Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. The black helmet

Mahendra benci ketika tahu bahwa masih ada banyak hal yang dia tidak tahu saat genting seperti ini. Misal, matanya tidak bisa memindai cepat dimana letak peluru di tubuh Sabiya. Dan bodohnya lagi, dia tidak membawa koper canggih tempat alat-alat kedokteran yang dia ciptakan saat berangkat ke butik Sabiya. Karena ketika dia tahu mobil Aryo tiba di depan butik Sabiya, dia langsung berlari dan meninggalkan semua yang sedang dia lakukan sebelumnya.

Tim MG akan datang 3 menit lagi, sementara tugasnya saat ini adalah menghentikan pendarahan dan mengusap pipi Sabiya yang mulai dingin. Ini menyiksa, sungguh menyiksanya. Jantungnya seperti dicabut pergi perlahan. Arsyad dan Hanif masih mengejar Aryo yang pergi, sementara dia tidak akan meninggalkan sisi wanita ini. Tidak akan.

Kemudian ambulance MG datang dan tubuh Sabiya diangkat ke dalam. Dia terus menemani, menggenggam tangan Sabiya yang dingin dan tidak balas menggenggamnya lagi. Seluruh kemejanya sudah penuh dengan darah, dia tidak perduli. Ponsel dia angkat.

"Erick."

"Ya, Bos."

"Segera kirim serum SB-2 yang sudah disempurnakan ke MG. Sekarang. Cek ketersediaan darah di MG dan PMI, golongan A. Sekarang Rick, sekarang!!"

"Baik."

Satu tangan lain yang tidak menggenggam Sabiya sudah mengepal keras. Aryo Kusuma benar-benar membuat ini semua jadi lebih pribadi. Manusia gila itu harus dia singkirkan, harus. Tapi sekarang, dia akan memastikan Sabiya bangun. Sabiya harus bangun atau dia bisa gila.

***

Tim dokter terbaik MG sudah siaga ketika ambulance datang. Tubuh Mahendra ditahan oleh Aryan agar tidak masuk ke ruang operasi.

"Tunggu di sini, Hen. Lo tahu prosedurnya," ujar Aryan.

"Lakukan apapun, segalanya. Serum sudah lo terima? Apa persediaan darah cukup, golongannya A? Erick sudah kasih kabar soal stock di PMI?" Rahangnya mengeras dan dua tangan mengepal kuat.

"Semua siap. Tenang, Hen. Tenang dulu." Aryan masuk kembali ke ruang operasi.

Tubuhnya berjalan mondar-mandir gelisah kemudian dia mengangkat telponnya lagi.

"Erick, segera intai tempat-tempat Aryo singgah. Seluruh tempat singgahnya, restoran, bar, kantor Herman, rumah, apartemen, segalanya. Lacak semua, Rick. Saya akan beri akses Angel, lacak semua. Saya ingin tahu dimana Aryo, beritahu saya dimana dia."

"Bos, tapi Bang Arsyad bilang..."

"Kasih tahu ke gue sekarang!! Bos lo itu gue, bukan Arsyad."

Kepalanya menoleh dan melihat Arsyad serta Mareno berdiri di sana. Telpon dia sudahi.

"Bilang ke gue, kalau lo sudah bunuh Aryo," ujarnya sambil menatap Arsyad.

"Itu urusan gue, Hen. Gimana Sabiya?" jawab Arsyad dengan wajah keras.

"Lo harus bunuh dia atau sumpah gue akan bunuh dia sendiri!!"

Tania datang setengah berlari dengan jas dokternya dari arah lift. Mareno menariknya sebelum Tania masuk ke ruang operasi. Mereka berbicara sambil berbisik. Tania hanya mengangguk lalu menghampirinya cepat.

"Sabiya akan baik-baik saja, Hen. Kita semua akan pastikan itu," ujar Tania kemudian dia hilang di balik pintu besar ruang operasi.

"Tania akan memberikan semua informasi." Mareno menatapnya. "Hen, tarik nafas. Semua dokter terbaik dan peralatan yang paling canggih sudah ada di dalam. Mereka bahkan sudah terima serum dari lo, kan. Tenang dulu, Hen." Satu tangan Mareno menepuk pundaknya perlahan.

Tubuhnya sudah ingin berjalan cepat namun tangan Arsyad menahannya kuat.

"Stay. She needs us," ujar Arsyad sambil menatapnya tajam.

"I will kill that bastard. I will kill him!! Dia tembak Sabiya, ini Sabiya. Apa salahnya?" Dia berteriak tidak perduli. Bahunya ditahan kuat oleh kedua abangnya.

"Hen, marah tidak menghasilkan apapun, dan bisa menghancurkan segalanya." Suara Arsyad menggema di koridor rumah sakit. Masih sambil menahan tubuhnya yang meronta.

"Gue nggak perduli, manusia laknat itu harus mati."

"Hanif, Niko, Faya dan tim ADS lainnya masih kejar Aryo, Hen. Sabiya butuh kita di sini. Tenang dulu, tenang." Dua tangan Mareno memojokkan tubuhnya ke dinding dingin rumah sakit.

Lalu tubuhnya diam dan merosot turun ke lantai. Kepalanya menggeleng untuk menghilangkan seluruh bayangan wajah Sabiya yang pucat tadi, atau pada kemejanya yang penuh dengan darah wanita itu. Matanya terpejam dan logikanya mulai bekerja, menampilkan seluruh cara-cara efektif untuk menenangkan diri ketika emosi. Nafasnya dia atur lambat-lambat. Tapi kemudian gambaran itu berganti dengan wajah Sabiya, dan darah lagi. Ini tidak berhasil, logikanya tidak bekerja. Ketika dia membuka mata, Arsyad sudah tidak ada di sana, Mareno sedang bicara dengan Tania. Jadi, dia berlari ke arah lift dan mendengar Mareno yang mengejar di belakangnya sambil menghubungi Niko.

"Nik, siap-siap untuk lacak Mahendra. Gue coba stop dia dari sini," ujar Mareno.

Sayangnya, pintu lift menutup tidak lebih cepat dari tangan Mareno yang bersikukuh menahannya agar terbuka. Mareno meminta orang-orang lain segera keluar lift dan menyisakan mereka berdua saja. Tangan Mareno memijit tombol darurat hingga lift berhenti total, kemudian mereka berdiri berhadapan.

"Hen..."

"Ini...Sabiya, Ren." Matanya menatap Mareno tajam. Suaranya bergetar.

"Gue paham, Hen. Gue paham. Kita susun rencana dulu, setelah itu dengan senang hati gue bantu lo untuk bunuh Aryo. Jangan sekarang. Hanif, Niko dan Faya sudah di sana untuk cari jejak Aryo. Hanif bunuh orang, untuk pertama kalinya dia bunuh orang. Lo tahu apa artinya kan? Kita di sini, bareng-bareng. Sabiya itu adik kita semua, kayak elo."

Lalu air matanya bergulir jatuh. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia tidak bisa mengkontrol reaksi tubuhnya sendiri. Karena jantungnya berdetak terlalu cepat, hatinya terasa nyeri, kepalanya dipenuhi bayang-bayang Sabiya yang berdarah-darah tadi.

"Lo adik gue, Sabiya adik gue. Gue ngerti, Hen. Kita susun rencana setelah ini dan mulai berburu Aryo sebelum Herman kita jatuhkan nanti."

Dia masih diam dan berusaha menahan titik-titik air. Akhirnya dia mengerti bagaimana rasanya menjadi Mareno dulu, ketika Tania jatuh dari tebing. Atau bagaimana sakitnya menjadi Hanif, saat Faya tertangkap dan ditahan. Ya, dia mengerti.

"Serum lo selalu hebat. Dokter-dokter itu adalah yang terhebat. Tania bahkan bisa bangunkan gue dulu, dan Tania ada di ruang operasi sekarang." Mareno menelan salivanya, seperti menahan sakit juga karena semua insiden ini. "Jadi gimana?"

Lagi-lagi dia gelengkan kepala kuat.

"Lo lebih kuat dari gue, Hen. Lebih kuat dari ini semua." Satu tangan Mareno memeluk tubuhnya yang bergetar menahan emosi.

***

Sementara di ruangan rumah sakit lain beberapa jam kemudian.

Laki-laki bernama Niko sudah pergi dan William masih bertanya banyak hal padanya. Alexa memperhatikan wajah William yang menurutnya lebih banyak memiliki ekspresi penasaran daripada mengkhawatirkannya.

"Siapa yang ada di sana, Lexa? Kenapa bisa ada insiden sebesar itu sementara tidak ada satu pun beritanya di media?" Tangan William masih memeriksa ponsel, mungkin mencari berita. "Apa benar Sabiya tertembak? Dengan senjata api di negara ini? Apakah itu bahkan legal?"

"Siapa itu Daud, Will?" tanyanya tidak memperdulikan pertanyaan William sebelumnya.

William diam sejenak lalu menghirup nafas panjang. "Jangan dekati mereka."

"Siapa mereka?"

"Oke, keluarga Daud adalah keluarga yang kaya raya dan berkuasa. Mereka memiliki hampir sebagian usaha strategis di negeri ini."

"Usaha apa?"

"Kamu benar-benar belum pernah mendengar tentang mereka? Sama sekali?"

"Aku dengar mereka dari Sabiya beberapa tahun lalu saat Sabiya datang ke State menengok Ayahnya. Tapi aku nggak tahu siapa mereka, tetap saja."

"Macam-macam, usaha utama mereka bergerak di bidang pertanian. Mereka memiliki banyak kebun-kebun sawit yang tersebar di seluruh negeri ini, mereka juga punya usaha retail, dan saat ini anak-anak keluarga Daud bahkan memperkuat segalanya dengan merambah ke industri teknologi. ID Tech jadi perusahaan teknologi nomor satu di negeri ini. Belum lagi ADS."

Alisnya naik sedikit. "ADS?" Dia ingat benar dia melihat tiga huruf itu di seragam orang-orang yang datang di butik Sabiya tadi.

"Intinya, mereka berkuasa. Semakin berkuasa mereka, semakin berbahaya."

Sebelum dia sempat bertanya lagi Lidya sudah menghambur masuk ke ruang rawat sambil menghela nafas lega.

"Ya Tuhan, Lexa. Ya Tuhan." Tubuh Lidya berjalan mondar-mandir gelisah sekali. "Gue benar-benar lega, gue pikir lo terluka atau apa."

Lidya mendekatinya di tempat tidur dan memulai memeriksa tubuhnya.

"Lo lebam-lebam, Lexa. Lo ceroboh sekali."

"Oh, go to hell, Lid. Pergi sana."

Lidya tertawa. "I'm sorry, Honey. Gue khawatir."

"Dan khawatirmu buat kamu jadi orang super brengsek."

"Lexa, bahasamu." William mengingatkan.

Rahangnya mengatup karena menahan amarahnya sendiri. Kemudian kesalnya pergi ketika melihat helm hitam itu lagi.

"Aku harus pergi karena ada meeting sore yang penting. Besok pagi aku akan datang lagi." William berujar sambil menatapnya.

"Tidak perlu, Will." Matanya tidak lepas dari helm itu saja.

"Aku tetap akan datang, Lexa." William mencium pipinya sesaat kemudian pergi.

"Lex, Lexa hei!" Satu tangan Lidya melambai-lambai ke arahnya yang masih memandang benda hitam itu.

"Lid, tolong aku sesuatu."

"Apa?"

"Cari tahu siapa keluarga Daud. Anak-anaknya."

Lidya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Gue maafkan kebodohan lo kali ini, Nona muda. Mungkin lo satu-satunya wanita kaya yang nggak kenal dengan siapa keluarga Daud. Anak-anak dari keluarga Daud adalah yang terbaik di negeri ini, Sayang."

"Ceritakan, Lid."

"Yang paling terkenal, Mareno Daud. The Don Juan yang persentase ketampanannya membuat semua laki-laki iri dan yang perempuan dengan senang hati menunggu giliran mereka di atas tempat tidur. Ya, dia sehebat itu hingga sekalipun wanita-wanita itu tahu Mareno akan pergi, mereka tetap saja antri. Sinting. Mareno adalah CEO menjabat di ID Tech, perusahaan teknologi milik keluarga Daud."

"Kamu pernah dengannya?"

"Hampir. Tapi Mareno pemilih sekali. Hanya yang tercantik dan menarik minatnya saja."

Dia terkekeh mendengar nada kesal Lidya.

"Heey, Mareno juga belum tentu mau dengan lo. Dan sekarang dia sudah pensiun. Menikah dengan anak Bapak Menteri menjabat. Oh, padahal wanita itu biasa-biasa saja, nggak ada hebatnya."

"Kenapa jadi kamu yang kesal?" Dia tertawa lagi.

"Mareno anak ketiga. Anak kedua adalah Hanif Daud, si baik hati. Hanif terlalu lurus untuk berpasangan dengan lo, Lex. Nggak cocok." Lidya duduk di salah satu sofa sambil berusaha menyalakan rokok.

"Lid, ini rumah sakit. Ya Tuhan." Matanya melotot mengingatkan Lidya untuk mematikan rokoknya."

"Oh ya-ya-ya, dasar cerewet." Lidya batal menyalakan rokok kemudian melanjutkan. "Yang pertama adalah Arsyad Daud. Wajahnya menyeramkan, ada luka panjang di salah satu bagian wajah. Tampan dan berbahaya. Perpaduan yang menarik sebenarnya, tapi lo nggak akan mau memiliki pasangan yang cacat kan? Arsyad adalah pendiri ADS. Perusahaan yang bergerak di bidang keamanan. Kerja bareng polisi dan pemerintah."

Jadi laki-laki yang melempar motornya ke dalam butik adalah Arsyad Daud. Juga yang bertarung dengan si penjahat itu.

"Mahendra? Anak ke berapa?"

"Kamu sudah tahu Mahendra?"

Kepalanya mengangguk perlahan, bagaimana dia bisa lupa dengan satu-satunya laki-laki yang menghidupkan hatinya tadi.

"Gue nggak tahu banyak soal Mahendra. Karena dia manusia di belakang layar. Tapi yang gue dengar, segala teknologi yang diproduksi oleh ID Tech, adalah buatan Mahendra Daud. Dia otak dari ID Tech. Tapi berita tentang dia sepi. Dan lagian laki-laki yang terlalu pintar akhirnya tidak bisa dibodohi, Lex. Jadi lupakan Mahendra.

Lidya sudah berdiri. "Gue pikir semua karakter para laki-laki Daud tidak akan ada yang menarik minat lo, Lexa.

Dia diam, mencerna semua informasi itu di kepala. Urutannya adalah Arsyad, Hanif, Mareno dan Mahendra. Kemudian jantungnya mulai bereaksi lagi hanya dengan mengingat nama itu saja. Mahendra Daud.

"Tolong aku satu lagi, Lid. Aku ingin bertemu dengan Mahendra Daud. Buatkan janji temu dengannya. Tolong aku."

Ponsel Lidya berdering dan nama Carro terpampang di layar. Satu tangannya menunjuk pada helm meminta tolong Lidya untuk mengambil helm itu dan menyerahkan padanya. Lidya melakukan apa yang dia minta sambil masih menjawab pertanyaan-pertanyaan Carro. Sedangkan dia, duduk di atas tempat tidur rumah sakit memegang dan menatap helm hitam Mahendra.

"Hey, Carro bertanya soal janji temu malam ini dan gue sudah bereskan. Dia malah tambah mau bertemu lo lagi, Lex. Yah, terkadang kejadian buruk juga bisa menjadi publisitas yang bagus."

Pikirannya tidak berada bersama Lidya yang terus mengoceh. Jadi ketika Lidya pamit keluar untuk membereskan masalah administrasi dan mencari dokter yang tadi memeriksanya, dia hanya mengangguk saja. Kemudian setelah dia sendiri di dalam kamar, dia mengenakan helm itu lagi.

"I am Angel. Welcome guest. Saya akan putarkan musik dengan volume yang disesuaikan atas permintaan dari Tuan Mahendra Daud. Silahkan menikmati."

Pikirannya sudah terbang melintas pada memori saat Mahendra bertarung di dekatnya ketika lagu Coldplay mulai mengalun dan memenuhi telinga. Perlahan tapi pasti, jantung dan hatinya bereaksi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro