Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. Those three words

Nggak ada rencana double update. Jadi kalau ada typo, tolong info ya. Biar gue bisa edit di words nya. Enjoy!!

***

MG Hospital

Mereka bertiga berada di ruangan Tania, setelah selesai dari misi yang dia benci. Dia dan Mareno yang duduk di sebelah istrinya, sementara Hanif dan Arsyad sedang mengurus laporan polisi.

"Alexa masih shock dan trauma. Kondisi fisiknya baik-baik saja. Selain dari bibirnya yang pecah dan lebam pada wajahnya, yang lain tidak ada masalah. Saat seperti ini, yang bisa kamu lakukan adalah terus berada bersamanya, Hen. Jangan tinggalkan dia sendiri sementara ini," Tania menerangkan dengan wajah serius.

"Dia mah bakalan seneng, Sayang. Disuruh berduaan lagi sama pacarnya." Mareno tertawa lebar. "Gue masih nggak percaya lo punya pacar, Hen."

"Tan, gue nggak ngerti wanita secerdas lo bisa jatuh sama Mareno. Cari yang lain, Tan." Dia mendengkus kesal karena abangnya tidak pernah bisa serius.

"Mareno, behave." Tania menatap suaminya galak.

Yang diperingati malah menutup mulutnya tapi masih sambil tertawa geli. Dia pilih untuk abai, tidak sudi memberi kepuasan pada Mareno untuk meledeknya terus-terusan.

"Apa Alexa harus menginap di MG?" tanyanya pada Tania.

Tania tersenyum mengerti. "Tidak perlu, asal Alexa ditemani, dia bisa berada dimana saja."

Tubuhnya berdiri untuk pamit pergi. "Thanks, Tan."

"Baiknya kamu bersih-bersih dulu sebelum ketemu Alexa. Atau dia akan ingat lagi tentang apa yang terjadi tadi, Hen."

Wajahnya menunduk melihat seluruh tubuhnya yang berantakan dan kotor. Belum lagi bercak-bercak darah dan juga tangannya yang masih kebas.

"Ya."

"Tapi biasanya cewek lebih seneng kalau cowoknya luka-luka, Hen. Lebih seksi. Sana cepet minta kawin sama Mama, daripada kebablasan." Mareno juga sudah berdiri dengan senyum usilnya lagi.

"Tan, mau tahu daftar mantan pacarnya Mareno. Gue punya catatannya." Dia melangkah ke arah pintu lalu membalik tubuhnya lagi. "Bilang sama gue kalau lo mau lihat listnya, oke? Video-videonya gue juga punya. Arsyad paranoid Mareno bikin ulah, mangkanya kita pasangin Mareno tracker device dengan kamera."

Mata Tania membelalak kaget.

"Sh*t. Mahen bercanda, Sayang." Mareno panik sekali. "Gue bales lo," ujar Mareno padanya.

Dia tersenyum kecil lalu melangkah ingin keluar.

"Lo utang Shelby sama gue." Mareno setengah berteriak.

"Nggak ada beli mobil semahal itu lagi, Mareno Daud." Suara Tania sayup-sayup terdengar ketika dia menutup pintu ruangan.

"Beiby...mobilku dirusakin Mahen."

***

Lidya menatapnya cemas masih sambil menggenggam tangannya. Dia sendiri duduk di atas tempat tidur salah satu ruang rawat di MG.

"Maafin gue, Lexa. Gue beneran nggak tahu soal William dan Caro."

"It's oke." Dia hanya menyahut sambil masih menerawang jauh. Sementara Lidya meneruskan ceritanya tentang apa saja daftar kejahatan William dan Caroline. Tentang kedok usaha agency model mereka, tentang bagaimana wanita-wanita diperdagangkan begitu saja. Seolah wanita hanya berharga sebatas tubuh mereka.

Kemudian matanya terpejam sejenak, lalu bayangan apa yang dilakukan Mulyana padanya terlintas lagi. Kepalanya menggeleng keras untuk mengusir bayangan itu. Pintu terbuka dan Mahendra ada di sana. Dengan seluruh luka-luka pada tubuhnya.

Kejadian tadi bukan mimpi, Lex. Itu nyata. Apa perasaan Mahendra untuknya juga nyata? Apa benar begitu?

Lidya kemudian berdiri seperti mengerti. Lalu pamit keluar ruangan, menyisakan mereka berdua saja yang hanya bisa saling bertatapan. Air matanya sudah jatuh lagi. Segala perbedaan mereka bisa terlihat jelas. Hidupnya, hidup Mahendra, atau bagaimana bahkan mereka terkadang tidak bisa memahami bahasa antara satu dan lainnya. Tapi dia tidak perduli, dia sungguh mencintai laki-laki ini. Hanya laki-laki ini saja. Mahendra melangkah mendekatinya.

"Can you say it again?" Dia berujar lirih. Mahendra sudah duduk di sampingnya.

"Say what?"

"Those three words you said to me before."

Mahendra tersenyum kecil menatapnya. "Good job, Alexandra." Satu demi satu jari Mahendra menghitung kata yang barusan dia ucapkan, meledeknya. "Itu tiga kata."

Dia terkekeh sambil menangis ketika Mahendra menenggelamkannya dalam pelukan hangat.

"Aku yang akan bilang," bisiknya pada telinga Mahendra. Pelukan laki-lakinya itu tambah erat. "Don't leave me. I need you."

"Tiga kata dalam dua kalimat, smart." Mahendra sudah menatapnya hangat, sambil menyentuh wajahnya yang masih lebam biru.

"Aku jadi jelek pasti." Bibirnya yang pecah masih nyeri.

Mahendra tersenyum lagi. "Kamu selalu sempurna."

"Itu tiga kata yang bagus sekali, aku suka." Senyumnya terkembang. Matanya masih basah.

"Ayo kita pulang," ujar Mahendra lagi.

"Aku juga suka yang itu."

Wajah Mahendra mendekat perlahan. Kemudian Mahendra mencium keningnya lembut.

***

Safe house

Mereka tiba ketika hari sudah malam dengan heli. Ingatannya terbang ketika pertama kali dia dibawa ke sini. Dia kesal, ketakutan, dan sendiri. Sekarang? Tidak lagi. Ada perasaan hangat dan nyaman seolah dia sudah pulang. Juga campuran rindu setelah berminggu-minggu tidak bertemu.

Tangan Mahendra menggenggamnya erat sedari tadi. Tidak perduli pada senyum dokter Reyn atau dokter Aryan yang seolah ingin menggoda. Atau bagaimana Mareno menahan seluruh ledekannya ketika mereka pamit pulang dari MG.

"Selamat malam, Tuan Mahendra dan Nona Alexandra. Selamat datang." Lexy sudah menyambut mereka ketika mereka masuk ke ruang tengah.

"Hai Lexy, aku merindukanmu," ujarnya.

"Tuan Mahendra juga sangat sedih memikirkan anda, Nona," sahut Lexy. "Kadar kortisolnya terus tinggi."

"Lexy, jangan mulai." Mahendra menimpali kesal.

Laki-lakinya itu membawanya ke sofa ruang tengah, dia duduk di sana sementara Mahendra berjongkok di hadapannya.

"Kamu lapar, atau ingin minum sesuatu?" tanya Mahendra sambil menatapnya lembut.

Senyumnya terbit lagi. Mahendra manis sekali. Padahal seluruh tubuhnya masih kotor, juga lebam di wajah sana-sini. Kemudian bayangan Mulyana datang tiba-tiba. Dia masih bisa merasakan panas nafas laki-laki bajingan itu di lehernya. Itu membuat dia berjengit nyeri.

"Aku ingin mandi." Matanya terpejam sejenak, nafasnya dia hela untuk menghilangkan bayangan buruk di kepala. "Aku...kotor."

Rahang wajah Mahendra mengeras, lalu mengangguk seperti mengerti. Laki-lakinya itu mencium tangannya yang sedari tadi masih dia genggam.

"Maaf, aku terlambat."

Air matanya jatuh satu. "Aku yang bersalah, karena percaya pada orang yang salah. Maafkan aku." Dia menghapus air matanya cepat. Tidak ingin membuat Mahendra sedih lagi.

Kemudian Mahendra berdiri dan menggandeng tangannya untuk naik ke lantai atas. Masuk menuju laboratorium yang merangkap kamarnya. Tempat itu masih sama seperti apa yang ada dalam ingatannya. Mahendra terus melangkah sementara dia mengikuti. Masuk ke area pribadi laki-laki itu, seperti dulu.

"Lexy, siapkan kamar mandi saya."

"Baik, Tuan."

Tangan Mahendra terlepas ketika dia berjalan ke lemari yang membuka sendiri. Dia mengambil kaus besar berwarna abu-abu miliknya, juga celana training hitam panjang yang terlipat rapih.

"Kamu tidak bawa pakaian. Janice akan urus besok. Jadi, pakai ini dulu."

Dia mengambil tangan Mahendra yang penuh dengan luka. "Apa ini nggak apa-apa? Ada yang patah?"

"Harusnya tidak, tapi nanti aku periksa."

Mahendra menggandeng tangannya lagi lalu melangkah ke arah pembatas ruangan lain yang lagi-lagi bisa terbuka. Ada dua ruang di sana. Satu pintu terbuka ketika mereka mendekat dan memperlihatkan kamar mandi yang luas.

"Kamu punya kamar mandi di dalam kamarmu?" tanyanya heran. Karena dulu Mahendra selalu pergi ke bawah.

"Ya. Kami punya empat kamar mandi di sini."

"Jadi yang di bawah bukan satu-satunya?" Dia bisa mendengar suara air yang sudah dinyalakan oleh Lexy.

"Jangan mengulang pertanyaan, Lexa."

"Kenapa dulu kamu memakai kamar mandi di bawah?"

Nafas Mahendra hela, mereka berdiri berhadapan. "Karena ada wanita yang sangat cantik dan menyebalkan di bawah. Wanita itu benar-benar mengganggu ketentraman hidupku."

Dia tersenyum kecil, kemudian mengangguk mengerti. Matanya menatap netra coklat Mahendra dalam.

"Jangan terus-terusan melihatku seperti itu. Aku laki-laki normal, dan kamu berada di area-ku." Mahendra mencium pipinya cepat, lalu menariknya perlahan lagi menuju area bathtub yang unik sekali.

Bagaimana tidak, area bathtub berada di pojok ruangan dengan satu jendela menghadap ke taman luar, dan dinding lainnya yang panjang, ternyata bisa terbuka dan berbatasan dengan ruang membaca Mahendra. Satu rak buku bahkan ada dalam jangkauan tangan dari dalam bathtub nya.

"Ini sebagian dari dunia kamu?" Matanya menatap ruang baca yang nyaman sekali. Dengan dinding yang penuh dengan buku pada setiap sisinya. Buku-buku yang tidak dia mengerti.

Mahendra tersenyum. "Ya. Semua hartaku ada di situ. Semua buku itu. Tapi sekarang, aku punya yang paling berharga lainnya."

Dua tangan Mahendra memeluknya lembut dari belakang.

Kemudian Mahendra berbisik. "Mandi, pikiranku sudah mulai aneh." Pelukan Mahendra terlepas perlahan. "Kamu bisa tutup pembatas ke arah ruang baca kalau kamu terganggu. Pencet tombol perak itu."

Dia mengangguk perlahan setengah tersipu. Tidak pernah menyangka Mahendra bisa semanis ini.

Pintu geser di sisi lain tertutup rapat ketika Mahendra keluar dari area bathtub. Di bagian lain kamar mandi, dia bisa mendengar suara pancuran menyala. Mahendra juga sedang mandi di sana. Jantungnya sudah dari tadi bernyanyi, apalagi tahu mereka berada di satu ruangan dengan sekat terpisah dan sama-sama sedang mandi. Wajahnya bersemu lagi. Oh, Mahendra selalu bisa membuatnya berubah menjadi sangat konyol dan kekanakkan begini.

Kemudian dia membuka bajunya dan melangkah masuk pada air hangat dan busa-busa wangi yang menggoda sekali. Semua yang terjadi hari ini seperti mimpi. Buruk karena dia ditipu habis-habisan oleh William dan Caro. Tapi baik karena akhirnya Mahendra kembali padanya. Bukan cuma menyelamatkan dirinya dari Mulyana, Mahendra bahkan mengatakan perasaannya.

Dia paham mereka berbeda. Karena jika buku adalah dunia Mahendra, maka dunianya akan berputar pada koleksi pakaian, tas dan sepatu miliknya. Juga runaway serta detaknya. Semoga saja Mahendra setuju dia terus bekerja. Tubuhnya mulai terasa sangat nyaman, karena Lexy memutarkan musik klasik yang lembut, dan dia mulai bisa menghirup aroma terapi campuran wangi kayu dan lavender. Dia bersender, kemudian memejamkan matanya perlahan.

***

Tangannya dia letakkan di mesin rontgen yang ada di dalam fasilitas ruang kesehatan safe house setelah selesai mandi. Memeriksa apakah ada patah tangan. Sekalipun tadi di MG dokter Reyn sudah memeriksanya cepat. Tidak ada, hanya bengkak karena dia memukuli Mulyana habis-habisan. Laki-laki paruh baya itu punya stamina dan kemampuan bertarung. Tapi tadi fokusnya sempurna. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Dia berharap Mulyana mati karena pendarahan dari tembakannya tadi. Ya, manusia seperti itu tidak perlu ada di dunia.

Setelah menyemprotkan obat yang akan mencegah peradangan, lalu menempelkan band aid gel di beberapa tempat luka, dan meminta Lexy memindai tubuhnya untuk melakukan pemeriksaan ulang cepat, dia kembali ke lab. Alexa belum selesai mandi ketika tadi dia meninggalkan kamar. Sekarang wanita itu sudah berdiri canggung di tengah ruang baca. Menatap penasaran ke sekeliling ruangan dengan kaus abu-abu dan celana training miliknya. Sungguh, jika dia tidak ingat bahwa masih ada norma-norma yang dia harus jaga, yang ingin dia lakukan adalah memeluk Alexa dan tidak melepaskannya lagi, selama-lamanya.

"Apa kamu sudah baca semuanya?" tanya Alexa.

"Hanya dua yang belum dan ada di sana." Tangannya menunjuk rak yang dekat dengan pembatas dinding ke arah bathtub.

Alexa melangkah mendekati salah satu rak lalu dahinya mengernyit. "The Selfish Gene? Genome? Oh, sekarang aku mengerti kenapa kita sama sekali berbeda bahasa. Siapa juga yang membaca buku Richard Dawkins atau Matt Ridley."

Dia tersenyum geli. "Favoritku On the Origin of Species, Charles Darwin."

"Siapa lagi itu? Aku masih kenal JK Rowling. Kenapa nggak ada Harry Potter di sini?"

"Aku lebih suka Brothers Grimm. Dongeng-dongengnya sedikit mistis dan tragis."

"Aku nggak tahu siapa itu." Alexa menggendikkan bahunya lucu, lalu kemudian menguap.

Sungguh dia suka dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Kamu mengantuk. Aku antar kamu ke kamarmu."

Alexa berjalan di depannya. Keluar dari area kamar mandi dan ruang baca, lalu menuju tempat tidur miliknya dan duduk di sana.

"Aku mau tidur di sini. Aku nggak mau sendiri di bawah. Serius."

Bibir Alexa sedikit melengkung ke bawah, tatapannya seperti gadis kecil yang sedang merajuk minta dibelikan permen, belum lagi rambutnya yang setengah basah dengan kaus miliknya yang sedikit kedodoran. Dia menarik nafas panjang.

"Hen..."

"Hmmm." Dia sudah duduk di sebelah Alexa.

"Apa yang terjadi dengan Adrian Straussman? Apa dia jahat?"

Dia mendengkus. "Tidak seburuk William yang menjual perempuan, tapi Adrian sangat ambisius dan menghalalkan segala cara untuk menguasai GT Techno. Dia mengelapkan uang dan mendanai politisi kotor, dengan harapan bisa mendapatkan bagian kelak saat politisi itu memimpin."

Alexa diam sejenak. "Bagaimana dengan rahasia Michelle Dinatra? Kenapa kamu membongkarnya?"

"Mareno yang memberikan video itu. Aku hanya menghilangkan jejaknya. Tania punya sahabat sejak kecil, namanya Danika. Danika harus dirawat di rumah sakit jiwa karena Michelle meminta dua pemerkosa untuk merusak Danika."

Mata Alexa terpejam erat. "Mereka jahat sekali."

"Dunia penuh dengan orang-orang rusak, Alexa. Begitulah adanya. Kami, hanya berusaha memperbaiki agar tidak lebih rusak lagi."

"Apa kamu pernah membunuh orang?"

"Hampir, dan aku bisa melakukan itu jika hal itu bisa melindungi keluargaku."

Kepala Alexa bersandar pada bahunya. Wajahnya sendiri menoleh hingga bisa mencium puncak kepala Alexa yang miring.

"Aku takut, melihatmu tadi."

Dia mengangguk perlahan. "Maaf, tapi kalau kamu pada posisiku, yang mendengar bagaimana semua jeritan itu, kamu pasti mengerti."

"Apa kamu selalu begitu saat pergi bekerja?"

"Tidak. Karena biasanya orang yang aku bela milik orang lain, bukan milikku." Satu tangannya menggenggam tangan Alexa. Tubuh mereka masih duduk menempel pada satu sisi dengan kepala Alexa yang bersandar pada bahunya dengan lengan mereka yang terjalin.

"Jadi aku milikmu?"

Dadanya mulai berdebar hangat. Dia tidak mengerti, bagaimana menjelaskan perasaannya pada Alexa. Apa begini cinta itu? Pantas saja Mareno begitu cemburu pada Sena Airlangga dan Hanif begitu marah pada Aryo Kusuma.

"Apa kamu mau?" dia bertanya kembali.

"Kalau itu berarti aku masih boleh bekerja, jawabannya adalah dengan senang hati. Aku benar-benar payah dalam hal melupakanmu."

Dia tertawa kecil. "Ya, band aid iron man bahkan masih kamu simpan. Juga helmku dulu. Ya Tuhan, Lexa. Koleksi barangmu harus diperbaharui."

"Oke, aku perbaiki. Koleksiku nantinya adalah pemilik semua barang itu."

Dia terkekeh lagi lalu mencium tangan Alexa yang dia genggam. Kepala Alexa sudah tegak dan menatapnya dari samping.

"Kenapa dulu kamu meninggalkanku?"

"Aku tidak percaya diri. Juga aku tidak tahu kalau William sejahat itu. Aku pikir dia hanya menggelapkan uang saja. Dan aku yakin kamu tidak akan jatuh cinta padanya. Kamu akan jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih normal."

"Ya, kamu memang upnormal. Aku masih kesal kamu membongkar semua dataku. Banyak foto yang terlalu memalukan, Hen. Hapus itu semua dari foldermu." Alexa merengek lucu.

"Kamu dengan kawat gigi? Atau waktu gigi depanmu tanggal karena jatuh dari sepeda? Yang mana?" Foto-foto kecil Alexandra pada folder ayahnya masih dia ingat sekali.

Alexa memukul pundaknya kesal sementara dia terkekeh geli.

"Jadi karena foto-foto itu kamu marah?"

"Bukan karena itu saja. Karena sikap anehmu yang tidak menentu. Kadang kamu baik, usil, menyebalkan, lalu manis, kemudian berkata jahat lagi, membuatku menangis, mendorongku pergi." Alexa terus meluapkan semua kekesalannya dulu.

"Wow, banyak sekali."

Alexa menggeram menggemaskan lalu dia tertawa lagi. Kemudian tawanya mereda. Tatapan Alexa yang penuh rasa membuatnya salah tingkah sendiri.

"Aku...hanya tidak tahu caranya," gumamnya perlahan.

Senyum Alexa terkembang. "Aku beri tahu satu yang paling penting."

"Oh, jangan aneh-aneh Lexa. Ini malam hari dan kita berada di pinggir tempat tidur. Andai kamu tahu apa yang sebenarnya ingin aku lakukan sekarang." Tubuhnya sudah berdiri dan melepaskan tangan Alexa. Dia harus menjauh atau banyak hal yang bisa terjadi nanti. Belum, belum saatnya.

Kali ini Alexa yang tertawa sambil menarik tangannya. "Bukan itu, dengarkan aku dulu. Ada satu cara yang paling penting."

Tubuh Alexa masih duduk di pinggir kasur dengan dia yang berdiri. Kepala Alexa mendongak menatapnya sementara mereka masih berpegangan tangan.

"Apa?" Jantungnya ingin pergi.

"Jangan tinggalkan aku lagi. Selamanya," ujar Alexa sambil tersenyum tulus sekali.

Nafasnya dia hirup panjang, kemudian dia berjongkok di hadapan Alexa. Tangan Alexa tadi dia cium perlahan. "Tidak akan lagi."

"Sumpah pramuka?" Alexa membuat gestur seperti orang sedang melakukan ikrar janji.

"Sumpah pramuka." Dia melakukan hal yang sama sambil tersenyum pada gadisnya. "Tidur, Lexa. Aku masih punya pekerjaan." Dia mengangkat kaki Alexa perlahan agar berbaring di tempat tidurnya. Kemudian menyelimuti wanita itu.

"Jangan bekerja, temani aku."

"Aku ada di sana. Hanya sepuluh langkah dari sini."

Kemudian Alexa mengangguk kecil. Dia mencium kening Alexa sesaat lalu berdiri.

"Lexy, temaramkan lampu." Dia berjalan ke area laboratorium. "Tutup pembatas dindingnya." Pembatas dinding pada tempat tidurnya menutup.

Dia sudah duduk di depan layar ketika mendengar suara Alexa. "Tolong buka pembatasnya, Lexy. Aku ingin melihat Mahendra bekerja."

Kepalanya menoleh. Alexa berbaring miring dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Rambut panjang Alexa tergerai ke atas, dan mata biru itu berkilauan menatapnya. Dia berjanji dalam hati, tidak akan ada satu orangpun lagi yang bisa menyakiti Alexandra.

***

Tinggal manis-manis? Bisa jadi iya, bisa jadi....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro