41. The Hidden Agenda
Malam, kediaman Alexandra
Tubuhnya berdiri dalam kegelapan. Memperhatikan gerak-gerik Alexa yang baru saja tiba. Ada satu ruangan kecil tempat Lidya meletakkan koper-koper Alexa dalam apartemen milik wanita itu, dan Alexa tidak pernah sekalipun ke sana. Jadi sudah dua malam, dia akan datang berdiri di sana, menunggu wanitanya pulang. Memperhatikan, tanpa mampu bicara apa-apa.
Alexa selalu pulang hampir tengah malam. Dengan wajah lelah dan penat. Sepatu selalu diletakkan di depan, lalu dia akan melangkah tanpa alas kaki, persis seperti di safe house dulu. Hari ini Alexa mengenakan dress midi satin berwarna biru tua, dengan potongan leher V yang terlalu rendah menurutnya. Tapi Alexa tetap mempesona, tidak pernah tidak. Tas diletakkan di buffet depan, lalu wanita itu melangkah ke kamarnya untuk mandi. Sementara dia diam, berdiri dan menunggu di tempatnya.
Lalu dengan mengenakan jubah satin hitam setelah mandi, Alexa akan keluar dari kamar untuk menyetel musik. Coldplay, lagu mereka. Setelah itu Alexa akan menyiapkan segelas wine, kemudian duduk di sofa ruang tengah sambil menatap langit malam di luar. Lampu hanya remang-remang, tubuh akan dia senderkan sambil menyesap anggur perlahan. Terkadang Alexa tertidur di sana, lalu dia akan mendekat perlahan, kemudian memperhatikan wajah tidur Alexa.
Kenapa dia tidak bicara? Karena dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya, karena dia yang membuat mata biru itu menjadi kelabu dan kosong, juga banyak meneteskan air mata. Dia yang melukai Alexandra dalam. Seluruh kesadaran tentang itu, membuat mulutnya bisu.
Mata Alexa sedikit demi sedikit terpejam. Tubuhnya sudah rebah di sofa panjang yang nyaman. Persis seperti ketika Alexa menunggunya pulang. Alexa berbaring miring dengan satu tangan terangkat ke atas sebagai tumpuan kepala, dan tangan lainnya bergerak mengusap air matanya yang jatuh perlahan. Entah kenapa, dia merasakan apa yang Alexa rasakan. Sepi, rindu, kehilangan. Lalu Alexa tersenyum kecil sambil terkekeh miris seperti tiba-tiba mengingat sesuatu. Track lagu sudah berganti ketika mata wanita itu benar-benar tertutup sempurna.
Dia berdiri diam selama sepuluh menit, menunggu. Hingga jantungnya sedikit lebih tenang, atau emosinya sedikit mereda. Karena sungguh yang dia inginkan saat ini, adalah melangkah dan memeluk Alexa hangat. Menghapus air mata dari matanya yang biru. Ketika nafas Alexa berhembus lebih lembut dan teratur, dia berjalan mendekati wanitanya itu.
Tubuhnya berjongkok, menatap dalam mata Alexa yang terpejam. Masih ada jejak air mata di sana, Alexa masih mengingatnya, mungkin mencintainya. Tangannya membetulkan letak rambut Alexa. Besok, Tania akan coba bicara, lalu dia akan memberanikan diri untuk maju lagi. Harusnya Tania bisa menjelaskan semua, lebih baik dari dirinya. Setelah itu, dia tidak akan mundur sedikitpun, sekalipun jika Alexa memukulnya berkali-kali, atau mencaci maki. Dia akan terima, dia bisa terima.
"Hen..." gumam Alexa masih sambil menutup mata. Satu kata, dan bisa membuat jantungnya melompat keluar karena terkejut.
Matanya mengamati, apa Alexa bangun? Tapi kemudian dia mengerti, Alexa sedang bermimpi. Senyum kecilnya mengembang, lalu sebelum beranjak, dia berujar.
"I love you, Alexandra Walton."
Alat komunikasinya berbunyi bip. Pesan dari Hanif.
ID Tech. Sabiya. Penting.
***
Mata Alexa mengerjap perlahan, kemudian tubuhnya langsung bangun. Menyadari dia bisa merasakan jejak wangi Mahendra di dekatnya. Mungkin dia sudah gila, terobsesi dengan Mahendra Daud. Karena sungguh dia bisa merasakan sisa kehadiran laki-laki itu saat ini. Seperti Mahendra berada dekat sekali, menyentuh rambutnya, memperhatikannya.
"Mahen..." Dia cuma bisa berbisik lirih sambil memandang ke sekeliling ruangan yang remang, lalu menangis lagi.
***
Laboratorium ID Tech
Mahendra tiba dan langsung disambut Hanif yang gelisah sekali. Dahinya mengernyit heran. Apa ada yang terjadi pada Sabiya?
"Ada apa, Bang?" tanyanya cepat.
Tidak berapa lama Mareno masuk. "Nif, lo harus bilang kalau lo manggil kita semua karena alasan yang bagus. Malem-malem begini, gila."
"Kenapa? Lo berhenti di tengah-tengah tadi?" ujarnya kesal pada Mareno.
Wajah Mareno membelalak terkejut. "Heeey...adik kecil sudah besar. Di ajarin Alexa?" Senyum Mareno sudah mengembang konyol sekali.
Kepalanya menggeleng kesal menatap Mareno yang terkekeh menggodanya. "Lo kenapa panggil Mareno sih, Bang?"
"Cukup, ini serius. Soal Sabiya," potong Hanif paham benar dia dan Mareno bisa mulai saling meledek lagi.
Mereka bertiga berdiri melingkar.
"Bang Arsyad kemana? Nggak dipanggil juga?" tanyanya.
"Arsyad nggak boleh tahu soal apa yang kita akan diskusikan sekarang," jawab Hanif dan itu membuat dahi dia dan Mareno mengernyit, tidak mengerti.
"Nggak ada rahasia, Bang. Nggak boleh ada," sahut Mareno. "Kalian bahkan pasang tracker device dulu ke gue, buat mata-matain perempuan-perempuan gue." Nada Mareno kesal sekali mengingat itu.
"Mareno, gue bilang yang ini pengecualian. Resiko gue yang tanggung. Jangan-bilang-Arsyad, paham?" Ekspresi Hanif sungguh-sungguh. Intonasinya ditekan sedemikian rupa. Pasti ada alasannya, tapi sekarang itu tidak penting. Yang penting adalah ada kabar apa tentang Sabiya.
Mereka berdua mengangguk.
"Sabiya, sudah punya tunangan."
Reaksinya adalah mengernyit terkejut, Mareno mengusap wajahnya dan melangkah mundur. Mereka bertiga, benar-benar terlihat gelisah. Bagaimana tidak? Ingatan akan apa yang terjadi dulu, seperti kembali.
"Siapa?" Rahang Mareno mengeras cepat. Paham benar, Mareno masih merasa sangat bersalah karena dulu Rangga ingin membalas perilakunya dengan menyakiti Sabiya.
"Kita harus cek cermat, sangat-sangat cermat," sahut Hanif.
Dia mengangguk cepat dan langsung setuju. Oh, dia benar-benar ingin tahu, siapa laki-laki lancang yang akan mencuri Sabiya dari sisi mereka.
***
Apartemen Lidya, hari berikutnya.
Lidya mengamati jadwal Alexa dan sungguh dia senang karena akhirnya Alexa benar-benar mengambil waktu istirahatnya. Sebenarnya dia memaksa Alexa untuk libur satu minggu jika perlu, tapi wanita itu keras kepala. Satu hari saja cukup katanya. Sedikitnya dia mengerti, bahwa Alexa sedang berusaha melupakan Mahendra dengan menenggelamkan dirinya sendiri dengan pekerjaan. Alexa benar-benar mencintai Mahendra Daud rupanya. Karena sikap wanita itu benar-benar berbeda.
Selama ini, dia tidak percaya cinta sejati. Cih. Itu hanya ada di novel picisan karya orang-orang yang pandai berkhayal. Sampai sekarang dia masih tidak percaya hal itu, jadi dia yakin Alexa hanya butuh waktu untuk menyembuhkan diri hingga bisa benar-benar melupakan Mahendra. Juga keberadaan William akan membantu.
"Pagi, Nyonya. Udah siap buat hari libur pertama?" dia menghubungi Alexa.
Alexa terkekeh di sana. "Ya, sepertinya ya."
"Libur lah lebih lama, Lexa. Lo butuh itu."
"Nggak, Lid. Satu hari cukup. Lid, jangan lupa cucikan gelangku hari ini. Aku tinggal di apartemen ya, tempat biasa."
"Gelang dari Mahendra, kenapa lo nggak buang aja?" Dia memutar matanya kesal.
"Lid, please. Minta mereka bersihkan saja."
"Oke, oke. Sore ini gue akan mampir ke apartemen lo. Ngomong-ngomong, salah satu orang kementrian menghubungi gue. Mereka bilang pimpinan mereka yang namanya, mmm...Mulyana. Ingin bertemu karena ada hal yang ingin ditawarkan."
"Nama itu seperti familiar."
"Ya, kita pernah bertemu dengan Bapak Mulyana ini di bukit golf waktu lo sedang pemotretan di sana. Ingat? Laki-laki usia 40-an akhir yang badannya fit banget. Dia kebetulan sedang ber-golf ria dengan koleganya."
"Mungkin, aku lupa. Aku harus bersiap-siap, Lid. Aku tidak mau Tania menungguku."
"Hey, sebelum itu, kita bertemu dengan William dan Caro. Jangan lupa dan jangan terlambat. Gue benar-benar penasaran, apa alasan Caro menghubungi Josephine langsung. Kenapa Caro begitu terburu-buru?"
"Oh, sebenarnya aku benar-benar tidak ingin bertemu mereka. Pastikan semua cepat selesai dengan Caro, Lid. Aku tidak mau melewatkan janjiku dengan teman wanita waras pertama-ku." Maksud Alexa adalah Tania.
Dia hanya terkekeh. "Oke. See you."
***
Di dalam mobil Mulyana
"Jadi?" pertanyaan singkat yang harusnya William paham benar dia harus menjawab apa.
"Yang lain, jangan Alexa," jawab William.
Laki-laki ini tidak mengerti, atau mungkin sudah lupa dan abai. Mulyana menggeram emosi. "Baik. Ucapkan selamat tinggal untuk bisnismu. Salam untuk Caro." Ponselnya sudah dia tutup. Lalu dia menoleh pada orang kepercayaannya.
"Kirimkan dokumen usaha illegal Caroline Wongso, serahkan kepada badan pemeriksa. Bongkar." Dia berujar sambil meletakkan ponsel di sebelahnya.
"Kapan, Pak? Sekarang juga?"
Belum sempat dia mengangguk, ponsel itu berdering lagi. Senyumnya terkembang lebar. Nama Caro menghias layar ponselnya.
"Pak Mul, saya yang akan urus." Dia bisa mendengar suara William yang marah di belakang Caroline.
Dia mendengkus. "Bagus. Siapkan tempat terbaik, hanya yang terbaik. Siang ini. Saya benar-benar butuh energi."
"Baik, Pak. Alexandra akan berada di sana."
Hubungan disudahi. Lalu dia berujar lagi pada anak buahnya.
"Tidak ada yang penting hari ini, betul begitu?"
"Hanya satu janji dengan Pak Darius. Juga Pak Herman ingin bertemu."
"Tunda semuanya, sampai dua hari mendatang. Saya ingin senang-senang. Pastikan semua aman, seperti biasa. Kali ini, perlakukan si mata biru seperti ratu, sambut dia, dan siapkan hadiah-hadiah mewah untuknya." Dia tersenyum kecil. "Mungkin dia akan sedih sebentar setelah bersama saya, tapi semua orang punya harga. Dia tidak akan bisa menolak apa yang bisa saya berikan untuknya, sepanjang dia menurut."
Laki-laki di sebelahnya mengangguk mengerti. "Baik, Pak."
Bibirnya tersenyum lebar. Yakin dan percaya atas apa yang dia ucapkan barusan. Tidak ada model baik itu 'anak baru' atau model papan atas yang tidak bisa dia beli. Di negara ini, gengsi adalah kebutuhan hidup mutlak yang harus dipenuhi. Sementara pekerjaan model bukan pekerjaan yang menghasilkan banyak. Alexandra memang model kelas dunia, tapi justru itu kan. Semakin tinggi popularitas, semakin banyak gengsi yang harus dibeli. Jadi, si mata biru bukanlah pengecualian. Alexa pasti punya harga, dan dia sanggup membelinya.
***
Arsyad memperhatikan laporan dari Deana cermat. Bukti-bukti tentang kejahatan Mulyana terpampang di depan mata. Gila, ini gila. Bagaimana bisa ada seseorang yang tidak memiliki hati nurani sama sekali. Semua bukti ini cukup, sekalipun Deana masih membujuk beberapa wanita yang pernah melayani Mulyana untuk bersaksi di pengadilan. Mereka belum mau karena takut.
"Dea, dimana?" dia menghubungi Deana.
"Mengumpulkan saksi, Bang. Hebatnya, bukan hanya Mulyana. William sama kotornya. Dua laki-laki ini gila, dan psikopat."
Geramannya dia tahan. "Periksa anak-anak di lapangan. Apa ada yang mencurigakan?"
"Kita kurang orang, Bang," keluh Dea. "Pekerjaan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh tim Fayadisa atau Niko. Tim lain tidak memiliki pengalaman untuk tugas khusus. Dan mereka sedang sama sibuknya."
"Tim taktis adalah timnya Leo, Dea. Bukan Faya," ujarnya tegas.
"Bang..."
"Dan, saya sedang bentuk dua tim lagi. Mereka sedang saya latih sendiri," potongnya cepat.
"Ya, saya sudah tahu. Tapi kita butuh orang sekarang."
"Pastikan William dan Alexandra di awasi. Laporkan pada saya segera jika ada yang mencurigakan. Saya akan mulai jalankan rencana utama."
"Baik."
***
Restoran.
"Hai, Caro. Apa kabar?" Alexa menempelkan pipinya pada Caro yang terlihat segar hari ini.
"Halo, Sayang. Kamu kelihatan fresh and chic. Aku suka gayamu hari ini." Caro memindai tubuhnya yang mengenakan kemeja putih longgar, celana jins biru pudar dan heels Louboutin berwarna biru pucat yang cantik.
"Oh, ini. Aku punya janji dengan temanku setelah ini. Hanya tidak mau berpakaian terlalu mencolok dan mengundang pers. Bagusnya tidak ada yang aku lihat di depan resto tadi," dia merespon.
"Ah, omong kosong apa itu. Bahkan dengan kaus GAP kamu bisa terlihat sempurna Alexa. Itu bakat, dan kamu tidak boleh menyia-nyiakan bakat itu."
Dia hanya tertawa kecil. Paham benar Caro sedang merayunya. "Hai Will." Entah kenapa dia merasa William resah sekali, tidak seperti biasa.
"Hai, Sayang." William menempelkan pipi cepat lalu membuang wajahnya.
Hey, ada apa dengan William?
Mereka duduk kemudian Lidya datang.
"Hai, semua. Sorry. Kita bisa mulai." Dengan cekatan Lidya sudah membuka tablet di tangannya.
Dia tersenyum senang karena Lidya benar-benar ingin menyelesaikan ini cepat seperti pesannya tadi.
"Kenapa kalian terburu-buru? Paling tidak tunggu hingga minuman datang."
"Alexa tidak sarapan banyak, Caro. Aku benar-benar penasaran kenapa kamu menghubungi Josephine langsung?" Lidya berujar cepat.
"Hah, aku harus menghubungi dia. Karena aku ingin Alexa cepat-cepat bergabung dengan agencyku. Kamu bodoh atau apa?" Caro terlihat kesal dan menatap Lidya yang acuh saja.
Saat seperti ini, dia benar-benar merasa beruntung memiliki Lidya yang bisa bernegosiasi dengan baik. Manager merangkap temannya itu tidak mudah terintimidasi.
Minuman sudah datang. Jus sayur dan buah, Caro tahu minumannya.
"Minum, Lexa. Aku akan mengajarkan managermu yang sombong ini bagaimana cara berbisnis di negara ini. Tidak bisa main terabas saja. Semua ada aturannya." Caro memandang Lidya tegas.
"Oke, apa aturannya?" tanya Lidya tenang, sambil membalas tatapan Caro berani.
Dia diam dan mendengarkan. Ini akan seru. Sementara William hanya menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak, sekalipun dia bisa melihat kegusaran William jelas. Sejelas rasa jus sayur yang dia sedang minum.
Setelah dua puluh menit bernegosiasi, Lidya mulai menurunkan intonasi suaranya menjadi lebih tenang. Itu pertanda mereka menang banyak. Ya, jangan berani-berani dengan Lidya. Dia tersenyum sendiri.
"Oke. Aku ingin semua transparan, Caro. Tidak ada hidden agenda atau Alexa hengkang. Kami akan bicara dengan Josephine dulu, dan aku harus mengatur beberapa kontrak di sana," tutup Lidya.
Caro terlihat kesal dengan Lidya, wajah wanita keras itu menjadi lucu. William masih diam saja.
"Oke, aku harus pamit. Aku ada janji lain." Dia berdiri, lalu tangannya berpegangan cepat pada meja. Pandangannya sedikit berputar.
"Lex, are you oke?" Lidya menatapnya khawatir.
"I'm oke." Sesungguhnya dia merasa aneh, seperti melayang. Apa dia kelelahan?
"Sebaiknya aku antar Alexa pulang," ujar William cepat.
"Will..." Caro seperti memperingati William. "Lexa, mungkin kamu kelelahan."
Dia masih tidak mengerti. "No, no. Aku punya janji penting." Tubuhnya berdiri tegak dan dia mulai melangkah.
"Lid, tolong antar aku ke tempat Tania," bisiknya pada Lidya.
"Lo kecapekan, Lexa. Apa lo nggak apa-apa?" Lidya benar-benar khawatir.
"Aku baik, Lid."
Mereka sudah sampai di lobby restoran.
"Tunggu aku di sini, aku ambil mobilku." Lidya berlari menuju tempat parkir.
William mondar-mandir gelisah sekali. Sementara pandangannya semakin buram. Ada apa dengan dirinya? Selelah itukah dia?
"Sayang, aku antar kemana kamu mau pergi. Ayo masuk." Sedan hitam Caro sudah di sana. Dua tangan Caro menahan tubuhnya yang semakin lemah.
"Aku tunggu...Lidya," bisiknya lemah.
Pintu mobil dibuka, kemudian tubuhnya yang semakin lemas sudah dibantu masuk ke dalam. Caro duduk di sebelahnya.
"Lidya, aku butuh Lidy..."
Hal terakhir yang dia ingat, adalah Caro melepas kacamata hitamnya dan sedan itu melaju cepat.
***
Readdyyyy???? Siapin jantung, juga senyum yang lebar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro