43. Blue Eyes Blue
WARNING!
Ada adegan kekerasan. Makian dan umpatan yang tidak pantas. Juga adegan pelecehan perempuan. Jadi tolong banget, pembaca nya yang bijaksana ya. Bukan untuk ditiru. Kalau kalian memutuskan untuk nggak sanggup bacanya, it's oke. Serius.
***
Alexa bisa merasakan sapuan udara dingin di kulitnya. Sejuk, seperti di safe house. Apa dia berada di safe house? Mahendra. Matanya mengerjap perlahan. Tubuhnya sedang berbaring di dalam sebuah kamar yang besar dan mahal. Terlihat dari penataan ruangan. Bukan safe house. Sekalipun dia bisa melihat pepohonan tinggi di luar, mengelilingi kebun luas di belakang.
Satu dinding dipenuhi kaca besar dengan tirai panjang yang terbuka lebar di kedua sisi. Dia duduk perlahan di pinggir kasur dan mencari tasnya yang ada di meja sebelah. Juga air mineral dingin dalam teko dan satu gelas kosong. Kamar ini juga kosong. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dengan sofa-sofa tinggi dan meja. Seperti tempat jika ingin duduk-duduk menjamu tamu.
Kenapa dia bisa berada di sini? Apa yang terjadi? Seingatnya dia bertemu dengan Caro dan William, lalu tubuhnya terasa aneh dan Caro berjanji untuk mengantarnya ke tempat Tania.
Tasnya dia raih untuk mencari ponselnya. Tidak ada sinyal. Lalu dia ingat Mahendra memberikan ponsel lain ketika dia di safe house dan masih dia simpan, sekalipun dia tidak nyalakan. Mahendra bilang ponsel itu akan menyala seburuk apapun sinyal di tempat dia berada. Semoga saja baterainya masih ada.
Tangannya memijit tombol power untuk menyalakan ponsel itu. Sambil berdiri melihat ke sekitarnya bingung. Ini tempat apa? Tempat siapa? Ketika ponsel sudah menyala dengan baterai setengah, dia memijit nomor Lidya.
"Lid.."
"Lexaa...ya Tuhan. Lo dimana?"
"Aku nggak tahu. Kamu dimana, Lid?"
"Keluar dari sana, Alexa. William dan Caro bukan orang baik. Tania sudah bercerita segalanya. Ya Tuhan, Lexa. Selamatkan dirimu."
"Lid..." dia mengernyit bingung. Satu telpon masuk lagi dan sambungan ponselnya dengan Lidya mati. Mahendra Daud calling.
Dia memijit tombol ragu.
"Ya Tuhan, Lexa. Akhirnya ponsel kamu hidupkan juga. Aku sedang ke sana. Bersembunyi, Lexa. Ulur waktu." Nada suara Mahendra panik sekali.
"Ada apa, Hen?"
Mahendra menarik nafas untuk menenangkan diri. "Dengarkan aku baik-baik, waktunya singkat. Jangan matikan ponselnya, aku akan kendalikan dari sini. Letakkan tersembunyi dimanapun kamu berada saat ini. Jika Caro datang, ulur waktu, Lexa. Buat alasan. Jangan sampai kamu bertemu dengan Mulyana. Arsyad, aku, kami semua akan datang menolongmu."
"Menolong dari siapa?"
"Sayang, lakukan apa yang aku minta tadi."
"Sayang?" dahinya mengernyit heran. Mahendra memanggilnya sayang? Apa dia tidak salah dengar?
"Alexa, fokus dulu. Lakukan apa yang kuminta tadi. Sembunyikan ponsel, ulur waktu, jika bisa sembunyikan dirimu, Lexa."
"Tapi Hen, William bukan..."
"I love you Alexandra, stop talking and do it for me. I'm begging you."
Jantungnya seperti berhenti mendengar kalimat Mahendra tadi. Tubuhnya bahkan sudah kembali duduk di pinggir kasur. Air matanya ingin jatuh satu karena sungguh perasaannya benar-benar bingung, sekaligus bahagia karena akhirnya Mahendra membalas apa yang dia rasa.
"I miss you, Hen. I love you too."
"You will be okey. Nobody will hurt you. I'm coming."
Layar ponsel mati, namun anehnya layar itu bergerak sendiri. Seperti bersiap merekam sesuatu. Dia melakukan apa yang Mahendra minta, menyembunyikan ponsel itu. Lalu kemudian berdiri memastikan ruangan tempat dia berada. Pintu diketuk lalu terbuka, Caro masuk dan tersenyum padanya.
"Halo, Sayang," sapa Caro.
"Dimana aku, Caro?"
"Kamu suka vila nya? Ini milik teman kami."
Keluar dari sana, Alexa. William dan Caro bukan orang baik. Tania sudah bercerita segalanya. Ya Tuhan, Lexa. Selamatkan dirimu. Kalimat Lidya terulang lagi. Itu membuat frekuensi jantungnya naik tinggi.
Dia berdiri tegak dengan dagu terangkat tinggi. "Kenapa aku di sini, Caro? Siapa yang mengijinkan?"
Caro tertawa sambil menggeleng kecil. "Ratu Alexandra. Pasti menyenangkan ya, punya banyak orang yang melakukan banyak hal untukmu. Memastikan kebutuhanmu cukup."
"Jawab aku, Caro. Kontrak kita batal. Aku ingin pulang." Kakinya sudah ingin melangkah pergi lalu Caro tertawa lagi.
"Sayang, kali ini kamu tidak akan menyesal dengan kontrak eksklusif yang akan kami tawarkan. Lagipula, pintu itu terkunci, Lexa."
Langkahnya berhenti. "Kami?"
Lalu sosok laki-laki bertubuh tegap tinggi di usia akhir 40-an itu masuk. Dia bisa mengingat laki-laki ini. Mulyana.
Buat alasan. Jangan sampai kamu bertemu dengan Mulyana. Kata-kata Mahendra tadi terlintas lagi.
Saliva dia loloskan perlahan. Mahendra, tolong aku.
"Halo, Alexa. Kita sudah pernah bertemu dulu di padang golf. Apa masih ingat? Saya Mulyana." Laki-laki itu tersenyum kecil. Tidak ada ketulusan pada matanya. Hanya gelap, dalam dan menakutkan. Seperti binatang buas yang siap menerkamnya.
Ulur waktu, Lexa. Do it for me.
"Oh ya, sepertinya saya ingat. Halo, Pak." Dia bahkan tidak bisa tersenyum karena terlalu takut.
"Jangan takut, wajahmu pucat. Tolong duduk dulu." Mulyana tersenyum lagi.
"Saya berdiri saja, saya punya janji lain."
"Duduk, Alexandra. Di sini bukan singgasanamu!!" Caro berujar tegas.
Dia duduk perlahan dengan kaki miring dan tertutup rapat.
"Jangan kasar pada tamu, Caro. Kamu tidak sopan," sahut Mulyana.
Kemudian pintu-pintu terbuka lagi. Sudah ada beberapa orang masuk membawakan tas-tas kertas besar berisi pakaian dari rumah mode langganannya, juga sepatu, tas tangan, bahkan perhiasan. Semua barang-barang itu dijejer rapih di seberang meja. Setelah itu semua orang tadi keluar ruangan.
Dadanya mulai nyeri, sepertinya dia tahu apa maksud mereka.
"Kami ingin tawarkan bisnis yang menguntungkan, Alexa. Sangat menguntungkan. Untuk kamu, dan untuk saya." Mulyana mulai berujar.
Tangannya sedikit gemetar karena dia benar-benar takut. Sedikitnya dia bersyukur pakaiannya hari ini tidak terbuka lebar. Caro meletakkan tablet di hadapannya. Hanya ada namanya sendiri juga dengan foto dirinya. Lalu di bawah fotonya, ada kolom kosong seperti menunggu di isi.
"Silahkan sebutkan, harganya. Kamu boleh ketik, berapa saja. Saya akan berikan setiap bulan, tanpa bertanya uang itu kamu akan apakan." Senyum Mulyana tambah lebar.
Rahangnya dia katupkan, sungguh yang ingin dia lakukan adalah mengambil tablet itu dan menghantamkannya pada kepala Mulyana. Matanya terpejam keras sejenak karena tidak tahan dengan tekanan emosi yang dia rasakan. Seluruh yang dia rasa membuat air matanya mulai jatuh perlahan.
"Oh, jangan menangis, Sayang. Tolong. Semua akan lebih mudah ketika kita bekerja sama. Saya akan berikan segala yang kamu minta, dan kamu akan berikan hal yang sama pada saya. Bukan dalam bentuk uang."
"Dimana William?" getar suaranya tidak bisa dia sembunyikan.
"Calon suamimu akan datang. Dia sudah tahu dan setuju. Lihat, bahkan kamu memiliki alibi sempurna. Suami yang loyal dari keluarga terpandang, juga saya yang akan selalu melindungi kamu nantinya dari balik layar."
Pikir sesuatu, Lexa. Ponsel itu masih merekam dan menyala.
"Caro, apa kamu dan William menjual saya pada Tuan Mulyana?"
Caro tertawa. "Saya hanya membuka kesempatan, Sayang. Semua anak asuh saya yang menentukan harga mereka sendiri. Seperti kamu saat ini. Setelah itu Mulyana akan melihat bagaimana pelayanan mereka. Jika Mulyana puas, dia akan memberikan segalanya. Win-win."
Air matanya masih jatuh satu-satu, dia menangis tanpa suara. "Anak asuh? Apa ada yang lain seperti saya?"
Satu tangan Caro menggeser layar tablet di hadapannya. Sudah ada wajah-wajah kawan-kawan modelnya di sana, dengan list price di sebelahnya. Perutnya mual, tubuhnya gemetar. Perdagangan wanita dengan kedok agency model. Dia mendengar hal itu di NY sana. Tapi sungguh, saat seperti ini seluruh emosi membuatnya ingin memaki.
Mulyana menggeser kursi. Lalu tangan itu dengan lancang menyentuh tangannya perlahan. "Kamu berbeda, Alexa. Kamu bukan mereka. Sebutkan harga lebih tinggi sepuluh kali dari yang paling tinggi di daftar itu. Saya tidak perduli. Saya laki-laki berpengalaman, saya akan membuatmu bahagia. Dan, saya berkuasa. Hukum tunduk di kaki saya. Tenang, Sayang. Jangan menangis dan buat mata birumu itu berubah menjadi abu-abu."
Semua jenis makian kotor, juga luapan emosi membuat dia berdiri cepat dan menampar wajah Mulyana sambil menahan getaran pada tubuhnya.
"Bajingan!! Kamu pikir kamu siapa? Manusia brengsek, laknat. Kamu pikir kamu bisa beli saya. You're full of sh*t, low life as*hole, f*cking b*stard." Dia terus memaki tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Mulyana berdiri terlihat kesal. "Caro, keluar. Kunci pintunya. Alexandra harus tahu dengan siapa dia berhadapan."
Caro sudah cepat-cepat keluar dan pintu itu tertutup. Sementara dia melangkah mundur menjauh dari tubuh Mulyana. Mata hitam itu sarat dengan nafsu, menjijikkan.
"Saya akan pilihkan untuk kamu sekarang. Setelah itu, kamu akan paham maksud saya dan kamu masih bisa menuliskan angkanya." Mulyana sudah mulai melepaskan pakaiannya sementara dia sendiri makin panik berlari menjauh dari sosok gila itu. Mencoba mencari jendela yang terbuka sambil meratap memanggil Mahendra di dalam hatinya.
"Dipaksa dan tidak dibayar, atau dipaksa tapi dibayar. Jangan berpikir untuk mengadu pada polisi. Mereka orang-orang saya, tidak akan ada yang percaya denganmu, Alexandra. Apalagi kamu orang asing, bukankah seharusnya kamu sudah biasa berhubungan sex di sana? Yang saya tawarkan adalah sex dan uang."
Mulyana sudah bertelanjang dada dan tangisnya sendiri makin hebat.
"Ayolah, Alexa. Kamu cantik sekali, sempurna. Saya tidak ingin memukulmu, atau memaksa." Mulyana mulai berjalan cepat ke arahnya.
Makin panik, dia mengambil apapun yang bisa dia ambil saat tangan Mulyana meraih tubuhnya. Satu pajangan dalam genggaman dia hantamkan ke arah kepala Mulyana, tapi laki-laki itu sigap sekali dan menangkap tangannya.
"Let me go!! Lepas!!" Dia menjerit sambil menangis hingga suaranya serak. Meronta karena Mulyana sudah mengangkat tubuhnya ke atas kasur.
Mahendra, Mahendraa...tolong.
Sekuat tenaga dia mendorong tubuh Mulyana yang ada di atasnya. Tapi tubuh laki-laki besar itu tidak bergerak dan ekspresinya malah tambah menyeringai. Dua tangannya terus memukul dan mendorong. Dia berhasil menjauh tapi lalu tangan Mulyana menariknya kembali, menindih tubuhnya.
I love you Alexandra. You will be okey. Nobody will hurt you. I'm coming.
Asin air mata, kata-kata Mahendra dan senyum laki-laki itu datang. Membuat dia memiliki sedikit kekuatan. Dia mendorong kuat dan meludahi wajah Mulyana. Dengan cepat dua tangannya di ambil dan ditahan oleh Mulyana dengan satu tangan saja. Lalu satu tangan Mulyana yang lain memukul wajahnya.
'PLAK!!' Telinganya berdenging. Anyir darah dia bisa rasakan selain air matanya sendiri.
"Tenang, Sayang. Tenang. Atau ini akan sakit sekali."
Dia merintih nyeri ketika satu tangan Mulyana tadi merobek kemeja putihnya dan membuat seluruh kancing lepas. Dia kalah, dia sudah kalah.
Lalu ketika nafas Mulyana berada di lehernya, keributan di luar terdengar. Tidak cukup itu, salah satu kaca jendela besar yang memenuhi salah satu dinding ruangan ditembak dari luar. Tubuh Mahendra menggantung dengan tali yang tertancap pada atap baja di luar. Laki-lakinya itu mengayun masuk dan melepas peralatannya cepat. Mulyana bersumpah serapah kesal lalu berdiri tegak, siap menyambut Mahendra yang berlari ke arah Mulyana dengan wajah murka.
Alexa beringsut meringkuk di kepala tempat tidur. Memeluk tubuhnya yang bergetar hebat sambil menangis. Mahendra terus menghantam Mulyana. Dia memalingkan wajah karena dia benar-benar takut. Pintu dibuka, Hanif Daud masuk dan menghampirinya. Menutupi tubuhnya dengan selimut perlahan.
"Kamu nggak apa-apa?"
Tangisnya tambah hebat. Dua tangan Hanif membelai lembut punggungnya. Suara-suara Mahendra dan Mulyana yang berkelahi bisa dia dengar jelas. Hanif diam duduk dekat dengannya masih menyentuh punggungnya lembut. Matanya terpaku melihat betapa lihai Mahendra berkelahi, padahal Mulyana juga sama kuatnya. Laki-laki bajingan itu sudah tersungkur di lantai sementara Mahendra terus menghantam, membabi buta. Air matanya terus keluar karena takut sekali. Terlalu banyak darah di sana, dimana-mana.
Kemudian dia melihat Arsyad masuk dan mencoba menghentikan Mahendra yang masih mengamuk pada Mulyana yang sudah terkapar di lantai berdarah-darah.
"Sudah, Hen. Sudah," teriak Arsyad menahan tubuh Mahendra.
"Pejamkan mata, jangan melihat jika ini terlalu menakutkan," bisik Hanif padanya. Kemudian dia pejamkan mata.
Dia bisa mendengar suara Mulyana yang tertawa. "Kalian pikir, kalian bisa lolos dari saya? Begitu?"
Lalu suara Arsyad yang berat dan dalam dengan kekehan yang sama menyeramkannya terdengar. "Anda bisa lolos dari hukum, mudah. Tapi apa anda berpikir, anda bisa lolos dari saya? Saya berikan saran. Duduklah di penjara lama-lama, karena jika anda berani keluar, anda akan tahu akibatnya."
Mulyana terkekeh lagi sambil meludahkan darah. "Herman bilang, kalian memang punya nyali. Jadi, saya akan memburu wanita-wanita kalian, dan menikmatinya satu per satu. Dimulai dari Alexandra."
Dia mendengar suara senjata dikokang dan ditembakkan. Refleks tangannya menutup dua telinga. Tapi matanya membuka perlahan. Takut, sekaligus penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Mahendra menodongkan senjata yang tadi dia tembakkan ke arah Mulyana. Persis di antara bagian dalam paha laki-laki itu. "Ups. Maaf, gue nggak sengaja. Tadi lo bilang apa?"
Mulyana berteriak kesakitan. Dia belum pernah melihat jenis ekspresi Mahendra ini. Sadis, berbahaya, murka.
"Go f*ck someone else with your ass. Kalau lo selamat dari pendarahannya," teriak Mahendra.
Arsyad menghela nafas lalu menggelengkan kepala menatap Mulyana. "Saya bilang tadi apa." Tubuh Arsyad yang sebelumnya jongkok dekat dengan tubuh Mulyana di lantai lalu berdiri.
Suara sirine polisi sudah terdengar jelas di luar. Mulyana terus memaki dan menjerit kesakitan. Mahendra sudah menghampirinya cepat dan mengangkat tubuhnya keluar ruangan. Menjauhkannya dari semua hal yang seperti mimpi buruk yang panjang.
***
Tubuh Alexandra dia angkat dan bawa keluar, menjauh dari semua kekacauan dan bajingan yang bahkan dia tidak sudi berbagi udara yang sama. Alexa gemetar, tubuhnya dingin dan gadis itu masih menangis lirih dengan kepala yang tersuruk pada dadanya.
Dia mendengar segalanya dari ponsel yang disembunyikan Alexa. Bagaimana Mulyana membujuk Alexa, Caro menghinanya, juga jeritan Alexa yang sungguh membuatnya hampir gila. Arsyad dan Niko masuk lebih dulu dan dia sudah bisa menemukan dimana tepatnya Alexa berada. Kemudian apa yang dia lihat, sungguh menghilangkan seluruh kewarasan yang dia punya.
Kepala Alexa menoleh ke samping sambil menangis, tangannya dicengkram kuat ke atas, dan bibirnya pecah karena dipukul oleh Mulyana. Sementara si laknat itu menindih wanitanya sambil mulai mencium leher Alexa. Oh, harusnya dia membunuh Mulyana tadi. Bajingan sialan.
Mereka sudah berada di luar villa dan dia sudah melihat ada dua ambulance MG di sana dengan pintu terbuka. Petugas kesehatan sudah membantunya untuk meletakkan tubuh Alexa di tempat tidur beroda. Sementara tangan Alexa yang masih dingin tidak mau melepaskannya. Dia balas menggenggam tangan itu erat sambil berjalan di sisi tempat tidur. Tania sudah sampai dan langsung menghampiri mereka.
"Ya Tuhan, Lexa." Wajah Tania khawatir sekali.
Tangis Alexa pecah lagi. Tania langsung memeriksa kondisi Alexa sambil menenangkannya, sementara dia masih bungkam tapi matanya mencari. Bung Toto sudah tiba, jadi harusnya William juga sudah tiba. Mobil yang mana? Tubuhnya sudah ingin bergerak meninggalkan Alexa sejenak. Tapi tangan gadis itu tidak mau melepasnya.
"Jangan tinggalin aku, jangan kemana-mana." Mata biru itu menatapnya tidak berdaya. Masih dengan segala trauma dan air mata.
Kemudian dia menunduk untuk berbisik pada Alexa. "Kamu sudah aman. Aku ada satu urusan lagi. Tania ada di sini, oke?" Dia mencium pipi Alexa cepat dan melepaskan genggaman eratnya.
"Titip, Tan." Matanya menatap Tania.
"Hen, sudah Hen. Sudah cukup," Tania berusaha menghentikannya.
Dia tidak perduli. William adalah bagian dari semua ini. Mareno sebaiknya menjatuhkan laki-laki laknat itu tadi. Jadi tubuhnya menjauh dari Alexa sementara matanya mencari cepat. Arsyad dan Hanif sedang bicara pada Bung Toto. Mareno menghampirinya.
"Cari siapa?"
Matanya terus mencari, lalu sosok itu ada di sana. Duduk di belakang salah satu mobil polisi dengan tangan terborgol ke belakang. Dengan cepat dia membuka pintu dan menarik bajingan itu keluar.
Dia gelap mata, karena bayangan Alexa datang lagi. Seluruh jerit dan tangis gadisnya tadi. Jadi entah sudah berapa kali dia menghantam William sampai Brama memisahkannya. Mareno berdiri diam di situ, paham benar emosi yang sedang menguasainya saat ini.
Tangannya mati rasa, berdarah, tergores dan terluka. Tubuhnya sedikit bergetar karena masih ada sisa emosi di sana. Sementara William sudah tersuruk di tanah berdarah-darah seperti Mulyana tadi, tidak berdaya. Tangan Arsyad menepuk pundaknya. "Sudah, Hen. Sudah."
"Belum, Bang. Belum. Pastikan mereka ada di penjara, karena gue sanggup melakukan apa yang lo lakukan pada Rangga," bisiknya pada Arsyad.
Kemudian dia menjauh pergi untuk kembali ke sisi Alexa.
***
Jangan lupa buang nafas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro