39. Guise
William menatap angka pada ponselnya. Pesan dari sekertaris Mulyana. Orang pemerintahan yang kuat dan berkuasa. Uang, jangan ditanya. Pundi-pundi utama usaha kotor miliknya adalah dari Mulyana. Tapi permintaan Mulyana sejak beberapa hari lalu membuatnya resah. Alexandra.
Wanita lain akan dia lemparkan dengan mudah pada Mulyana, atau siapapun orang yang meminta. Tapi Alexandra. Matanya terpejam sejenak mengingat kecantikan yang sempurna milik Alexandra Walton. Dia ingin menyimpan Alexa hanya untuknya saja. Tapi laki-laki brengsek itu melihat wajah Alexa dimana-mana, dan makin hari tawarannya makin tinggi. Mulyana seperti mengira dia sedang jual mahal. Padahal, sungguh dia tidak ingin.
"Halo." Dia mengangkat ponselnya.
"Will, bagaimana Alexa? Mulyana mulai berulah." Caroline menghubunginya.
"Ada apa lagi?"
"Dia mengingatkan halus tentang 'izin usaha' kita."
Mulyana mulai mengancam Caro. Dasar brengsek.
"Tawarkan yang lain dulu, yang terbaik."
"Hey, aku sudah coba. Tapi wajah Alexa ada dimana-mana. Lidya tidak main-main. Dia jalan sendiri tanpa agency. Itu gila, tapi cerdas. Ditambah lagi Alexa pernah dibantu Daud. Jadi koneksinya mengira Alexa ada hubungan dengan Daud dan maju tanpa lewat aku. Daud brengsek!!"
"Ya, aku setuju. Para Daud memang brengsek. Manusia kaya yang sok suci. Negosiasikan dengan Mulyana baik-baik. Alexa masih dingin. Aku sendiri belum pernah bermalam dengannya. Wanita ini benar-benar membuatku kesal."
"Dan penasaran. Luar biasa pesonanya. Mulyana menyangka kamu sedang jual mahal dengannya. Atau ada penawar lain yang lebih tinggi."
"Ada satu lagi. Tapi dia bukan pelanggan tetap. Jadi bisa aku atur." Nafasnya dia hirup panjang. "Sebenarnya aku ingin Alexa tidak ada dalam list, Caro. Aku ingin dia untukkku."
"Dia harus operasi plastik kalau begitu untuk mengganti wajahnya yang sempurna. Karena jika Mulyana sudah ingin, kita harus berikan Will. Kamu tahu aturan mainnya."
Dia memaki kesal. "Coba bicarakan dulu dengannya, oke?"
"Aku coba."
***
Laboratorium ID Tech
Oke, dia tidak pernah mengejar wanita seumur hidupnya. Bukan sombong, tapi memang begitu kenyataannya. Tidak ada wanita yang benar-benar benar-benar tertarik dengannya. Atau jika ada, dia sendiri yang akan menghindar. Kasus Alexa dan dia berbeda. Situasi dan kondisi yang memaksa mereka untuk bersama.
Beneran terpaksa, Hen? Oh, dia benci dengan nuraninya sendiri.
Jadi dia tidak mengerti bagaimana cara mendekati Alexa kembali. Dengan apa? Bicara? Dia menyakiti Alexa dengan sengaja, bahkan memberi tahu kebohongan yang dia lakukan sendiri agar Alexa menjauh darinya. Alexa benar-benar terluka dan itu karena dia. Ya Tuhan, bagaimana ini?
"Angel, dimana Alexandra?"
"Alexandra Walton, mencari. Jalan Dharmawangsa, studio 99. Jadwal pemotretan dengan rumah mode milik Stephano Bara."
"Hidupkan kamera mikro TD-5." Maksudnya ada alat pelacak yang dia pasang pada gelang Alexa dulu. Dia benar-benar senang Alexa tidak melepas gelang itu.
"Menghidupkan."
"Sh*t." Dia menolehkan pandangannya. Alexa sedang berada di ruang ganti dengan pakaian minim sekali. "Matikan Angel."
"Mematikan."
Belum apa-apa jantungnya sudah berantakan. Pengaruh dari mahluk ini memang luar biasa.
"Kadar endorphine anda naik."
"Angel, tidak perlu memberi laporan kadar hormon saat ini, oke? Itu memalukan."
"Baik."
Apa sudah selesai? Apa dia sudah bisa menyalakan kameranya? Bagaimana jika Alexa masih berganti pakaian? Ah, ini menyebalkan.
"Nona Alexandra sudah berpindah ke ruangan lain."
"Nyalakan kameranya."
"Menghidupkan."
Alexa berada di depan cermin panjang. Siap dengan make up dan pakaian pemotretannya hari ini. Dahinya berkerut mulai emosi. Kenapa belahan pakaiannya rendah sekali? Ya Tuhan, Alexa.
Kemudian salah satu model pria lain yang bertubuh setengah telanjang dan berotot sempurna datang menyapanya. Suara mereka bisa dia dengar jelas.
"Alexa, saya Ferdinand. Ferdi. Partnermu hari ini."
"Halo."
Tebakannya mereka berjabat tangan karena kamera mikronya sedikit berguncang.
"Saya sedikit gugup, kamu cantik sekali," ujar Ferdinand.
Apa setiap kali pemotretan seperti ini? Alexa, hhrrgghh...Fokus, Hen. Fokus.
"Angel, tampilkan foto-foto iklan Alexa terbaru." Dia tidak pernah keluar dari lab dan menghindari seluruh berita tentang Alexandra. Jadi dia tidak tahu.
"Mencari." Angel memproses sejenak. "Menampilkan."
Lalu seluruh foto-foto Alexa ada di sana. Jumlahnya banyak sekali, dan hampir semua pakaian Alexa setengah terbuka...hhrrrghhhh. Dia bersumpah akan menghentikan pekerjaan Alexa setelah gadis itu kembali bersamanya.
"Kortisol anda naik."
"Angel, saya bilang apa soal laporan hormon? Stop it."
"Dimengerti."
"Sampai jam berapa aktifitas Alexa hari ini?"
"Memeriksa. Hingga jam sepuluh malam termasuk janji makan malam dengan William Wongso pukul delapan."
Dia mendengkus marah hanya mendengar nama bajingan itu. Kemudian dia duduk dan tangannya mulai menari di atas keyboard. William Wongso tidak akan pernah bisa bertemu dengan Alexandra lagi. Bibirnya tersenyum, dia akan membuat William sibuk beberapa hari ini. Mudah sekali. Setelah menggeser jadwal, membuat email palsu, juga memblokir akses kartu kredit William, dia tersenyum senang.
Urus-urusan lo, Will. Manusia bajingan.
Pintu lab terbuka dan Arsyad masuk. "Lagi apa?"
"Menjebloskan William pada kubangan masalah."
"Jangan bongkar dulu, Hen."
Dahinya mengernyit tidak mengerti sambil menatap wajah abangnya. "Maaf, itu bukan keputusan lo, Bang. Gue harus melindungi Alexa."
"Hen, kita harus seret dua-duanya. William dan Mulyana. Ini kesempatan bagus. Gue sudah hubungi Bung Toto perihal kasus Mulyana. Dan Bung Toto bilang posisi Mulyana kuat sekali di pemerintahan. Dia bayar banyak orang. Jadi kita harus punya bukti kuat soal kegilaan Mulyana. Atau semua sia-sia."
"William incar Alexandra, Bang. Apa lo paham?" Dia menatap Arsyad marah. "Gue nggak akan biarkan Alexa lo suruh untuk berpura-pura seperti Reyhani Straussman dulu. Nggak akan, Bang. Langkahi mayat gue kalau lo ngotot mau lakukan itu."
Arsyad menatapnya setengah tidak percaya. "Wow, lo beneran jatuh cinta, Adik kecil."
Dia diam saja. "Alexa bukan Fayadisa yang kuat dan bisa menghadapi Aryo Kusuma, atau Reyhani yang pintar dan bisa menghadapi Adrian Straussman. Gue nggak mau ambil resiko sama sekali, Bang. Gue harap lo paham."
"Oke oke. Jadi kita harus pikirkan cara lain. Cek komunikasi Mulyana. Setiap minggu dia ada janji dengan salah satu 'anak asuh' Caroline. Kita harus dapatkan bukti-bukti. Gue akan hubungi Deana."
"Oke."
"Hen, Alexandra harus diberi tahu. Jadi dia bisa waspada, dan itu tugas lo Hen. Sementara gue pasang penjaga di sekeliling dia."
"Thanks, Bang."
Arsyad tersenyum kecil. "Jadi, bagaimana rasanya?"
"Apa?"
Kemudian abangnya itu terkekeh lagi, lalu dia mengerti.
"Ah, sial. Kalian brengsek banget gangguin gue terus. Pergi-pergi-pergi. Gue banyak kerjaan."
Kepala Arsyad menggeleng sambil berjalan ke arah luar.
"Bang..."
Arsyad menoleh ke arahnya dari ujung pintu.
"Rasanya hebat, Bang. Lo harus coba."
Senyum lebar Arsyad menjadi lebih kecil. "Hal itu bukan untuk gue. Kalian aja yang rasakan hebatnya. Gue senang, lihat kalian bahagia."
Dia terkekeh kecil. "Gue sumpahin kualat lo, Bang."
Arsyad tertawa lagi. "Cabut dulu. Saling berkabar, oke."
Tubuh Arsyad menghilang dari sana.
***
Restoran keluarga Daud. Malam hari.
"Lid, apa nggak salah tempatnya di sini?" Dia menghubungi Lidya ketika mobil yang mengantarnya tiba di tempat parkir.
"Iya kok, email dari William begitu. Ada yang salah, Lexa?"
"Ya nggak sih. Tapi ini restaurant keluarga Daud, Lid."
Ini tempat dia dan Mahendra makan malam dulu. Saat pertama mereka bertemu resmi dengan sikap Mahendra yang menyebalkan sekali.
"Oiya bener. Gue baru inget namanya. Sebentar gue cek email William lagi." Lidya diam sejenak di sana. "Bener kok. Tapi mungkin William memang mau kasih lo suasana baru kali, Lex. Karena kan kalian sering makan di luar dan hampir semua restoran mahal kalian udah kunjungin. Rating restaurant keluarga Daud juga bagus banget. 4.9. Wow. Atau bisa juga Willliam mau sengaja nunjukkin ke Daud kalau kalian sudah resmi."
"Lid...itu kekanakkan banget. Aku cancel aja."
"Lexa, nggak bisa begitu. Mahendra yang tinggalkan elo, Lex. Udah lupa? Mau gue ingetin lagi? Kemana dia sekarang? Udah, Lex. Jangan kayak anak kecil."
"Dasar kamu sadis. Hrrrghhh...."
Ponsel dia tutup lalu dia turun dari mobil. Hanya untuk menyampaikan pada William kalau laki-laki itu hanya ingin memamerkan hubungan mereka pada Mahendra, maka dia akan meninggalkan William malam ini juga.
"Nona Alexandra Walton, ikuti saya." Dia disambut resepsionis.
Restoran itu tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Kelihatan sekali dari tamu yang datang restoran ini eksklusif sekali. Kakinya melangkah mengikuti waiter yang mengarahkannya pada meja di dekat taman yang indah. Hanya ada lima meja di sana dan meja lain kosong. Hanya mejanya yang ditata dengan penataan piring resmi untuk dua orang. William belum datang.
Kemudian matanya menatap ke arah dalam restoran, dan kenangannya terbang pada malam itu. Saat dia menemui Mahendra Daud.
Malam. Kamu Alexandra?
Kamu habis dari acara resmi sepertinya. Sibuk ya?
Bibirnya tersenyum mengingat Mahendra tidak tahu bahwa dia mengenakan gaun terbaik malam itu hanya untuk bertemu dirinya.
Hey, Nona. Kamu tidak sepenting itu untuk saya. Saya tidak punya motif apapun kecuali ingin menghentikan ancaman kamu dan Managermu. Itu aja.
Ya, dia tidak penting untuk Mahendra. Dulu di butik Sabiya, saat di safe house, atau sekarang. Dia tidak cukup penting hingga layak dipertahankan. Kemudian jantungnya berdetak lambat sekali, sakit. Apalagi seluruh memori mereka datang lagi, tanpa permisi. Apa dia mampu melupakan laki-laki itu?
Sinar lampu yang bertambah terang dari arah kolam membuatnya menoleh. Mejanya memang berada di pinggir teras bagian belakang restoran. Dengan taman yang tertata sangat cantik dan kolam ikan bergaya eropa yang mewah. Lampu-lampu pada kolam berganti warna. Dia berdiri dan berjalan perlahan. Air mancur dari kolam terlihat indah, seindah seluruh ikan-ikan di dalamnya. Tubuhnya duduk di pinggir kolam ketika mendengar dentingan piano. Coldplay, sky full of stars mengalun lembut.
Kebetulan yang luar biasa. Kepalanya menggeleng perlahan. Matanya terpejam lagi, semuanya seolah bangkit malam ini. Dia dilingkupi perasaan cemas yang sama, detak yang sama, seperti ketika dulu mereka bersama. Kemudian matanya terbuka, menyadari bahwa dentingan itu berasal dari dalam, bukan musik yang diputar dan diperdengarkan melalui speaker yang terpasang.
Dia melangkah ragu-ragu, tidak mungkin kan Mahendra mengatur semua ini untuknya. Laki-laki itu canggung sekali, dia mengerti. Grand piano hitam Steinway and Sons ada di bagian dalam ruangan dekat dengan teras tempat mejanya berada. Dia bisa melihat seorang laki-laki dengan jas resmi di sana. Duduk membelakanginya sambil terus melantunkan nada. Kakinya terus melangkah. Lalu ketika laki-laki itu menoleh, bukan Mahendra. Si pemain piano mengangguk dan tersenyum padanya.
Kemudian dia berbalik menuju teras sambil menertawakan dirinya sendiri. Kamu selalu berharap terlalu tinggi, Lexa. Mahendra tidak akan kembali.
Langkahnya berhenti tiba-tiba, melihat sosok yang dia cari berdiri di sana. Di dekat mejanya sendiri. Tubuh tinggi menjulang Mahendra yang malam ini mengenakan satu set jas resmi menatapnya. Mahendra terlihat persis seperti apa yang dia ingat, sempurna. Sekalipun, ekspresi Mahendra datar sekali. Tidak tertebak.
"Selamat malam, Alexa. Apa kabarmu?"
Kakinya melangkah ke belakang satu kali, karena sangat terkejut.
"Halo..." saliva dia loloskan. Jantungnya berantakan. "...aku baik."
Kuasai dirimu sendiri, Alexandra Walton. Dan berhenti menjadi wanita bodoh dengan berharap terlalu tinggi.
Mahendra mematung di sana, sementara dia sudah mengangkat dagunya tinggi. Dia tidak akan menunjukkan bahwa hatinya goyah saat ini.
"William yang membuatkan reservasi, aku benar-benar tidak tahu," ujarnya terbata-bata.
Kepala Mahendra mengangguk dua kali.
"Lexy menanyakanmu."
Dia terkekeh miris. "Ya, bilang saja aku baik-baik." Matanya berlari tidak mau menatap laki-laki yang bisa merusak otak dan hatinya ini.
"Aku mencarimu."
"Oh ya? Pasti itu bisa kamu lakukan dengan mudah sekali."
Mahendra diam lagi.
Oh, ini percuma. Tubuhnya mulai melangkah ke kursi untuk mengambil ponselnya. Dia harus pergi.
"Kamu mencari William?"
Dia mengangguk cepat. Kenapa William belum datang juga? Dadanya sesak, dia ingin berlari. Matanya masih mencari nomor William pada ponselnya.
"William tidak akan datang."
Wajahnya berpindah ke Mahendra. "Maksudnya?"
"Ada yang harus kamu tahu tentang William, Lexa. Apa bisa kita bicara?"
"Kita? Bicara?" tanyanya heran. Kemarin dulu Mahendra yakin sekali untuk meninggalkannya, dan sekarang bicara?
Ponselnya berbunyi. William. Dia langsung menjawab panggilan itu.
"Sayang, aku stuck."
"Dimana kamu, Will?"
"GPS ku rusak, entah kenapa. Ada sedikit masalah di kantor tiba-tiba, jadi aku memang terlambat. Sedari tadi aku menghubungimu dan gagal. Ponsel mu di luar jangkauan. Tiba-tiba GPS sialan ini membuatku berputar arah karena jalanan macet sekali. Apa kamu sudah sampai di Dine and Wine?"
Dahinya mengernyit. "Will, kamu membuat janji di Dine and Wine?"
"Lexa? Aku tidak bisa mendengarmu. Maafkan aku, jika kamu lelah pulang saja. Lexa? Kamu mendengarku? Lexa?"
Wajahnya sudah beralih lagi ke Mahendra. Emosinya mulai naik perlahan. Mahendra pikir dia siapa. Bisa membuat kekacauan begitu saja, mengatur hidupnya seenaknya. Setelah Mahendra meninggalkannya. Ya, laki-laki itu meninggalkannya. Apa dia lupa? Dasar gila.
"Ini ulahmu? Semua ini?" tanyanya dengan penuh emosi.
"Apa bisa kita bicara, Alexa?"
"Jawab dulu, apa ini ulah mu?"
"William, bukan laki-laki baik. Usahanya..."
Kakinya sudah melangkah maju dan tangannya melayang menampar wajah Mahendra kuat. Nafasnya tersengal karena emosi.
"Brengsek!! Kamu yang meninggalkanku, Hen. Ingat? Aku bodoh sekali mempercayaimu waktu itu. Dan sekarang kamu datang untuk memperingatkanku tentang William?" Kepalanya menggeleng keras. Tubuhnya sudah berbalik ingin pergi ketika tangan Mahendra menangkapnya.
"Dengarkan aku, Lexa."
"Lepas. Seperti kamu dulu melepaskanku."
"Tidak akan lagi."
Dia mendorong tubuh Mahendra kuat. Setelah memutar lengannya hingga tangan Mahendra terlepas. "Paling tidak, William mencintaiku, Hen. Dia mencintaiku."
Kakinya berlari, segera keluar dari tempat itu.
***
Tubuhnya berdiri mematung di sana. Masih benar-benar terkejut dengan reaksi Alexa. Wanita itu marah, terluka. Tanpa mengerti apa alasan dibalik perilakunya. Dia selalu lemah sekali perihal komunikasi. Apalagi setelah sekian lama, dia baru melihat Alexa lagi. Frekuensi jantungnya pada angka tertinggi, untuk tahu Alexa lebih mempesona daripada saat mereka terakhir bertemu. Bibirnya bisu, karena sulit sekali merangkai kata. Dia tidak pernah mahir untuk itu.
Fokus, Hen. Lacak Alexa cepat. Dia tidak boleh bertemu William. Lakukan segalanya untuk melindungi Alexa.
Kakinya melangkah cepat ke arah mobil. Setelah tiba, dia memijit tombol dashboard dan satu layar muncul di hadapannya dan memasang earphone.
"Angel, Lacak Alexandra."
"Ditemukan." Titik biru berkedip di layar. Menunjukkan dimana dan kemana Alexa pergi.
"Dimana William?"
"Ditemukan." Titik kuning berkedip juga. Menandakan kemana William pergi.
Dia mulai melajukan mobilnya ke arah kantor ID Tech, sambil terus memantau.
"Tampilkan suara pada TD-5 Alexandra."
"Dimengerti."
Suara tangis Alexa ada di sana. Tertahan seperti sesak pada dadanya sendiri. Ponsel Alexa berbunyi.
"Ya, Lid?" jawab Alexa.
Alexandra diam mendengarkan. Dia sendiri hanya bisa mendengar suara sayup-sayup Lidya.
"Synchronize dengan ponsel Alexa," perintahnya.
"Menyelaraskan. Suara ditampilkan," jawab Angel.
-Percakapan Alexa dan Lidya -
"William bilang dia booking tempat di Dine and Wine, Lex. Kenapa tempatnya bisa berganti?" Suara Lidya di sana.
"Aku dalam perjalanan pulang, Lid."
"Ya Tuhan, Lexa. Maafin gue. Gue beneran nggak tahu kalau jadi begini."
"Bukan salah kamu."
"Ini ulah Mahendra?" Lidya bersumpah serapah di sana.
"Aku tidak mau bahas. Selamat malam, Lid."
Alexa menyudahi.
Dia masih bisa mendengar Alexa menangis, dan sungguh itu menghancurkan hatinya.
"Laporkan jika Alexa sudah tiba. Pastikan William dan Alexa tidak bertemu. Beritahu saya jika itu terjadi. Matikan sambungannya," pintanya pada Angel.
"Dimengerti."
Kemudian dia sibuk berpikir. Bagaimana cara terbaik untuk meyakinkan Alexa. Lalu dia seperti mengerti, siapa yang bisa membantunya untuk berbicara.
"Angel, hubungi Antania Tielman."
"Menghubungi."
Nada sambung tiga kali sebelum akhirnya Tania mengangkat.
"Malam, Hen. Ada yang bisa aku bantu?"
Dia menghela nafasnya. "Ya, gue sangat butuh bantuan, Tan."
"Okey, tell me."
***
Nah, mulai siapin jantung ya buat part depan. Satu kali pemanasan lagi, terus baru masuk ke inti. Bukan cuma kalian, gue juga nggak sabar. Serius!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro