33. Guilty
Mobil jeep itu sudah tiba di jalan yang sulit. Faya menghubungi Pak Dadang, orang kepercayaan Hanif untuk mengurus pondok agar mau mengantarnya. Awalnya Pak Dadang menolak, namun setelah dia menceritakan kondisinya, laki-laki tua yang masih bugar itu tersenyum mengerti.
Dia tiba setelah makan siang. Sejak diberhentikan Arsyad dari ADS dia punya banyak waktu dan memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya dengan Hanif dulu. Sebelum dia mulai menyusun rencana baru. Lagipula, otaknya buntu. Ketika tahu Hanif tidak pulang dan tidak berada dimanapun di kota, segala sesuatu yang dia lakukan terasa salah. Jenis beban yang dia dapat karena benar-benar merasa bersalah pada suaminya. Tebakannya, Hanif pergi ke pondok. Dan benar saja, ketika dia turun dari jeep tua dan mengucapkan terimakasih, dia bisa mendengar suara kapak yang dihantamkan ke kayu dari arah belakang.
Dia masuk dari pintu depan yang tidak terkunci kemudian meletakkan ransel di dalam dan keluar lagi dari pintu belakang. Tubuh suaminya hanya mengenakan celana jins panjang berwarna terang, tanpa kaus dan sedang membelah kayu menggunakan kapak. Dia tidak pintar dengan kata-kata, jadi dia hanya diam termangu sementara Hanif tidak menghiraukannya. Tangan Hanif sibuk menyingkirkan kayu yang sudah terbelah, lalu mengambil bonggol kayu baru untuk dia belah.
Bicara, Fa. Jangan diam seperti orang konyol.
"Aku..." dia berdehem sejenak. "...bersalah. Harusnya aku bilang dan tidak melarikan diri seperti itu."
Hanif masih diam saja, terus menghantamkan kapaknya.
"Aku minta maaf, dan aku akan mengulangi maafku sejuta kali atau lebih, sampai kamu mau memaafkanku."
Hanif berhenti sejenak kemudian menatapnya datar. "Aku maafkan. Sekarang, kembalilah ke kota. Tangkap Aryo Kusuma, atau kamu bisa pergi dengannya. Lakukan semaumu." Kemudian Hanif kembali dengan kapak dan kayu.
Rasa takut itu mencengkram lagi. Takut akan kesepian yang sudah dua malam dia rasakan, takut akan kehilangan karena kosongnya hati saat Hanif tidak pulang.
He loves you too. Jadi dia nggak akan lepasin lo begitu aja, Fa. Kalimat Brayuda terulang di kepala. Sekalipun saat ini, apa yang dia lihat tidak seperti itu.
Salivanya dia loloskan perlahan, dia benar-benar gentar. Lalu kepalanya mengangguk perlahan. Sekalipun dia masih tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Hanif belum pernah terlihat semarah ini. Laki-laki itu tidak memaki, tapi sikap dinginnya benar-benar melumpuhkan keberaniannya sendiri.
"Maaf." Suaranya sedikit bergetar.
Dia masuk ke dalam pondok, paham benar rasanya dia ingin menangis lagi. Tapi dia tidak ingin Hanif melihatnya menangis. Jadi, kakinya melangkah menjauhi pondok. Masuk ke dalam hutan. Dia harus menjauh agar tangisnya tidak terdengar. Kakinya berlari, sementara pikirannya ribut sekali.
Apa ini berarti mereka sudah selesai? Apa Hanif melepaskannya? Apa artinya cinta tanpa rasa percaya kan? Hanif tidak mempercayainya dan itu salahnya. Kemarin dulu ketika dia dalam misi penyamaran, Arsyad yang memintanya. Tapi kemarin, Arsyad tidak menugaskannya pada misi itu. Apa yang dia lakukan atas dasar pilihannya sendiri. Tanpa tahu bahwa pilihannya itu membuat Hanif terluka dalam. Oh, dia bodoh sekali. Impulsif dan bodoh, Fa. Sangat bodoh.
Dia sudah berada cukup jauh karena pondok sudah tidak terlihat sekalipun area danau masih bisa dia lihat jika dia naik ke cabang pohon tinggi. Langkahnya berhenti. Dia masih ingin sendiri karena air matanya belum berhenti. Jadi dia mulai melepas kemeja dan menyisakan kaus putih tanpa lengan di dalamnya. Lalu mulai memanjat pohon tinggi itu dengan bantuan kemejanya sendiri yang dia lilitkan di batang pohon besar untuk naik perlahan. Ranting di atasnya terlihat kokoh sekali. Dia bisa duduk di sana, sambil memandang area danau yang luas menenangkan pikirannya.
Benar saja, ranting-ranting pohon itu kokoh dan malang melintang hingga dia bisa duduk di atas tanpa khawatir jatuh. Tubuhnya lelah, dengan semua kecemasan, ketakutan, rasa bersalah, juga perjalanan jauh menuju pondok. Jadi dia bersandar dan rasanya nyaman.
Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memohon pada Hanif? Atau kembali ke kota dan menunggu hingga emosi Hanif mereda? Bagaimana jika Hanif tidak mereda dan sudah memutuskan saja? Dia tidak mau sendiri lagi, dia benci sendiri. Tapi Hanif sepertinya sudah sangat kokoh pendiriannya untuk mengabaikan dia. Air matanya jatuh lagi. Brengsek, Fa. Jangan menangis.
Karena seluruh lelahnya, matanya terpejam perlahan. Dia melewatkan senja yang indah, juga matahari yang tenggelam.
Matanya mengerjap dua kali ketika dia terbangun. Gelap. Dia memejamkan matanya lagi sejenak untuk menyesuaikan dengan cahaya yang sedikit sekali. Sepertinya dia tertidur tadi dan masih berada di tempat yang sama. Suara serangga malam sedikit menenangkan, dengan bulan yang menampakkan diri sebagiannya. Ya, purnama sudah lewat ketika dia dan Hanif bulan madu beberapa minggu lalu. Dia menatap ke atas langit dan sadar bahwa dia belum memutuskan apa tindakan selanjutnya. Menunggu di sini? Atau menunggu di kota? Karena satu yang pasti, dia tidak mau dan tidak bisa kehilangan Hanif. Jadi dia akan sama keras kepalanya dengan kemarahan laki-laki itu. Ya, sepertinya begitu rencananya.
Setelah menarik nafas dua kali dan matanya sudah dapat menyesuaikan dengan cahaya yang jumlahnya sedikit, dia turun dan memutuskan untuk kembali kembali ke pondok. Kakinya melangkah menuju arah danau dan menyusuri danau yang merupakan jalan ke pondok. Perasaannya sedikit ringan, karena mungkin lelahnya pergi dengan tidur tadi. Jadi dia tidak akan perduli dengan sikap abai Hanif atau apapun yang ditimpakan laki-laki itu padanya. Dia tidak akan mau berpisah.
Jarak pondok mulai dekat dan dia bisa mendengar suara sayup-sayup Hanif yang bicara pada Pak Dadang.
"Pak, panggil beberapa orang lagi. Sepertinya Faya nggak ada di sekitar danau. Kita susuri dengan motor ke dalam."
"Tapi Den, itu butuh waktu."
Dahinya mengernyit bingung, kenapa Hanif terdengar panik sekali.
"Assalamualaikum." Dia berdehem.
Sosok Pak Dadang dan Hanif berhenti sejenak.
"Wa'alaikum salam, Neng Faya. Ya ampun. Bapak khawatir banget." Pak Dadang langsung diam ketika melihat wajah Hanif yang kaku menatapnya.
"Saya pamit dulu. Besok pagi saya ke sini lagi." Pak Dadang pamit pergi.
Setelah sosok itu hilang dia menatap Hanif tidak mengerti. Rahang wajah Hanif mengeras dan suaminya itu menggelengkan kepalanya keras seperti mengusir emosi, kemudian masuk ke dalam. Dia yang bingung mulai melangkah masuk juga. Jantungnya mulai ingin meledak rasanya. Apa Hanif marah lagi? Karena dia hilang? Memang sudah berapa lama? Dia melihat jam di tangannya. Ya Tuhan.
"Kalau kamu mau pergi, pergi sekalian ke kota. Bukan masuk ke dalam hutan belantara dua belas jam lamanya!!" Suara Hanif tinggi sekali. Wajah suaminya memerah marah.
"Aku...maaf."
Tubuh Hanif pergi berlalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat. Dia hanya bisa menghela nafasnya dalam. Tambah merasa hancur karena untuk kesekian kali dia diusir pergi. Air matanya ingin naik lagi, dia menggeleng kuat lalu masuk ke dalam kamar mandi sederhana dan mulai membuka bajunya untuk mandi. Tanpa menghiraukan udara dingin yang menusuk, karena sungguh dia membutuhkan segala hal untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit di dada.
Lalu, dia menatap bak berukuran sedang itu dan memutuskan untuk masuk saja. Karena ketakutannya datang lagi, sikap Hanif masih dingin sekali. Lebih dingin dari empat derajat suhu air di dalam sana. Di dalam bak air yang terisi setengah, tubuhnya meringkuk. Abai dengan bibirnya yang mulai bergetar. Ya, ini lebih baik. Jadi dingin pada kulitnya yang menusuk-nusuk lebih terasa mendominasi, daripada apa yang menusuk hatinya saat ini. Dia memeluk lututnya perlahan, berusaha mengendalikan getar tubuhnya sendiri. Patah hati, membuat seluruh akal sehatnya pergi, mati.
Pintu kamar mandi dibuka dan Hanif ada di sana menatapnya tanpa ekspresi. Dia hanya memiringkan kepala, bersiap menerima sikap bermusuhan Hanif lagi. Laki-laki itu merengkuh tubuhnya lalu mengangkatnya keluar dari bak mandi. Dia sedikit terkesiap dengan hangat tubuh Hanif, atau mungkin tubuhnya sendiri yang membiru dingin memang sudah tidak dia rasakan lagi. Hanif menggendongnya ke kamar setelah membelit tubuhnya dengan handuk tebal. Suaminya itu membaringkannya di kasur perlahan. Juga melingkupi tubuhnya yang masih bergetar dengan selimut tebal, kemudian Hanif masuk ke dalam selimut yang sama. Mendekatkan tubuh liatnya pada tubuhnya sendiri yang menghadap miring.
Pandangan mereka bertemu. Dia masih bisa menemukan luka yang dia letakkan di sana. Jadi air matanya jatuh lagi, sambil berbisik nyeri. "Maaf."
Mata coklat Hanif seperti mencair. Suaminya mencium bibirnya lembut. Ciuman yang dia tahu.
"Don't ever do that to me again." Suara Hanif serak karena emosi yang ditahan.
Kepalanya menggeleng lemah. "Never. I love you."
Tangan Hanif menarik tubuhnya perlahan. Mereka larut dalam nyeri yang perlahan hilang, rindu karena berjauhan, juga kebutuhan untuk bersama yang mendesak kuat. Dia berharap Hanif bisa merasakan sesal pada air matanya yang terus jatuh, atau betapa dia begitu takut kehilangan laki-laki itu. Jadi dia membiarkan Hanif mendominasi, melakukan apa saja padanya, apa saja asal laki-laki itu tidak pergi. Karena sungguh, kosongnya hati lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
***
Pintu kamar Alexa dia ketuk. Gadis itu benar-benar mengabaikannya seharian kemarin. Alexa juga belum makan sepengetahuannya. Hanya berdiam diri di kamar dan menelpon Lidya dan beberapa kliennya. Alexa benar-benar bersiap-siap untuk kembali bekerja.
"Alexa, kamu belum makan." Pintu itu dia ketuk lagi.
Pintu itu terbuka dan Alexa berdiri sambil menatapnya marah. "Silahkan makan sendiri, dan nggak perlu repot membuatkanku makanan."
Tangan Lexa dia tangkap ketika gadis itu ingin masuk ke dalam kamar. "Saya benci drama. Kamu mau mengurung dirimu sendiri di kamar dan tidak makan? Silahkan. Tapi kamu nggak bisa kemana-mana."
Kenapa lo malah marah-marah, Hen? Kan lo yang salah. Nuraninya berisik sekali.
Tubuhnya sudah berbalik lalu Alexa keluar dari kamar dan menuju sofa ruang tengah. Setelah itu? Alexa melemparkan bantal di sofa ke arahnya. Satu, dua, tiga...ada dua lagi di sofa. Dia berjalan mendekati Alexa yang seperti ingin meledak saja. Sementara gadis itu terus melempar bantal ke arahnya.
"Aku punya lima mantan pacar. Satu adalah kakak kelas brengsek yang meniduriku lalu meninggalkanku. Dua adalah kakak kelas lainnya yang hanya menjadikan aku taruhan saja. Tiga adalah selingkuhan sahabatku yang sama bajingannya... Empat..."
"Lexa, stop." Dia mendekat dan berusaha menangkap tangan Alexa.
"Dasar brengsek. Kamu memang Tuan Sempurna. Jadi jauhi aku."
Alexa mendorongnya menjauh. Gadis itu benar-benar merasa tersinggung atas pertanyaan pengalih pembicaraan-nya kemarin. Karena sungguh dia sudah tahu bahkan nama-nama deretan laki-laki itu juga apa yang mereka kerjakan sekarang.
Dua kakak kelas Alexa bekerja sebagai karyawan rendahan. Bagus, sepadan atas perilaku mereka dulu. Nomor tiga masih berada di panti rehabilitasi dan masih menjalin hubungan dengan sahabat Alexa sendiri. Senator brengsek itu juga kembali membuat skandal dengan wanita lain lagi. Dan yang terakhir William. Mahluk berbahaya lainnya. Deretan laki-laki yang benar-benar tidak pantas mendapatkan Alexa.
"Lexa, mau kemana?"
Tubuh Alexa sudah berjalan cepat menuju ke arah pekarangan belakang dan berputar menuju rumah bagian depan.
"Banyak ladang ranjau di luar, atau jebakan lain. Tidak aman." Dia menyusul Alexa. Mereka berdua tidak mengenakan alas kaki. "Kenapa kamu suka sekali drama?"
Dia bisa mendengar Alexa menggeram marah masih berjalan cepat. Tubuh Alexa dibalut kamisol putih dan celana satin panjang biru langit. Juga jubah satin berwarna biru yang sama dan tidak diikat ke depan.
"Apa perdulimu?" Alexa berhenti dan itu membuat dia berhenti juga. Gadis itu berbalik dan menatapnya dengan wajah merah lalu menggeram lagi.
Kepalanya menggeleng tidak percaya dengan drama hari ini. Tapi bibirnya tersenyum kecil melihat tingkah Alexa yang lucu sekali. Lihat, gadis itu ingin dia kejar karena itu Alexa membalik tubuhnya tadi kemudian Alexa berbalik untuk berjalan lagi. Lucu sekali.
"Kamu tidak pernah menganggapku serius."
"Kamu sangat serius." Mereka berjalan di jalan utama dengan Alexa di depan dan dia di belakang.
"Kamu selalu menghinaku." Tangan Alexa bergerak-gerak ke samping.
"Aku hanya bertanya dan tidak bermaksud begitu."
"Kenapa mulutmu jahat sekali?"
"Tapi aku bukan orang jahat."
"Kamu tidak pernah minta maaf."
Langkahnya berhenti. Akhirnya dia mengerti, Alexa hanya ingin maaf saja darinya. Dia tersenyum geli lalu menggeleng lagi. Kakinya sedikit berlari menyusul Alexa yang terus berjalan di depannya dan masih memaki. Dia melewati tubuh Alexa lalu berjalan mundur di hadapannya.
"Aku minta maaf, Alexa."
Gadis itu berhenti lalu menatapnya kesal dan menggeram lagi. "Terlambat."
Lalu tawanya lepas saja. Alexa yang tambah kesal melewati tubuhnya dan mulai berjalan lagi.
"Kamu nggak sungguh-sungguh."
Dua tangannya sudah bertolak pinggang masih sambil terkekeh geli dan menggelengkan kepala tidak percaya. Kemudian dia menyusul Alexa lagi.
"Auw." Alexa berhenti dan melihat kerikil yang tajam menusuk kakinya. Dia mencabut kerikil itu yang meninggalkan luka pada telapak kaki.
"Masih mau drama?" Dia menatap Alexa yang masih kesal. Gadis itu melemparkan kerikil yang dia pegang tadi ke tubuhnya, lalu lanjut berjalan lagi dengan sedikit pincang.
"Alexandra Walton, Mahendra Daud meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Sepenuh hati. Sumpah pramuka." Satu tangan dia letakkan di dada dan tangan lain mengangkat seperti membuat sebuah ikrar janji. Tubuhnya menghadap Alexa.
"Aku mau bekerja."
Dia menghirup nafas dalam. Mereka berdiri berhadapan dengan piyama dan kaki telanjang di pinggir jalan utama menuju safe house.
"Aku harus mengecek kondisi terakhir dulu dan diskusi soal ini dengan Arsyad. Besok aku beri tahu."
"Aku lapar, dan kakiku sakit."
Senyumnya sudah mengembang lebar melihat polah Alexa. Gadis manja yang datang khusus untuk menyiksanya. Kemudian tubuhnya berbalik membelakangi Alexa, lalu berjongkok menawarkan punggungnya.
"Naik. Aku nggak akan tawarkan dua kali."
Dua tangan Alexa melingkar pada lehernya. Kemudian dia berdiri dan menggendong gadis manja itu. Tungkai kaki Alexa membelit pinggangnya kuat sementara tangannya menahan tubuh Alexa. Dia berjalan kembali ke safe house.
"Apa kamu benar-benar tidak apa-apa?" tanya Alexa di dekat telinganya.
"Tentang?"
"Tentang aku dan pacar-pacar brengsekku."
"Kalau kamu tidak pintar memilih pacar, itu urusan lama-mu. Aku tidak bisa merubah apapun soal itu. Tapi aku harap kamu belajar sesuatu."
"Seleraku membaik sekarang. William laki-laki baik-baik, aku yang meninggalkannya. Dan kamu, si Tuan Sempurna bermulut pedas dan sangat menyebalkan."
Dia terkekeh geli. "Hati-hati, seseorang yang terlihat baik belum tentu sungguh baik, Lexa. Kamu terlalu mudah percaya. Dan seseorang yang bermulut pedas, belum tentu tidak baik atau bermaksud begitu."
"Maksudnya? William jahat dan kamu baik?"
"Aku tidak suka dibandingkan."
"Bukan itu maksudku."
Alexa masih pada gendongannya ketika mereka masuk dari pintu depan. Tubuh Alexa dia dudukkan di kitchen island tengah ruangan. Lalu dia mengambil koper P3K untuk membersihkan luka pada telapak kaki Alexa tadi.
"Sikapmu berubah-ubah. Aku bingung sendiri apa artinya?"
"Menurutmu apa artinya?" Dia menyemprotkan cairan desinfektan dan memberi obat luka yang bisa mengeringkan cepat.
"It means that you love me, I hope."
Gerakannya berhenti sesaat, untung saja dia masih menunduk untuk membersihkan luka, atau ekspresi aneh pada wajahnya langsung bisa terlihat jelas.
"Kamu boleh bekerja dengan satu syarat." Mengalihkan pembicaraan adalah hal yang paling masuk akal.
"Apa?"
Dia mengeluarkan kotak beludru pada sakunya. Senyum Alexa mengembang lebar, mata birunya berbinar.
"Hey, hey, ini bukan cincin."
"Aku tahu, kotaknya terlalu besar untuk sebuah cincin. Tapi itu tetap hadiah untukku."
Sebenarnya dia tidak ingin membohongi Alexa dan ingin jujur menjelaskan bahwa gelang ini adalah gelang dengan alat deteksi di dalamnya. Tapi dia tidak tega dengan seluruh wajah polos gadis itu yang berbinar gembira. Tidak mengatakan itu tidak berbohong kan?
Tangannya membuka kotak itu. Gelang emas putih pilihan Sabiya berkilauan sempurna dengan berlian kecil-kecil di sekelilingnya. Salah satu mata berlian disisipkan kamera mikro. "Selalu pakai ini, kemanapun, dimanapun, kapanpun. Apa kamu berjanji?"
Alexa mengangguk lalu mengambil gelang itu dan melihat bagian dalamnya. "Kenapa tidak ada namamu di dalamnya?"
"Nanti," jawabnya sambil tersenyum kecil.
"Nanti? Jadi akan ada kado lain untukku yang akan ada ukiran namamu?"
Dia terkekeh kecil, Alexa selalu bertingkah kekanakkan di hadapannya. Manja. Tapi entah kenapa dia sudah terbiasa dan sangat menikmati ini.
"Mungkin."
"Tolong pakaikan, aku tidak akan lepas lagi. Sumpah pramuka." Alexa mengulurkan tangannya dan dia memakaikan gelang itu.
"Hen..."
"Hmmm..." Tangannya masih membetulkan letak gelang Alexa.
"Jangan masuki data-data pribadiku. Kalau kamu ingin tahu, kita duduk makan malam dan mengobrol. Tanya kepadaku baik-baik lalu aku akan menjawab. Aku akan katakan segalanya yang kamu ingin tahu. Mungkin nggak ada cerita hutan dan buaya, atau pondok yang terbakar, hidupku tidak semenarik itu. Tapi aku sangat menghargai privasi orang lain, atau diriku sendiri. Jadi aku harap kamu bisa menghargai itu." Alexa tersenyum menatapnya.
Perasaan bersalah datang, karena kepalanya harus mengangguk mengiyakan, sementara dia tahu dia sudah melakukan apa yang Alexa larang. Dadanya mulai berdentum berantakan, dia berbohong, dan entah kapan kebohongan ini akan menyerangnya kembali. Tidak cukup sampai di situ, Alexa memeluknya lembut, sambil masih tersenyum tulus.
"Terimakasih hadiahnya. Aku suka sekali. Lukamu masih sakit? Wajahmu sedikit pucat," bisik Alexa.
Dua tangannya merengkuh Alexa kuat. Wajahnya dia surukkan pada leher gadis yang mempercayai dia dengan sepenuh hati, gadis pertama yang dia bohongi.
***
Siap-siap konflik utama cerita ini sudah mau datang. Siapin jantungnya ya. Again, semua tidak pernah terlalu indah untuk keluarga Daud.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro