Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Is that what you want?

Safe House

Ayolah, Alexa. Kamu cantik sekali, sempurna. Saya tidak ingin memukulmu, atau memaksa.

Tenang, Sayang. Tenang. Atau ini akan sakit sekali.

Dia terus meronta, tapi wajah itu dekat sekali.

"Lexa, Alexa."

Refleks tubuhnya adalah duduk tegak dengan nafas terengah. Mimpi. Dia berada di tempat tidur dalam kamar Mahendra. Laki-lakinya itu berada di sebelahnya dan segera memeluknya lembut. Dia menangis takut. Bayangan buruk itu masih ada.

"Aku di sini, semua baik-baik. Kamu aman. Kamu aman." Tangan Mahendra membelai punggungnya lembut.

Setelah beberapa saat dia mulai tenang, tapi dua tangannya belum mau melepaskan Mahendra. Mereka berdua masih berpelukan ketika pintu lab terbuka dengan Hanif dan Mareno di sana. Mahendra dengan cepat menutup pembatas ruangan.

"Hen...kita tunggu di bawah." Suara Hanif di sana dengan cekikian Mareno.

"Aku ada urusan di bawah. Kamu minum dulu dan tenangkan diri di sini, oke?" Mahendra melepaskan pelukan mereka perlahan.

Dia mengangguk kecil.

"Lexy, buka semua jendela dan pembatas ke arah balkon luar."

"Baik, Tuan. Tuan Arsyad, Tuan Hanif, Tuan Mareno dan Nona Sabiya menunggu di bawah."

"Minta mereka menunggu sepuluh tahun lagi." Mahendra berdecak kesal.

"Tolong konfirmasi permintaan anda," sahut Lexy.

"Saya bercanda Lexy."

"Baik, Tuan."

Mahendra mencium pipinya perlahan lalu menatapnya dalam. "Kamu baik-baik saja, aman di sini."

Dia mengangguk lagi. "I'm oke now."

Lagi-lagi Mahendra mencium puncak kepalanya sebelum laki-laki itu pergi.

***

Tubuh Mahendra turun dari tangga dan melihat mereka sedang duduk di area meja makan.

"Hai, Hen. Apa kabar?" Sabiya tersenyum menatapnya.

Seperti biasa, Sabiya terlihat segar dan cantik. Wanita itu berdiri sambil sedikit memiringkan kepala.

"Baik." Gelas air dia ambil dan isi, sambil mengabaikan seluruh tatapan tiga abangnya.

"Oke, aku boleh naik ke atas? Aku ingin bertemu Alexandra," tanya Sabiya.

"Bi, Alexa masih sangat shock. Tolong bantu dia," ujarnya.

Sabiya mengangguk mengerti kemudian berjalan ke lantai atas. Tubuh Sabiya sudah menghilang di tangga. Kemudian para abangnya berjalan ke luar taman belakang dengan Mareno masih tersenyum sangat menyebalkan.

"Lo senyum-senyum lagi gue lempar gelas mau?" Gelas dia letakkan di meja lalu menyusul.

Mereka berempat berdiri melingkar di tengah taman. Menjauhi area dalam rumah paham benar mereka tidak berada di dalam lab yang kedap suara.

"You slept with her?" Arsyad menatapnya tidak percaya.

Kepalanya menggeleng keras mulai kesal dengan tuduhan abangnya. Sementara Mareno membuat ekspresi pura-pura terkejut yang sangat-sangat menyebalkan. Hanif hanya tersenyum sambil mengangguk saja.

"Mareno tidur dengan setengah populasi kota. Atau Bang Hanif yang serumah dengan Faya sebelum menikah. Kenapa lo nggak bertanya sama mereka, Bang?"

"Easy, Hen. Arsyad hanya bertanya." Hanif berusaha menenangkannya.

"Mareno otaknya memang sudah rusak. Jangan tiru dia. Kontrol diri Hanif baik sekali, I never doubt him." Arsyad menatapnya tegas.

"Loh kok jadi gue? I'm a married man now," timpal Mareno.

"Tapi lo harus hati-hati, Hen. Kalau memang lo punya perasaan dengan Alexandra..." Arsyad melanjutkan.

"Gue nggak butuh ceramah pagi, oke? Menurut lo apa gue sanggup ngerusak anak orang? Alexa masih trauma. Kita bahkan berpakaian lengkap. Kenapa juga gue harus jelasin ini ke kalian." Nadanya sudah tinggi.

"Confirm, Bang. Mahendra jatuh cinta. Mana pernah dia marah-marah begini pagi-pagi." Mareno berujar tengil sekali.

Karena kesal dia mendorong tubuh Mareno yang masih terkekeh saja.

"Reno, Hendra, udah." Hanif memisahkan.

"Just marry her. Kalau memang lo serius," timpal Arsyad tiba-tiba dan itu membuat Mareno tertawa tambah kencang.

"Bener kan? Gue bilang apa," timpal Mareno yang masih saja tertawa.

"Gue sumpahin lo yang married duluan, Bang. Sh*t kalian benar-benar menyebalkan. Do I look like eighteen?" Dia berjalan menjauh dari abang-abangnya kemudian tangannya di tahan oleh Hanif.

"Hey, jangan marah. Kita begini karena nggak mau lo kebablasan kayak Mareno. Cukup dia aja yang brengsek. Oke?" ujar Hanif.

"Nif, nggak asyik lo. Kenapa jadi gue lagi?" Tawa Mareno sudah pergi diganti kesal di wajahnya.

"Kita ke sini bukan mau bahas itu. Kemarin kita belum sempat saling update situasi terbaru." Hanif melanjutkan.

Dia sudah sedikit tenang dan mereka berdiri tegak lagi.

"Mulyana kritis, karena tembakan elo." Arsyad menghela nafasnya.

"Bagus. Jangan biarin dia mati, mati itu terlalu enak. Gue akan pastikan dia bangun dan siksa pelan-pelan nanti," sahutnya dingin.

"William dan Caro di penjara, sekalipun keluarga Wongso turun tangan untuk membebaskan mereka. Alexandra adalah saksi kunci, Hen. Dia harus aman sampai persidangan selesai."

"Asiiik, berduaan lagi." Mareno tersenyum konyol.

"Ren, kalau ga bisa serius pergi sana." Arsyad menatap Mareno kesal. Sementara Mareno hanya mengangguk kecil kemudian mengulum senyumnya.

"Pemberitaan sudah keluar, Harold dan Jovanka menghubungi Sabiya, dan sedang jalan ke sini. Mungkin besok tiba. Biarkan mereka bertemu di apartemen Alexa dengan penjagaan yang lo akan atur sendiri. Gue yakin lo paham benar bagaimana cara menjaga Alexandra kan, Hen?"

Dia mengangguk dan mengabaikan cengiran konyol Mareno yang masih di sana.

"Bukan hanya Mulyana yang akan jatuh, Idris juga ikut jatuh karena ada namanya dalam list pelanggan Caro. Hanya tinggal Irsan dan Darius. Ada dua orang baru yang gue curigai. Tapi gue butuh lo untuk cek. Herman akan mulai murka dan bertindak ekstrim. Seluruh pasangan kalian dalam bahaya. Jadi jaga mereka baik-baik." Wajah Arsyad serius sekali.

"Gue dan Arsyad belum menemukan penyusup di dalam. Yang melaporkan segalanya ke si brengsek Aryo atau Herman. Tapi Tommy sudah kembali. Harusnya Tommy tidak merapat dan membantu, karena dia juga diburu oleh Herman. Gue masih nggak paham kenapa Tommy berusaha selamatkan Aryo." Dahi Hanif mengernyit berpikir.

Dia menghela nafasnya. "Gampang, keep your friend close and your enemy closer. Apa yang gue dengar saat gue satu mobil bareng mereka, Aryo sudah tahu kalau Sharon ada di ADS dan Tommy datang ke sana. Dari siapa? Dugaan gue dari orang dalam mereka. Tapi kenapa Aryo nggak beberkan itu ke Herman? Padahal Herman jelas-jelas minta Aryo untuk cari Tommy kan? Kartu Tommy ada di Aryo. Sementara kartu Herman ada di Tommy. Dokumen pembelian senjata asli yang kasus penyelundupan dulu gue yakin masih ada di Tommy. Mereka berdua saling butuh tanpa mereka sadari."

"Wow, good analysis." Arsyad tersenyum menatapnya. "Jadi..."

Abangnya itu maju satu langkah sambil sedikit menunduk. Itu abangnya lakukan ketika ingin menyusun rencana bersama, seperti ketika mereka di hutan dulu. Jadi mereka maju mendekat. Berdiri berputar sambil mendengarkan seksama. Tentang rencana Arsyad untuk menjatuhkan yang lainnya.

***

Mereka berempat sudah kembali masuk ke dalam safe house ketika Sabiya turun dari lantai atas. Tiga adiknya memang bisa bersikap sangat kekanakkan atau konyol sekali, tapi mereka bisa langsung mencerna cepat rencananya tadi. Segala sesuatu yang penting sedang berlangsung bersamaan. Arsyad hanya berharap rencananya bisa berjalan, dan segera membuat rencana cadangan yang lain.

"Hen, Alexa masih di atas baru aku bikinin chamomile tea tadi. Aku nggak bisa lama. Maaf ya." Sabiya mendekati Mahendra perlahan. "Jaga Alexa baik-baik, dia benar-benar masih trauma. Harold dan Jovanka tiba besok. Aku akan temui mereka juga."

"Semuanya, aku pamit," ujar Sabiya lagi.

"Bareng, Bi. Gue antar." Mareno sudah pergi bersama Sabiya.

"Sorry, gue ke atas dulu." Mahendra sudah berada di tangga.

"Hen..." panggilnya.

Kepala Mahendra menoleh ke arahnya.

"Marry her, semua akan lebih mudah nantinya," ujarnya singkat.

Mahendra mendengkus kesal lalu menyahut asal. "After you, Bang. Lo duluan." Kemudian adiknya yang sedang mudah tersinggung itu berlalu ke atas.

Dia mengernyitkan dahi dan menatap Hanif. "Mahen kenapa sih?"

Hanif tertawa. "Dia nggak suka diperhatikan sama kita dengan cara seperti itu, Bang. Mungkin dia merasa sikap kita berlebihan."

"Loh, gue cuma bilang apa yang benar. Biar dia nggak kebablasan."

"Bang, have a little trust in him. Dia Mahendra Daud, manusia unik yang super introvert dan kikuk sama perempuan."

"Nif, kita bahkan nggak bisa akses CCTV rumah ini saat Alexa ada di sini. Itu aneh, kan? Apa yang Hendra sembunyikan? Ngapain aja dia di sini?"

"Nah, mangkanya tadi gue bilang. Trust him. Makin dilarang makin melanggar, persis kayak Mareno. Tapi kalau kita percaya Mahendra, dia akan berpikir ulang untuk mengecewakan kita, atau Mama," sahut Hanif. "Tenang aja, Bang. Mahendra sudah sangat cukup usia. Bukan adik kecil kita yang harus kita ikuti dari belakang saat jam pulang sekolah dulu."

Nafasnya dia hirup perlahan. Diantara semua adiknya, hanya Mahendra yang membuat dia paling khawatir, karena kemampuan sosialnya yang minim. Dia percaya pada Mahendra, tapi dia tidak percaya pada setan yang ada di antara.

"Bang, gue pingin ngomong, soal Sabiya." Hanif berujar lagi kali ini dengan nada yang sangat hati-hati.

Entah kenapa firasatnya berkata bahwa ada sesuatu yang salah, sangat salah. Kemudian dia melangkah ke basement bawah. Ruangannya sendiri. Hanif mengikutinya dari belakang.

***

Mereka berdua sudah berada di kamar Arsyad yang berbatasan dengan gudang senjata milik abangnya itu. Ya, jika dia suka sekali dengan musik dan piano, Mareno dengan perempuan dan Mahendra dengan tekonologi, maka senjata adalah teman hidup Arsyad. Abangnya itu menguasai semua jenis senjata. Kecil, besar, manual, otomatis, tradisional, ataupun modern. Kecintaan Arsyad pada senjata serta kewaspadaannya yang sangat tinggi membuat abangnya itu bahkan tidur bersama senjatanya.

Dia sudah mencerna, apa yang harus dia lakukan kali ini untuk dua orang yang paling berharga untuknya. Entah jika ini akan berhasil atau tidak. Berita Sabiya tidak mungkin dia tutupi lebih lama, Arsyad akan segera tahu pada akhirnya. Karena mereka semua memantau Sabiya.

"Ada apa?" tanya Arsyad. Mereka berdua berdiri berhadapan.

Nada suara Arsyad dalam, menandakan bahwa abangnya itu gusar sekali. Tatapan mata Arsyad menunjukkan bahwa abangnya memiliki malam-malam panjang yang menggelisahkan. Matanya terus memindai sikap Arsyad, dia tidak boleh salah duga. Jadi dia benar-benar memperhatikan seluruh gestur tubuh dan juga ekspresi abangnya.

"Sabiya, sudah bertunangan."

Tubuh Arsyad sedikit bereaksi. Abangnya paham benar bahwa dia sedang bicara pada adiknya yang pintar sekali psikologi. Jadi Arsyad berusaha menahan reaksi dirinya sendiri. Ya, karena netra mata Arsyad menggelap, pandangan matanya berlari selama beberapa detik, lalu dua tangannya masuk ke dalam saku. Dugaannya tangan itu terkepal keras.

Reaksi itu reaksi wajar. Karena Sabiya adalah adik mereka. Reaksi Mareno dan Mahendra sama paniknya. Tapi, dia harus bisa mencari tanda-tanda lain. Apa yang Arsyad rasa.

"Dengan?" tanya Arsyad singkat.

"Namanya, Ganesha. Dokter Ganesha Putra Anderson. Mahendra sedang periksa segalanya. Tapi gue sudah bertemu langsung, nggak sengaja."

Matanya memindai lagi. Sikap Arsyad masih sangat waspada dan menahan diri.

"Bagaimana menurut lo?" Arsyad bertanya lagi.

"Kesan pertama baik sekali. Sopan, intelek, humoris, hangat. Sedikit seperti Sabiya, versi laki-laki. Tapi gue akan terus periksa dan memastikan segalanya."

Pandangan mata Arsyad tiba-tiba menerawang. Mata hitam abangnya kosong.

"Bang..."

"Periksa segalanya, cari tahu kenapa Sabiya merahasiakan dari kita."

"Sabiya hanya takut dengan reaksi kita yang akan menggila," jawabnya.

Nafas Arsyad hela. "Jika Sabiya yakin dengan pilihannya, dan laki-laki itu memang bersih. Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Sabiya."

Tubuh Arsyad sudah berbalik menuju pintu.

"Apa itu yang benar-benar lo inginkan, Bang? Agar Sabiya bersama orang lain? Dimiliki orang lain?"

Langkah Arsyad terhenti. "Pertanyaan dengan banyak praduga. Jangan lupa, gue abang lo. Gue paham benar kemana arah pembicaraan ini. Sedari tadi, lo mengamati sikap gue, mencari tahu apa ada yang salah. Bagaimana reaksi gue, benar begitu, Hanif?"

Mereka berdiri berhadapan lagi, dengan jarak lebih jauh.

"Salah satu alasan, orang tidak bisa menjawab suatu pertanyaan adalah ketika praduga si penanya adalah benar. Dan salah satu cara yang paling baik untuk tidak menjawab, adalah dengan menutupinya dengan pertanyaan lain." Dia maju mendekati abangnya, juga memberi jeda sambil masih mengamati sosok Arsyad cermat. Arsyad tidak bisa lari darinya begitu saja.

"Teori yang bagus," sahut Arsyad.

"Jawab saja, Bang. Jangan terus menghindar. Kita semua dididik untuk tidak bisa berbohong pada satu sama lain, kan?"

"Gue tidak perlu menjelaskan sikap gue, atau melakukan pembenaran yang tidak perlu," tegas Arsyad.

"Lo masih tidak menjawab, Syad."

Arsyad tersenyum kecil sambil menggeleng. Abangnya itu maju satu langkah. "Gue tidak punya perasaan khusus pada Sabiya, kalau itu yang lo mau tahu. Nif."

Kepala Arsyad bergerak ketika mengucapkan itu, pupil matanya melebar selama beberapa detik, kemudian tubuh Arsyad berputar dan pergi dari ruangan.

Terlalu cepat, Bang. Lo bergerak terlalu cepat.

Bibirnya tersenyum kecil, karena sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro