31. A very bad day
Di dalam mobil
Aryo sudah turun dan pindah ke kursi depan sebelahnya. Sebagian tubuhnya masih dibebat terluka, juga sebagian wajahnya. Faya paham dia tidak bisa melukai Aryo atau membunuh laki-laki itu. Dia sudah coba dan gagal. Jadi, kali ini dia akan mencoba bicara baik-baik.
Posisi duduk Aryo sudah berbalik menatapnya. Mata hitam legam itu terluka dalam dengan banyak kenyataan.
"Lo menikahi si brengsek itu." Rahang Aryo mengeras sambil mengucapkan setiap kata.
"Gue datang, sekarang. Karena gue mau bicara."
Aryo mendengkus marah. "Bicara? Bukan, lo datang karena mau menangkap gue hidup-hidup. Bukan untuk bicara. Sekarang lo sedang mengulur waktu, agar Arsyad dan Mareno bisa menyusul di belakang dan menangkap gue di sini."
Satu tangan Aryo menghantam dashboard mobil keras. 'BRUAK!!'
"Gue benci dengan kenyataan itu, kenapa lo harus berada berseberangan dengan gue, Fa. Kenapa lo nggak netral aja?"
Wajahnya menatap Aryo dalam, berusaha menenangkan serigala liar di hadapannya ini. "Kita nggak perlu berseberangan, Yo. Herman Daud adalah Daud. Paman mereka. Kita nggak perlu berseberangan."
"Manis kedengarannya. Tapi kenyataannya selalu buruk, Fa."
"Apa lo nggak capek, Yo? Hidup diburu atau memburu? Apa lo nggak mau istirahat? Ini bukan pertempuran lo. Mereka hanya ingin menghentikan Paman mereka yang akan berbuat jahat dan merugikan banyak orang, Yo. Mereka nggak ada masalah dengan lo, kecuali kemarin karena lo lukai Sabiya. Mencintai itu bukan dengan melukai, Yo. Stop Aryo, stop. Berhenti. Lo orang baik."
Aryo mendengkus lagi. "Itu sama aja meminta serigala berhenti berburu dan tidak makan daging lagi. Dan gue dapat apa? Lo nggak ada, Fa. Gue akan berhenti buat lo, gue mau elo buat gue. Gue akan lepas semua ini."
Salivanya dia loloskan perlahan. Bagaimana bisa, jika hatinya sudah dimiliki orang lain. Bukan laki-laki yang marah dan terluka di hadapannya ini.
"Sial, Fa. Gue bener-bener cinta lo."
Entah bagaimana Aryo merengkuhnya cepat, dan dia membiarkan Aryo memeluk tubuhnya kuat. Aryo mencium rahang wajahnya menyusuri hingga ke pipi. Dia bisa merasakan besar perasaan Aryo untuknya. Segala luka, marah dan kecewa laki-laki itu pada kenyataan yang ada, segala lelah karena dia bisa merasakan desahan Aryo saat bibir laki-laki itu menyentuh bibirnya. Aryo Kusuma hanyalah laki-laki biasa, dengan seluruh trauma, duka, dan luka pada hidupnya. Serigala liar yang harus selalu menjadi kuat, karena tidak punya tempat untuk pulang. Jadi dia membiarkan Aryo menciumnya perlahan. Berharap getir pahit itu bisa sedikit demi sedikit hilang.
Kemudian dia melepaskan dirinya. Aryo masih bersikukuh memeluknya. Jadi dia berbisik nyeri. "Kalau lo terus begini, kalian berdua bisa benar-benar kehilangan gue. Benar-benar kehilangan gue dalam arti sebenarnya."
Pelukan Aryo makin kuat. Wajah laki-laki itu tersuruk di antara lehernya.
"Lo orang baik, Yo. Lo cuma belum tahu itu." Dia mendesah berat lalu melanjutkan. "I cannot kill you, I just cannot. But if you kill him, you'll kill me too."
Air mata dia telan perlahan. Kali ini, dia membalas memeluk Aryo kuat. Dia ingin bisa membalas apa yang Aryo rasa untuknya. Tapi dia tidak mampu, tidak bisa. Hatinya sudah berada dimana Hanif berada. Selalu berada di sana.
***
Markas Besar ADS
Mereka berkumpul setelah dia membiarkan Aryo dan Tommy pergi tadi. Mahendra sudah dibawa ke ruang periksa karena bahunya yang terluka karena ledakan pada van-nya dan luka perkelahiannya dengan Tommy. Sementara dia duduk di dalam ruangan meeting sebelah Leo, bersama dengan Mareno, Niko dan Arsyad. Siap menerima apapun hukuman yang akan ditimpakan pada timnya yang tidak patuh.
Arsyad berdiri di depan ruangan dengan luka-luka pada tangannya dan ekspresi yang tidak terbaca. Doni berhasil ditangkap, sementara Aryo dan Tommy sekarang bekerja sama. Ini buruk. Tapi dia tidak bisa membunuh Aryo seperti Aryo yang tidak bisa melukainya.
"Gue nggak paham, bagian mana yang lo nggak dengar atau lo nggak ngerti, Fa? Perintah gue jelas, Leo dan Niko yang memimpin dengan tim Black Command. Bukan tim taktis lo yang turun."
"Lo minta kita stand by, Bang. Kita stand by dan Mahendra butuh bantuan."
'BRUAK!!' Arsyad menggebrak meja. "Lo pikir gue nggak bisa selamatkan adik gue sendiri? Lo pikir Mahendra sebegitu begonya jadi dia nggak bisa lolos sendiri?"
Leo menggenggam tangannya di bawah meja. Paham benar bahwa itu pertanda dia harus menahan kalimatnya. Jadi dia bungkam.
"Doni sudah tertangkap, Bang. Mahendra bersama Aryo dan Tommy, jadi gue yakin dia memang butuh bantuan Faya tadi." Niko menengahi.
"Lo bahkan seharusnya nggak ada di sana, ya Tuhan Fa." Arsyad tidak menghiraukan kalimat Niko. "Apa yang lo bilang sama Hanif sampai dia mengijinkan lo pergi ke misi."
Pintu terbuka. Hanif masuk dengan wajah murka. "Dia nggak bilang sama gue, kayaknya dia lupa kalau punya suami." Suaminya itu berdiri sambil melipat tangannya di depan.
Sementara dia menghirup nafas panjang. Tahu benar dia dalam masalah besar.
"Saya tunggu kamu di ruang sebelah, Komandan. Setelah apapun yang Arsyad akan berikan sekarang." Hanif menggelengkan kepalanya untuk mengusir emosi dan berlalu ke luar ruangan.
"Hey, ayolah. Faya berhasil menyelamatkan Mahendra. Kalau tadi tidak ada tim Faya, kita nggak akan bisa sampai tepat waktu. Mahendra bisa dilucuti dengan mudah. Mereka tahu Doni tertangkap jadi mereka ambil Mahendra untuk tukar." Niko berdiri membelanya.
Tubuhnya juga berdiri dan matanya lurus ke depan. "Terimakasih, Bung Niko. Tapi tidak perlu. Saya siap dihukum."
Leo juga berdiri. "Kami, siap dihukum."
"Oh ya, bagus. Gue tahu kalian siap dihukum. Dan harusnya kalian tahu gue benci ketidak-disiplinan atau ketidak-patuhan." Nada Arsyad masih tinggi. Kemudian laki-laki-laki itu berujar lagi. "Fayadisa Sidharta, mulai hari ini saya dengan resmi mencabut lencanamu di ADS. Kamu saya non aktifkan dari semua tugas dan semua misi. Penggantimu adalah Leo Chandra. Sampai masa yang tidak ditentukan. Seluruh aksesmu atas senjata, peralatan dan kendaraan tidak akan bisa digunakan. Kamu masih bisa masuk ke ADS, sebagai tamu."
"Bang, lo nggak bisa begitu." Leo sudah merangsek maju dan tubuhnya ditahan Niko.
Sementara dia menelan salivanya perlahan sambil mengepalkan tangannya kuat.
"Semua hukuman itu karena ketidakpatuhan, sebagai komandan tertinggi kesalahan itu tidak bisa dimaafkan. Juga melepaskan musuh, Aryo Kusuma bisa kamu lumpuhkan dan kamu bawa ke kami, tapi kamu tidak lakukan. Atas itu semua, hukuman yang saya sebut tadi sangat ringan." Arsyad menatapnya tajam. "Kecuali, Hanif Daud mengijinkan dan meminta kamu kembali ke sini."
"Faya cuma berusaha membantu, Bang. Lo tahu Aryo selalu lebih kuat, karena itu dia bisa lolos. Apalagi ada Tommy..." Leo masih berusaha membelanya.
"Kurung tim Fayadisa di white room, jika mereka membelot, silahkan ke luar dari ADS. Dismiss." Arsyad berlalu ke luar ruangan.
Dia sendiri bungkam dan mulai berpikir. Apa selanjutnya yang bisa dia lakukan untuk membantu, melindungi keluarganya saat ini.
"Lo nggak bikin salah, Fa." Leo mencengkram bahunya. Mareno sudah pergi menyusul Arsyad ke luar. Sementara Niko masih di dalam ruangan.
"Leo, hey. Arsyad ada benarnya. Gue lepaskan Aryo, Leo."
Niko menghirup nafas panjang sambil menatapnya tidak mengerti.
"Ada hal-hal, yang nggak bisa kalian mengerti. Tapi intuisi gue bilang begitu." Matanya menatap Leo dan Niko bergantian. "Dan hal itu salah. Tapi terkadang semua bukan masalah salah dan benar. Sometimes you just need to follow your guts feeling." Faya tersenyum mengingat kalimat itu dari Brayuda saat-saat mereka berlatih bersama.
"Tapi Fa..."
"Leo, ini rumah gue. Kalian keluarga gue. Gue masih hidup. Bedanya dulu gue orang ADS, sekarang enggak. Tapi sisanya sama. Gue akan berusaha ada untuk kalian. Mungkin dengan begini gue lebih leluasa, karena nggak terikat aturan."
Leo memeluk tubuhnya kuat. "Wanita gila. Lo harusnya masih honeymoon, Fa."
"Hey, kita adalah manusia-manusia nggak normal Leo, ingat? Gue bukan wanita normal dengan pekerjaan normal. Dan gue baik-baik aja dengan kenyataan itu." Dia menghirup nafas panjang. "Jaga anak-anak baik-baik. Bilang sama mereka gue yang mundur dari ADS. Jangan bilang Arsyad yang kasih hukuman ini, oke?"
Nafas Leo menghela berat. Niko menepuk pundaknya ketika Leo melepaskan pelukannya.
"Gue harap intuisi lo benar, Fa. Melepaskan serigala liar ke hutan belantara, dengan seluruh pasukannya, bukan keputusan bijak."
Faya menatap Niko dalam. "Dia, hanya serigala yang tidak punya rumah untuk pulang. Satu-satunya rumah untuknya, ada di luar sana. Saya akan selalu ada ketika sang serigala ada. Agar dia tidak bisa menyakiti siapapun lagi."
Lagi-lagi Niko menghirup nafas panjang. "Semoga saja, Fa. Kayaknya lo ditunggu di sebelah. Hati-hati, Hanif 2.0 kalau ngamuk nyeremin."
Dia hanya mengangguk pasrah, siap untuk sesi berikutnya.
***
Di dalam ruangan sebelah
Kesalahan yang dia lakukan berlapis. Sebagai komandan tinggi karena tidak mengikuti aturan, dan juga melepaskan musuh. Juga sebagai istri karena melanggar perintah suaminya sendiri. Oh, dia bahkan membuat Hanif tidur lebih lama dengan mencampur obat tidur dosis ringan pada teh hangat yang dia berikan. Jadi jika Arsyad membebas tugaskannya dari ADS tadi atas kesalahan yang dia perbuat, kali ini dia berharap hukuman Hanif jauh lebih ringan dari itu.
Suaminya sedang berdiri menatap ke arah jendela luar ketika dia masuk ke dalam ruangan. Matanya menerawang jauh. Jenis pandangan yang sepi dan membuat dia gentar juga. Setelah seluruh kebersamaan mereka satu minggu ini, bunuh saja dia jika harus kehilangan suaminya.
Salivanya dia loloskan perlahan. "Maaf."
Hanif tidak bergeming, tetap berdiri pada posisi yang sama dengan pandangan ke luar jendela. Rahang wajah suaminya itu mengeras, jakunnya bergerak perlahan pertanda Hanif sedang berusaha keras menelan segala emosi yang laki-laki itu punya. Itu semua membuat dia merasa tambah bersalah. Lebih parah daripada berhadapan dengan Arsyad tadi.
Dia memberanikan diri berjalan mendekati suaminya. Satu tangan menyentuh lengan Hanif perlahan, lalu dia mengulang maafnya. Seribu kali jika perlu. "Maaf."
"I try, to understand you," ujar Hanif dengan suara bergetar.
Lalu seluruh rasa bersalah menghantam lagi, kali ini berhasil mendesak air matanya ke atas hingga menggenang di pelupuk mata. Ya, Hanif benar. Suaminya adalah laki-laki yang terlalu baik hingga tidak pantas dibohongi, atau dikecewakan. Dia bersalah. Tangannya mencengkram lengan Hanif kuat, sekuat sesak di dadanya saat ini. Dia menelan air matanya yang jatuh perlahan. Sementara Hanif tidak mau memandangnya sama sekali.
"Apakah nanti, setiap kali istriku membuatkan aku minuman, aku harus selalu berpikir ulang untuk meminumnya? Atau apa?" Mata Hanif yang terluka berpindah menatapnya.
"If I told you, would you let me go?" bisiknya lirih.
Hanif tersenyum miris. "You don't trust me, the way I don't trust you now." Tangan Hanif melepaskan tangannya perlahan.
"Jangan pergi, please. Aku minta maaf." Dia mulai meratap.
Tubuh Hanif berbalik sebelum pergi ke luar ruangan. "You did, Fa. You did walk away from me."
Pintu ruangan tertutup, meninggalkan dia di dalam yang berusaha menghentikan tangisnya sendiri.
***
Brayuda sedang berada di ruang kerja ketika pintunya diketuk. Istrinya yang cantik dan sangat sexy masuk.
"Hi Horney." Reyna tersenyum padanya.
"Anak-anak sudah tidur?" Kertas yang dia pegang dia letakkan di meja.
Reyna tersenyum menggoda. "Oh, aku juga ingin. Tapi ada yang wanita lain yang mencarimu."
"Siapa?" tanyanya heran.
"Faya. Dia sedang sedih sekali."
"Ada apa?" Jubah tidurnya dia ikat kencang, siaga.
Reyna tersenyum geli melihatnya. "Pasti senang punya adik kecil sekarang?"
"Oh ayolah, Sayang. Kamu tetap nomor satu." Dia merengkuh tubuh istrinya sejenak dan mencium bibirnya cepat.
"Jangan sampai Nanda dengar."
Dia tertawa.
"Temui Faya, Yud. Dia sedang sangat kacau. Tawarkan dia bermalam jika perlu. Jangan berikan saran yang aneh-aneh untuk membalas dendam, atau pukul-pukulan, atau tembak-tembakkan, atau segala jenis kekerasan. Don't give that kind of bad advice, okey?"
Lagi-lagi dia tertawa. Reyna paham benar siapa dirinya. "Jadi, aku suruh ikut kelas masak sama kamu? Sayang, Faya bahkan lebih hebat dari aku."
"Wanita adalah wanita, Brayuda. Sekuat apapun mereka, hati mereka tetap sama."
"Okey, aku akan ingat itu, Nyonya Prayogo." Dia mencium bibir Reyna lagi sambil satu tangan meremas bokong istrinya. "Jangan tidur dulu, tunggu aku." Lalu dia berbisik mesra pada istrinya yang terkekeh geli.
"Go. I'll wait for you."
"You have to."
Dia berlalu keluar ruangan dan menemukan Faya sedang berada di balkon ruang tengah. Berdiri menatap taman luas membelakangi tubuhnya.
"Maaf, mengganggu malam-malam. Harusnya gue nggak ke sini." Suara Faya serak, parau.
"Hey, it's oke. Ada apa, Fa? Ada penjahat yang mengganggu dan nggak bisa lo kalahkan selain Aryo? Atau lo sudah mengalahkan Aryo?" tanyanya sambil berdiri di sebelah Faya.
Matanya memindai tubuh Faya yang masih mengenakan setelan hitam-hitam ADS. Satu bagian di lengan robek dan berdarah, sekalipun sudah mengering. Tapi yang paling mengganggu adalah luka pada pinggang Faya. Kain pada bagian itu terkoyak kasar, pertarungan jarak dekat dengan pisau. Itu tebakannya.
"Masuk." Dia melangkah masuk ke dalam rumah.
"Yud, I'm fine. Gue ke sini bukan minta diobatin."
"Masuk." Matanya mengancam dan Faya menggeram kesal tapi mengikuti tubuhnya yang kembali ke ruang kerja.
Dengan cekatan dia mengeluarkan peralatan pertolongan pertama yang dia punya dari sebuah lemari, setelah meminta Reyna mengambilkan baskom air hangat.
"Buka baju lo."
"Yuda, gue balik aja deh."
"Duduk, atau gue bisa jatuhkan lo dalam tiga gerakan."
"Wow, lo meremehkan gue." Faya memasang kuda-kuda.
Dia tertawa. "Oke, oke. Sepuluh gerakan sekarang? Rajata bilang lo udah banyak kemajuan."
"Mau coba?"
"Hey, hey, hey, Tuan dan Nona Prayogo. Tidak ada perkelahian di rumah ini. Atau kalian angkat kaki. Yuda, aku udah bilang tadi kan?" Reyna meletakkan baskom air hangat di meja dengan waslap bersih di atasnya. Lalu tangannya bertolak pinggang menatap dua manusia aneh ini.
"Sayang, Faya yang mulai duluan." Dia mendecak kesal.
"Kalian berdua, behave okey. Behave. Ini rumah tinggal, bukan di dojo." Reyna cuma menggeleng lalu dia beranjak ke luar ruangan. Memberi ruang untuk mereka berdua bicara empat mata.
Faya membuka rompi hitamnya dan meletakkannya di meja. Lalu adiknya itu membuka kaus panjang hitam dan menyisakan baju dalam putih tanpa lengan saja. Sesuai dugaannya, lengan dan pinggang Faya terluka. Wanita itu duduk di meja sementara dia mulai membersihkan luka-luka Faya.
"Abis ngapain?" tanyanya singkat.
Faya menghela nafas berat. "Pulang dari bulan madu, kasih obat tidur suami, kabur untuk tangkap Aryo, tapi malah berakhir ciuman sama dia dan ngelepasin dia pergi."
Tawanya meledak lepas. Dia tertawa sampai rasanya sesak. "Wow, what a day."
"Bang, gue dipecat dari ADS."
"Serius? Arsyad bisa pecat lo? Rugi di dia." Senyumnya masih tidak pergi.
Faya menghela nafas lagi. "Bukan itu masalahnya, Bang."
"Jadi?" tangannya dengan terampil membebat luka di pinggang Faya.
"Hanif, marah banget." Faya menggigit bibirnya cemas. Ini ekspresi Faya yang baru dia tahu. Gadis itu benar-benar takut.
Dia berhenti sejenak, melihat ekspresi Faya yang kacau sekali. "Hey, hey. Hanif adalah manusia setengah dewa saking baiknya. Dia akan maafin lo."
"Gue nggak yakin, Bang. He doesn't trust me. I lost him, Bang." Air mata Faya jatuh satu. Adiknya ini benar-benar ketakutan. Padahal dia selalu melihat Faya tangguh sekali, seberapapun sulit kondisi.
Wanita adalah wanita, Brayuda. Sekuat apapun mereka, hati mereka tetap sama. Kata-kata Reyna berulang di kepalanya. Dia harus setuju dengan itu. Jadi, dia merengkuh Faya perlahan. Berusaha memberi kekuatan.
"Setiap keputusan, selalu akan ada resikonya."
"Gue terburu-buru kali ini, Bang. Gue...gue pikir Hanif nggak akan kasih ijin kalau dia tahu. Tapi lagi-lagi itu hanya asumsi gue aja. Hanif selalu berusaha mengerti, harusnya gue bertanya. Bukan lari setelah mencurangi dia. Gue salah, Bang. Tapi gue takut dengan resikonya." Tangan Faya merengkuhnya kuat. "Gue cinta dia, Bang. Sebanyak lo cinta Reyna atau Bapak Besar cinta ibu lo."
Tangannya menepuk punggung Faya perlahan. "He loves you too. Jadi dia nggak akan lepasin lo begitu aja, Fa." Pelukan mereka lepas perlahan.
"Oke, ini sedikit gila dan aneh, karena gue nggak biasa dimintain pendapat soal beginian." Dia menggendikkan bahu. Berusaha memberi saran hanya sebatas yang dia tahu. Ya, dia bukan orang yang bijaksana selama ini.
Faya tertawa sambil mengusap air matanya.
"Pertama, gue berasumsi kalau Hanif nggak tahu soal ciuman itu. Jangan pernah kasih tahu, atau Hanif bisa gila dan murka nanti. Oke? Kok bisa lo ciuman sama Aryo, sih? Bingung gue."
"Bang, seriusan gue harus jelasin itu ke elo? Intuisi, Bang. Entah bagaimana gue merasa gue harus menanam satu kebaikan untuk Aryo. Seperti apa yang Arsyad dulu lakukan ke gue. Saat semua orang nggak percaya sama gue, Arsyad bertaruh banyak untuk gue. Aryo, cuma laki-laki biasa yang trauma dan terluka karena hidupnya keras. Persis seperti gue dulu. Nggak ada orang yang melakukan sesuatu untuk dia tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dan gue mau melakukan itu, biar dia percaya kalau masih ada kebaikan untuk dia dan kebaikan yang sama ada di dalam dirinya."
"Wow, kalimat darimana tuh?" kekeh Yuda. Sedikitnya bangga dengan cara berfikir adiknya itu. "Oke, lo nggak cinta Aryo. Tapi jangan cium dia lagi, Nyonya Daud. Ingat lo udah punya suami. Kalau Reyna cium cowok lain selain gue, besok pagi cowok itu gue kasih makan ke Freddy hidup-hidup."
"I get it."
"Nah, yang kedua. Pulang, Fa. Gue senang kalau lo mau menginap di sini. Tapi, rumah lo bukan di sini. Seribut apapun gue sama Reyna kalau dia lagi kumat belanjanya, atau sibuknya di restoran sampai nyuekin gue, gue tetap sangat menunggu dia pulang." Dia tersenyum konyol sebelum melanjutkan. "Hukuman buat Reyna yang membangkang selalu ada di tempat tidur, bukan tempat lain."
Tangan Faya menempeleng kepalanya. "Gue nggak ngerti kenapa bisa gue punya sodara model lo begini, Yud."
"Hey, panggil gue Abang." Mereka terkekeh bersama.
***
Apartemen Hanif Daud
Dia tiba larut sekali, hampir pagi. Tubuhnya berdiri mematung menatap pintu kamar mereka. Sungguh seumur hidupnya tidak pernah dia gentar seperti ini. Kehilangan jabatannya di ADS sungguh terasa lebih baik, daripada murka suaminya sendiri. Lalu dia memejamkan matanya perlahan, memantapkan hati. Apa Hanif masih bangun? Masih marahkah suaminya itu? Atau Hanif tidak ada di dalam? Atau mungkin lebih parah lagi pakaiannya sudah di masukkan ke dalam koper dan besok pagi dia akan diminta angkat kaki? Apa? Ya Tuhan.
Satu tangannya menyentuh handle pintu, lalu membukanya perlahan. Kosong. Sekosong hatinya saat ini. Tempat tidur mereka rapih sekali, seperti Hanif tidak tidur di sana. Mungkin Hanif yang pergi dan tidak akan kembali. Karena laki-laki sebaik Hanif, tidak akan bisa melukainya dengan kata-kata. Tapi justru, ini jauh lebih sakit. Dia tidak siap. Tubuhnya tetap melangkah masuk. Air matanya sudah jatuh satu-satu. Ini hari yang terburuk dari yang paling buruk. Dia terus menangis sedari tadi. Bukan karena terluka, atau karena gagalnya misi. Tapi karena dia kehilangan sesuatu yang selama ini mengisi penuh hatinya.
***
Aryo menatap pesan yang tertulis pada ponselnya.
081***: Fayadisa diberhentikan, karena ketidak-disiplinan dan membebaskan musuh. Penggantinya adalah Leo Chandra. Doni ditahan di ADS.
Hatinya berdenyut nyeri, mendengar kabar itu. ADS adalah rumah dan hidup untuk Faya, dan wanita aneh itu mau melepaskan segalanya untuk dia. Faya mencintai Hanif, dia paham dan sadar ketika dia mencium Faya tadi. Ciuman Faya lembut, tulus, tanpa pamrih apa-apa. Hanya berkata wanita itu akan ada dan bersamanya, sekalipun Faya tidak mencintainya. Karena sama sekali tidak ada nafsu di sana. Faya seolah ingin menyembuhkan lukanya dan membuat dia tidak merasa sendiri.
Sial, Fa. Gue benci ciuman tadi. Kenapa lo berkorban banyak untuk gue, Fa? Kenapa?
Ponsel dia letakkan, lalu dia menoleh ke arah Tommy yang tertidur di kursi. Mereka berdua dalam pelarian. Tapi apa dia masih ingin berlari?
The wolf doesn't run, they hunt.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro