Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Far

Yak, tarik nafas ya. Ini pemanasan.

***

Herman menatap Wibowo tidak percaya. Laki-laki dihadapannya ini sangat ambisius dan licik. Lebih pintar dari Adrian Straussman. Dia mengulang pertanyaannya lagi.

"Bilang sekali lagi, apa yang terjadi dengan buku merah saya?"

"Benda itu pernah jatuh ke tangan orang ADS. Dicuri saat anda pergi bersama saya dulu. Dalam penjagaan Aryo."

Matanya menatap buku yang sama dalam genggamannya. Tidak mungkin Aryo ceroboh begitu. Apa Wibowo berbohong padanya? Atau Aryo tidak bercerita? Brengsek. Sejauh apa Arsyad tahu?

"Jadi kamu bilang buku ini palsu? Tidak mungkin!!" Dia menggebrak meja.

"Saya tidak bilang itu palsu. Hanya buku itu pernah dicuri."

"Apa buku ini pernah meninggalkan gedung saya?"

"Catatan CCTV hanya merekam ketika buku itu dibawa lari ke atap gedung oleh orang ADS. Tapi sayangnya di atap tidak ada CCTV terpasang. Jadi saya tidak tahu. Anda bisa cek faktanya."

"Saya pergi tidak lama, dan ketika saya kembali buku itu ada. Bisa jadi Aryo berhasil merebut buku itu di atap kan? Selidiki!!"

Jantungnya berpacu. Ini tidak baik, sangat tidak baik. Semua nama dan peristiwa juga pencatatan dana ada di sana. Aryo Kusuma akan menjaga rahasia itu dengan nyawanya. Kenapa Aryo bisa ceroboh sekali. Tapi Arsyad belum melakukan apapun yang mencurigakan. Mungkin usaha Arsyad digagalkan Aryo dulu.

"Baik, saya akan selidiki. Saya akan cari Aryo."

Ya, dia sudah dengar kabarnya. Villa persembunyian Aryo diserang. Beberapa orangnya ditangkap oleh orang-orang ADS. Aryo berhasil melarikan diri, Doni entah dimana.

"Ini kacau, kacau, Wo!!!"

"Tenang, tidak semuanya kabar buruk, Pak. Negosiasi anda dengan Yudo Yuwono berhasil. Sebentar lagi anda akan menjabat."

Nafasnya dia atur lagi. Wibowo ada benarnya.

"Beritahu saya dimana Aryo. Cari sampai dapat." Ponselnya berbunyi tiba-tiba. Nomor tidak dikenal.

"Halo?"

"Halo. Gue baik, untuk sementara itu dulu. Gue akan kembali secepatnya. Tunggu saja." Hubungan disudahi.

Entah bagaimana, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri. Suara Aryo lebih berat. Serigala miliknya ini benar-benar berbahaya. Dia harus lebih berhati-hati.

***

Markas besar ADS

Max duduk di hadapan Arsyad dalam ruang meeting. Memberikan laporan tentang Sabiya. Gerak-gerik wanita itu aneh, tidak seperti biasa. Tapi Max tidak tahu apa.

"Maksudnya menghilang?" tanyanya pada Max.

"Begini Bang, misal minggu lalu saat Mba Biya cek butiknya di mall. Saya menunggu di luar dan beli kopi sebentar. Tapi ketika kembali, Amy bilang Mba Biya keluar. Saya hubungi ponselnya, tapi tidak aktif. Jadi saya nggak bisa lacak."

"Berapa lama?"

"Biasanya dua puluh sampai tiga puluh menit. Setelah Mba Biya kembali, saya tanyakan kemana dia. Dia cuma senyum dan bilang kalau tadi ada yang mendadak. Itu sudah kejadian beberapa kali, Bang."

"Tuan Arsyad, panggilan penting masuk." Angel memberi tahu.

"Thanks, Max. Tolong pantau terus. Dismiss."

Max sudah keluar ruangan sementara dia memejamkan mata sejenak untuk mengembalikan fokusnya.

"Sambungkan, Angel."

"Malam, Bang." Suara Deana di sana.

"Bagaimana kondisinya, Dea?"

"Ini nggak bagus, Bang. Gue sudah dapat bukti soal Mulyana dan bukti itu malah bongkar hal lainnya yang gue nggak sangka."

"Apa?"

"Hobi Mulyana adalah perempuan. Gue nggak kaget untuk tahu kalau Mulyana pasti langganan ke klub eksklusif yang menyediakan itu. Tapi gue nggak sangka waktu gue dapat list nya, Bang. Gue kirimkan datanya ke elo sekarang."

"Tuan Arsyad, panggilan dari jalur khusus."

"Dea, kirim listnya. Saya akan hubungi lagi nanti." Angel sudah mematikan hubungan dengan Dea dan menyambungkan hubungan lainnya.

"Malam, Syad." Suara Bapak besar di sana.

"Ya, Om. Apa ada kabar?"

Bapak Besar mendesah prihatin. "Saya punya berita perihal William dan Caroline Wongso."

Iwan Prayogo mulai memaparkan informasi yang didapat dari anak-anak buahnya. Dia terhenyak di kursi. Mendengarkan seluruh keterangan dari Bapak Besar. Juga melihat laporan dari Deana. Setelah selesai, dia membuka laporan keuangan keluarga Wongso yang Mahendra berikan padanya. Mencermati segala angka, lalu menemukan satu celah dimana Mahendra terlewat.

"Angel, hubungi Hanif."

"Baik."

"Ya, Bang?" Suara Hanif di sana.

"Lo udah balik?"

"Ya. Ada apa? Soal Mahendra?"

"Ya. Si jenius itu sedikit teralihkan dan Mahendra tidak pernah teralihkan, Nif. Ada sesuatu yang terjadi antara dia dan Alexa."

"Bisa saja. Gue akan bicara."

"Nif, Alexandra dalam bahaya. Bahaya yang serius." Dia diam sejenak.

"Ada apa, Bang? Jelaskan."

Kemudian dia menjelaskan fakta yang ada di depan matanya. Ada hal-hal yang dia sangat benci dalam hidup. Salah satunya adalah pemerkosa. Kasus William bahkan lebih parah lagi. Bisnis laknat yang ditutupi dengan sempurna. Oh, dia akan sangat menikmati saat dia akan menghancurkan William dan orang-orang yang terkait di dalamnya nanti. Manusia yang tidak punya nurani, tidak perlu dikasihani.

***

Laboratorium ID Tech

Pintu lab terbuka dan ada Hanif di sana. Kepalanya menoleh sejenak lalu kembali menatap layar monitornya. Dia sedang menelusuri kegiatan Darius, setelah sebelumnya sudah berhasil menemukan cacat pada dua orang pemerintahan yang Arsyad memintanya untuk diperiksa. Lab memang dia kosongkan, pekerja dia pindahkan ke lantai atas termasuk Erick. Sudah hampir dua minggu dia bekerja sendiri. Hanya ingin sendiri. Karena data-data yang dia periksa memang bersifat sangat rahasia. Atau karena lainnya? Dia tidak mau pusing karena satu hal yang dia tahu tidak akan bisa dia genggam lagi.

"Hen, lo udah makan?" tanya Hanif.

"Laporan Darius sangat mencurigakan. Terlalu baik. Bahkan pada tahun sulit seperti dua tahun lalu, fluktuasi laporan keuangannya tidak wajar. Lo tahu Bang, saat ada hal yang terlalu sempurna, pasti ada yang tidak beres." Tangannya masih terus menggeser layar.

"Setuju, segala yang sempurna terkesan tidak nyata." Hanif memberi jeda. "Seperti Alexandra?"

"Manager keuangannya lihai sekali. Hmm...nggak ada yang bisa lolos dari pengawasan gue. Gue butuh dua jam untuk jebol semua data. Rekor, karena biasanya gue cuma butuh beberapa belas menit aja."

"Atau, mungkin sekarang fokus lo sedang tidak di sana, Hen. Dan itu tidak apa-apa. Sesekali lo memang harus keluar dari sini dan melakukan hal lain. Makan misalnya."

Ya, terakhir gue melakukan itu gue menjerumuskan diri gue sendiri pada lubang hitam yang nggak ada dasarnya, Bang. Gue bahkan tidak bisa menghilangkan wajah Alexandra sama sekali. Jadi, gue aman di sini.

"Lo nggak apa-apa kan sama Faya? Maksudnya, gue denger Arsyad berhentikan Faya karena kasus misi kemarin. Tapi Faya benar-benar bantu gue, Bang." Kepalanya menoleh sejenak kemudian kembali ke layar.

"Hey, nggak perlu khawatir sama istri gue. Berhenti dulu, Hen." Hanif sudah mencabut steker listrik utama di lab nya dan membuat seluruh komputer mati. Lampu-lampu bahkan ikut mati kemudian hidup lagi menggunakan daya cadangan.

"Bang, ada komponen listrik dan sedang diuji. Apa-apaan sih lo?" Dia langsung mengembalikan steker pada tempatnya.

Lengan atasnya dicengkram Hanif. "Stop, Hen. Duduk. Kita bicara."

Nafas dia hirup panjang. Abang-abangnya bisa sangat memaksa.

"Ada apa?" Dia sudah duduk di salah satu kursi dan Hanif duduk juga lima langkah di seberangnya.

"Kapan terakhir lo makan?"

"Dua jam lalu."

"Apel bukan makanan, itu buah Mahendra."

"Bukan salah apelnya Bang kalau gue suka banget. Serius gue banyak kerjaan. Gue belum periksa dokumen hukum dari Om Edward dan Pak Lukman, gue harus pantau Deana yang sekarang lagi tugas lapangan, belum lagi kalau Bung Niko atau Leo butuh bantuan."

"Gimana dengan Alexa? Apa kabarnya, Hen?"

Kursinya sudah dia putar lagi ke arah monitor, siap bekerja. "Lo bisa cek beritanya di TV, sosial media. Dia ada dimana-mana."

"Gue beneran bisa minta Mareno matikan seluruh listrik di gedung ini dan liburkan semua orang hari ini, Hen. Biar lo mau ngomong."

Dia diam sejenak, paham benar dia tidak ingin kembali ke safe house. Tempat itu mengerikan untuknya karena jumlah kenangan yang ada di sana.

"Gue lebih suka di sini, Bang. Jangan ganggu gue."

"Gue mau kita bicara dulu, Hen."

Dia berdecak kesal. "Apa mau lo, Bang? Mau tanya soal Alexa? Ada apa dengan gue dan dia? Apa itu sekarang penting? Di tengah semua kondisi yang gila begini. Urusan gue nggak penting, Bang. Banyak hal lain yang lebih penting."

"Buat gue, Mareno dan Arsyad, elo penting Hen. Yang lain nggak penting."

Abangnya selalu lihai sekali perihal ini.

"Sekarang gue tanya, seberapa penting Alexa untuk lo?"

"Nggak penting," dengkusnya keras.

"Lihat gue, Mahendra."

"Bang...gue banyak..."

"Gue serius, berhenti dulu!!" Seumur hidupnya, Hanif tidak pernah berteriak padanya. Sekarang kakak yang dia kagumi itu berekspresi sangat khawatir sambil satu tangan Hanif menahan bahunya keras.

"Lo harus tahu, ketika lo gagal membereskan apa yang ada di dalam hati lo atau pikiran lo, maka besar kemungkinan hal lainnya juga akan berantakan." Mata Hanif menatapnya dalam.

"Gue tanya lagi, seberapa penting Alexa buat lo, Hen?"

Bibirnya kelu. Percuma membohongi Hanif, lagian dia tidak mahir berbohong. Tapi menjawab pertanyaan Hanif akankah merubah sesuatu?

"Apa bedanya, Bang?"

"Banyak bedanya. Karena William tidak melepaskan Alexa begitu aja, Hen. Mereka mulai sering bertemu. Apa lo nggak dengar beritanya?"

Saliva dia loloskan perlahan. Dia memang tidak mau menyentuh berita apapun tentang Alexandra Walton. Paham benar dadanya masih sesak sekali. Padahal ini sudah lewat beberapa minggu.

"Bagus untuk dia." Dia harus benar-benar melupakan Alexa.

"Oh ya? Oke. Bagus untuk dia karena William, terlibat pada perdagangan wanita. Arsyad telpon gue untuk beritahu soal itu. Bapak Besar hubungi dia."

Dia bisa merasakan wajahnya yang tiba-tiba pucat. Penyelidikan William Wongso dia hentikan sementara ini, karena sungguh dia tidak tahan untuk tahu bahwa laki-laki bajingan kaki tangan Herman itu masih dekat dengan Alexa. Apalagi sebelumnya dia berpikir sejahat-jahatnya William, laki-laki itu tidak akan mencelakai Alexa.

"Jumlah yang William berikan ke Herman terlalu besar, Hen. Lebih besar dari net margin perusahaan keluarganya dan usaha resmi lain miliknya. Apa lo nggak sadar? Kemarin lo cek kemana dana itu pergi, tapi lo lupa cek darimana dana itu datang. Arsyad sudah lebih dulu tahu dari Bapak besar dan langsung cek hubungannya dengan agency yang Caroline punya. Mereka gila, Hen. Model-model di situ banyak yang datang dari negara lain. Diiming-imingi dengan penghasilan tinggi, hidup yang enak, dan kontrak panjang dari perusahaan-perusahaan besar. Ya, sebagian kecil dari mereka akan mendapatkan itu tapi dengan bayaran yang sangat mahal, Hen. Deana dapatkan list price per malam setiap model dari agency itu dari data kantor Mulyana. Ya, bapak yang satu itu pelanggan tetap rupanya."

Hanif menatapnya yang sungguh mematung tidak bisa mengucapkan apa-apa.

"Jadi Hen, seberapa penting Alexandra Walton untuk lo?"

Matanya terpejam erat. Bayangan senyum Alexa yang polos, atau wajahnya yang merona, atau posturnya yang sempurna datang lagi. Mereka memang berbeda, tapi sungguh, siapapun yang akan melukai Alexa, dia benar-benar akan membunuhnya.

"Sepenting Faya untuk lo, Bang."

"Good." Hanif tersenyum tipis. "Jadi bukan Sabiya?" tanya Hanif heran.

"Bang...nggak usah bahas itu."

Hanif terkekeh ringan dan mulai meledeknya. "Berita bagus buat Bung Niko kayaknya."

"Hey hey, gue tetep nggak setuju Sabiya sama Niko ya. Apa-apaan." Tubuhnya sudah kembali ke depan monitor. Bersiap melacak Alexa.

Tapi kemudian tangannya berhenti. "Bang..."

"Kenapa lagi?"

"Gue dan Alexa. Maksudnya, ini semua aneh banget. Apa bisa? Alexa bukan Faya yang kuat, atau Tania yang pintar. Sabiya bahkan sudah terbiasa dengan kita. Tapi ini Alexandra, Bang. Mahluk itu beda banget sama kita."

Hanif tersenyum lagi. "Siapa yang membedakan Alexa, Hen? Elo? Orangtua kita? Gue? Arsyad? Mareno? Siapa yang kasih label kalau Alexa berbeda?"

Nafas dia hembus lagi. "Tapi serius, Bang. Gue berpikir kalau..."

"Apa persamaan gue dan Faya? Atau persamaan Mareno dan Tania?"

Dia diam lagi tidak bisa menjawab. Ya, Faya adalah perempuan keras dengan latar belakang yang berbeda dari keluarganya. Sementara Hanif lebih sabar dan mengerti. Dia selalu berpikir Hanif akan beristrikan wanita seperti Sabiya, bukan Faya. Atau Mareno yang pikirannya hanya ranjang dan bermain-main saja sebelum bertemu Tania, padahal Tania adalah salah satu wanita tercerdas yang dia pernah kenal. Ya, mereka semua berbeda.

"Udah ketemu persamaannya?" Hanif mendesah kecil. "Apa harus sama? Atau harus beda? Atau dua-duanya nggak penting?"

Abangnya selalu tahu bagaimana cara menghadapi dia. Hanif selalu memberikan pertanyaan padanya, bukan menjelaskan gamblang. Itu membuat otaknya bekerja, memproses cepat, hingga akhirnya benar-benar mengerti.

"Bagaimana kalau Alexa ada dalam bahaya karena kita, Bang?"

"Hey, Alexa sekarang sudah berada dalam bahaya Hen. Tanpa kita di luar sana, kecil kemungkinan Alexa bisa lolos dari William. Gue udah curiga dari awal, karena motif William untuk tiba-tiba menikahi Alexa itu aneh, Hen. Apa lo nggak pikir ke sana?"

Enggan, tapi dia mengangguk juga.

"Kalau Alexa orang penting pertama untuk lo, apa lo nggak mau melakukan sesuatu? Jaga dia sebaik-baiknya, Hen. Biar dia tidak ada dalam bahaya. Kalau lo lepaskan dia, bukan nggak mungkin setelah William dia bertemu orang yang salah lagi, kan? Dan apa lo serius mau membiarkan orang penting pertama lo itu dimiliki orang lain?" Hanif memberi jeda. "Gue bukan tipe posesif, tapi gue sangat tidak suka saat Faya berdekatan dengan Aryo Kusuma. Gue benar-benar pingin bunuh laki-laki itu sekarang."

Dia mendengkus mengerti. Juga dia sudah tidak tahan lagi, dengan semua dera berminggu-minggu seperti ini. Harus dia akui Mareno hebat juga, bisa bertahan hampir satu tahun lamanya menunggu Tania. Karena dia sendiri? Sudah cukup, dia tidak akan melepaskan Alexandra lagi.

***

Ihiiiy...mari kita lihat cara Mahendra kejar Alexa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro