40. Tomorrow's Plan
Uap air hangat pada kamar mandi memenuhi ruangan itu. Mandi air hangat dan berendam adalah pilihan yang paling baik setelah hari yang melelahkan. Satu hari sudah berlalu setelah pertemuannya dengan Mahendra. Malamnya selalu panjang, padahal dia sudah meminta Lidya untuk memenuhi jadwalnya hingga larut jika bisa. Dia sendiri belum bertemu William lagi. Sekalipun laki-laki itu akan selalu menghubunginya setiap malam.
Setelah muncul di restoran milik keluarganya dan mengacaukan makan malam dia dan William, Mahendra belum menghubunginya lagi. Padahal jauh di dalam hatinya dia berharap Mahendra lebih keras berusaha menggapainya. Bukan hanya diam mematung tanpa kata-kata. Bagaimana juga bisa dia percaya tentang apa yang Mahendra katakan jika laki-laki itu tidak meyakinkannya kan.
Ya, karena kamu nggak penting, Lexa. Wake up, stupid. Perasaanmu saja tidak cukup untuknya.
Ponselnya berbunyi. William.
"Hai, Sayang," suara William di sana.
"Hai, Will."
"Maafkan aku, aku ingkar lagi hari ini. Mobilku tiba-tiba bermasalah."
"Ya, nggak apa-apa. Aku juga ingin istirahat cepat-cepat."
"Sedang apa?"
"Berendam."
William mendesah perlahan. "Aku benar-benar ingin segera menikahimu."
Dia terkekeh kecil. "Hanya karena itu?"
"Karena segalanya. Sepertinya aku harus mengulang seribu kali agar kamu percaya. Aku hanya ingin kamu saja, Lexa."
Entah kenapa, sikap tanpa kata-kata Mahendra justru lebih menyentuh hatinya. Daripada William yang terus mengumbar cinta.
"Aku merindukanmu. Apa bisa kita bertemu besok?"
"Aku tidak hafal jadwalku, Will."
William berdecak kesal. "Itu sangat tergantung apa kamu mau atau tidak bertemu denganku."
Dia hanya diam saja.
"Aku akan pastikan kita bertemu. Selamat malam, Sayang."
"Malam, William."
Baru saja dia ingin meletakkan ponsel, benda itu sudah berdering lagi. Nomor tidak dikenal. Dahinya mengernyit.
"Halo?"
"Alexa, hai. Ini aku Tania."
"Hai, Tan. Apa kabarmu?" Dia tersenyum lebar. Sungguh senang memiliki teman wanita yang menghubunginya.
"Baik. Aku baik, Lexa. Apa kabarmu?"
"Sedikit lelah. Jadwal ku gila." Dia terkekeh. "Ada apa, Tan? Tidak biasanya kamu menghubungiku."
"Oh ayolah, apa aku tidak boleh menghubungi artis ternama? Atau aku harus membuat janji dulu dengan Lidya?"
Dia tertawa. "Kamu berlebihan. Teman wanitaku tidak banyak. Tidak ada bahkan. Hanya aku dan Lidya."
"Sebenarnya, aku butuh bantuanmu."
"Tentang?"
Tania mendesah kesal. "Sebentar lagi Mareno ulang tahun. Dan aku ingin memberikan kejutan istimewa, juga ingin berdandan untuknya. Aku sudah menemukan kado yang tepat, tapi belum pakaian yang tepat."
"Aku punya solusi mudah, tidak usah pakai apa-apa. Mareno pasti akan terpana."
Mereka tertawa bersama.
Tania masih tertawa kecil sambil melanjutkan. "Oke, aku setuju. Tapi mohon maaf, segala sesuatu yang mudah didapat tidak akan menarik lagi. Mareno harus berusaha kali ini."
Tawanya lepas lagi. "Dia suamimu, Tan."
"Justru karena itu, Lexa. Ayolah, bantu aku."
"Oke, oke. Aku akan kabari besok pagi dan ambil liburku yang tidak pernah aku ambil sejak entah kapan. Lidya pasti setuju."
"Oh, aku sangat berterimakasih."
"Apa Sabiya ikut?"
"Sabiya sedang benar-benar fokus mempersiapkan fashion week. Tidak bisa diganggu."
"Okey."
"Kabari aku ya."
Hubungan disudahi. Sepertinya ini akan asyik sekali.
***
Hotel
Wanita muda itu bertubuh sintal dengan kulit putih pucat. Matanya terlalu kecil tapi bibirnya seksi. Rambut panjangnya tergerai hampir menyentuh pinggang. Mereka berada di dalam kamar hotel, untuk menghabiskan malam panjang. Caro bilang wanita ini berpengalaman, sekalipun memang baru tiba.
Dia duduk memperhatikan, wanita itu sedang mempersiapkan dirinya di depan cermin. Memulas bibirnya, menyemprotkan parfume yang tadi dia bawa. TV sedang menyala. Kemudian dia duduk bersandar sambil melepas jas dan membuka kancing kemejanya setengah bagian. Menunggu untuk dilayani.
Setelah selesai, wanita itu berjalan melenggak-lenggok menghampirinya. Dia diam mengamati sambil tersenyum kecil. Tangan wanita itu mulai beraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. Sementara dia hanya duduk bersandar, menikmati. Ketika kepala sang wanita berada di pangkuannya, mulai membuka dan memanjakan miliknya. Matanya terbuka perlahan dan tanpa sengaja menatap TV yang menyala. Si wanita masih berada di bawah sana, dan permainannya lumayan.
Tapi kemudian, wajah cantik sempurna dengan mata biru itu tampil di TV. Gambar-gambar disertai iklan produk kecantikan ternama. Senyum si cantik bermata biru mengembang sempurna. Bagaimana wajahnya adalah perpaduan kepolosan gadis belia dan juga keangkuhan seorang aristokrat. Seperti ratu-ratu. Matanya terpejam lagi, mencoba menikmati apa yang wanita asing di bawahnya ini sedang lakukan pada miliknya. Tapi nihil, sia-sia. Si cantik bermata biru sudah merajai ingatannya.
Sial, sialan. William harus kembali padaku secepatnya.
Dia mendorong tubuh wanita itu kasar. Kemudian berdiri dan meraih ponsel.
"Caro, saya ingin si mata biru. Besok. Atau lihat akibatnya."
***
Mereka berada di dalam mobil kursi belakang. Lidya sedang sibuk dengan tabletnya ketika ponselnya berdering. Lidya mengangkat ponsel itu lalu memberikan padanya.
"William."
Dia mengambil ponsel Lidya dan mengangkatnya.
"Halo, Sayang. Ponselmu mati." Suara William di sana.
"Baterainya habis. Aku lupa mengisi dan sedang sedang diisi oleh Lidya. Ada apa?"
"Apa jadwalmu hari ini, Sayang?" tanya William.
"Tidak banyak, sayangnya. Tapi besok aku off. Aku ingin istirahat."
"Aku ingin bertemu, serius."
"Besok aku sudah punya janji."
"Alexa, aku punya hal penting yang aku ingin sampaikan."
"Tentang?"
"Tentang kita dan rencana kita nantinya. Caro juga ingin bertemu karena dia sudah bicara pada Josephine di sana."
Dia berpikir sejenak. Kenapa Caro menghubungi Josephine? Nafasnya dia hela panjang. "Oke, tapi aku ada janji besok. Jadi tidak bisa lama."
"Bagus. Aku akan atur dengan Lidya. See you tomorrow."
Ponsel Lidya sudah dia kembalikan sementara Lidya sibuk bicara dengan William. Matanya menatap keluar jendela. Dia merindukan Mahendra. Sangat merindukan laki-laki itu. Mimpinya saat ini bahkan semakin nyata. Dia sering merasa Mahendra berada dekat dengannya, di dalam kamar tidurnya. Karena hidungnya bisa membaui wangi tubuh Mahendra. Tapi ketika matanya terbuka, Mahendra tidak di sana. Tidak mungkin, tapi sungguh dia ingin mimpi itu jadi nyata.
***
Enchanted. Butik Sabiya.
Hanif menyambangi Sabiya di butik wanita kesayangannya itu. Max hari ini diliburkan karena memang Sabiya hanya akan berada di butik saja. Sabiya terkejut ketika dia melangkah masuk, tapi kemudian tersenyum lebar menyambutnya.
"Apa kabar, kesayangan?" sapanya sambil melangkah menuju Sabiya.
Sabiya tertawa lalu menghampiri dan memeluknya hangat. "Sangat merindukanmu. Apa kabarmu, Bang?"
"Aku senang melihat kamu sudah kembali seperti biasa." Mereka saling melepaskan pelukan.
"Aku dengar tentang kamu dan Faya. Kalian baik-baik kan?" Tubuh mereka duduk di sofa ruang depan.
"Pasti Mareno." Dia merangkul Sabiya sebelum melanjutkan. "Kami baik-baik. The Lioness sedang berlatih di bersama Brayuda. Aku masih belum memperbolehkan Faya kembali ke ADS."
"Bang, jangan terlalu keras pada Faya. ADS adalah rumahnya, biarkan dia kembali ke rumahnya."
Dia tersenyum kecil tidak percaya. "Kalian kompak membela Faya. Luar biasa."
"Hey, kami berkata sebenarnya." Sabiya tertawa kecil. "Mareno khawatir sekali, dengan kamu, dan Mahendra."
"Juga dengan kamu, Bi."
"Aku?"
"Ya. Setahuku kamu nggak ada janji khusus hari ini. Kita pergi makan siang?"
Sabiya menggeleng. "Maaf aku tidak bisa."
Nafas dia hela. "Ada apa, Bi?" Posisi duduk dia rubah, menghadap Sabiya. Tangannya sudah menggenggam tangan Sabiya yang dingin. "Bi? Apa aku sudah bukan orang yang tepat untuk diajak bicara?"
"Bukan begitu, Bang. Aku cuma..."
Pintu butik berdenting dan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap masuk.
"Selamat siang, maaf menganggu." Laki-laki itu menatap mereka sambil tersenyum hangat. "Itu tangan tunangan saya. Boleh dipinjam, tapi tolong dikembalikan."
Dia benar-benar terkejut lalu dengan cepat mengendalikan ekspresinya. Senyum dia kembangkan kemudian dia berdiri. Siapa laki-laki ini? Tunangan?
"Ganesh, apa kita punya janji?" tanya Sabiya heran juga sambil berdiri.
"Kamu pasti Hanif Daud. Saya Ganesha." Tangan Ganesha terulur kemudian mereka berjabat tangan erat.
"Saya Hanif."
"Ya, Sabiya sudah bercerita banyak tentangmu. Kalau kamu belum menikah, saya bisa gila karena cemburu." Ganesha tertawa kecil.
"Maaf, Bang. Aku belum sempat cerita ke kamu soal Ganesh. Oke, Ganesha, ini Hanif Daud, dan Abang, ini Ganesha. Dokter Ganesha." Sabiya berkata kikuk.
Matanya memindai cermat. Pembawaan Ganesha sopan, rapih, dan bersih, sederhana namun tetap segar dan mahal. Pancaran matanya tulus, wajahnya ramah, tidak ada yang salah. Ganesha. Dia harus segera meminta Mahendra untuk melakukan cek cermat. Kenapa mereka kelolosan begini?
"Semoga Sabiya menceritakan hal-hal yang baik tentang saya." Dia berbasa-basi.
"Oh, Sabiya benar-benar menganggumimu, Hanif. Jangan khawatir."
Sikap canggung Sabiya kentara sekali. Wanita itu mempersilahkan duduk, lalu beranjak ke dalam untuk mengambilkan minuman.
"Kamu praktek di sini?" dia membuka dengan sebuah pertanyaan pancingan yang penting.
"Oh tidak. Saya praktek di salah satu rumah sakit di Washington DC. Janus adalah pasien favorit saya. Ayah saya dan Janus bersahabat dekat."
Karena itu kami tidak pernah mendengarmu di sini.
"Kamu sendiri?" tanya Ganesha kembali.
"Oh, saya bekerja dan menetap di sini sekarang. Mengerjakan proyek konservasi lingkungan dengan pemerintah." Dia memberi jeda sebelum melemparkan pertanyaan selanjutnya. "Jadi, kamu tinggal di DC?"
"Ya, hidup saya di sana."
"Namamu bagus sekali, Ganesha." Pertanyaan pancingan lainnya.
Laki-laki itu tertawa. "Ayah saya bernama Adam Anderson. Ibu saya Dita Dewari, orang Indonesia. Beliau yang memberi saya nama."
Pekerjaan, asal-usul, dan nama keluarga beres, gumamnya dalam hati.
"Saya heran kenapa Sabiya tidak pernah menceritakanmu." Dia memulai lagi.
"Sabiya bilang kalian sedang sangat sibuk. Banyak hal yang sedang kalian tangani, jadi ketika saya bilang ingin berbicara dengan kalian, Sabiya masih belum mau merepotkan kalian jadi kita belum diperkenalkan."
Kepalanya menangguk perlahan. Bukan itu alasan Sabiya, ada alasan lainnya.
"Sudah bertemu Damar?"
"Sudah, saya akan jemput dia sore ini di tempat latihan bola. Dia juga banyak bercerita tentang kamu, Nif. Saya benar-benar bersyukur kamu sudah memiliki istri." Ganesha bergurau sambil tertawa.
Sabiya masuk dengan Amy yang membawakan minuman dan makanan ringan.
"Nggak perlu repot, Sayang. Aku tidak bisa lama. Hanya ingin menyapamu di sini. Nanti sore aku jemput Damar dan kita makan malam, oke?"
Dia benar-benar merasa tidak nyaman untuk mengetahui bahwa ada laki-laki lain untuk Sabiya dan Sabiya merahasiakan ini semua dari mereka. Dan dia bilang sayang? Oh, dia harus segera bicara dengan saudara-saudaranya.
Tidak semudah itu Ganesha. Langkahi kami dulu.
Tubuh Ganesha berdiri dan dia mengikuti. "Saya pamit dulu, Nif. Senang bertemu denganmu."
"Kita pasti akan berjumpa lagi." Mata Hanif menatap Ganesha tajam. Mereka berjabat tangan.
"Saya tunggu." Ganesha menatapnya kembali dengan berani. Jabatan tangan laki-laki itu kuat. Seolah sudah siap dengan apa yang akan dihadapi.
Sosok Ganesha sudah berlalu setelah mencium pipi Sabiya singkat. Lagi-lagi itu membuatnya marah. Sabiya selalu menjadi gadis kecil mereka sejak dulu. Jadi kedatangan tiba-tiba laki-laki yang bisa membahayakan Sabiya, juga bayang-bayang tentang Rangga, membuat emosinya mulai naik.
Dia melangkah ke arah kantor pribadi Sabiya. Wanita itu mengikutinya di belakang. Pintu sudah tertutup ketika tubuhnya berbalik sempurna.
"Apa itu tadi, Bi?" tanyanya kesal.
Sabiya menghela nafas. Seperti sudah tahu apa yang akan terjadi. "Itu Ganesha, tunanganku."
"What? Tunangan kamu? Kamu bertunangan tanpa memberi tahu kami? Atau paling tidak aku?" Dia berusaha keras menjaga intonasi suaranya.
"Karena aku tahu kalian akan menggila. Seperti kamu sekarang, Bang. Look at yourself now."
"Biya, untuk kami, ada orang-orang yang sangat penting untuk dilindungi. Ayah, Mama, pasangan kami dan kamu, Biya. Kamu. Kamu bahkan ada di urutan sebelum para istri kami. Karena kamu adik kami. Paham?"
"Harusnya sebagai kakak, reaksimu akan lebih baik dari ini. Begitu kan?"
"Biya, kami harus cek semua hal dulu. Siapa Ganesha, apa motifnya."
"Motif? Ganesha bukan penjahat," ujar Sabiya mulai terlihat kesal.
Matanya terpejam karena menahan kata-katanya dalam hati. Cemas di hati sudah menguasai seluruh pikirannya saat ini.
"Bang, di antara semuanya. Kamu yang paling mengerti aku. Kita sangat dekat. Apa kamu mengira bahwa aku sangat bodoh sampai mau mengulangi hal yang sama?"
"Biya, tetap saja. Kami harus memeriksa semua. Tanpa terkecuali."
"Silahkan, periksa segalanya tentang Ganesha. Aku sangat yakin kalian tidak bisa menemukan apapun."
"Apa pendapat Damar?"
"Oh, Ganesh dan Damar bahkan semalam bergadang dan cuekin aku."
Nafasnya dia hirup panjang. Anak-anak tidak pernah berbohong. Jadi dia akan bicara pada Damar tentang apa yang anak itu rasa dengan Ganesha.
"Why don't you just be happy for me." Sabiya menatapnya sedih sekali. "Aku benar-benar bahagia kalian akhirnya mendapatkan pasangan kalian masing-masing. Selama ini, itu yang aku tunggu. Aku sungguh bahagia untuk kalian."
Dua tangannya merengkuh Sabiya. "Kami menyayangimu, Bi. Terkadang lebih dari hidup kami sendiri. Aku akan sangat bahagia kalau aku tidak menemukan apapun perihal Ganesha. Tapi aku khawatir, Biya."
Sabiya membalas pelukannya. "Aku juga ingin bahagia, Bang."
Lalu ingatannya terbang pada kotak biru di rumah Sabiya dulu. Dia melongggarkan pelukan Sabiya perlahan. Lalu menatap matanya dalam.
"Sabiya, apa kamu sungguh-sungguh dengan Ganesha? Apa kamu cinta dia?"
Mata Sabiya meredup sendu. Dia bisa melihat jelas ada ragu di sana.
"Aku, membutuhkan Ganesha, Bang. Dia yang akan membuatku bahagia."
"Bi..."
Sabiya sudah melepaskan diri dan menjauh darinya. Wanita itu tiba-tiba membuat benteng tinggi, kelihatan sekali dari perilakunya.
"Periksa, Bang. Tolong pastikan bahwa tidak ada yang salah dengan Ganesha. Aku menunggu restumu. Hanya kamu, bukan yang lain. Jika kamu setuju, aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan Ganesha."
"Biya, ada cara lain..."
"Bang, aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Maaf, aku banyak pekerjaan."
Sabiya sudah berlalu. Ya Tuhan, bagaimana ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro