30. Ambush
Pintu itu dia ketuk perlahan, kemudian suara Sabiya menyahut dari dalam.
"Masuk."
Arsyad diam sejenak. Apa dia ingin masuk? Ya, sekalipun rasanya berat. Apalagi ketika tubuhnya benar-benar melangkah masuk, ekspresi dingin Sabiya sudah mengganti senyum di wajahnya yang beberapa detik tadi ada.
"Ya, ada apa?"
Matanya memindai lengan Sabiya yang masih meninggalkan jejak biru samar. Dia tidak sengaja, sungguh. Karena itu dia didera perasaan bersalah bermalam-malam lamanya. Selain memar di tangan, dia juga melihat Sabiya sedang membereskan barang-barangnya dengan koper yang setengah terbuka. Ada amplop putih yang tertutup pakaian di tempat tidur. Damar sendiri sedang asyik berada di pusat kontrol ADS.
"Ini, untuk tanganmu yang memar. Tania tadi ke sini." Botol aerosol kecil dia letakkan di meja.
Sabiya tertawa kecil sedikit sinis. "Bukankah itu sudah terlalu terlambat. Aku sudah sembuh."
"Gunakan saja. Memarnya masih ada."
"Aku memang tidak pintar berkelahi, seperti Faya, atau Deana, atau siapapun wanita tangguh di sini. Tapi aku nggak akan merengek karena hal kecil seperti ini."
"Bagus. Jadilah lebih tangguh lagi."
"Oke." Sabiya mulai bergerak untuk melipat pakaian Damar.
"Kamu belum diperbolehkan kembali ke rumah."
"William mengincar Alexa, bukan aku. Aku aman, jadi aku dan Damar akan kembali." Tubuh wanita itu terus bergerak. "Mareno memberi tahu."
"Kamu tetap di sini, jangan bantah saya." Tubuhnya berbalik ingin pergi karena seperti biasa dia tidak tahan dengan sikap Sabiya.
"Saya mulai menikmati, membantah kamu. Harusnya saya lakukan sedari dulu. Saya tetap akan kembali ke rumah saya sendiri." Sabiya masih terus bergerak dan tidak mengindahkan perintahnya.
Langkah kakinya berhenti. Tubuhnya masih membelakangi Sabiya, dia memejamkan mata sejenak paham benar rahang wajahnya mengeras. "Lakukan sesukamu."
"Ya, pasti. Jangan berpikir saya tidak punya kehidupan saya sendiri selain terus mengikuti kalian berempat," dengkus Sabiya sinis. "Saat kamu selesai dengan apapun misimu hari ini, saya sudah akan hilang dari sini. Oh, oh, terimakasih atas sambutan yang sangat hangat selama saya di sini. Selamat sore Tuan Arsyad, pintunya lurus di depan."
Mulutnya bungkam, kakinya melangkah ke luar ruangan.
***
Nafas Sabiya hela perlahan setelah Arsyad ke luar ruangan. Selalu seperti ini, ada rasa sesak berat yang mengganggu. Tubuhnya sudah duduk di salah satu sofa dan mengusap wajahnya. Amplop putih itu dia ambil dan buka. Dia membaca dan memeriksa dengan seksama berulang kali, memastikan dia yakin atas apa yang akan dia tempuh nanti. Masa depannya.
***
"Bang, halo Bang?" Mareno menepuk pundaknya perlahan.
"Sorry, sampai dimana kita tadi?" tanyanya. Mereka sedang berada di ruang meeting besar.
Mareno menatapnya heran, mungkin karena selama ini dia tidak pernah kehilangan fokusnya sendiri. Tapi dia memiliki firasat aneh tentang Sabiya. Semenjak wanita itu berada di ADS, dia merasa sikap Sabiya aneh. Ada sesuatu yang ditutupi. Untuk dia yang biasanya selalu menjadi yang paling tahu, ketidaktahuannya tentang rahasia apa yang Sabiya tutupi membuat dia gusar.
Dia berdehem sebelum melanjutkan. "Mahendra akan memberikan lokasi Aryo. Kali ini 95% bisa dipastikan Aryo ada di sana. Villa di daerah luar kota. Hasil pemantauan Leo dan Niko menunjukkan dia ada di sana."
Tim Black Command mengangguk mengerti.
"Hanya kita yang jalan. Sepuluh orang. Penjagaan di sana hanya tujuh orang kecuali Aryo. Tim Faya akan stand by dan dihubungi saat detik terakhir saja ketika situasi memanas dan tidak bisa dikendalikan. Tangkap Aryo hidup-hidup. Paham?"
Mereka mengangguk lagi. Black Command adalah tim elit khusus yang dipimpin oleh Niko langsung. Tim yang efisien, tanpa sejarah gagal, kekuatan dan kemampuan-nya satu banding lima dibandingkan dengan tim ADS lainnya. Mereka juga tidak banyak bicara. Hanya menerima misi, menjalankan misi, lalu kembali pulang. Selesai.
"Samakan waktu."
Semua berdiri dan menyetel ulang waktu di jam tangan digital mereka. Mahendra sudah selesai mengirimkan lokasi dan juga sudah berdiri mengangkat kopernya.
"Black Command, saya dan Mareno akan naik heli. Leo dan Niko sudah menunggu di sana. Kita akan turun di lokasi yang tidak terpantau villa dan lanjutkan jalur darat. Yang lain silahkan gunakan kendaraan yang sudah siap di garasi utama." Dia diam sejenak. "Berdoa dulu."
Setelah sejenak memejamkan mata, mereka beranjak menuju misi mereka.
"Bang, hati-hati. Lo hilang fokus tadi," bisik Mareno menepuk pundaknya.
Dia mengangguk. "Tania aman?" Mereka bertiga berjalan beriringan.
"Tania gue amankan di sini, mungkin lagi bareng Sabiya sekarang. Perimeter Bayu sudah gue amankan. Alexa gimana?"
"Aman, ada di safe house," sahut Mahendra.
Mareno berjalan mundur dan berbalik menghadap Mahendra. "Kalau hati gimana? Masih aman, Hen? Alexandra dan Alexandria. Lexy dan Lexa. Sumpah gue ngakak waktu Tania cerita."
Mahendra hanya menghirup nafas panjang dengan wajah yang sangat kesal.
"Jadi udah nggak Sabiya nih? Bung Niko kayaknya serius tuh." Wajah konyol Mareno tersenyum geli.
Tangan Mahendra memijit earphone dan berujar. "Angel, aktifkan satu MCE. Saya mau meledakkan kepala Mareno Daud."
"Permintaan berbahaya. Tolong konfirmasi," sahut Angel.
"Batalkan Angel," potongnya atas permintaan konyol Mahendra tadi.
"Baik, Tuan Arsyad."
Dia menggelengkan kepala melihat ulah adiknya. Dalam beberapa jam mereka akan dihadapkan pada pilihan hidup atau mati, tapi hanya Mareno dan Mahendra yang bisa bersikap konyol begini. Dasar begundal-begundal.
***
Tubuh Niko merayap dalam bayangan. Mereka sudah berhari-hari mengintai tempat itu. Villa nyaman yang terletak di pinggir kota. Tempat yang mereka curigai adalah tempat persembunyian Aryo Kusuma.
Arsyad, Mahendra dan Mareno siap di tempat mereka masing-masing. Dia dan tim khusus asuhannya yang akan berada di garis depan. Membobol masuk dan memberikan kejutan manis pada musuh mereka.
"Coklat, bagaimana situasi?" suara Arsyad pada earphone mereka.
"Di sini aman, mereka tidak curiga," jawabnya.
"Mulai misinya."
"Baik."
Kepalanya bergerak memberi tanda. Timnya terdiri dari lima orang terbaik. Senjata mereka sudah dilengkapi dengan peredam. Mereka di sini bukan untuk membunuh, tapi menangkap hidup-hidup. Jadi senjata mereka sarungkan, para penjaga akan dilumpuhkan dengan tangan kosong. Senjata akan digunakan hanya ketika mereka tidak punya pilihan. Tiga penjaga perimeter luar bisa dilumpuhkan dengan mudah. Mereka masih merayap dalam bayangan, ketika alarm itu meraung kencang.
"Hati-hati benturan."
Ram Paradin maju pertama tanpa senjata, melumpuhkan dua. Yang lain sudah merangsek masuk dan beberapa anak buah Aryo sudah mulai menembakkan senjata mereka. Bagusnya Niko tahu mereka tidak salah, Aryo benar berada di sini karena penjagaan yang ketat dan banyak. Air wajah mereka yang panik juga menandakan mereka kalah jumlah.
Seluruh tim ADS sudah masuk ke perimeter area. Baku tembak tidak bisa dihindari sekalipun mereka hanya menembak untuk melumpuhkan, bukan membunuh. Dia, Arsyad dan Mareno sudah berada di dalam vila. Aryo ada di salah satu ruangan. Jadi mereka mulai mencari sementara tim yang lain melindungi mereka.
Ada lima ruangan, dua bersih. Ruangan ketiga mereka masuk dan disambut dengan tembakan senjata. Dia mundur dua langkah karena momentum tembakan pada perutnya. Lalu melihat Doni berdiri di sana.
"Hai, Don." Dia menembak cepat ke arah kaki dan Doni jatuh. Salah, laki-laki kuat itu berdiri lagi dengan satu kaki.
"Ayolah, Nik. Sudah lama kita nggak baku hantam kan?"
Doni mengulur waktu dan dia tahu. Kemudian dia tertawa kecil. "Gue buru-buru, Don. Nggak malam ini." Senjata dia ganti dengan peluru bius milik Mahendra. Dengan cepat dia menembakkan ke tubuh Doni yang ambruk ke lantai.
Lalu suara ledakkan di luar memekakkan telinga.
"Biru, ada apa?"
"Ada tamu yang lain," sahut Mahendra yang memang stand by di mobil van menggerakkan seluruh alat-alat mereka.
"Siapa? Wibowo?" Dia dan Arsyad sudah memeriksa seluruh ruangan dan Aryo tidak ada.
"Bukan."
"Halo, sepupu." Suara Tommy Daud pada earphone mereka.
Mahendra tertawa. "Halo, Tom. We miss you."
"Gue akan keluar dari van kalau gue jadi lo, Hen." Tommy terkekeh lagi.
"Keluar dari sana, Hen!" Teriak Arsyad.
Suara bip-bip terdengar, juga suara Mahendra yang memaki, kemudian suara yang mereka benci. Ledakan dari arah van.
Dia, Arsyad, Mareno berlari ke arah van tempat Mahendra memantau semua situasi. Sementara tim mereka masih sibuk dengan tim Tommy yang datang. Tidak banyak, namun tetap saja merepotkan. Hanya satu yang ada di kepala mereka saat ini. Keselamatan Mahendra.
***
Mereka berlima berkendara dengan motor. Awalnya memantau situasi dari jauh karena paham benar jika mereka menampakkan diri maka hukuman dari Arsyad sudah menanti. Tapi melindungi Fayadisa sama mutlaknya untuk mereka. Si singa betina tahu tentang misi ini dan entah bagaimana caranya Faya meloloskan diri dari Hanif dan menyambangi mereka di ADS. Komandan tertinggi memang Arsyad, tapi kesetiaan mereka adalah untuk Leo dan Faya. Saat ini Leo dalam bahaya. Jadi mereka menerima resiko setelah ini mereka akan dikurung oleh Arsyad karena tindakan mereka.
Untuk Faya, Aryo Kusuma selalu menjadi urusannya, tanggung jawabnya. Tidak perduli kapanpun, dimanapun dia berada. Selama Aryo masih di luar sana dan berbuat gila, dan si empat saudara atau Leo dalam bahaya, maka di sana pula dia akan berada. Dengan terpaksa dia membius Hanif dan setelah mereka tiba di apartemen mereka. Dia akan meminta maaf nanti.
Jadi dia dan timnya mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuan siapapun. Dia bisa melihat tiga mobil merangsek dari garasi utama dan melemparkan peledak. Lagi-lagi informasi bocor tepat sebelum Aryo ditangkap. Kebetulan yang semakin mencurigakan. Kali ini Tommy Daud yang menjadi pahlawannya, karena dia yakin Wibowo akan jauh lebih senang Aryo mati.
Yang dia tidak prediksi bahwa Tommy berhasil menangkap Mahendra. Brengsek sialan. Jadi dia dan timnya mengejar dua mobil yang tersisa dan sedang pergi dari sana. Dalam salah satu mobil ada Mahendra.
***
"Hai, Hen. Apa kabar?" Tommy tersenyum menatapnya. Aryo berada di sebelahnya dan Tommy di kursi depan sebelah supir.
"Baik-baik. Sharon juga sehat harusnya. Udah ketemu?" Dia balas menatap Tommy.
Tubuh Aryo masih dibebat dan belum sembuh benar. Jadi laki-laki itu diam.
"Dan Sabiya baik-baik aja. Terimakasih karena sudah bisa menerima MM TNT gue dengan baik." Dia tersenyum menyebalkan pada Aryo.
"Nggak bisa langsung bunuh aja?" tanya Aryo pada Tommy yang terkekeh.
"Nggak bisa. Lihat tuh, udah ada yang nyusulin," jawab Tommy.
Matanya menatap lima motor Ducatti hitam yang sudah mengepung mobil yang mereka naiki. Fayadisa datang. Tommy sudah menyiapkan senjata sampai Aryo menarik pundak Tommy dan menggeleng.
"Itu orang ADS. Lo mau lolos nggak?" tanya Tommy kesal.
Mobil di belakang mereka sudah mengeluarkan senjata dan mulai menembaki motor-motor itu. Kemampuan bertarung tim Fayadisa sangat baik, hanya sedikit di bawah tim Black Command. Lihat saja, Faya sudah membuang motornya dan naik ke bangku salah satu motor lain. Tubuh Faya yang sangat seimbang dan ramping membuat gadis itu bisa melompat indah dan mendarat di atas kap mobil di belakang.
"Fa, gunakan MCE nya. Tombol ungu." Dia berujar pada earphone yang masih terpasang. Aryo meliriknya kesal lalu merebut earphone dari telinganya dan memasangkan pada telinga Aryo sendiri.
"Halo, Sayang. Missing me?" ujar Aryo pada Faya.
Mobil di belakang mulai menembaki Faya di atap mobil dan gadis itu berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
"Hai, Yo. Apa kabar? Gue sibuk di sini. Bisa bantu?" jawab Faya pada earphonenya. Suara Faya bisa dia dengar dari sini.
"Turun dari sana. Berbahaya," ujar Aryo lagi.
"Bilang sama Faya habis pencet tombol ungu, dia harus lompat," dia berujar pada Aryo di sebelahnya.
Aryo menatapnya kesal sementara Tommy geleng-geleng kepala lalu mulai membuka jendela untuk menembak.
"Tom, you shoot her, I will shoot you." Tangan Aryo mencengkram Tommy marah.
"Ya Tuhan, lo jatuh cinta sama Faya?" Tommy berdecak kesal.
Dia tertawa. "Baru tahu, Tom? Kemana aja?"
"How sweet. Sorry, gue susah-susah menyelamatkan lo bukan untuk ketangkep."
Lalu baku hantam tangan dimulai di dalam mobil. Sementara mobil di belakang sudah dilumpuhkan oleh Faya. Aryo sibuk menahan Tommy yang ingin mengeluarkan senjatanya. Sementara dia membantu Aryo.
"Shit, Yo. Brengsek lo." Tommy masih berusaha.
"Sharon ada di ADS, kalau lo lupa. Saat lo ke sana tim mereka bisa dengan gampang tangkap lo, Tom. Tapi mereka nggak melakukan itu." Aryo berteriak marah. "Kalau lo bunuh Faya, lo akan sama matinya. Paham?"
Faya sudah tiba di atap mobil mereka. Tommy menoleh ke arah supir yang bingung. "Jatuhkan dia."
Sebelum supir bisa menggoyangkan mobil mereka, pintu supir terbuka dan supir itu ditarik keluar. Fayadisa masuk ke dalam.
"Halo, gentlemen." Faya menutup pintu dan membuka helmnya. "Kita ke ADS, oke?"
"Not oke." Aryo menodongkan senjata ke kepalanya tiba-tiba. "Fa, gue nggak bisa bunuh lo. Tapi gue bisa bunuh Mahendra. Apalagi dia yang buat gue dan Doni begini."
Ekspresi Faya datar masih sambil mengendarai mobil. Posisi duduknya benar-benar di sebelah Aryo jadi dia paham ini akan sulit. Tangannya sendiri mulai bergerak ingin menampik senjata namun Aryo menarik pemicunya perlahan, mengancam.
"Hen, lo tahu banget kemampuan bersenjata gue sangat baik. Jangan buat gue bunuh lo di sini, paham?"
Tommy tersenyum konyol sambil mengangguk setuju.
"Suruh tim lo mundur, Fa," ujar Aryo lagi.
Faya sudah memberikan perintah melalui earphone-nya.
"Buang earphone lo." Aryo membuka jendela lalu membuang earphone yang terpasang di telinga. Faya melakukan hal yang sama.
"Kita bicara, seperti orang yang berpendidikan. Tolong stop baku hantam atau apapun yang berbau kekerasan." Faya berujar tegas. "Lo tahu? Gue bisa tabrakkan ini mobil ke jalur di sebelahnya biar kita semua celaka. Apa lo mau begitu?"
Dia bisa mendengar Aryo menghirup nafas panjang. "Oke, kita bicara."
Senjata sudah diturunkan dari kepalanya namun masih pada genggaman Aryo.
"Hey, sejak kapan kita bicara? Kita musuh? Ingat?" Tommy berujar cepat.
"Kata siapa?" Faya menatap Tommy sekilas. "Kalau lo musuh, saat lo ke ADS ketemu Sharon lo udah dibunuh. Lo tembak Mareno, brengsek!! Udah lupa?" sahut Faya ketus.
"Hey, koper yang gue pegang diledakkin Arsyad. Mareno brengsek, dia tidur dengan cewek gue," bela Tommy.
Kepalanya menggeleng dari belakang tidak mempercayai situasi yang konyol ini. Lalu dia mulai tertawa. "Ini benar-benar perkumpulan yang aneh. Serius. Lo mau mulai berantem sama Faya juga?" Dia menatap Aryo yang membuang pandangannya ke luar.
Faya membelokkan mobilnya ke luar jalur utama. "Gue tahu dimana kita bisa bicara."
Itu adalah sepuluh menit yang paling canggung dalam hidupnya. Bahu kanannya berdenyut nyeri karena ledakan di van tadi. Dia butuh koper P3Knya dalam satu jam ke depan atau kondisinya bisa berubah kritis karena kehabisan darah. Mata Faya meliriknya dari spion tengah, gadis itu mengerti.
Mereka berhenti di daerah pinggiran, entah dimana. Dia menahan dirinya untuk tidak mengaktifkan alat yang masih dia punya, atau Aryo akan mulai menghancurkannya. Faya membeli waktu, dia tahu itu. Karena lokasi dia dan Faya masih terpantau oleh Arsyad. Abangnya ada di belakang mereka dan sedang menyusul.
"Turun, gue pingin bicara empat mata dengan Faya." Aryo menatapnya tajam.
"Jangan harap," dengkusnya sinis.
Aryo mulai mengokang senjata lagi.
"Hen, turun dulu. Gue nggak apa-apa. Serius." Faya menganggukkan kepala.
Dia turun dengan berat hati, juga Tommy. Pintu mobil ditutup, sementara dia dan Tommy menunggu di luar. Tubuhnya berbalik menghadap Tommy dan mulai menghantam laki-laki itu yang tidak siap.
"Oh, gue sudah menunggu saat ini. Saat-saat gue bisa berhadapan berdua dengan lo aja." Dia tersenyum miring menatap Tommy. "Yang itu buat kebakaran di pondok."
Tommy mundur beberapa langkah sambil meludahkan darah dan tertawa.
"Kunyuk dasar." Tommy memasang kuda-kuda dan mulai menghantam juga.
Tapi fokusnya sempurna malam ini, dan adrenalin yang sudah terpacu sedari tadi membuat tubuhnya bisa menghindar cepat dan mendaratkan satu pukulan lagi.
"Itu buat van gue, brengsek!!" Bahunya masih berdenyut nyeri tapi dia tidak perduli. Dia benar-benar ingin menghantam Tommy.
Tawa kecil Tommy sudah di sana. Tommy mulai bergerak lagi dan berhasil memukulnya mundur satu kali.
"Itu buat keluarga lo yang terlalu sempurna," ujar Tommy sambil tersenyum miring.
Dia terkekeh kecil, ini menyenangkan. Lalu mereka mulai saling menghantam, demi semua alasan dan amarah yang terpendam, demi semua iri hati dan dengki yang sudah bersarang, demi kejadian masa lampau yang mau tidak mau melukai mereka semua dalam, juga demi keluarga yang mereka lindungi habis-habisan.
***
Tadinya mau gue potong di tengah. Tapi gue tahu itu JAHAD. Jadi batal deh....hehehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro