36. Fall
Kadar bawangnya masih banyak ya. Siapin jantung juga.
***
Punggungnya bersender pada dinding dingin di dalam lab-nya. Lexy masih menampilkan tayangan CCTV di ruang makan. Alexa ada di sana, masih duduk menangis terluka. Dia melukai gadis itu dalam, sangat dalam. Seperti apa yang dia rasakan sekarang.
Perlahan dia merosot ke lantai, matanya menatap tayangan itu, tidak berpindah dari sana. Dia ingin menghukum dirinya sendiri dengan melihat itu semua. Agar dirinya yang bodoh dan tidak mengerti ini tahu, bahwa jatuh cinta dan bersama itu adalah dua hal yang berbeda. Dua hal yang dia atau Arsyad tidak bisa lakukan. Sedikitnya dia mengerti kenapa Arsyad memutuskan untuk sendiri. Ya, sakit hati adalah jenis sakit yang bisa melumpuhkan diri.
Hanif memiliki Fayadisa yang kuat, dan sudah berada dunia mereka sendiri. Mareno memiliki Tania yang keras kepala, dan wanita itu sudah berasal dari keluarga yang berpolitik. Jadi tidak terlalu awam dengan hal-hal yang mereka lakukan sekarang. Tapi Alexandra Walton, adalah gadis kaya yang manis. Hidupnya di dunia mimpi, dengan seluruh cahaya panggung gemerlap, juga penggemar yang seakan selalu ingin dekat. Media mencintai dia, juga rumah-rumah mode yang memberikan angka yang fantastis untuk kontrak eksklusifnya. Yang paling penting, Alexa aman di dunianya. Tidak ada ancaman penculikan, atau ancaman mati.
Ya, Hen. Lebih baik begini. Ini adalah keputusan terbaik.
"Suhu tubuh anda turun, Tuan. Kortisol anda naik drastis. Nona Alexandra kondisinya juga sangat tidak baik. Saya sangat menyarankan agar Nona Alexa bermalam di sini untuk menenangkan diri," ujar Lexy.
Kepala dia senderkan di dinding, matanya masih menatap Alexa yang sudah mulai berdiri. Berjalan menuju kamarnya untuk mengambil barang-barang. Segala yang dia rasakan saat bersama Alexa adalah yang pertama kali. Juga dadanya yang terasa sangat nyeri, atau bagaimana dia sekuat tenaga bersikukuh untuk tidak berekspresi saat ini. Hanya duduk bersender di lantai, mematung sambil melihat Alexandra pergi.
"Supir heli sudah tiba, Nona." Lexy memberitahu Alexa. Dia bisa mendengarnya. "Barang-barang anda akan diantarkan besok oleh Nona Janice."
Alexa berdiri di tengah ruangan, menatap salah satu kamera CCTV.
"Aku akan merindukanmu, Lexy. Terimakasih untuk segalanya saat aku di sini. Apa aku bisa minta tolong satu hal terakhir?"
"Sebutkan, Nona," sahut Lexy.
"Jaga Mahendra untukku baik-baik."
Lalu, saat kalimat itu selesai, air matanya sendiri meluncur satu. Dia terkekeh miris, paham benar, patah hati sakitnya terasa hebat sekali.
Jangan cengeng, Hen. Jangan cengeng.
***
Lidya tidak pernah melihat Alexandra seperti ini. Sepanjang persahabatan mereka, Alexa yang dia tahu itu manja, egois, bossy, dingin, tapi jika mereka berdua Alexa bisa tertawa dan bercanda. Selain itu, dia benar-benar tahu bahwa jauh di dalam hati Alexa, wanita itu adalah seseorang yang baik. Alexa mulai belajar menghargai orang-orang disekitarnya ketika mereka berpindah ke apartemen sederhana. Tapi Alexa tetap Alexa yang sama, yang bergantung padanya, membutuhkannya. Ya memasak saja Alexa tidak bisa.
Atau ketika Alexa patah hati, Alexa akan menangis berhari-hari seperti gadis bodoh. Berteriak memaki seperti orang gila sambil mengurung diri di kamar, khas anak manja yang patah hati. Dia akan menolak seluruh pekerjaan, dan mulai pergi ke bar bersamanya. Minum, merokok, melakukan banyak hal yang bodoh lainnya. Kemudian dia akan sibuk menanggulangi pemberitaannya di media.
Tapi saat ini, Alexa diam. Hanya diam saja. Duduk di apartemennya sambil menatap ke langit luar. Sudah satu jam sejak Alexa tiba di apartemennya. Wanita itu menangis tanpa suara, sambil duduk dan memeluk lututnya. Tubuhnya tegak sempurna, dagunya naik tinggi, duduk menyamping menatap sinar bulan di atas sana. Bibirnya terkadang tersenyum tipis, tipis sekali. Seperti sedang mengingat sesuatu yang indah.
Seluruh pemandangan itu, seperti mahakarya untuk Lidya. Sedih, sendu, syahdu, dan sangat indah. Terlalu indah hingga seperti sempurna. Dia mengambil ponselnya, lalu mengabadikan moment itu. Kemudian dia mengirimkan gambarnya ke nomor Janice dengan pesan.
Lidya: Terimakasih, karena sudah mengembalikan Alexandra ke tempat semestinya. Dia akan sembuh, kami akan menjaganya.
***
Mareno menghubungi Hanif saat dia dan Faya baru saja tiba di apartemen mereka. Setelah beberapa hari menenangkan diri di pondok, juga menyelesaikan masalah mereka. Nada Mareno sedikit cemas.
"Bang."
"Kenapa?"
"Lo dan Faya nggak apa-apa kan?"
Matanya menatap Faya yang berlalu ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Sementara dia duduk di sofa ruang tengah.
"Baik."
Mareno menghirup nafas lega. "Jangan terlalu keras pada Faya, Bang. Gue yakin dia menyesal."
Dia diam saja. Bayangan atas apa yang terjadi kemarin terlintas lagi. Betapa dia murka ketika bangun dari tidurnya dan tidak menemukan Faya. Lalu dia mengecek CCTV dan segera tahu Faya memberikannya obat tidur lagi.
"Ada apa?" tanyanya tidak mau membahas hal itu.
"Ada dua hal. Pertama soal Mahendra, Bang."
"Kenapa Mahendra?"
"Dia mengurung diri. Maksudnya, Mahendra memang betah di lab, tapi ini beda. Seluruh aura Mahendra beda. Gue bisa rasakan itu. Dia sudah balik ke ID Tech. Ini sudah tiga hari dan kata Erick dia cuma makan apel dan minum air putih doang. Mahendra nggak makan, Bang. Lo tahu adik kita itu selalu makan, nggak pernah enggak. Bahkan saat kita di tengah misi dia bisa makan."
"Menurut lo ini karena apa?"
"Alexandra."
Dahinya mengernyit. "Alexandra Walton?"
"Ya yang mana lagi. Gue dan Tania curiga mereka entah bagaimana dekat, karena berada di safe house. Tapi saat Alexandra sudah bisa ke luar dari sana, sikap Mahendra aneh. Kayak orang patah hati. Gue udah coba cek CCTV safe house. Tapi rekaman CCTV banyak yang disembunyikan saat mereka di sana. Gue coba cek ke Angel, Angel bilang hal yang sama. CCTV record restriction. Tapi sikap Mahendra aneh banget. Ekspresinya salah, Bang."
"Oke, dimana dia sekarang?"
"Di lab ID Tech, seperti biasa. Coba lo ngomong sama dia. Ada apa. Dia diam aja gue tanya."
"Gue ke sana."
"Yang kedua, soal Sabiya."
"Ada apa dengan Sabiya?"
"Niko dan gue sepakat Sabiya aneh, Bang. Max yang jaga dia juga bilang begitu. Terkadang Sabiya suka menghilang."
"Maksudnya?"
"Beberapa kali Sabiya harus bertemu klien di pusat perbelanjaan atau mengecek butik-butik miliknya di sana. Saat seperti itu Sabiya bisa tiba-tiba menghilang dari pengawasan Max. Sabiya merahasiakan sesuatu, Bang. Apa dia bilang ke elo?"
"Enggak."
"Sorry, gue nggak bermaksud bikin lo banyak pikiran. Tapi semua hal memang sedang gila sekarang. Aryo dan Tommy barengan. Mungkin mereka sadar mereka kalah jumlah. Tapi itu jadi bahaya, kan? Leo dan Niko masih melacak mereka. Deana sedang berusaha mendapatkan info lebih dari tiga orang pemerintahan. Abang kirim beberapa orang tim Faya untuk bantu Alex untuk jaga Dara."
"Kenapa Dara?"
"Entah, Abang nggak bilang apa-apa. Kondisi makin nggak menentu, kita kurang orang Bang. Gue dan Niko berharap lo bisa membiarkan Faya bertugas lagi. Karena Arsyad nggak akan mau terima Faya balik kalau lo nggak setuju." Mareno memberi jeda. "We need you, Bang. Both of you."
Udara dia hirup dalam. "Gue akan ketemu Mahendra dulu, setelah itu Sabiya. Lainnya gue pikirkan nanti."
"Oke." Hubungan disudahi.
Tubuhnya berdiri untuk beranjak ke kamar. Faya sudah berada di dapur dengan rambut setengah basah selesai mandi. Istrinya itu sedang membuat dua cangkir teh hangat. Otomatis langkahnya berhenti, menatap satu cangkir teh untuknya. Trust. Hal yang paling dia junjung selama ini. Mirisnya, Faya berhasil mengambil hal itu pergi di usia pernikahan mereka yang tidak sampai satu bulan.
Gerak Faya berhenti ketika sedang mengaduk teh itu. Mata Faya menatapnya mengerti, ada hal-hal yang sulit untuk langsung kembali. Kemudian Faya mengambil cangkir miliknya dan membuang isinya di kitchen sink terdekat. Kemudian meletakkan cangkir kosong dengan kantung teh baru di dalamnya. Juga sendok dan teko air hangat di sebelahnya. Lalu Faya mengambil cangkir miliknya sendiri dan beranjak masuk ke dalam ruang kerja.
Dia menatap cangkir teh itu lama, paham sedikitnya dia sudah melukai Faya. Dia sendiri juga tidak sempurna kan? Karena memang tidak ada yang sempurna. Melihat cangkir teh kosong di sana membuat hatinya kosong juga. Jadi dia melangkah menuju ruang yang sama.
Faya sedang duduk di atas tembok balkon memandangi langit sore. Cangkir teh yang mengepul dia letakkan di sebelahnya. Istrinya itu tidak takut tinggi, tidak takut apapun kecuali dirinya. Ya, dia bisa melihat ketakutan hebat saat Faya dia angkat dari kamar mandi di pondok. Mata Faya menyiratkan segalanya, sesalnya, lukanya, juga ketakutan yang sebelumnya tidak pernah ada di mata Faya. Saat itu harusnya dia benar-benar sudah memaafkan, tapi kenyataannya, dia masih banyak diam. Seolah tidak puas menghukum istrinya sendiri. Dan sikap Faya pasrah saja. Berusaha bersikap normal, bicara lebih berhati-hati, senyum dan tawanya hilang. Juga api di matanya. Dia yang memadamkan itu semua.
Apa dia senang? Tidak. Membalas Faya adalah hal yang tidak ingin dia lakukan. Tapi seluruh ego laki-lakinya benar-benar dilukai. Jadi tanpa sadar dia bersikap buruk sekali. Nafasnya dia hela lagi.
Kakinya melangkah menuju balkon, memeluk pinggang Faya lembut.
"Kamu bisa jatuh nanti. Ini terlalu tinggi," bisiknya.
"Apa kamu masih mau menangkapku kalau aku jatuh?"
Dua tangannya makin merengkuh Faya erat. Bibirnya mencium leher Faya yang wangi sekali. "Selalu. Seburuk apapun kondisi, aku selalu akan ada untuk menangkapmu jika kamu jatuh."
Faya tersenyum tipis lalu kepalanya menoleh. "Jangan biarkan aku jatuh."
"Tidak akan lagi."
Dia membalik tubuh Faya agar menghadap ke arahnya. Kemudian bibirnya membelai lembut, persis seperti ketika mereka pertama melakukannya dulu. Faya harus tahu, bahwa dia benar-benar membutuhkan Faya. Bahwa dia benci pada dirinya sendiri karena sudah membuat Faya terluka apapun alasannya. Bahwa saat Faya menghilang dia benar-benar gila. Bahwa dia cinta, sungguh sangat cinta.
Kaki Faya membelit tubuhnya, bibir mereka masih bersatu. Dengan mudah dia mengangkat Faya dan membawanya masuk ke dalam. Melucuti pakaiannya, satu demi satu, lalu merebahkan istrinya lembut di sofa. Faya melakukan hal yang sama. Lalu mereka memulai kembali, seperti saat pertama. Kali ini, dia sungguh-sungguh sudah memaafkan Faya.
***
Rutinitasnya sudah kembali. Sekalipun rasanya kosong, hampa. Dia seperti mayat hidup yang berjalan tanpa jiwa. Kenapa rasanya berbeda? Dulu, saat Jason meninggalkannya, bahkan rasanya tidak sesakit ini. Apalagi untuk tahu kenyataan bahwa dia ditinggalkan lagi. Tapi Mahendra berbeda. Laki-laki itu jujur, tidak membohonginya. Mahendra memang sering ingkar, karena tidak turun makan malam, atau kerap berkata sinis padanya. Sekalipun dibalik itu semua, setiap kali nyawanya terancam, Mahendra selalu ada. Seolah siap terluka untuknya.
Kenangan mereka datang lagi. Saat pertama bertemu pada insiden di butik Sabiya, saat Mahendra melindungi dia dari truk bunga yang ingin menabraknya, juga saat-saat mereka di safe house. Terkurung bersama. Bibirnya tertarik ke atas sedikit, lalu air matanya meluncur satu.
"Ya ampun Kaaak...kenapa nangis? Ya ampun. Padahal aku lagi nggak makein eye liner nih." MUA ternama yang sedang melukis wajahnya mengoceh tiba-tiba.
Dia meminta maaf lalu Lidya mengambil tisu dan mengusap titik air matanya itu perlahan. Lidya meminta waktu sejenak pada sang MUA dan beberapa asisten di ruang ganti agar meninggalkan mereka berdua saja.
"Lex, lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Maaf, Lid."
"It's oke, Lex. I get it." Dua tangan Lidya mengusap lengan atasnya perlahan. "Minum dulu, Lexa. Kalau lo capek, besok lo istirahat dulu aja. Gue atur ulang jadwal lo."
"Nggak perlu, Lid. Jangan."
"Tapi lo belum istirahat sama sekali, Lex. Ini udah hampir dua minggu dari lo balik. Sabtu-Minggu lo bahkan kerja. Senin gue suruh off lo nggak mau. Gue nggak mau lo sakit, Lex."
"Aku butuh ini, Lid. Or else I will go crazy."
Lidya menghela nafasnya perlahan. "Lexa, gue seneng lo sekarang lebih dewasa. Lo bahkan udah bisa bikin kopi sendiri dan bikin sarapan ala kadarnya. Atau nggak berbuat bodoh ketika patah hati. Tapi wanita dewasa juga butuh break, Lex."
"He breaks me already." Entah kenapa dia malah terkekeh miris mendengar kalimatnya sendiri.
"He's not good for you, he doesn't deserve you."
"Is he, Lid? Awalnya gue berpikir begitu, tapi kenapa kalau gue ingat lagi, Mahendra seperti terpaksa melakukan itu semua. Apa mungkin dia takut gue terluka kalau ada di dunianya?"
"Tapi sikap Mahendra ada benarnya, Lexa. Dunia mereka beda. Lo bisa berada dalam bahaya, seperti insiden di butik Sabiya dulu."
Kepalanya menunduk sejenak, karena rasanya sesak.
"Lexa..." satu tangan Lidya menyentuh bahunya lembut.
"I'm oke, Lid. I'm oke."
Mungkin, dengan terus berkata itu, maka suatu saat nanti dia akan benar-benar baik-baik saja. Entah kapan. Karena hingga detik ini, kenangan mereka berdua terus datang berulang.
***
Sedan hitam mewahnya menembus keramaian kota. Di sebelah sudah duduk salah satu orang kepercayaannya. Matanya menatap gambar-gambar pada ponsel yang dia genggam. Deretan wanita yang luar biasa, dengan harga mereka.
"Ada yang baru?" tanyanya pada laki-laki di sebelahnya.
"Ada dua, baru datang semalam."
"Sudah siap?"
"Buat Pak Mul, mereka akan siapkan. Kayak nggak tahu aja, Pak."
Matanya menatap baliho besar dengan wajah model top dunia di sana. Alexandra. Wajah wanita itu ada dimana-mana sekarang. Mungkin karena sudah menetap di sini. Cantik sekali, dengan mata biru yang sempurna. Tidak ada tandingannya.
"Kalau yang itu, berapa harganya?" Dia melirikan matanya pada baliho yang mereka lewati tadi.
"Waduh, itu belum available, Pak. Nanti saya tanyakan Bos Besar."
"Saya mau, berapapun harganya."
"Baik, saya tanyakan dulu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro