanya ini benar-benar merasa tidak nyaman karena tingkah ibunya yang brengsek sekali.

"Itu tetap terdengar bodoh. Alexa tidak sebaik Josephine. Dia bahkan belum bisa disejajarkan dengan Hadid di sana. Omong kosong apa itu." Nada Jovanka sinis.

Wajah Alexa menunduk.

"Anak anda tidak pernah bodoh, Jovanka. Dia diterima di tiga ivy college dan lulus dengan nilai sangat baik mengingat dia juga sedang sibuk dengan karirnya dulu. Alexa hanya berada pada lingkungan yang salah."

"Kamu berbicara seolah-olah kamu hebat sekali. Apa pekerjaanmu Mahendra?" Jovanka menatapnya.

"Sayang..." Harold berusaha menengahi lagi.

"Saya pimpinan bagian research dan teknologi di perusahaan teknologi terbesar pertama di negara ini, dan ketiga di asia."

"Membosankan," timpal Jovanka.

"Sayang..." tangan Harold menggenggam Jovanka untuk memperingati.

"Ya, sangat membosankan memang. Hingga saya bisa mempelajari laporan keuangan butik anda hanya dalam waktu satu jam saja. Dan menemukan strategi anda buruk sekali. Membeli bahan baku di Paris? Atau negara Eropa lain? Harga bahan baku di negara-negara itu lebih tinggi sepuluh kali lipat. Padahal anda bisa mendapatkan kualitas yang sama jika membeli bahan baku anda di Asia. Bawa ke negara anda untuk dikerjakan. Profit anda akan membumbung tinggi dan anda tidak perlu menutup dua butik anda di Los Angeles dan San Fransisco."

"Pelanggan saya orang-orang kelas atas. Mereka tidak mau membeli barang yang asalnya dari Cina. Penghinaan."

Dia terkekeh kecil. "Ya, silahkan hubungi Gabriella yang sekarang bekerja untuk..."

"Aku tahu Gabriel," timpal Jovanka marah.

"Minta dia mengaku darimana asal bahan baku mereka."

Wajah Jovanka sudah merah menatapnya. "Temanmu ini benar-benar tidak punya sopan santun, Alexa."

"Tunanganku, Mama. Mahendra adalah tunanganku, seseorang yang akan kunikahi nanti." Kali ini dagu Alexa terangkat tinggi dengan senyum kemenangan di wajahnya. Tangan Alexa menggenggamnya erat.

Kemudian Harold tertawa lagi, untuk mencairkan suasana. "Makanan malam ini istimewa. Jangan dirusak dengan suasana yang tidak baik. Chef yang kamu sewa luar biasa, Lidya. Good job." Harold menatap Lidya.

"Sebenarnya, Anthony adalah chef di restoran keluarga Mahendra. Mahendra yang mengatur ini semua." Lidya berdehem tidak nyaman.

"Ya, dan semua makanan penuh kalori ini akan membuatmu gendut, Alexa. Dan lihat pipimu itu, wajahmu seperti kue bolu," sahut Jovanka sinis.

Sudah cukup. Piring sudah dia geser. Dia berusaha keras menahan intonasi suaranya sendiri karena masih menghormati Harold.

"Itu masalah anda, Jova. Alexa tidak pernah cukup baik untuk anda. Alexa bodoh, Alexa gemuk, Alexa ini, Alexa itu. Apa kamu sadar bahwa Alexandra adalah wanita utuh yang punya perasaan. Apa anda bahkan sudah melihat diri anda sendiri? Sempurnakah anda?" Dia berdiri lalu mengancingkan jasnya.

"Maaf, Harold. Saya tidak bermaksud untuk tidak sopan. Tapi jika anda berdua tidak bisa menghargai Alexandra, jangan salahkan saya yang akan mencuri Alexa, saya akan jaga Alexa dan hargai dia, kemudian saya tidak akan kembalikan lagi."

Harold tersenyum lebar sambil mengangguk mengerti. "Pergilah, Mahendra. Bawa dan jaga anak saya. Saya berikan restu saya." Kemudian laki-laki paruh baya itu menghirup nafas panjang sambil menatap istrinya tajam. "Tinggalkan saya dan istri saya di sini. Kami sudah lama tidak bicara empat mata."

"Harold..."

"Diam di sini, Jo. Kita bicara selayaknya orangtua." Ekspresi Harold berubah menjadi sedikit menakutkan, menatap Jovanka tajam.

Tangan Alexa dia tarik untuk pergi dari tempat menyesakkan itu. Lidya membuntuti mereka dari belakang. Ketika sampai di luar apartemen, tanpa dia duga Lidya mencium pipinya sambil melompat kegirangan.

"Maheeeennn...I'm your new fans. Oh, I love you so much." Lidya tertawa lebar.

Kemudian Alexa berdehem sambil melipat tangannya. "No, no. He's mine. Cari sendiri dong, Lid. Jangan ambil laki-lakiku."

Dia tertawa sambil menggeleng tidak percaya. Dua wanita itu juga tertawa. Lalu Alexa menggelendot manja di lengannya.

"Oh, oh. Gue harus balik untuk semprotkan APAR ke kepala Nyonya Besar Jovanka. Pasti sekarang sedang berasap setelah meledak tadi," bisik Lidya sambil mengendalikan tawanya.

"Serius, kamu harus balik Lid. Jangan biarkan orangtuaku bertengkar terlalu lama. Kalau kamu di sana, Daddy akan lebih menahan diri."

"Have fun you two," ujar Lidya sambil masih tersenyum lebar.

"Saya tunggu proposalnya, Lid. Soal agency. Saya serius." Dia menatap Lidya.

"Hah? Beneran?" tanya Lidya heran.

Dia mengangguk.

"Gilaaaa gue jatuh cintaa lagi sama Mahendraaaa. I will give a damn good proposal that even genius like you cannot resist."

"Looking forward to hear from you. Selamat malam, Lidya."

"Malam, Mahendra. Silahkan apa-apain Alexa, gue ijinin." Mata Lidya berkedip usil.

Dia dan Alexa tertawa lalu berlalu dari situ sambil bergandengan tangan.

***

Seperti yang sudah diinfo di IG, kalau part 46 dan 47 akan segera dihapus dan dijadikan hidden part nantinya. Dengan tambahan cerita di dalam tiap part nya yang nggak kalah seru. Jadi, silahkan baca sepuaaaas-puasnyaa. Sebelum gue hapus.

Kapan di hapusnya? Nanti diinfo di IG ya. Enjoy while it last.

-luv,ndi-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro