Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Appointment

Seluruh pemeriksaan selesai di hari kedua. Hasil-hasilnya pun sudah keluar. Lidya berhasil mengkosongkan jadwalnya selama itu tapi dia tahu hal tersebut tidak bisa berlangsung lama. Ada banyak janji temu dengan klien, pemotretan, runaway show dan lain sebagainya. Sekalipun Lidya sudah mengatur tambahan satu hari waktu untuk memulihkan diri dan memastikan penampilannya sempurna lagi.

Hal merepotkan lainnya adalah orangtuanya yang datang. Mama lebih tepatnya. Karena papanya hanya akan menyusul satu hari sebelum hari pernikahan yang terpaksa harus ditunda. Ya, itu keputusannya semalam dan William setuju. Penundaan pernikahan selama dua minggu. Mama mengomel tanpa henti hingga membuatnya sangat kesal. Mama memang selalu membuatnya marah.

Malam kemarin dia berjalan keliling lantai VVIP dan bertanya pada satu-dua perawat tentang keberadaan Sabiya. Dimana Sabiya dirawat? Tapi perawat-perawat itu diam saja dan hanya tersenyum padanya. Kenapa orang-orang di negeri ini suka sekali tersenyum dan menjawab apa yang bukan menjadi pertanyaannya? Tapi akhirnya dia sedikit lega karena tahu dokter Aryan kembali mengunjunginya pagi ini dengan seorang perawat.

"Pagi. Sudah enakkan?" tanya Aryan sambil tersenyum kecil.

"Aku baik-baik saja."

Aryan mengangguk. "Ya, setuju. Semua hasil test sudah keluar dan tidak ada luka dalam yang berbahaya. Hanya sedikit lecet dan lebam."

"Dimana Sabiya?"

"Dia belum bangun."

"Aku ingin melihatnya."

"Maaf, itu tidak mungkin karena pihak keluarga melarang semua jenis pengunjung. Tapi saya akan sampaikan padanya nanti. Semoga dia segera bangun." Aryan menerangkan.

"Apa dia koma?"

Dokter itu menghirup nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Dia akan baik-baik nanti. Kamu bisa pulang hari ini."

"Dok..." satu tangan menahan lengan sang dokter.

Aryan kemudian meminta perawat yang mendampingi dia tadi keluar, hingga menyisakan mereka berdua di dalam ruang rawat.

"Saya dengar ada lantai khusus di rumah sakit ini. Apa ini lantainya?"

"Bukan."

"Apa Sabiya di sana?"

"Ya," jawab Aryan singkat.

"Saya ingin mengucapkan terimakasih pada Sabiya."

"Saya akan sampaikan. Sebaiknya kamu pulang, Alexa."

"Mahendra Daud, apa dia terluka?"

"Saya sudah pernah bilang kalau Mahendra baik-baik saja kan."

"Apa dia ada di lantai itu juga?"

"Saya pikir sudah cukup." Aryan tersenyum padanya. "Kamu bisa urus administrasi kepulangan kamu setelah ini."

"Dok, tolonglah. Saya hanya ingin berterimakasih pada Sabiya dan Mahendra."

Lidya masuk ke dalam ruangan dan langsung membuka kacamata hitamnya sambil menunjukkan wajah yang sangat tertarik pada Aryan.

"Selamat pagi, Dok. Saya Lidya, manager dari Alexa." Tanpa malu-malu Lidya langsung mengulurkan tangannya pada Aryan.

Aryan hanya tersenyum sopan dan mengangguk. "Alexa sudah bisa pulang."

"No, no. Tidak bisa begitu saja. Kami bisa mengajukan tuntutan pada keluarga Daud karena sudah menempatkan Alexa dalam bahaya besar. Dokter tahu kan, kalau beberapa spekulasi atas apa yang terjadi karena menghilangnya Alexa beberapa hari ini sudah beredar. Jaman sekarang memang sulit memiliki privasi."

"Tuntutan dengan bukti apa?"

"Laporan kondisi lebam-lebam dan luka pada tubuh Alexa yang didapat saat dia berkunjung ke butik Sabiya. Alexa juga bisa bicara sebagai saksi mata tentang hal yang terjadi di sana. Wow, bayangkan betapa publik akan dikejutkan dengan itu semua. Semua orang suka gossip, Dok. Apalagi ini bukan gossip, ini fakta yang ditutupi karena keluarga Daud sangat berkuasa." Lidya tersenyum penuh kemenangan. "Apa Dokter tahu berapa puluh juta pengikut instagram Alexa?"

"Saya nggak tertarik dengan dunia itu." Aryan sama sekali tidak terlihat terintimidasi dan itu membuat Lidya gemas juga.

"Jadi bagaimana, Dok?" tanya Lidya lagi.

"Bagaimana apanya?"

"Alexa hanya ingin bertemu Sabiya dan Mahendra. Apa itu sangat sulit?"

"Saya akan berikan nomor telpon pengacara keluarga Daud dan sekertaris keluarganya, Janice. Mereka yang akan menentukan dan memutuskan perihal permintaan Alexa. Saya Dokter, tugas saya hanya memastikan kondisi pasien. Apa sudah jelas?"

"Apa saya juga bisa minta nomor telpon Dokter? Kita bisa makan siang hari ini atau minum kopi. Makan malam lebih baik lagi. Jadwal saya kosong."

Aryan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. "Maaf, saya lebih tidak tertarik lagi dengan hal itu. Permisi."

"Aryan, kamu belum mendengarkan apa yang saya bisa tawarkan. Semuanya hal yang baik dan menyenangkan." Lidya masih berusaha menggoda Aryan dan dia masih menonton itu semua sambil duduk di sofa.

Dasar perempuan gila, pikirnya dalam hati melihat bagaimana Lidya berusaha merayu Aryan.

Tubuh Aryan berbalik dan ekspresi senyumnya berganti menjadi lebih menakutkan. "Sayangnya saya sudah bisa menebak apa dan saya masih tidak tertarik. Selamat pagi." Kemudian Aryan berlalu dari ruangan.

"Dasar maniak gila kamu, Lid." Dia tertawa ketika pintu itu tertutup.

Lidya hanya melenggang dan duduk di sofa lainnya. "Oh, Dokter Aryan. Dia itu perwujudan dari laki-laki pintar, berbahaya, dan misterius. Pandangannya aja sudah bikin gue kepingin." Lidya menatapnya heran. "Lo nggak pingin sama dia emangnya?"

"Not my type. Lagian dia sudah menikah, Lid."

"Dia bukan politisi. Dan memiliki skandal itu sungguh memacu adrenalin. Mangkanya dulu lo main gila sama si Bapak calon Senator di sana. Ya kan? Nggak usah sok suci lo." Lidya terkekeh.

"Lid, aku belajar dari kesalahan. Anyway, nice try and thank you."

"Hey, hey. Gue itu manager yang hebat dari komoditi yang benar-benar menghasilkan banyak."

"Brengsek lagi, dasar. Pastikan aku bisa bertemu dengan Mahendra Daud."

"Sabiya?"

"Nanti, setelah dia bangun. Semoga dia bangun, Lid. Sepertinya dia lebih tulus daripada kamu dan Mama."

Lidya hanya tertawa saja.

***

Matanya masih menelusuri hasil test Sabiya. Ini sudah hari ke empat dan wanita itu belum bangun juga. Peluru sudah dikeluarkan dan tidak mengenai organ yang vital, namun pendarahan yang terjadi membuat kondisi Sabiya drop dan belum sadar hingga saat ini. Serumnya belum bisa diberikan. Pertama, karena serum itu belum pernah diuji coba langsung pada Sabiya. Sekalipun sudah pernah dia test pada tim ADS yang memiliki golongan darah yang sama dengan Sabiya dan reaksinya baik. Kedua, tim dokter memutuskan untuk menunggu hingga hasil test Sabiya membaik. Untuk menekan resiko reaksi tubuh Sabiya yang masih trauma.

Juga, serumnya selalu butuh waktu agar bisa bekerja dengan baik. Waktu tersebut sangat bergantung pada kondisi tubuh masing-masing pasien atau korban. Saat ini, dia hanya bisa menunggu karena mereka semua sudah berusaha. Dan dia benci itu.

Ponselnya berbunyi. Lukman.

"Ya, Pak."

"Hen, kita sudah mulai periksa pelaku kedua pemerkosa Danika."

Shit, dia lupa tentang janji temunya sendiri.

"Sorry, Pak. Saya terlewat."

"Nggak masalah, Hen. Saya sudah dengar dari Arsyad soal Sabiya. Kamu fokus saja perhal itu sementara saya dan Dwi Sardi akan tangani kasus ini."

"Terimakasih, Pak."

Ponsel itu dia tutup lalu dia termenung sendiri. Tidak pernah dia melupakan jadwal harian-nya. Prosesor di dalam otak miliknya itu istimewa. Serupa dengan komputer terbaik dengan SDRAM - Double Data Rate atau DDR5. Oh, Tuhan bahkan menciptakan otak jauh lebih kompleks dan canggih dari semua komputer di dunia. Jadi selama ini dia tidak pernah melupakan jadwalnya. Ada apa dengan dia? Apa begini rasanya ketika variabel hati mulai banyak berfungsi? Dia jadi bodoh begini?

"Bos, lo kenapa?" Erick menepuk pundaknya singkat.

Kepalanya menggeleng kecil. Matanya masih menatap kosong ke depan. "Untuk pertama kalinya gue lupa dengan janji meeting gue."

Erick diam, paham benar hal itu adalah sesuatu yang besar untuknya. "Turut berduka cita, Bos. Banyak-banyak berdoa biar nggak keterusan lupanya."

Dia terkekeh miris. "Sialan lo, Rick."

"Tapi santai, Bos. Namanya otak juga kadang-kadang butuh refreshment. Penyegaran. Kayak di komputer yang punya refresh button. Habis ini langsung dihajar, Bos. Kasih exercise berat. Mau bahas yang mana hari ini?"

Erick sudah lama bekerja untuknya, jadi dia paham benar saat ini dia harus mengalihkan perhatiannya sejenak dari Sabiya. Agar dia tidak seperti orang yang kehilangan arah begini.

"Kita cek upgrade serum DD-2 dan SB-2 dulu. Setelah itu GS-1. Kasih gue hasil seluruh test molekul dan gen nya. Gue mau segera sempurnakan, keadaan makin bahaya. Sekarang, siapapun bisa terluka. Kita harus siap, Rick."

Erick mengangguk dan mereka berdua sudah berdiri, bersiap mencerna dan membaca data. Ponselnya berdering lagi. Janice kali ini.

"Pak, manager dari Alexa menghubungi saya."

Matanya terpejam dan langsung mengingat nama itu. Ya, dia melarang dirinya melupakan apapun lagi. Alexandra Amandari Walton, si wanita manja bermata biru. Gadis itu ada di sana saat insiden Sabiya.

"Ada apa?"

"Alexandra ingin bertemu."

"Saya sibuk."

"Dia mengancam akan menuntut keluarga Daud, dan membuka apa yang sebenarnya terjadi di butik Sabiya."

"Dengan bukti apa?"

"Hasil visum luka dan lebam pada tubuh Alexa, beberapa foto sebelum dan sesudah Alexa berkunjung, dan sayangnya ada satu yang terlewat oleh tim pembersih perkara. Satu foto dari salah satu fans Alexa yang dipegang oleh sang Manager dan akan disebar luaskan jika Bapak menolak untuk menemui mereka."

Tim pembersih perkara adalah tim yang akan diturunkan oleh Arsyad untuk membersihkan seluruh bukti-bukti semua insiden yang ingin mereka tutupi. Selalu akan ada celah atau hal yang terlewat karena saat ini, teknologi sudah sedemikian canggih hingga semua orang bisa menjadi reporter dadakan. Tapi biasanya mereka selalu bisa negosiasikan. Kali ini posisinya sedikit berbahaya karena Alexandra adalah seorang public figure. Mungkin fans dan follower-nya banyak di media sosial, dia belum mengecek perihal itu.

"Apa tujuan pertemuannya?"

"Alexa hanya ingin bertemu."

"Konfirmasi tujuan pertemuannya dan cari jadwal saya yang kosong."

"Malam ini, mereka minta malam ini juga."

Nafas dia hirup dalam-dalam. "Kamu tahu berapa follower media sosial Alexandra?" Dia ingin menghitung kecepatan sebar luas informasi jika gadis itu cukup gila untuk melaksanakan ancamannya.

"70 juta 251 ribu."

"What?" ujarnya kaget. Hampir 26% dari total jumlah penduduk di negaranya.

"Pak, Alexa sudah lebih dulu terkenal di New York. Bapak bisa mengecek lingkaran pertemanannya di sana. Apalagi setelah skandalnya dengan salah satu calon senator. Pengikutnya bertambah drastis."

"Gila."

"Itu nggak seberapa kalau dibandingkan Kylie Jenner, Selena Gomez atau..."

"Saya nggak perduli. Ck..." dia berdecak kesal karena akhirnya dia tidak bisa menghindari ini.

"Dimana?"

"Dia memaksa untuk tahu apartemen Bapak. Tapi akhirnya mereka setuju untuk bertemu di restoran keluarga Daud. Saya siapkan tempat dan booking seluruhnya hingga tidak ada tamu lain, hanya jika Bapak setuju."

Satu tangan sudah memijit dahinya kesal.

"Oke. Jam 8."

Hubungan disudahi.

***

Di Restoran Keluarga Daud

Gaun yang dia pakai malam ini adalah gaun yang dirancang khusus oleh rumah mode Versace untuknya. Salah satu koleksi yang dia dapatkan dengan harga yang luar biasa. Lagi-lagi Lidya bekerja dengan sangat baik karena akhirnya dia bisa bertemu dengan Mahendra, laki-laki yang sungguh betah sekali berada di kepala. Bahkan saat ini, coldplay tiba-tiba menjadi artis favoritnya. Lidya heran karena dia tiba-tiba memiliki playlist lagu di ponsel, dan sebagian besar isinya adalah lagu coldplay.

Bahkan yang lebih gila lagi, sebelum helm hitam itu kehabisan daya, dia mengenakan benda itu setiap malam. Hanya untuk mengingat Mahendra. Padahal seumur hidupnya dia tidak pernah mengenakan helm karena tidak pernah bepergian dengan motor. Apa dia jatuh cinta? Entah, entah. Yang jelas dia sangat gembira karena pertemuan malam ini. Apalagi untuk tahu bahwa Mahendra datang dari keluarga yang hebat di negeri ini. Harusnya mereka cocok, dan keluarganya sendiri tidak memiliki keberatan jika memang dia memilih Mahendra nanti.

Restoran itu memiliki arsitektur bangunan yang unik. Modern, minimalis tapi memiliki area cantik terbuka yang bergaya eropa. Seluruh restoran di pesan hanya untuk dia dan Mahendra saja. Ya, karena ini restoran milik keluarga laki-laki itu. Seorang pelayan membukakan pintu untuknya.

"Apa Mahendra sudah tiba?"

Pelayan itu mengangguk kecil sambil tersenyum. "Selamat malam, Nona Alexandra."

"Alexa saja." Dia balas tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam restoran.

Apa yang dia harapkan? Dia berharap dia bertemu dengan sosok Mahendra dengan setelan jas lengkap dan wajah segar, tersenyum menyambutnya. Apa yang dia dapatkan? Jauh dari itu.

Laki-laki itu mengenakan kemeja putih tulang dengan lengan yang digulung setengah dan juga celana biru tua. Salah satu bagian depan kemejanya sudah mencuat keluar. Janggut Mahendra tumbuh sedikit lebih panjang dari yang dia ingat. Rambutnya tidak tersisir dengan rapih, dan untuk melengkapi segalanya, laki-laki itu sedang duduk dengan laptop di meja makan dan mengamati layarnya serius sekali, sambil memegang rokok IQOS elektrik. Dia seperti melihat karyawan yang sedang kerja lembur dibandingkan dengan sosok laki-laki tampan dan berkuasa. Bahkan William selalu bersikap sempurna selama ini.

Tubuhnya berjalan mendekat. Mahendra bahkan tidak sadar dia sudah ada di dekatnya. Apa segala wangi 24 Faubourg by Hermes perfume miliknya tidak bisa laki-laki itu baui? Ini sangat menyebalkan.

"Selamat malam." Dia menyapa sambil berdehem.

"Sebentar, satu lagi." Mahendra mengacungkan satu jari padanya. Dia hanya bisa berdiri terpana mendapat semua perlakuan ini.

Tidak cukup sampai di situ, Mahendra berdiri. Dia pikir laki-laki itu ingin menggeser kursi untuknya dan mempersilahkan dia duduk. Tapi alih-alih melakukan itu, Mahendra mengangkat ponsel dan berjalan menjauh.

"Bang, gue udah kirim kordinat barunya. Minta Niko bergerak. Hati-hati, Bang." Sayup-sayup dia bisa mendengar suara Mahendra.

Kemudian tubuh laki-laki itu berbalik. "Malam. Kamu Alexandra?"

Oke, laki-laki ini benar-benar tidak punya sopan santun. Dan Mahendra bertanya apa namanya Alexandra? Memangnya dia buat janji dengan siapa lagi?

"Ya. Malam, Mahendra. Panggil saya Alexa." Dia berusaha mengendalikan rasa kesalnya sendiri.

"Kamu habis dari acara resmi sepertinya. Sibuk ya?"

Matanya membelalak kesal. Dia berdandan seperti ini karena ingin menemui...hrrrghhhh.

"Silahkan duduk. Kamu tunggu apa?" Mahendra sudah duduk sambil menatapnya heran.

Seluruh makian yang tertahan sudah ada di dalam kepala.

"Saya pikir kamu adalah laki-laki sopan yang bisa menyambut tamu lebih baik dari ini."

Mahendra tertawa. "Saya terbiasa bertemu dengan wanita-wanita kuat dan mandiri. Bukan wanita manja."

"Apa kamu bilang saya..."

"Itu persepsi kamu sendiri. Saya nggak bilang kamu manja. Apa kamu mau terus berdiri? Sayangnya saya nggak install robot untuk menggeser kursi untukmu di restoran ini. Tapi ada pelayan, apa kamu mau saya panggilkan?"

Wajahnya sudah merah karena kesal. Jika Lidya di sini, wanita gila itu sudah pasti akan tertawa terbahak-bahak. Sial. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk. Laptop Mahendra masih terbuka dan mata laki-laki itu sesekali melirik ke arah layar laptop Menyebalkaaan!!

"Jadi, ada apa?"

Oke, jika laki-laki ini tidak tahu cara bersopan-santun, maka dia yang akan mengajarinya. Tangannya sudah melambai ke arah pelayan yang berdiri di ujung ruangan siaga. Pelayan itu menghampiri mereka.

"Sajikan menu terbaik di restoran ini. Lengkap." Dia tersenyum menatap si pelayan dan mengangguk kecil. "Terimakasih banyak, ya."

Kemudian sang pelayan pergi. Lalu dia berdiri dan berjalan mendekati Mahendra. Tangannya menutup layar laptop dan memindahkan laptop itu ke meja lain. Sementara Mahendra menatapnya penasaran.

"Tolong berdiri sebentar," pintanya halus.

"Mau apa?" tanya Mahendra dengan dahi mengernyit.

"Berdiri saja. Aku akan ajarkan kamu sesuatu."

"Bagaimana jika saya tidak mau?"

"Oke." Dia mengambil ponselnya dari dalam tas di meja. "Publik selalu suka dengan segala sesuatu yang menegangkan dan penuh misteri. Jadi mereka bisa berkhayal sesuai dengan imajinasi mereka sendiri dan berasumsi, untuk kemudian menuliskan komentar semau mereka sendiri. Kita lihat, apa komentar mereka soal insiden di butik Sabiya."

Satu tangan Mahendra sudah menangkap lengannya. Tubuh laki-laki itu sudah berdiri tegak. Mereka berhadapan sambil saling menatap. Sungguh jantungnya ingin melompat keluar. Karena wangi Mahendra tercium samar, karena mata coklat gelapnya terlihat sempurna, atau bagaimana wajah berantakan itu terlihat sedikit seksi dan penuh misteri. Ya Tuhan, dia benar-benar sudah jatuh cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro