32. The House and You
Nah, siapa yang kangen Mahen-Lexa? Enjoy!!
***
Mahendra pulang dengan heli, sedikit memaksa karena Arsyad masih menahannya di ADS khawatir dengan luka-lukanya. Tapi, kali ini dia ingin pulang. Paham benar ada seseorang yang menunggunya di safe house.
Lucu, hidup ini lucu. Dia bahkan tertawa tadi. Lihat saja tingkah laku mereka yang aneh. Fayadisa, Aryo Kusuma, Tommy, dia, dan saudara-saudaranya. Ada jalinan aneh yang tak kasat mata. Terkait atas nama keluarga? Apa benar darah itu lebih kental dari apapun juga? Karena dia tidak membunuh Tommy padahal dia masih punya MCE di kantung celananya. Atau Aryo yang tidak menembak Faya karena cinta. Tommy yang juga aneh sekali, laki-laki itu memiliki senjata dan bisa dengan mudah menembak dia. Tapi sepanjang pertarungan tangan kosong mereka, Tommy tidak mengeluarkan senjata itu. Juga Faya. Ya Tuhan, semoga Hanif tidak murka karena dia paham benar Faya pasti kabur dari bulan madu mereka. Mereka aneh sekali kan?
Dia dan saudara-saudaranya tidak pernah berniat membunuh, atau melukai musuh mereka. Tapi Tommy dan Aryo? Selama ini mereka mengira bahwa dua orang itu pembunuh keji berdarah dingin, Aryo bahkan melukai Sabiya yang tidak bersenjata. Tapi apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, adalah Tommy dan Aryo yang penuh perhitungan dan tidak menggila. Keinginan membunuh di dalam mata mereka tidak ada. Hanya waspada dan berusaha bertahan hidup. Membunuh, agar tidak dibunuh. Kenapa dua bajingan itu berubah? Apa yang merubah mereka? Apakah dulu Aryo melukai Sabiya tidak sengaja? Karena cemburu yang membutakan mata? Apa begitu? Sepanjang perjalanan pulang otaknya mencerna. Apa yang terjadi hari ini mungkin bisa merubah segala rencana. Dia harus bicara pada abang-abangnya setelah ini.
Heli mendarat dengan selamat. Dia turun dan mengucapkan terimakasih pada pilot yang langsung pergi. Kakinya melangkah menuruni tangga dan masuk ke dalam rumah. Berjalan menyusuri koridor hingga sampai di ruang tengah. Sebelum dia berujar pada Lexy untuk bertanya dimana Alexandra, dia sudah bisa melihat tubuh gadis itu tertidur di sofa sambil menggenggam remote TV.
Alexandra mengenakan piyama satin dengan celana panjang merek ternama berwarna putih gading. Tertidur pulas mungkin karena lelah menunggu. Apa benar begitu?
"Lexy, apa yang dilakukan Alexa sepanjang saya pergi?"
"Nona Alexa menunggu di garasi satu jam lamanya. Dia meminta saya terus memutar lagu dari Tuan. Akhirnya Nona naik dan mandi. Kemudian Nona berusaha masuk ke dalam lab Tuan untuk mencari tahu misi yang sedang berjalan. Sepertinya Nona Alexa sangat cemas karena kortisolnya naik. Lalu karena tidak berhasil, akhirnya dia menunggu di ruang tengah sambil menonton tayangan TV. Menolak makan dengan alasan terlalu cemas."
Tubuhnya berjongkok dekat dengan wajah Alexa yang masih tertidur. Apa ini yang dirasakan oleh Mareno? Atau Hanif ketika selesai misi? Untuk tahu bahwa ada seseorang yang menunggu mereka pulang. Dadanya terasa hangat sekali. Jenis hangat yang dia suka. Hangat itu menjalar hingga menerbitkan senyumnya.
"Apa Tuan ingin memindahkan Nona ke kamar?"
"Saya tidak ingin membangunkannya, Lexy." Dia membetulkan letak rambut Alexa. Gadis manja yang ceroboh, cengeng dan tidak bisa apa-apa. Manekin hidup yang perlahan mencuri hatinya.
Kemudian dia berdiri untuk mengambil selimut dari dalam kamar, lalu menyelimuti tubuh Alexa perlahan.
"Temaramkan lampunya, tapi jangan terlalu gelap. Jangan biarkan ada satu serangga saja yang menggigitnya. Itu tugasmu, Lexy. Saya akan tidur di bawah dengan pintu terbuka."
"Baik."
Dia berjalan ke atas untuk mengganti pakaiannya dan membersihkan diri. Setelah itu dia turun dan berjalan menuju salah satu kamar yang menghadap ke arah ruang tengah, membuka pintunya lebar jadi dia bisa tidur miring menghadap Alexa yang masih tertidur di sofa. Lalu dia menyadari sesuatu, selama ini dia selalu nyaman dengan kesendiriannya, tapi kali ini dia sungguh menikmati keberadaan Alexandra di sisinya. Lebih dari rasa nyaman atas kesendiriannya itu.
***
Pagi, di safe house.
Pagi itu terasa sejuk, dan burung mulai berkicau merdu. Senyumnya terkembang, paham benar dia masih berada di tempat yang dia suka. Tangannya tertarik ke atas panjang lalu tubuhnya menggeliat ringan. Ingatan atas kepergian Mahendra semalam datang, lalu matanya membuka tiba-tiba. Ya Tuhan, Mahendra.
"Lexy? Apa Mahendra sudah pulang?" Dia berdiri lalu berlari ke laboratorium dan kamar laki-lakinya itu.
"Tuan Mahendra pulang pukul dua tiga puluh pagi."
"Aku ingin masuk ke lab, Lexy. Bukakan tolong. Apa dia baik-baik saja?"
"Akses lab tidak diberikan. Tubuh Tuan Mahendra terluka. Hasil pemindaian bahunya terluka dengan lima jahitan, ditemukan sisa debris logam ledakan. Kedua lengan lecet-lecet, juga wajah yang lebam dan bibir yang pecah. Luka dari pertarungan tangan kosong."
Dadanya makin berdegup cemas. "Ayolah, Lexy. Buka pintu lab-nya."
"Tuan Mahendra tidak berada di dalam lab."
"Jadi, dimana dia?"
"Kamar lantai bawah dengan pintu terbuka dan menghadap ke ruang tengah."
Kakinya langsung berlari menuruni anak tangga. Lalu mencari kamar yang ternyata tadi dia lewati karena panik. Pintu kamar itu terbuka. Mahendra sedang tidur miring menghadap ke arah pintu. Dia berjalan mendekati Mahendra perlahan, dahinya mengernyit nyeri melihat bahu yang di bebat, lengan yang lecet sana-sini, juga bibir Mahendra yang pecah.
Lalu dia tidak bisa membendung air matanya lagi. Seluruh cemas, khawatir yang ditahan sejak semalam pecah begitu saja. Dia berusaha menahan isakannya karena tidak mau mengganggu tidur Mahendra.
"Kenapa kamu sudah nangis pagi-pagi, dasar cengeng." Mahendra masih menutup mata sambil berujar padanya. Satu tangan Mahendra terulur untuk mengacak rambutnya.
Tanpa pikir panjang dia menubruk tubuh Mahendra dan menaikinya di atas tempat tidur. Memeluk laki-laki itu masih sambil terisak.
"Dasar menyebalkan, jangan pernah minta aku menunggu lagi. Aku nggak akan mau tunggu kamu lagi. Berhenti jadi sok jagoan dan biarkan polisi yang menangkap siapapun orang jahat di luar sana. Atau polisi di negeri ini makan gaji buta karena tugas mereka kalian ambil alih. Apa kamu dengar, Mahendra Daud?" Kepalanya masih tersuruk di leher Mahendra. Menghirup wangi yang dia suka.
"Nona Alexandra, kamu berada di atas tubuhku sekarang dan itu melanggar seluruh undang-undang asusila. Apa bisa kamu turun?" Dua tangan Mahendra menggantung di samping tubuhnya.
"Aku tidak mau."
"Bahuku masih sakit, juga air mata cengengmu itu membasahi kaus Hermes-ku yang mahal. Oh, kulitku yang sensitif nanti alergi karena itu semua." Mahendra meledeknya.
Dia terkekeh masih sambil menangis kesal. "Ini bukan Hermes, ini kaus GAP biasa. Dan kulitmu tidak sensitive." Kepalanya dia angkat hingga wajah mereka berhadapan. "Jangan menggodaku, dasar brengsek."
Tangan Mahendra mengusap punggungnya perlahan, posisinya masih berada di atas tubuh Mahendra dengan dahi mengernyit melihat bibir Mahendra yang pecah.
"Apa ini sakit? Ya Tuhan, ada apa dengan pekerjaanmu? Aku bisa gila." Jari tangannya menyentuh bibir Mahendra perlahan.
"Aku sudah diobati oleh Dokter yang sangat handal, dan seksi."
Senyum kecilnya terbit. "Lebih seksi dari aku?"
"Alexa, aku hanya bercanda. Itu bukan undangan untuk..."
Mulut Mahendra sudah dia bungkam dengan ciuman.
"Alexa, turun sekarang juga," ujar Mahendra panik di jeda ciuman mereka.
"Aku tidak mau, dan aku tahu kamu juga tidak mau." Bibirnya memperdalam ciuman mereka.
"Sh**, Lexa. Aku nggak bercanda. Kita di atas tempat tidur."
"Ini pertama kali buat kamu? Pasti bukan kan? Aku hanya mau meyakinkan kamu kalau aku lebih seksi dari dokter manapun juga."
"Alexandra...ya Tuhan. Oke, oke. Aku sudah diyakinkan."
Sungguh lucu melihat Mahendra yang panik. Tangan laki-laki itu mengepal kuat menahan hasrat, sementara bibirnya sendiri sudah turun menikmati leher Mahendra perlahan memberikan kecupan ringan. Tubuh Mahendra mulai hangat tapi tangan Mahendra tidak berbuat apapun untuk menghentikannya. Kemudian ketika mata Mahendra terpejam sambil masih memaki, dia berhenti.
Mata mereka bertautan dan dia bersumpah dia melihat netra Mahendra berpendar kecoklatan. Menunjukkan betapa laki-laki ini berusaha menahan hasratnya mati-matian.
"Do you want me?" tanyanya perlahan.
Satu tangan Mahendra memijit dahinya. "Turun, Alexa. Jauhi aku dulu, demi kebaikanmu sendiri."
"Aku tidak mau."
"Aku memaksa, atau aku matikan lampunya."
"Kamu tidak berani."
"Ya, aku bisa tapi tidak mau karena aku tidak mau menyakitimu lagi. Tapi kamu benar-benar menyakitiku sekarang. Tubuhku masih memar."
Dia mencium pipi Mahendra kemudian turun dari tubuhnya. "Apa lukanya dalam? Apa tadi aku membuat lukamu makin parah?" Dia sudah duduk di pinggir kasur.
Mahendra bangun dan menggelengkan kepalanya kuat. Seperti mengusir sesuatu. Lalu laki-lakinya itu menghirup nafas dalam beberapa kali.
"Kamu benar-benar mahluk yang berbahaya, Lexa."
Tawa kecilnya lepas. "Nggak ada yang memanggil aku mahluk." Dia berdiri dan berjalan keluar kamar menuju dapur.
Dia sudah belajar membuat kopi dengan mesin di sana, jadi dia mulai membuatnya sambil bicara.
"Aku sudah berlatih menyalakan kompor dan berhasil. Jadi aku akan buatkan sarapan pagi ini, bagaimana?"
Tanpa dia duga Mahendra merengkuh tubuhnya dari belakang. Laki-laki itu mencium puncak kepalanya, lalu turun ke pipi, sementara dua tangan Mahendra melingkar lembut di lehernya.
"Terimakasih," bisik Mahendra di telinganya.
"Untuk?"
"Untuk menjadi anak yang baik."
Dia mendengkus kesal. "Aku akan berkelakuan sangat buruk hingga kamu lari terbirit-birit pulang untuk mencegahku bertindak konyol dan membuat semua misimu gagal."
Mahendra tertawa kecil. "Entah kenapa aku yakin kamu bisa melakukan itu."
"Ya, aku akan melakukannya lain kali."
Helaan nafas Mahendra keluar dan laki-laki itu melepaskan pelukannya. Dia sendiri sudah menuang kopi pada dua gelas cangkir dan berbalik untuk memberikan satu pada Mahendra. Dua tangan laki-laki itu mengangkat tubuhnya ke counter dapur untuk duduk di sana. Dia suka sikap Mahendra yang memanjakannya.
Kopi sudah dia hirup dan cangkirnya dia letakkan di sebelah tubuhnya. Mahendra sendiri masih berada di hadapannya sambil menghirup uap-uap kopi itu.
"Enak nggak?" tanyanya.
"Ini kopi buatan mesin, harusnya enak."
"Aku bukan barista." Dia mencebik kesal dan itu membuat Mahendra tersenyum geli. Mereka masih berhadapan dekat sekali.
"Apa setiap kali misi kamu selalu babak belur begini?" Matanya menatap luka-luka pada tubuh Mahendra.
"Nggak, tapi semalam ada yang terjadi."
Tangannya sudah mengangkat kaus Mahendra sedikit untuk memeriksa luka lainnya yang tertutup kaus. Benar saja, ada lebam-lebam biru di bagian samping tubuh Mahendra.
"Aku benci ini." Bibirnya dia gigit cemas sementara Mahendra masih menyesap kopi.
"Kamu akan terbiasa."
"Nggak akan. Aku bisa benar-benar jadi gila setiap kamu pergi bekerja."
Mahendra menaruh cangkirnya lalu mengacak rambutnya sesaat. "Kamu tidak boleh terlalu sempurna kalau pagi-pagi begini." Tangan Mahendra terus mengacak rambutnya dan dia tertawa.
"Mahen, stop." Tawanya masih lepas saja. Kelakukan Mahendra konyol sekali. "Rambutku berantakan."
Lalu Mahendra menatapnya kesal. "Kenapa ini tidak berhasil?"
"Apa?" Dua tangannya ditahan Mahendra karena dia ingin merapihkan rambutnya.
Laki-lakinya itu malah menghela tambah kesal. "Kenapa rambut berantakanmu malah buat kamu...hmmm...sudahlah." Mahendra menyerah dan berlalu menuju ke lemari pendingin untuk mengambil apel.
"Aku memang sempurna, terima saja." Kepalanya dia goyangkan hingga rambut indah dan sehatnya kembali pada posisinya lagi.
"Hey, kesempurnaan itu tidak ada. Yang sempurna adalah ketidaksempurnaan itu sendiri." Apel sudah digigit Mahendra. "Ingat, kamu itu ceroboh, cengeng, manja..."
Bahu dia gendikkan tidak perduli sambil menyesap kopi lagi. "Ngomong-ngomong, aku harus kembali bekerja. Uangku tidak jatuh dari langit sayangnya. Lagian aku bisa mati bosan di sini, Hen."
Kepala Mahendra menggeleng keras. "No. Kondisi keuanganmu baik-baik saja."
Dahinya mengernyit. "Kamu tahu kondisi keuanganku?"
Mahendra minum segelas air lalu menggigit apelnya lagi. "Aku hanya menebak saja, kamu model kelas dunia, keluargamu..."
"Mahendra Daud, aku benar-benar benci seseorang membongkar data-data pribadiku. Aku serius." Air wajahnya berubah. Ya, dia tidak suka dengan cara itu.
Dia masih memperhatikan sikap Mahendra yang sedikit gugup. Apa laki-laki itu berbohong? Tubuhnya turun ke lantai dan menyusul Mahendra yang berjalan ke arah balkon luar yang menghadap ke pekarangan belakang.
"Hen, jika kamu ingin tahu tentang aku, tanyakan padaku seperti orang yang beradab. Aku akan menjawab apapun yang kamu tanyakan. Kamu tidak membongkar dataku kan, Hen?" Mereka sudah sampai di balkon. Cahaya matahari menimpa tubuh mereka dan hangat itu menjalar perlahan.
"Apa kamu sudah tidur dengan William?" Mata Mahendra lurus menatap ke depan. Apel yang sudah setengah habis masih dalam genggamannya.
"What? Itu pertanyaan pertama kamu? Serius?"
Tubuh Mahendra berbalik menatapnya. "Yes, that's my first question. Answer."
Apa Mahendra menutupi sesuatu dengan pertanyaan itu? Dia menghirup nafas mengusir emosinya yang mulai naik.
"Tidak, aku tidak tidur dengannya." Dua tangan dia lipat di depan. "Apa kamu membuka data-dataku, Mahendra?"
"Di sini aku yang bertanya, bukan kamu. Berapa mantan pacarmu?"
Matanya terpejam sesaat karena sangat terganggu dengan pertanyaan itu. Dagunya dia angkat karena itu menyinggung perasaannya. Ada apa dengan Mahendra? Barusan laki-laki ini manis sekali.
"Jawab aku dulu," ujarnya.
"Aku yang bertanya, jadi jawab aku dulu," balas Mahendra.
Wajah Mahendra yang terlihat berbahaya karena luka-lukanya tampak datar dan dingin tiba-tiba.
"Aku tidak akan menjawab sampai kamu berjanji bahwa kamu tidak akan membongkar data-dataku."
"Aku tidak mau berjanji, sampai kamu jawab pertanyaanku," ujar Mahendra tenang. "Kamu sendiri yang bilang aku hanya tinggal bertanya. Jadi aku bertanya."
"Berapa jumlah pacarmu Mahendra?" Emosi mulai mengambil alih. Tangannya sudah terkepal karena marah.
"Tidak ada."
"Apa kamu cinta Sabiya?"
Air wajah Mahendra berubah tiba-tiba. "Konyol."
"Ya, sekonyol pertanyaanmu dan sikapmu sekarang."
Dia memutuskan untuk pergi dari sana.
"Kamu tidak boleh bekerja," kata Mahendra lagi.
"Oh ya? Lihat saja."
Tubuhnya berjalan cepat ke kamar dan membanting pintunya.
***
Oke, dia baru tahu Alexa marah sekali saat ini. Yang dia lakukan tadi adalah berusaha menutupi kenyataan bahwa dia sudah mengakses data-data pribadi Alexa, dia tahu segalanya. Kemampuan berbohongnya itu nihil, sulit sekali berbohong kemudian bersikap biasa saja. Alexa akan segera tahu dia berbohong dan dia tidak mau berbohong.
Jadi dia mulai melontarkan pertanyaan yang bisa mengalihkan Alexa, tapi malah berakhir membuat gadis itu marah, murka. Sekalipun wajahnya tetap cantik sekali. Ya Tuhan. Sungguh dia tidak bermaksud begini. Pengalamannya dengan wanita nol, tidak ada. Sikapnya tadi hanya aksi-reaksi. Setelah Alexa masuk ke dalam kamar dia berdiri mematung. Apel yang dia genggam di buang ke tong sampah terdekat.
Apa kamu cinta Sabiya? Pertanyaan Alexa tadi entah kenapa menganggu sekali. Atau pada kenyataan Alexa ingin mulai bekerja, keluar dari rumah ini dan besar kemungkinan akan bertemu William. Dia belum membeberkan fakta tentang William karena tidak mau Alexa cemas. Semakin sedikit tahu, semakin aman Alexa nanti. Tapi sulit menjelaskan maksudnya tanpa memberitahu kondisi. Ah, sial.
Dia sudah kembali berada di lab, berpikir. "Lexy, keluarkan catatan tracker device yang paling advance."
"Tuan Erick sudah menyelesaikan prototypenya. Apa Tuan ingin mencoba?"
"Ya, hubungi Erick."
"Menghubungi Tuan Erick."
"Ya Bos?" Erick mengenakan jas lab dan sedang berada di laboratorium teknologi ID Tech.
"TD yang versi 5, apa sudah selesai prototypenya?"
"Sudah. Mau gue kirimin ke safe house?"
Dia berpikir sejenak. "Lexy, tampilkan dimensi TD versi 5."
Matanya menatap layar dan berpikir sejenak. Cincin akan terlalu pribadi. Kalung terlalu mencolok dan kemungkinan besar akan dilepas atau diganti jika Alexa mulai melakukan show atau apapun.
"Rick, hubungi perusahaan perhiasan tempat Mama sering pesan. Masukan TD 5 ke gelang emas putih, carikan desain yang tidak mencolok tapi cantik."
"Bos, desain yang tidak mencolok tapi cantik itu gimana? Gue cowok tulen, Bos."
"Hubungi Sabiya, minta saran dari dia."
"Kapan butuhnya?"
"Malam ini juga."
"Oke."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro