Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Ex-fiancée

Perhatikan baik-baik part ini ya.

***

Deana duduk bersama Arsyad dan Niko di ruang meeting. Arsyad memang sudah membagi semua tugas untuk menyelidiki semua kegiatan pion-pion Herman. Baik dua pengusaha yang dia curigai, juga tiga orang pemerintahan. Penyelidikan Deana membawa hasil, jadi mereka berkumpul untuk membahas informasi yang dibawa Deana.

"Apa bisa lo tunjukkan apa penemuan lo?" Dia menatap Deana yang masih menggenggam amplop besar coklat.

"Bang, sebelum itu..."

Kepalanya menggeleng keras. Paham benar apa yang akan Deana minta.

"Lo bahkan belum denger gue, Bang. Kita mau Faya balik ke ADS," sahut Deana cepat sebelum dia memotong lagi.

"Itu akan jadi keputusan mutlak suaminya."

"Dan keputusan lo juga, Bang. Faya berusaha melindungi Mahendra."

"Dan bertemu dengan Aryo lalu melepaskannya."

"Dia punya alasannya sendiri."

"Apa? Jatuh cinta? Kamu tahu suami Faya itu adik saya?"

"Bukan. Kalian laki-laki selalu berpikir hubungan laki-laki perempuan itu cinta? Faya dan Leo baik-baik saja? Bang Hanif dan Sabiya juga tidak ada apa-apa? Kenapa buruk sangka dengan Faya? Ini Fayadisa, Bang. ADS itu rumahnya."

"Dia punya rumah yang lain dan tugas yang lain."

"Bang, ayolah. Tim Faya bahkan Leo benar-benar sedang dalam titik rendah mereka. Mereka kehilangan Faya."

Niko menghirup nafas panjang. Dia tahu Niko setuju dengan apa yang dikatakan Deana. Tapi keputusannya mutlak, ketidak patuhan seorang pimpinan layak mendapatkan ganjaran.

"Mana informasinya, Dea?" Matanya menatap Deana tegas, agar wanita itu berhenti membantahnya.

Rahang Dea mengatup lalu menyodorkan amplop coklat itu padanya. Ada lima nama. Mulyana, Idris dan Irsan adalah orang pemerintahan. Lalu William Wongso, dan Darius Raymond adalah dua pengusaha kawakan. Mereka berlima adalah pion lama Herman yang mereka yakin masih terlibat. Deana bertugas mengawasi orang-orang pemerintahan. Sementara Leo bertugas mengawasi William dan Darius.

"Gue belum punya petunjuk soal Irsan. Kegiatannya masih bersih, hanya rutinitas biasa. Mahendra harus bantu untuk gali lebih jauh." Deana memulai.

"Mulyana menarik, karena dia punya jadwal makan siang dengan Herman dua minggu lalu dan Mistress-nya Mulyana tinggal di apartemen yang sama dengan Mistress-nya Herman. Kebetulan? Gue masih harus cek."

Matanya menatap foto-foto hitam putih dengan kualitas tinggi itu. "Idris?"

"Idris sudah pasti bergabung. Karena dia belum naik menjadi Menteri. Hanya penasihatnya saja. Gue belum berhasil menyadap ponselnya. Tapi, Idris punya jadwal tertentu. Dua kali dalam satu minggu, dia akan keluar bermain golf bersama Herman dan Yudo Yuwono."

Matanya berhenti pada foto dimana Herman, Idris, satu Menteri menjabat dan juga wakil presiden menjabat sedang tertawa di lapangan golf.

"Apa kelemahan mereka?" tanyanya pada Deana. Untuk menjatuhkan dan meruntuhkan pion-pion Herman, kelemahan orang-orang itu adalah titik hancur mereka.

"Mulyana gampang, perempuan. Idris dan Irsan masih gue cari tahu. Gue nggak bisa terlalu dekat, Bang. Untuk ambil akses keuangannya. Anak-anak Wibowo sudah paham gerak-gerik gue."

Kepalanya mengangguk. "Pantau saja mereka, kehidupan sosialnya. Urusan laporan keuangan sudah ditangani Mahendra. Tapi lo harus masuk dan bisa pasang alat Mahendra, Dea. Semua bisa lebih cepat kalau kita gunakan chip-chip pintar Mahendra untuk akses data-data mereka."

"Karena itu gue butuh Faya. Faya bisa bantu gue. Dia pengalaman soal penyamaran."

"Gue setuju, Syad. Kita butuh Faya. Nggak mungkin Dea turun sendiri."

Dia menghirup nafas panjang. "Semua ada di tangan Hanif. Jika Hanif setuju, Faya bisa bertugas lagi. Jika Hanif tidak setuju, gue bersedia menunggu sampai Dea berhasil masuk dan pasang. Ini tugas cepat, Dea. Menyamar menjadi petugas kebersihan, atau petugas lain, masuk, pasang, keluar. Niko akan membantu lo."

"Bang, semua orang-orang Herman tahu Niko, Bang."

"Kalau gitu lo harus bicara dengan Hanif. Bukan gue." Dia memberi jeda. "Terimakasih, Deana. Good job. Dismiss."

Deana menghela nafas lalu keluar ruangan. Niko masih di dalam.

"Nik, keluarkan Elang dan tim taktis lainnya dari white room. Minta Elang untuk bantu Alex."

"Alex sudah mengawal Nyonya Darusman, Rico juga di sana."

"Dia butuh bantuan, Nik. El Rafi minta lebih banyak orang untuk melindungi istrinya. Minta tim taktis selalu siaga jika Elang dan Alex butuh bantuan."

"Ada apa?"

"Nanti gue ceritakan, bukan sekarang. Kita juga melupakan satu orang."

"Siapa?"

"Wibowo, tangan kiri Herman. Dia sangat-sangat berbahaya dan licik."

"Tapi kurang perhitungan dan punya kecenderungan terlalu terburu-buru."

"Betul." Tubuhnya bersandar pada kursi, berpikir.

"Syad, apa lo tahu kenapa Sabiya terlihat berbeda?" Niko menurunkan nadanya.

Dahinya mengernyit. "Maksudnya?"

"Sabiya tidak sehangat dulu. Maksudnya, biasanya wanita itu selalu gembira dan tersenyum lebar. Entah kenapa, Sabiya seperti merahasiakan sesuatu. Dia murung. Bahkan saat bersama Damar matanya sering menerawang."

"Lo yakin?"

"Gue sering bersama Damar, Syad. Saat mereka di sini. Tapi bahkan ketika Sabiya ingin meninggalkan ADS dan pulang ke rumahnya, dia pamit ke gue. Entah kenapa, gue merasa Sabiya ingin pamit pergi."

"Nggak mungkin, Nik. Dia tahu dengan kondisi saat ini, tempat paling aman untuk dia dan Damar ada di sini. Bersama kita semua."

"Mungkin firasat gue salah, Syad. Semoga aja. Anyway, berarti lo nggak tahu." Niko menghirup nafas panjang. "Oke, gue duluan. Mau cek Leo."

Kepalanya mengangguk perlahan. Niko sudah keluar ruangan.

"Angel, dimana Aluna Sabiya?"

"Mencari, Aluna Sabiya. Mall KOTA, jalan jendral Sudirman, janji temu dengan Stephano Bara. Dikawal oleh Max."

Matanya terpejam, mengingat kalimat Sabiya.

"Saya nggak akan mengganggu kamu, asal jangan ganggu saya. Nggak perlu repot-repot menghindari atau menyingkirkan saya. Sebentar lagi, kamu nggak akan melihat saya lagi. Saya akan menghilang dari dunia kalian. Seperti yang kamu selalu harapkan diam-diam."

Sesungguhnya, apa yang dia harapkan jauh dari dugaan Sabiya sendiri. Tapi memiliki pasangan hidup, adalah suatu hal yang sudah dia tepis jauh. Dia takkan sanggup lagi, kehilangan orang yang dia lindungi seperti dulu.

***

Heli sudah mendarat di MG dan Lidya yang bawel dan cerewet itu sudah ada di bawah, menunggu di lobby. Kakinya melangkah panjang ke kantor Tania untuk menyapanya sejenak sebelum mulai beraktifitas.

"Siang, Ibu Dokter." Dia masuk setelah mengetuk pintu.

"Waah, kejutan. Alexa, kamu sudah boleh keluar?" Tania berdiri menyambutnya.

Dia mengangguk sambil tersenyum. "Dengan banyak syarat." Senyumnya mengembang tambah lebar mengingat Mahendra memberikannya ponsel khusus, bahkan meminta dia untuk menggunakan supir dari ADS dan satu penjaga – setelah dia negosiasi dari tiga.

"Ya, ya. Para laki-laki Daud memang paranoid," sahut Tania sambil mengangguk mengerti. "Aku senang kamu baik-baik saja."

"Terimakasih, Tania. Kamu benar-benar perhatian."

"Jangan dilebih-lebihkan, Lexa. Apa rencanamu hari ini?"

Mereka mulai berjalan ke luar ruangan menuju lift. Tania seperti mengerti bahwa dia tidak bisa tinggal lama.

"Photoshoot dan bertemu salah satu klien yang aku pindahkan kontraknya."

"Kamu akan kembali ke New York?"

"Ya, dalam beberapa minggu ke depan. Aku harus membereskan kontrakku di sana. Jika Mahendra setuju. Dia sedang banyak pekerjaan di sini, jadi mungkin dia akan mengijinkan, atau aku akan minta dia mengantarku ke sana."

Dahi Tania mengernyit, mencoba menebak sesuatu. Lalu senyum Tania lebar dan seperti ditahan. "Tunggu dulu, apa kamu...dan Mahendra..."

Dia tertawa bahagia. "Aku senang melihatmu sehat, Tan. Kita bertemu lagi nanti. Aku terburu-buru. Cruela de Ville menungguku di bawah."

Senyum Tania yang sama lebar sudah terkembang saja lalu mengangguk mengerti. "Hati-hati, Lexa."

Pintu lift sudah tertutup. Sungguh dia bahagia, bisa kembali beraktifitas seperti ini. Dia benar-benar merindukan dunia luar. Sekalipun paham benar Lidya akan mulai menyiksanya lagi. Benar saja, wanita kejam itu sudah berdiri sambil merengut kesal ketika dia melangkah di lobby.

"Wajahmu, Lyd. Benahi ekspresimu. Apa kamu mau tertangkap kamera dengan kerut di dahimu?" Dia terus melangkah menuju pintu dengan mobil yang sudah menunggu.

"Oh sial, Lexa. Gue kangen tapi pingin bunuh lo di saat yang bersamaan saking kesalnya. Kenapa lo membiarkan diri lo dikawal orang-orangnya Daud?"

Tubuhnya masuk ke dalam mobil lalu menoleh dan tersenyum pada Lidya. "Pacarku yang meminta."

"Ya Tuhan, dasar Mahendra brengsek. Lo diguna-guna apa gimana?" Mereka sudah di dalam mobil untuk menuju ke tempat pertama.

"Berisik. Aku sedang bahagia, jangan ganggu aku." Senyumnya masih lebar lalu dia menatap keluar jendela.

"Nona, Tuan Mahendra menghubungi." Supir di depannya memberi tahu.

Kepalanya mengangguk dan supir itu menekan tombol pada layar di depan.

"Lexa, kamu sudah sampai?" suara Mahendra pada loudspeaker terdengar.

"Sudah di mobil, Hen. Apa kamu sudah makan sarapannya?"

Mahendra tertawa. "Ya, dan sebentar lagi aku darah tinggi."

"Apa terlalu asin?"

Lidya memberi tatapan tidak percaya padanya.

"Sedikit. Tapi terimakasih. Ingat pesanku, Alexa."

"Apa kamu bisa melihatku tersenyum?" Dia masih tersenyum kecil, menatap ke arah depan.

Wajah Lidya makin merah dan terlihat lucu.

"Aku juga bisa melihat Lidya yang merah padam. Halo, Lidya. Apa kabarmu?"

"Kembalikan temanku, Mahendra. I swear I will kill you. Kamu apakan dia? Dia tidak pernah memasak? Kamu tidak bisa membiarkannya memasak. Dia bisa tergores."

Mahendra tertawa di sana. "See you, Lexa."

"I miss you already." Dia menjawab sementara Lidya terus memaki.

"Putuskan Mahendra. A.S.A.P. Kamu sudah punya janji makan siang dengan William."

"Aku akan makan siang dengan Will, Lyd. Biar kamu senang. Tapi hatiku hanya untuk satu orang. Paham?"

Dan Lidya mulai memaki lagi.

***

Ponselnya berdering ketika dia berada di ruang ganti. Baru saja selesai dari photoshoot untuk salah satu rumah mode. Matanya menatap buket bunga besar yang ada dan seperti baru saja di antar.

"Yes?" Tangannya mengangkat ponsel.

"Sayang, sudah terima bunganya? Apa kamu suka?"

William. "Hai, Will. Ya, aku sudah terima bunganya, ini indah. Terimakasih."

"Akhirnya kamu menjawab ponselku, Lexa. Aku benar-benar cemas. Kamu dimana selama ini?"

"Aku baik-baik, Will. Apa kabarmu?"

William diam sejenak di sana. "Aku merindukanmu, Lexa. Apa bisa kita bertemu?"

Alexa diam sejenak, dia senang mengetahui William tidak mendendam padanya atas apa yang sudah terjadi dulu. "Will, maafkan aku. Kita bisa bertemu, tapi aku tidak bisa bersamamu, Will."

Ada jeda di sana. "Paling tidak, kita bertemu dulu Lexa. Makan malam, atau makan siang. Kita bicarakan di sana."

Nafasnya dia hela. "Baik. Lidya bilang dia sudah buatkan janji. Aku akan datang."

"Ya, besok siang. Temui aku di restoran biasa. Oke? Kita bicara."

"Oke."

"Aku sungguh-sungguh merindukanmu, Lexa. Setelah kamu pergi, aku benar-benar merasa kehilangan."

Sedikitnya, dia senang dipuja seperti apa yang William katakan saat ini. Bagaimanapun dia wanita, sulit sekali untuk tidak tersenyum ketika ada laki-laki yang memujinya. Urusan hati memang berbeda, sudah ada satu laki-laki saja di sana. Sekalipun dia masih tidak mengerti dengan sikap Mahendra. Sungguh dia berharap Mahendra juga mencintai dia, karena dia sangat mencintai laki-laki itu. Sikap Mahendra yang berubah-ubah membuat dia bingung, tidak menentu. Apakah seluruh perhatian Mahendra benar-benar karena laki-laki itu sungguh mencintainya? Atau hanya karena dia sendiri yang selama ini benar-benar berusaha dengan hubungan mereka? Jadi Mahendra berusaha menyenangkan dirinya saja. Entah, entah.

"Will, maaf. Aku mencintai orang lain." Tapi hatinya sudah memilih. Sekalipun sikap Mahendra tidak menentu, dan laki-laki itu tidak pernah berkata cinta, masih ada sedikit harapan. Dan yang dia butuhkan, hanya sedikit harapan itu.

William mendesah di sana. "Datanglah untuk makan siang denganku, Lexa. Laki-laki yang kamu cintai, tidak sebaik yang kamu kira. Kita harus bertemu."

"Jangan mulai memfitnah dia, Will. Itu cara yang kampungan."

"Kita hanya perlu bicara, Lexa."

Ponsel dia tutup saja. Lidya masuk dan dia bertanya. "Jam berapa besok janjiku dengan William?"

"Jam 1 siang di restoran favorit William."

"Oke."

Semua akan baik-baik saja. Mahendra memang jenius dan memiliki semua akses teknologi. Tapi laki-lakinya itu tidak mungkin melakukan sesuatu yang melanggar aturan. Tidak mungkin.

***

Safe house

Layar di dinding berkedip ketika Lexy melapor. "Panggilan dari Tuan Arsyad Daud."

"Ya, Bang?" Matanya masih menatap data-data keuangan Darius Raymond. Keluarga konglomerat yang lain dan diduga terlibat dengan Herman.

"Hen, sudah dapat sesuatu soal Darius?"

"Masih gue cek, sebentar. Belum selesai."

"Hen, setelah itu tolong periksa data milik Irsan dan Idris."

"Oke, minta Deana pasang chipnya. Data orang pemerintahan aksesnya lebih rumit. Apalagi kalau itu dana yang digelapkan. Biasanya tidak ada catatan softcopy, hardcopy saja. Persis seperti Herman."

"Ya, gue udah ngomong ke Dea."

Arsyad diam sejenak. "Hen, apa lo tahu sesuatu tentang Sabiya?"

Dia berhenti sejenak. "Ada apa dengan Sabiya?"

"Niko curiga sesuatu. Sabiya murung dan seperti punya rahasia."

Dahinya mengernyit dalam. "Lo udah tanya Bang Hanif?"

"Hanif lagi ribut sama Faya soal misi kemarin. Mereka masih di luar kota."

"Gue cek Sabiya, Bang."

"Sorry, kalau ini terlalu banyak buat lo."

"Bang, ini Sabiya. Saudara perempuan kita satu-satunya."

Arsyad terkekeh kecil. "Saudara? Sejak kapan Sabiya jadi saudara buat lo, Hen?"

Dia juga tersenyum sambil mendengkus kesal. "Entah, Bang. Gue nggak yakin dengan semuanya sekarang."

"Apa karena Alexa?"

Refleksnya adalah mengerang kesal. "Baang...gue nggak nyaman bahas perempuan sama lo."

Arsyad tertawa juga. "Hey, kalau sama Mareno nanti lo diajarin yang aneh-aneh."

"Serius gue banyak tugas, Bang."

"Oke-oke. Thanks."

Hubungan di sudahi. Pikirannya sejenak berhenti. Alexa, Sabiya. Dia selama ini selalu sendiri. Hubungannya dengan Sabiya adalah hubungan satu arah, dengan komunikasi yang minim sekali. Sekalipun dia tahu dan hafal benar jadwal Sabiya. Tapi mereka memang jarang berkomunikasi karena dia selalu gugup dan cemas. Dihantui dengan masa lalu Sabiya dan perasaan bersalah karena tidak bisa melindungi wanita itu dulu.

Lalu Alexa datang tiba-tiba. Gadis manja, cengeng dan tidak bisa apa-apa. Tapi gadis itu sangat memujanya. Dia merasa sangat dibutuhkan oleh Alexa. Hal itu membuat seluruh insting laki-lakinya bangkit. Untuk melindungi Alexa, atau selalu berada di dekatnya karena dia benci melihat Alexa sendiri, kemudian untuk menyentuhnya. Terlalu jauh? Mungkin, tapi dia tidak bisa kembali, tidak mau kembali. Seluruh rasa penasarannya yang tinggi dengan segala reaksi dirinya sendiri sudah sungguh merajai. Alexa sudah menjadi adiksi.

Hal yang paling mengejutkan, untuk pertama kalinya dia bisa berkomunikasi. Belum lancar karena dia bisa tiba-tiba marah dan memaki, tapi dia merasa nyaman berada bersama Alexa. Jantungnya bernyanyi, kadar oksitosinnya pun melonjak tinggi.

Jadi, sebenarnya dia sudah tahu apa yang dia rasa atau kemana hatinya pergi. Tapi dia masih enggan untuk bercerita. Dia tidak ingin siapapun tahu. Hanya dia dan Alexa saja. Harusnya, itu cukup kan?

Nafasnya dia hela, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro