42. Coming to get you
Yak, selamat meluncur bareng Mahendra. Tarik nafas dalam, hembuskan. Enjoy!!
***
Laboratorium ID Tech
Mahendra sedang mencermati segala data, sejak semalam. Ganesha Putra Anderson. Anak dari Adam Anderson dan Dita Dewari. Ganesha anak pertama dari dua bersaudara. Adam ayahnya adalah dokter bedah handal dan ternama di sana. Ganesha sendiri mengikuti jejak ayahnya. Satu perkawinan tanpa anak, dua tahun lalu. Mantan istri Ganesha adalah sesama dokter. Dugaannya karena mereka berdua sama sibuk hingga kehilangan waktu.
Bukan hanya informasi dasar, dia bahkan memeriksa seluruh kondisi keuangan, catatan kriminal, kondisi kesehatan jiwa jika ada, juga seluruh media sosial Ganesha dan keluarganya. Belum semua selesai dia periksa, karena itu dia masih meneliti dengan cermat. Mereka berempat tidak akan melepaskan Sabiya dengan mudah ke sembarang laki-laki begitu saja.
Ponselnya berbunyi. Janice. "Pak, Lidya menelpon, panik."
"Ada apa?" Tubuhnya sudah berdiri. Alexa. "Sambungkan segera."
"Mahendra..." Suara Lidya benar-benar panik,
Dengan cepat dia memindahkan hubungan ponsel Lidya ke jalur A.I miliknya agar tangannya bebas bergerak memeriksa keberadaan Alexa.
"Jelaskan ada apa?"
"Alexa. Tadi kami brunch di restoran langganan, kemudian Alexa tidak enak badan. Siang ini Alexa akan pergi dengan Tania, gue ingin antar. Tapi tiba-tiba Alexa nggak ada di lobby. Apa lo bisa hubungi Tania? Apa Alexa sudah sampai? Gue cemas, firasat gue buruk, Hen."
Tangannya sudah mengetik cepat. "Angel, dimana Alexandra Walton?"
"Mencari, ditemukan. Apartemen The City Town, unit 25 B."
"Dia ada di apartemennya, Lid. Nyalakan kamera TD-5." Dia berbicara pada Lidya kemudian Angel.
"Dia nggak di apartemennya, Hen. Gue nggak bohong." Lidya menggeram kesal.
Sayangnya, Lidya benar. Alexa melepas gelangnya dan meninggalkannya di dalam apartemen. Ya Tuhan Lexa. Jantungnya seperti ditarik keluar. Dia lengah karena sedang memeriksa hal lain yang sama pentingnya.
"Angel, dimana William Wongso?" tracker sudah di pasang pada kendaraan William.
"Mencari, ditemukan. Mercedes Benz Auto Service."
"Sh*t." Dia merusak sistem kelistrikan mobil William dan laki-laki bajingan itu menaruh mobilnya di bengkel.
"Hen, apa lo sudah telpon Tania?" tanya Lidya lagi.
"Apa nama restoran tempat kalian makan?"
"The Brunch."
Tangannya menari lagi, berusaha masuk ke sistem keamanan restoran yang tidak terlalu canggih. Dengan cepat dia bisa mengakses CCTV restoran itu. Matanya mengamati lobby. Sedan hitam itu di sana, dengan Caro dan Alexa di dalamnya.
"Angel, zoom sepuluh kali. Temukan nomor platnya. Salin."
"Mahendra!! Ada apa?" Lidya berteriak panik.
"Shut up!! Nyalakan ponsel dan tunggu kabar dari kami."
Hubungan dia sudahi. Kemudian dia menghubungi Arsyad.
"Siapa yang bertugas memantau Alexa, Bang?" tanyanya cepat. Tangannya masih bergerak di atas keyboard dan sedang berusaha masuk ke jaringan CCTV lalu lintas yang saat ini banyak terpasang di jalan-jalan ibukota.
"Elang. Tapi pagi ini gue kasih tugas lain, karena Alexandra punya janji dengan Tania dan harusnya aman. Ada apa, Hen?"
"Alexa, dalam bahaya." Dia berbicara sambil masih terus berusaha masuk ke dalam sistem keamanan pemerintah.
"Lacak dan kirim tanda bahaya. Konfirmasi tempatnya. Gue jalan dari sini."
Dia memindahkan layar pada seluruh janji temu Alexa. Tidak ada yang aneh. Lalu dia memeriksa William, dan ada nama Mulyana di sana. Janji temu hari ini.
Kemudian dia berhenti sejenak, salivanya dia loloskan perlahan. "Bang, kasih tahu gue. Dimana Mulyana biasa membuat janji?"
"Sh*t, bajingan brengsek!!" Arsyad memaki sambil berlari. "Gue call Bung Toto dan Hanif. Kita ketemu di sana. Lo tetap harus konfirmasi tempatnya, Hen."
Arsyad menutup ponsel setelah sebelumnya memberi tahu tempat laknat itu. Satu tangannya memijit dahi, dia berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Bayangan yang terjadi pada Sabiya datang lagi, lalu berganti dengan ekspresi Alexa yang tulus sekali. Tersenyum padanya. Jantungnya seperti berhenti.
Fokus, Hen. Temukan Alexa.
Tangannya kembali pada keyboard. Dia sudah berhasil masuk pada akses CCTV lalu lintas. Tubuhnya berdiri cepat lalu mulai memindai layar.
"Angel, tampilkan peta dan tandai jalur menuju alamat yang tadi saya masukkan."
"Baik, Tuan. Memproses."
Peta sudah terpampang dengan jalur merah yang sudah ditandai oleh Angel.
"Tunjukkan dimana ada kamera CCTV."
Titik-titik kuning menyala. Tempat CCTV berada.
"Salin plat dan cocokkan dengan rekaman CCTVnya."
"Memproses." Gambar-gambar bergerak cepat di layar. Angel sedang mencari dari setiap rekaman CCTV yang ada pada jalur yang sudah ditandai. Mencari, terus mencari. Sementara dia sudah mengambil pakaian khusus dan mengeluarkan seluruh perlengkapannya. "Ditemukan."
Titik-titik kuning yang menangkap plat nomor itu membesar. Matanya memindai cepat sambil mengganti pakaian. Cocok.
"Seberapa jauh dari safe house?" Black glasses dia kenakan.
"Kendaraan akan melewati area safe house. Alamat yang Tuan masukkan letaknya 30 km lebih jauh."
"Keluarkan drone-drone yang ada di sana. Berikan plat nomor mobilnya. Jaga jarak dan ikuti, jangan sampai lolos. Pasang tracker pada mobil itu dan siapkan heli sekarang, Angel."
"Dimengerti. Tapi drone-drone hanya bisa menjangkau maksimal 15 km dari safe house."
"Saya paham. Lakukan saja. Gunakan cara yang sama pada William. Cari catatan plat nomor mobil miliknya, pindai, dan minta drone pasang trackernya. Hubungi Mareno Daud."
"Baik, Tuan."
"Satu lagi, kirim tanda bahaya."
Tubuhnya sudah berlari sambil membawa koper perak miliknya. Kemudian jam tangan digital yang dia kenakan bergetar, seiring dengan tampilan pada black glasses yang muncul.
Alexandra Walton, status RED ALERT.
***
"Sayang, jadi ketemuan sama Alexa?" Mareno sedang berkendara di jalan bebas hambatan mengarah ke luar kota sambil menghubungi istrinya. Mobil pesanan khususnya baru saja tiba, dan dia sedang mencoba.
"Hey hey, aku tahu kenapa kamu tanya-tanya terus. Buat cari bahan ngeledekin Mahendra kan?" ujar Tania.
Dia tertawa. "Aku nggak sabar, pingin konfirmasi langsung. Gila, Mahendra akhirnya nggak woman-proof lagi." Senyum konyolnya terkembang sempurna.
"Udah, jangan usil sama Mahen. Kamu dimana? Aku masih nungguin Alexa, nih. Belum datang."
"Oh, I love this car. Terimakasih karena sudah ijinin aku beli ini." Tangannya membelai setiran kokoh Shelby Super Car Tuatara miliknya. Mobil yang digadang-gadangkan sebagai salah satu mobil tercepat di dunia.
Istrinya tertawa. "Kamu memaksa, dasar. Setelah itu kamu nggak boleh beli mobil lagi..."
"Satu tahun, setuju. I love you, Beiby. Mahendra telpon. Bye."
"Marenooo..." Tania merengek di seberang sana.
Dia tertawa mendengar Tania yang merajuk kesal.
"Dimana?" Suara Mahendra terdengar serius sekali.
"Jalan-jalan sama pacar baru. Alexandra janjiannya sama Tania, Hen. Bukan sama gue. Tenang aja." Dia terkekeh geli.
"Pake black glasses, bego. Cepetan. Gue butuh bantuan."
Ya, mobil barunya ini memang belum dipasangkan seluruh perangkat canggih milik Mahendra. Dia memasang black glasses lalu segera tahu apa maksud Mahendra. Status Alexandra berkedip di sana.
"Hen, ada apa?" tanyanya khawatir. Tubuhnya sudah duduk tegak sambil mendengarkan penjelasan cepat Mahendra.
Manusia laknat. Bajingan. Umpatnya dalam hati setelah mencerna seluruh penjelasan Mahendra tadi. Dia suka perempuan, dulu. Tapi bukan pemaksa kotor yang menjebak wanita-wanita.
"Posisi lo di belakang mobil William. Di depan ada jalur darurat untuk mobil yang remnya blong. Minggir di depan, gue turun dari heli." Mahendra sedikit berteriak.
"Lompat maksud lo?"
"Cepetan minggir."
Dia bisa mendengar suara heli di atas melewati mobilnya. Mahendra benar, ada jalur darurat di sana. Mobil dia tepikan dan heli terbang sedikit rendah dengan Mahendra yang sudah menggantung pada tali. Adiknya itu melompat turun dan mendarat sempurna. Ya, salah satu kemampuan fisik Mahendra adalah dia seorang penembak jarak jauh, dan juga sangat mahir dengan ketinggian.
Mahendra masuk dengan kopernya dan mereka melaju cepat.
"Dimana William?" tanyanya.
Drone Mahendra sudah berhasil menjatuhkan tracker device pada kendaraan yang William.
"Angel, tampilkan posisi William." Ada satu titik yang berkedip biru dan berada jauh di depan mereka.
"Dimana Alexa, Hen?"
"Drone gue masih mencari. Alexa melepas gelang dari gue. Tapi kita punya dugaan soal tujuan akhirnya. Gue harus bunuh William dan mengkonfirmasi tempatnya."
"Kalau udah dibunuh gimana bisa ngomong orangnya," sahutnya spontan.
Mahendra diam saja, serius menatap ke depan. Wajah Mahendra lebih pucat dari biasanya. Dia bisa mengerti, karena kenangan Sabiya datang lagi. Bagaimana dulu mereka gagal menyelamatkan Sabiya dari laki-laki bajingan itu. Ini benar-benar menjadi sangat pribadi.
"Oke, bagusnya pacar baru gue adalah yang tercepat. Ini saatnya untuk benar-benar buktikan, kan? I will get you to that bastard only in a few minutes."
Kakinya menginjak pedal dan memindahkan transmisi. Oh, dia suka ini.
***
Lalu lintas tidak terlalu ramai, mungkin karena hari kerja dan jalan bebas hambatan ini menuju luar kota. Arsyad langsung pergi ke lokasi yang saat ini masih menjadi dugaan mereka, sementara dia akan mengkonfirmasi tempat Caro membawa Alexa. Informasi itu dia akan dapatkan dari William setelah dia menghabisi laki-laki bajingan itu.
Abangnya yang sedikit gila ini adalah pengendara segala jenis kendaraan. Yang beroda, atau tidak beroda. Keahlian berkendara Mareno luar biasa. Jadi dia percaya, bahwa Mareno bisa menyusul William di depan sana. Sementara, dia mempersiapkan peralatannya.
Benar saja, mobil baru Mareno memang seperti penampilannya. Dalam dua puluh menit mobil William sudah berada di dekat mereka. Dia sudah punya rencana, agar tidak ada warga sipil yang menjadi korban. Tangannya memutar automatic throw steel rope. Salah satu peralatan kesukaannya karena bisa menahan beban hingga 2000 kg. Mobil yang digunakan William adalah pabrikan Jepang. Bagus.
"Apa rencana lo, Hen?" tanya Mareno. Mereka berada persis di belakang William.
William berkendara sendiri. Sempurna. Kekurangan mobil cepat adalah ruang yang terbatas di dalam, juga jendela mobil yang tidak besar. Tapi bentuk mobil dan fitur-fitur tambahan sangat sempurna untuk rencananya.
"Hen..." tanya Mareno lagi.
"Satu kilometer lagi ada jembatan besar. Gue akan tempelkan alat ini, ke body mobil William, dan buat mobilnya keluar jalur dan melayang ke jurang. Dua tali baja ini kuat untuk menahan beban mobil William. Jadi laki-laki itu akan jatuh atau tidak, tergantung mood gue nanti."
Mareno menatapnya tidak percaya. Kemudian dia mengangkat tangannya berusaha menjelaskan dengan dua tangan. "Ini pacar baru lo." Telapak tangan kanan Mahendra terangkat datar. "Ini mobil si bajingan." Menyusul telapak tangan kiri melakukan hal yang sama. Lalu dua telapak tangannya diadukan dengan yang kanan berada di bawah yang kiri, kemudian dia mengangkat sedikit tangan kanan seolah mengungkit tangan lainnya dan membuat gerakan tangan melompat.
"Lo, minta gue nabrakin pacar baru gue sendiri?"
Dia mengangguk sambil kembali merakit senjata.
"Nggak ada, enak aja lo."
Senjatanya dia kokang, kepalanya menoleh menatap Mareno tidak percaya. "Jadi lo mau mulai hitung-hitungan sama gue? Gue ganti. Mau berapa banyak?"
"Ijin impor nya bego. Belum lagi ini pesanan khusus, dan belum tentu Tania ngjinin lagi." Mareno bersumpah serapah kesal.
"Ya, terus aja hitung. Gue pingin tahu kalau Tania atau Sabiya yang ada di depan sana, mau diperkosa, lo masih bisa berhitung atau nggak."
"Gue bukannya ga mau nolongin lo...."
"800 meter, Mareno." Dia memperingati.
"Apa nggak ada cara lain? Maksudnya kita bisa bikin William menepi dan kita pukulin."
"Oh, menggantung dia di atas jurang adalah satu-satunya cara agar gue ga bunuh dia di tempat. 700 meter. Decide, Ren!! Atau gue jalan sendiri." Dia sudah bersiap untuk nekat membuka pintu."
"Sh**. F*ck. Oke oke." Kemudian tangan Mareno membelai setir mobilnya perlahan. "I'm sorry Beiby, this is for the greater good."
Kemudian Mareno menuju ke bagian samping kiri mobil William. Dia sudah menembakkan dua kotak perak yang di dalamnya tergulung tali baja ke bagian samping mobil William. Sang pengemudi tahu dan melaju lebih cepat lagi. Mareno tertawa geli. Ya, paham benar mobil yang digunakan William tidak lebih dari seekor kura-kura yang berlomba lari dengan cheetah miliknya.
Dia menatap layar black glassesnya. "Tunggu aba-aba gue." Memastikan bahwa tidak ada mobil di sekeliling mereka. "500 meter."
Masih ada truck yang berjalan lambat di sebelah kiri dan sudah mereka lewati cepat. "Buat William ambil kiri." Mareno mengikuti instruksi, lalu mobil William yang melaju sembarangan sudah mengambil kiri.
"300 meter. Sekarang Ren."
Mareno memutar mobilnya 180 derajat hingga Shelby merah miliknya berhadapan persis dengan mobil William dan berjalan mundur. Ya, Mareno sehebat itu.
"200 meter."
Mareno membuka jendela dan mengacungkan jari tengah miliknya pada William yang wajahnya sudah pucat. "You really f*ck up. See you in jail," teriak Mareno sambil masih mengendalikan mobil dengan sempurna.
"Hell, not jail." Tablet sudah dalam genggamannya. "100 meter. Jaga dia tetap di kiri, jurang ada di sebelah kiri. Kanan jalur mobil lain.
Body Shelby bisa diturunkan hingga posisi mobil lebih rendah. Salah satu fiturnya begitu. Juga bagian kap depan Shelby yang miring membuat mobil William akan terus melaju berada di atas Shelby mereka dan Mareno akan membuat momentum hingga Shelby milik Mareno bisa melempar mobil William ke jurang sebelah. Bukannya hanya keahlian berkendara, tapi juga kemampuan pengukuran sudut dan ruang yang baik sangat penting atau salah-salah mobil William akan terguling ke sisi kanan dan membahayakan mobil lainnya. Mareno tahu maksudnya. Abangnya sebenarnya pintar, hanya jarang sekali mau menggunakan otaknya.
"Sekarang, Ren."
Jadi, Mareno melakukan persis seperti apa yang dia bayangkan. Mengerem cepat, menurunkan tubuh Shelby hingga mobil William naik, kemudian sedikit menyeretnya kebelakang dan membuat momentum lempar. Sempurna. Dia tersenyum gembira melihat mobil William terbang melintas di atas mereka menuju jurang.
"Hen, talinya bego. Dia bisa mati."
Dia mendengkus dan memijit tombol di tablet yang dia genggam dengan enggan. Manusia tanpa nurani harus mati. Oh, ini menyebalkan.
Tali-tali keluar dari kotak silver otomatis yang sebelumnya sudah tertancap sempurna di dinding samping mobil William, dan membidik dinding beton baja jembatan. Menahan mobil si bajingan berada 100 meter menggantung dari jembatan. Mareno bersorak dan tertawa. Ya, adrenalin bisa membuat mereka sedikit gila. Mobil sudah ditepikan.
"Angel, matikan seluruh CCTV lalu lintas di sini. Jika ada," ujarnya lalu keluar dari dalam mobil. Ingin menatap makan siangnya di bawah sana.
Tubuhnya sudah naik ke atas beton jembatan, berdiri dan berujar lagi. "Hubungi William Wongso."
Kata-kata pertama William adalah memaki dan berteriak marah. "I will kill you, all of you. Jangan kalian pikir kalian bisa lolos dari ini..."
Dia mendengarkan sambil tersenyum dan duduk di atas jembatan. "Sudah selesai?" William masih terengah di sana.
"How do you like the view down there, Will?" Dia terkekeh kecil. "Dimana Alexandra? You mess with the wrong girl, Bast*rd!" Nadanya tenang sekali. Dia bisa melihat William membuka kaca jendela dengan wajah pucat pasi.
"Itu ulah Mulyana, gue sudah menolak. Tapi dia memaksa..."
"Berapa nilai matematika lo, Will? Jadi, lo lihat ada dua tali."
"Mahendra, tolong..."
"Satu tali bisa menahan beban 2000 kilo. Berat mobil lo, mmm...mungkin sekitar 2500? 3000? Karena itu gue pasang dua. Gue sangat baik kan Will?" Dia diam lagi. "Jadi, dimana Alexandra?" Dia memijit tombol pada tabletnya dan tali baja berputar turun dengan teriakan William di bawah sana.
William menjawab terbata-bata alamat tempat Alexandra akan dibawa. Lengkap dengan posisi dan letak kamarnya.
"Angel, dengar itu? Sampaikan pada Arsyad dan Niko. Bilang pada mereka, sisakan Mulyana untuk saya."
"Baik, Tuan."
"Keluarkan saya dari sini!!!" teriak William panik karena mobilnya yang bergantung mulai bergerak karena angin.
Pundaknya ditepuk oleh Mareno. "Angkat, Hen. Bukan begini cara kita."
Mareno sungguh tahu bahwa dia benar-benar enggan menarik William ke atas.
"Manusia mana yang tega memberi janji perkawinan sementara di saat bersamaan akan menjual calon istrinya." Suaranya bergetar karena emosi.
Dahi Mareno mengernyit mengerti. "Oke, jatuhkan dia. Bye, Will. Send us the postcard from hell." Mareno berteriak konyol pada William di bawah sana lalu William memaki.
Sudah ada beberapa mobil berhenti di dekat mereka karena penasaran apa yang terjadi. Dia benci publisitas.
"Bung Toto sebentar lagi datang," ujar Mareno.
"Oke, gue cabut. Nih, pengendali tali. Silahkan putuskan, apa manusia macam dia layak ada di dunia. Gue cabut." Dia memberikan tablet kecil yang dia genggam pada Mareno lalu turun dari atas beton jembatan. "Gue pinjem mobil lo."
"Ya emang lo mau naik apa lagi? Aaah...panas banget lagi di sini. Gue jatuhin aja William deh, terus ikut lo."
Dia gendikkan bahu. "Terserah."
Mereka sudah mendengar suara sirine polisi. Brama dan Bung Toto datang. Mareno tersenyum konyol. "Ini tali bisa dinaik turunin ya? I will make Willam pee in his pant like a pussy."
Kaca jendela mobil Mareno dia buka, lalu dia mengangguk singkat menjawab pertanyaan Mareno. Abangnya yang usil itu sudah duduk di atas beton jembatan, asyik dengan mainan baru ketika dia melaju pergi.
"Angel, tunjukkan lokasi tadi." Sudah ada titik merah berkedip pada black glassesnya. "Oke, Shelby. Show me what you got."
Transmisi sudah dia atur dan pindahkan, lalu kakinya menginjak pedal gas dalam.
Tunggu aku, Lexa. Tunggu aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro