Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. When I leave

Arsyad menatap nama-nama yang terpampang di hadapannya. Dia sedang berdiri di black room setelah mendapatkan laporan lengkap dari Mahendra. Seluruh nama-nama pion lama Herman ada di sana serta status mereka di pemerintahan saat ini. Ada tujuh nama, namun yang masih hidup dan memiliki posisi strategis di pemerintahan ada tiga. Dua lainnya sudah mati dan dua lagi tidak berada di sektor pemerintahan melainkan pemilik usaha strategis di negerinya. Dan salah satunya adalah keluarga William Wongso. Hal itu menjelaskan kenapa William tidak menutupi perpindahan dana rupa-rupa dalam perusahaannya. Karena ayahnya sudah tahu. Kemudian lima nama itu dia sebar di layar.

"Angel, tampilkan seluruh badan usaha keluarga Daud beserta pimpinan menjabat."

"Baik."

Angel sudah menampilkan seluruh badan usaha yang keluarganya kelola.

"Kaitkan jika sektor industrinya terhubung."

"Memproses."

Layar menampilkan gambar-gambar cepat yang berganti karena Angel sedang memeriksa seluruh keterkaitan badan usaha milik keluarga mereka disandingkan dengan seluruh posisi orang-orang Herman terdahulu. Ada lima badan usaha milik pion Herman dan 11 perusahaan milik keluarga besarnya.

"Hilangkan ADS, ID Tech dan Natabumi dari daftar," perintahnya. Ya, karena tiga perusahaan itu dijalankan oleh adik-adiknya atau dia sendiri.

"Menghilangkan."

Tersisa lima dan delapan milik Daud. Ada dua yang dikelola Herman, dan Angel sudah menandakan dengan garis merah di layar bersama dengan perusahaan William. Lalu perusahaan utama yaitu Sanggara Buana yang langsung terkait dengan posisi tiga orang pion Herman yang duduk di pemerintahan. Kemudian perusahaan milik Almira yang juga langsung terkait dengan salah satu pion Herman.

"Angel, hubungi Mahendra."

"Menghubungi Tuan Mahendra Daud."

"Ya, Bang."

"Lo di depan layar?"

"Sebentar."

Dia mendengar suara Mahendra yang setengah berbisik kemudian hening. Adiknya itu aneh sekali belakangan ini.

"Sudah, Bang. Sebentar, gue sambungkan dulu."

Suara ketikan cepat pada keyboard terdengar lalu layar di hadapannya berkedip tanda Mahendra sudah melihat apa yang dia lihat.

"Wow, pekerjaan kita banyak."

"Ya, tolong cek seluruh laporan keuangan Coconut Tree dan Great Giant Apple milik Nugraha Daud dan semua laporan perusahaan milik Almira."

"Punya Om Lesmana nggak sekalian?"

"Hanya restoran dan bar." Dia berpikir cermat sejenak. "Ya, cek juga. Kegiatan money laundry bisa dilakukan pada perusahaan yang cash flownya cepat."

"Oke."

"Lo sudah bisa masuk ke sistem komunikasi Herman? Kita harus tahu seluruh pionnya dan apakah ada kaitannya dengan usaha keluarga kita. Setelah itu kita harus cek seluruh dokumen keluarga, Hen. Kenapa Paman Ardian menandatangani kegiatan ilegal Herman."

"Setelah itu kita jatuhkan pionnya?"

"Ya, tapi kita harus hati-hati agar perusahaan keluarga kita tidak ikut runtuh juga. Lo tahu selain kita berempat semua anggota keluarga lain sangat bergantung dengan perusahaan itu."

"Audra sudah tahu?"

"Dia akan tahu, sebentar lagi. Sesuatu yang ditutupi akan mengundang kecurigaannya juga. Audra sedang menyelidiki semua, Hen. Sama seperti kita."

"Oke, kasih gue waktu dua tiga hari. Butuh waktu untuk cerna semua dokumen dan jebol komunikasi Herman."

"Lebih cepat, Hen. Herman sudah bergerak. Dia sudah bertemu dengan wapres menjabat. Pion-pion yang baru sudah digerakkan. Karena itu gue harus tahu status pion lama, kecuali William Wongso yang sudah jelas."

"Bang, ini soal kekuasaan. Daftar nama pion lama bukan orang sembarangan, uang nggak akan jadi masalah buat mereka. Gue yakin 90% pion-pion lama masih menyatakan kesetiaan dengan Paman kita tersayang itu."

Kepalanya mengangguk setuju. "Gue hubungi Bayu."

Hubungan dia sudahi. Dua tangan mengusap wajahnya perlahan. Jika situasi seperti ini, pertemuan yang dia hindari harus terjadi juga. Pertemuan para tetua keluarga konglomerat, dan ini termasuk ayahnya. Dia harus meminta keterangan dari mereka. William harus dihentikan, juga satu keluarga besar lainnya. Orang pemerintah dia akan urus bersama Bayu.

"Tuan El Rafi Darusman menghubungi menggunakan jalur khusus," ujar Angel tiba-tiba.

"Sambungkan," sahutnya kemudian system itu berbunyi bip. Layar menampilkan El Rafi yang sedang duduk di dalam kantor pribadinya. "Halo, Raf."

"Halo, Syad. Apa kabarmu?"

"Baik. Ada apa?"

"Maaf mengganggu waktu sibukmu, Syad. Tapi ini penting sekali."

"Saya mendengarkan."

Tubuhnya duduk perlahan dengan mata masih memperhatikan layar. Mendengarkan informasi yang Rafi paparkan.

***

Herman berada di atas podium, sedang melakukan pidato pembukaan atas proyek penting perusahaannya yang bekerja sama dengan kementrian pertanian dan juga kementrian perdagangan.

"Saya sendiri yang akan menjamin bahwa perusahaan besar kami akan menggunakan bahan baku dari dalam negeri sendiri dan bergerak bersama pemerintah untuk memajukan industri pertanian dalam negeri." Herman menjelaskan di hadapan para tamu yang dia undang.

"Bagaimana dengan kondisi import kapas dan beras yang masih tinggi?" tanya salah satu wartawan.

"Karena itu perusahaan saya akan memberikan bimbingan-bimbingan untuk para petani agar hasil panen mereka lebih baik kualitasnya daripada dengan apa yang selama ini kita import. Sudah pasti nama besar Sanggara Buana juga akan mendukung kegiatan pelatihan ini. Setelah hasil panen membaik dan stabil, saya yakin pemerintah akan setuju untuk membatasi import terkait."

"Tapi Ardiyanto Daud kondisinya masih tidak diketahui."

Wajah Herman berubah muram. "Kakak saya, akan baik-baik saja. Saya akan memastikan itu. Rencana saya sudah saya bahas dengan pimpinan sementara yang menjabat dan mereka setuju. Ini demi kebaikan bangsa, jadi saya akan melakukan apa saja untuk memastikan proyek ini berhasil. Ditambah lagi, hakikat negara ini adalah kemakmuran bersama. Jadi ini bukan untuk saya, ini untuk para petani di luar sana yang selama ini masih kesulitan."

Tepuk tangan riuh dari para tamu yang sebagian besarnya adalah pemilik usaha tani menengah ke bawah sudah terdengar. Herman menutup dengan beberapa kalimat lagi yang makin membuat para tamu terpukau, kemudian turun dari atas podium.

"Apakah karena itu orang kementrian hari ini hadir? Kalian sudah membuat kesepakatan?" tanya wartawan.

Herman hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Proyek-proyek perusahaan anda beberapa bulan ini benar-benar proyek yang strategis juga fokus pada pengusaha tani menengah ke bawah. Apa inisiasi proyek adalah dari anda?" tanya wartawan lain.

"Ya, saya merasa benar-benar harus melakukan sesuatu kali ini."

"Nama anda sudah disebut sebagai calon pengganti Menteri dalam negeri. Apakah anda tertarik?"

"Saya hanya tertarik pada apapun posisi yang dimana saya bisa tetap memastikan proyek saya berjalan. Jika posisi itu mendukung saya untuk memperbaiki negeri, saya tertarik. Jika tidak, mohon maaf saya lebih baik tidak menjabat."

"Cukup dulu, cukup dulu." Para petugas lapangan Herman membatasi agar Herman bisa masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempat acara.

Di dalam mobil.

Ponselnya berdering ketika mobilnya sudah melaju.

"Kamu luar biasa. Bapak Presiden benar-benar tertarik dan ingin menemuimu. Posisi itu bisa dipastikan sudah jadi milikmu." Sang wapres menghubungi sambil tertawa senang.

Senyumnya makin lebar. "Saya menunggu, secepatnya."

***

Safe House

Koper hitam sudah penuh dengan alat-alatnya, baju khusus sudah Mahendra kenakan. Dia sudah siap pergi. Tubuhnya berdiri sambil menatap layar CCTV. Alexa sedang duduk di sofa ruang tengah setelah pulang dari lari sore.

Wajah cantik itu berpeluh, dengan rambut diikat ke atas dan setelan training warna biru, bukan magenta yang waktu itu dia kenakan saat mereka... nafasnya dia hela. Biasanya, tidak ada yang mengkhawatirkannya, atau menunggunya seperti sekarang. Jadi ketika abangnya memanggil untuk sebuah misi, dia tidak sentimentil begini. Lihat dia sekarang, terpaku pada sosok itu. Tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Pamit dengan sopan? Atau pergi saja tanpa memberi tahu Alexa agar wanita itu tidak khawatir? Nafasnya dia hirup lagi kemudian dia berjalan ke bawah membawa perlengkapannya.

"Hai, kamu mau pergi?" Alexa sudah melepas jaket dan menyisakan kaus olahraga berwarna putih. Tubuh wanita itu berdiri dan tersenyum padanya.

Dia mengangguk. "Makan malam ada di kulkas. Kamu tinggal hangatkan di microwave."

"Mau kemana?" Mata Alexa memindai tubuhnya cepat dan juga koper yang dia bawa, tidak mengindahkan apa yang dia katakan soal makan malam tadi.

"Pekerjaan." Dia menyesal mengenakan belt senjatanya sekarang, harusnya nanti.

Tubuh Alexa berputar ke belakang tubuhnya yang masih berdiri diam.

"Dengan pistol?" Alexa sudah kembali berada di hadapannya. Harusnya dia pergi ketika Alexa sedang lari sore tadi.

"Ini pekerjaan biasa."

"Pekerjaan biasa dengan pistol? Dan koper yang aku yakin isinya alat-alat peledak atau apapun itu seperti kemarin saat aku masuk ke red zone."

"Ya, itu definisi pekerjaan untuk aku."

Wajah Alexa pucat seketika.

"Jaga dirimu. Lexy akan melakukan segala yang dibutuhkan untuk melindungi kamu di dalam rumah ini. Jadi kamu aman di sini. Tenang saja." Dia mulai melangkah karena tidak tahan melihat ekspresi wajah Alexa.

"Jangan pergi." Tubuh Alexa mengikutinya di belakang.

Dia memasukkan kode garasi utama dan menapaki tangga ke bawah.

"Aku akan pulang. Ini pekerjaan biasa."

"Bagaimana kalau kamu tidak pulang?"

"Kemampuan kami di atas rata-rata dan itu menaikkan resiko hidup 20% sampai 30%." Dengan cepat dia memilih mobil besar Arsyad di sana. Ya, karena Bentley Bentayga-nya rusak total dan pemesanan yang baru membutuhkan waktu.

"You talk dirty again, and now I hate it."

Talking dirty adalah bahasa Alexa ketika wanita itu tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tangannya membuka pintu belakang dan memasukkan koper hitam yang dia genggam.

"Mahendra Daud, I'm serious, don't go." Satu tangan Alexa mencengkramnya lengannya kuat.

Tubuh mereka berdiri berhadapan. Dia menatap mata biru itu sambil satu tangan membetulkan letak rambut Alexa. "Ini adalah salah satu reaksi yang berlebihan. Aku sudah bilang aku tidak suka yang berlebihan."

Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Alexa. "I don't care because I'm worried."

Nafasnya dia hela. Berusaha menenangkan dirinya sendiri juga melihat reaksi Alexa. "Tutup matamu. Jangan buka sampai aku bilang buka."

Cengkraman tangan Alexa menguat tapi wanita itu menutup matanya perlahan lalu satu air mata jatuh bergulir. Dia memasangkan wireless earphone pada telinga Alexa kemudian menutup jarak mereka perlahan. Hanya ada satu cara agar Alexa melepaskan tangannya yang masih mencengkram lengannya sendiri. Kepalanya dia miringkan dan dia mencium lembut bibir Alexa. Wanita itu berjengit kaget namun menyambut bibirnya. Saat tangan Alexa terlepas, dia melepaskan diri juga.

"Jangan buka mata dulu. Aku belum meminta."

Alexa berdiri di sana, menuruti permintaannya.

"Lexy, tolong pasangkan musiknya."

Lalu lagu dari musisi favoritnya mulai berputar. Lagu pertama yang ada di playlistnya. Coldplay, sky full of stars mengalun indah. Bibir Alexa tersenyum kecil. Pipi Alexa dia cium singkat kemudian dia masuk ke dalam mobil, membuka pintu garasi utama dan berlalu dari situ meninggalkan Alexa yang menunggunya pulang.

Dia berujar pada earphone yang dia gunakan. "Kemarin kamu minta aku ajarkan mencuci pakaian dan itu belum aku lakukan. Jadi aku akan pulang. Kamu sudah bisa menyalakan kompor, jika aku pulang malam ini, besok pagi kamu harus membuatkanku sarapan. Can you promise me?"

Alexa terisak di ujung sana. Layar pada mobilnya sudah memperlihatkan Alexa yang masih berdiri di tempat yang sama. Berusaha menghapus air mata dari matanya yang masih terpejam.

"Hey, hey, anak cengeng. Ini hal yang aku biasa lakukan. Ini diriku, Lexa. Seperti kamu dan segala ketenaranmu itu. Do you want to compromise, atau kita nggak bisa bersama?"

"Itu bukan pertanyaan, itu ancaman. Dasar menyebalkan."

Dia tertawa. "Kamu boleh buka matamu, Lexa."

"Aku tidak mau."

"Ayolah, ada apa?"

"Karena kamu tidak akan ada."

Seluruh hormon itu mulai bekerja lagi. Membuat dia benar-benar merasa sentimentil. Tapi entah kenapa dia mulai terbiasa dan menikmati seluruh sensasinya. Ini kali pertama, untuk apa? Segalanya. Untuk seluruh reaksi tubuhnya ketika bersama Alexa, untuk pandangan memuja, untuk kata-kata manis dan senyum tulus Alexa, untuk perasaan kuat ingin melindungi dan memiliki Alexa hanya untuk dirinya saja. Ya, dia mulai menikmati ini. Tenggelam dalam ekstasi.

"Aku akan menghukummu, Mahendra Daud."

Dia terkekeh lagi, matanya sesekali melihat ke layar. "Dengan apa?"

"Dengan tidak membuka mataku dan tetap di sini sampai kamu kembali."

Pintu garasi sudah tertutup. Wanita itu duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Alexa benar-benar gila.

"Jangan duduk di situ, ya Tuhan, Lexa. Kenapa kamu kekanakkan sekali?"

"Seumur hidupku aku sendiri. Aku benci sendiri. Sejak aku berada di sini aku tidak merasa sendiri. Jadi ini hukumanmu. Cepat pulang atau aku akan pingsan kaku di sini. Dasar manusia aneh yang terlalu jenius dan sangat menyebalkan."

"Wow, kamu memaki. Kemajuan bagus." Dia tertawa lagi. Matanya melihat Alexa tidak beranjak dari sana. "Tunggu aku di atas, Lexa. Di sofa yang nyaman, jangan di situ, atau aku matikan semua lampunya."

"Kamu tidak akan berani."

Dia diam sejenak. "Ya, aku tidak akan berani." Dering ponsel terdengar masuk. "Arsyad memanggil. Tolong naik ke atas untukku, apa bisa? Lexy akan menemanimu."

"Aku tidak janji."

"Baiklah. Aku tetap harus pergi. See you."

Hubungan disudahi. Dia mengangkat telpon dari Arsyad.

"Ke markas besar kumpul dulu. Niko dan Leo sudah di lapangan. Kita berangkat dari sini."

Matanya masih tidak lepas dari layar. Alexa masih duduk di sana. Memeluk lutut sambil memiringkan kepala.

"Mahen, lo dengar?"

"Ya, Bang. Gue lagi jalan ke sana. Faya ikutan?"

"Faya dan Hanif masih cuti."

"Oke."

Suara Arsyad sudah menghilang sementara matanya masih menatap layar yang menunjukkan wanita keras kepala itu masih di sana. Lalu bibirnya tersenyum karena hatinya terasa hangat sekali.

"Lexy, jaga Alexandra baik-baik. Minta dia naik ke atas. Turuti apa maunya. Hubungi saya jika ada yang berbahaya."

"Baik, Tuan."

"Putarkan lagu pada track ketiga, bilang padanya itu lagu untuknya."

"Dimengerti."

Musik yang sebelumnya sudah berhenti karena mereka bicara mulai berputar lagi. Dia bisa mendengar hal yang sama dengan apa yang Alexa dengar di sana dari mobilnya. Lagi-lagi salah satu lagu coldplay, hymne for the weekend.

Oh, angels sent from up above
You know you make my world light up
When I was down, when I was hurt
You came to lift me up
Life is a drink, and love's a drug
Oh now I think I must be miles up
When I was hurt, withered, dried up
You came to rain a flood

***

Dikasih link lagunya ya. Deg-deg an nggak buat part besok?

https://youtu.be/HJrKVYJdABc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro