Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Test and Trial

Sharon melingkarkan lengannya pada tubuh Tommy Daud. Mereka berada di tempat tidur setelah menghabiskan malam panjang yang indah karena Tommy baru kembali setelah berbulan-bulan menghilang. Kepalanya bersender di dada bidang Tommy yang polos. Setengah tubuh mereka tertutup selimut.

"Jangan pergi lagi, aku kesepian," ujarnya sambil menatap wajah Tommy yang menerawang.

Satu tangan laki-lakinya itu memainkan rambut panjangnya, namun Tommy diam saja. Laki-lakinya itu sedang gusar.

"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?"

"Banyak."

"Salah satunya tentang aku?" Dia tersenyum kecil. Biasanya Tommy akan membalas dengan kata-kata tajam dan sinis. Lalu menyalahkannya lagi atas perselingkuhannya dulu dengan Mareno Daud. Dia sudah berhenti berharap Tommy akan lupa dan memaafkan kesalahannya yang itu.

"Terutama tentang kamu. Apa kamu berselingkuh lagi selama aku tidak ada?"

Dia terkekeh kecil. "Aku berada di ADS, tempat yang penuh dengan orang-orang suci. Sebentar lagi aku keluar dan jadi guru ngaji."

Tommy tertawa kecil. "Harusnya kamu aku titipkan di tempat rumah bordil. Mungkin kamu lebih senang."

"Aku tetap akan menunggumu saja. Tidak mau pelanggan lain, pastinya." Jarinya memutar perlahan di atas dada Tommy.

"Aku akan membunuh semua yang berani menyentuhmu, atau yang kamu sentuh. Paham?" Nada Tommy datar saja, tidak seperti biasanya yang dingin dan penuh dengan ancaman.

Kepalanya mengangguk perlahan. Satu tangannya tadi makin turun ke bawah, setelah sebelumnya berputar di atas perut. Dia merindukan laki-lakinya, sangat merindukannya.

"Apa Arsyad datang ke sini?"

"Ya, beberapa kali untuk memeriksa kondisiku. Aku bosan, aku ingin keluar."

"Kemarin mereka berpesta, Hanif menikah. Ya kan? Kamu nggak datang?"

Dia menggeleng. "Itu bukan pestaku. Aku seperti berada di dunia asing. Mereka terlalu sopan, baik, disiplin. Apa kamu tahu mereka mulai aktifitas di sini pukul tiga pagi dan selalu dimulai dengan berdoa. Arsyad memimpin mereka. Mereka aneh, asing. Sekalipun aku merasa lebih tenang di sini, juga aman. Aku percaya mereka. Seperti semua berjalan mengalir begitu saja."

Tommy terkekeh. "Ya, kita pasti merasa asing karena kita pendosa."

"Aku tidak perduli, asal bersamamu, aku tidak perduli dimana aku." Tangannya membelai lembut di balik selimut bawah sana dan dia merasakan Tommy bereaksi lagi. "Jangan pergi lagi. Atau, bawa aku pergi dari sini."

Mata Tommy yang hitam menatapnya dalam. Satu tangan laki-laki itu mengangkat wajahnya. "Kamu lebih aman di sini. Urusanku belum selesai."

"Apa kamu akan membunuh mereka?"

"Mungkin, jika mereka ingin membunuhku, atau kamu."

"Mereka nggak akan sakiti aku." Dia menghirup nafas perlahan sebelum melanjutkan. Berhati-hati pada kalimatnya setelah ini. "Apa bisa kamu tidak menyakiti mereka?"

Tommy tersenyum kecil. "Apa-apa yang aku tahu, akan menyakiti mereka pada akhirnya." Bibir Tommy mendesaknya tiba-tiba. "Jangan bicara lagi."

Dua tangan kuat Tommy mengangkat tubuhnya hingga dia berada di atas tubuh laki-laki itu. Dia mengerti, Tommy sama rindunya seperti dia sendiri.

***

Safe house

Hubungannya dengan Alexa menjadi canggung, dan aneh. Bagaimana tidak aneh, mereka berciuman dua kali. Ya Tuhan. Ada apa dengan otakmu, Mahendra. Ini semua baru untuknya, sangat-sangat baru. Dan ini sesuatu yang tidak dia paham dan mengerti. Dia bahkan tidak merencanakan ini.

Oke, tenang Hen. Jangan panik. Mungkin itu hanya ketertarikan sesaat.

Ya, bisa jadi. Tapi mereka mengulanginya lagi di kamarnya sendiri. Dan sungguh dia tidak ingin berhenti. Apa yang dia rasa, seluruh reaksi tubuhnya ketika berdekatan dengan Alexa seperti adiksi. Dia berhasil menutupi gugupnya kemarin, tapi setelah Arsyad pergi, dia benar-benar menghindar. Sekalipun dia memang punya tugas lain dari Arsyad yang harus diselesaikan. Alasan lo, Hen.

Pagi ini dia belum ke luar dari kamar sejak semalam. Dia bahkan mengabaikan perutnya yang lapar sekali. Karena dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan dengan Alexa jika mereka bertemu. Dia selalu ingin menyentuh wanita itu, tapi dia tahu dia tidak boleh. Harusnya Sabiya, kan? Kenapa jadi begini?

Segalanya bisa dijelaskan oleh science, Hen.

"Lexy, berapa kadar oksitosin dalam tubuh saya?"

"Memindai. Kadar oksitosin dalam tubuh Tuan saat ini lebih tinggi 15% dari kadar normal menurut table ­p-value."

"Itu masih normal kan?"

"Maksimal tubuh menerima oksitosin adalah 40 unit per satu liter cairan. Saat ini kondisi anda normal cenderung tinggi. Pada kondisi anda tertawa oksitosin dalam tubuh anda hanya 10% lebih tinggi."

"Plus minus 5% masih baik, Lexy."

"Ketika anda berdekatan dengan Nona Alexa hormone oksitosin anda akan melebihi 20% peningkatannya. Terlebih lagi ketika anda dan Nona Alexa berciuman kemarin. Karena itu frekuensi jantung anda naik, Tuan. Efek samping dari oksitosin yang berlebih tidak berbahaya. Hanya saja hormon itu akan memblokir rasa sakit yang terjadi pada anggota tubuh yang lain."

"Sh*t." Dia menelan salivanya sebelum melanjutkan. "Bagaimana, ketika saya berada bersama Sabiya."

"Menurut catatan saya selama anda dan Nona Sabiya bersama di area ini, kadar oksitosin anda hanya naik 5% saja. Tapi kortisol anda naik 10% lebih tinggi. Anda cemas dan gugup."

"No, no, no. Nggak mungkin saya salah duga."

"Anda tidak pernah meminta data ini sebelumnya, jadi analisa perilaku anda hanya berdasarkan praduga saja. Tidak valid."

"Dan kamu baru saja bilang itu sekarang, Lexy?"

"Anda tidak meminta, Tuan."

"Kenapa sekarang kamu membantah saya?" Mahendra menggeram kesal.

"Pesan dari Nona Alexa pagi ini. Dia menunggu anda turun karena dia tidak bisa memasak dan anda belum makan sejak semalam."

"Hubungi Hanif, dan jangan menguping."

"Tuan Hanif sedang tidak ingin dihubungi."

Ah, dia lupa Hanif masih asyik dengan Faya. Hanya Hanif yang memiliki jawaban atas perilakunya sendiri yang aneh sekali. Apa dia salah duga selama ini? Segala kemarahannya untuk Aryo, segala kecemasannya pada Sabiya, apakah itu hanya karena mereka memang dekat sejak kecil? Apa sebenarnya dia hanya merasa Sabiya adalah saudara perempuannya saja? Seperti dia yang sangat perduli dengan abang-abangnya, dan pasti akan sama murka ketika abangnya terluka.

Pintunya diketuk dari luar. Sudah ada sosok wanita yang membuatnya resah berdiri di sana.

"Hen, apa kamu nggak lapar? Aku ingin buatkan sarapan, tapi aku selalu punya masalah dengan kompor di bawah."

Lebih dari setengah dirinya ingin keluar dan melihat Alexa, tapi bagaimana dia harus bersikap? Seperti apa? Dia bukan Mareno yang memang terbiasa dengan wanita, atau Hanif yang selalu ramah pada siapa saja. Bagaimana ini?

"Anda bisa bersikap normal seperti menyatakan perasaan anda."

"Lexy!! Kamu nggak membantu."

Kakinya melangkah menyerah. Dia bukan pengecut, jadi dia hanya akan menghadapinya saja.

"Hai, pagi." Wajahnya dia buat sedatar yang dia bisa.

Alexa tersenyum singkat. "Kalau kamu banyak pekerjaan, ajarkan aku memasak. Setelah itu aku bisa memasak untukmu."

Kenapa Alexa bersikap manis begini. Dan lihat rambutnya yang setengah basah itu, atau dress cantik sedikit di atas lutut dan memperlihatkan kaki jenjangnya yang tidak mengenakan alas kaki, belum lagi wangi lembut dari sabun mahal Alexa. Dia benar-benar bisa gila.

Tubuhnya turun dengan Alexa yang membuntuti. "Kamu bisa sarapan sereal yang tidak perlu dimasak."

Mereka sudah sampai di dapur dan dia segera mengeluarkan bahan makanan dari lemari pendingin. Dia akan menyelesaikan ini cepat.

"Hen, aku bisa tidak makan dua hari. Asal minum dan makan buah. Aku mengkhawatirkanmu." Ada jeda sesaat. "Biasanya porsi makanmu banyak, tapi lalu kamu tidak makan sejak kemarin. Maksudnya, agar bisa berpikir baik kamu harus makan kan?"

Dia tidak menyahut. Memilih fokus pada kegiatan memasaknya saja. Tubuhnya terus bergerak, sementara dia mengerti Alexa memperhatikannya heran. Tanpa dia duga, ketika dia sedang membelakangi tubuh Alexa dan sedang memotong bahan makanan, Alexa memeluknya lembut dari belakang.

"Stop it. Kamu mau sarapan sereal aja? Aku bisa makan apapun," ujar Alexa perlahan.

Pisau dia letakkan perlahan. Matanya memperhatikan lengan Alexa yang ramping dan melingkar di pinggangnya. Jantungnya sudah berantakan. "Kenapa berubah pikiran?"

"Kamu resah. Apa ada sesuatu yang terjadi? Berita buruk dari Arsyad?" tanya Alexa perlahan sambil meletakkan kepala di punggungnya.

No. It is you!! Apa yang Hanif akan lakukan jika berada di situasi ini? Apa? Pikir, Hen! Tapi lo bukan Hanif. Jadi diri lo sendiri aja, Hen.

Dia menelan salivanya perlahan setelah menghirup nafas panjang. "Saya, tidak suka segala sesuatu yang berlebihan," ujarnya perlahan.

"Maksudnya?"

"Kadar oksitosin saya berlebihan, jika saya berdekatan dengan kamu. Lebih dari 20% dan itu tidak baik."

Alexa melepaskan pelukannya. "Apa oksitosin itu berbahaya? Kamu sakit, Hen? Apa itu bisa menyebabkan kanker?"

Reaksi spontan Alexa dan nada suaranya yang panik karena benar-benar tidak mengerti dengan bahasanya membuat ledakan rasa yang dia tahan keluar juga dengan tertawa. Tubuhnya berbalik menghadap Alexa yang benar-benar terlihat pucat.

"Kenapa kamu selalu tertawa? Aku benar-benar serius, Mahendra. Apa kamu sakit?"

Satu tangan Alexa sudah berada di dahinya, mengecek suhu. Itu semua membuat dia tambah tertawa. Betapa berbedanya mereka hingga bahkan bahasa mereka berbeda, tapi herannya mereka bisa sampai pada titik ini. Semua benar-benar aneh, tidak bisa dia jelaskan sendiri. Setelah puas tertawa sementara Alexa bertolak pinggang kesal menatapnya, dia mengangguk kecil masih mengulum senyum. Perasaannya sedikit lega setelah tertawa.

"Ya, aku sakit," jawabnya.

"Serius? Sakit apa? Kenapa kamu tertawa?"

"Karena sakitku parah sekali."

"Hah? Apa tidak ada obatnya?"

"Ada. Dia sedang berdiri di depanku sekarang."

Alexa memukul pundaknya. "Jangan bercanda, Mahendra. Aku serius. Apa Arsyad tahu? Atau saudaramu yang lain? Kamu sudah ke dokter?..."

Sebelumnya dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Sekarang, setelah memaparkan fakta dan data, dia tahu dia hanya harus menjadi dirinya dan menghadapi ini saja. Test and trial for the perfection. Sisanya, dia akan tanyakan pada Hanif nanti.

"Jawab, Hen. Aku bisa mengantarmu ke MG untuk..."

"Kamu berisik sekali pagi-pagi."

Tubuh Alexa dia angkat agar duduk di kitchen island di belakang wanita itu.

"You smell so good." Dia berbisik sambil mendekatkan wajahnya pada Alexa. Lalu bibirnya tiba di pipi Alexa.

"Mahen, kamu harus periksa. Aku serius," ujar Alexa. Dahi Alexa masih berkerut cemas.

Dia berhenti sejenak, menatap mata biru satu-satunya wanita yang sungguh memujanya dari pertama. Wanita yang hanya melihatnya saja, sekalipun banyak laki-laki yang lebih hebat dari dirinya sendiri. Lalu dia tenggelam pada biru mata itu.

"Aku sudah bilang, aku sudah punya obatnya. Jangan cemas lagi. Dahi yang berkerut membuat proses penuaan lebih cepat 3 kali."

Alexa terkekeh antara kesal dan geli. "Really?"

"Ya, sekalipun bisa diatasi dengan vitamin B, peptide, copper untuk meningkatkan produksi kolagen, atau koenzim Q10."

Senyum Alexa makin lebar. "I love it when you talk dirty like that. Can you make it one for me, Professor?"

Kaki panjang Alexa sudah melingkari pinggangnya. Mendekatkan tubuh mereka. Dia tidak mengindahkan pertanyaan tadi dan mulai mencium bibir lembut yang terasa manis milik Alexa, menikmatinya lama-lama.

***

Hari lainnya.

"Jadi kapan, Lexa? Sudah satu minggu kamu menghilang," keluh Lidya di seberang sana.

Setelah acara pernikahan Hanif, baru kali ini dia menghubungi Lidya lagi karena akses yang baru saja dikembalikan padanya.

"Entah." Dia tersenyum lebar khas orang kasmaran sambil berbaring di tempat tidur. "Aku belum ingin, Lyd."

"Hey, jangan bercanda."

"Aku dan Mahendra..." dia tidak bisa meneruskan karena dadanya terasa sesak oleh rasa bahagia. Juga perutnya yang geli mengingat ciuman mereka.

"Apa? Keluarga Daud itu keluarga yang berbahaya, Lexa. Aku udah bilang kan? Jadi cepat kembali, Lex..."

"Kami berciuman."

"Oke, kamu bilang berciuman seolah hal itu luar biasa. Kamu biasa berciuman, jangan melebih-lebihkan, Lexa. William menunggumu, jadi hentikan itu semua."

"Ini berbeda Lyd, berbeda. Lagian aku nggak memberikan harapan apapun pada William. Pesan-pesannya tidak aku balas." Senyumnya mengembang lagi. "Bukan William, Lyd. Tapi Mahendra Daud. Laki-laki itu menciumku, membalas perasaanku."

"Hey, semua laki-laki dengan senang hati mencium atau tidur denganmu. Mereka akan antri. Apa Mahendra menyatakan perasaannya? Sialaaan, aku benci harus bertanya ini." Lidya masih bersumpah serapah di seberang sana.

"Tidak perlu, karena aku tahu. Kami tahu perasaan kami masing-masing." Tubuhnya sudah berdiri dan menatap ke luar jendela, membelakangi pintu kamarnya.

"Hah, sudah kuduga. Mungkin dia hanya ingin memanfaatkanmu saja."

"Oh, Lyd. Mulutmu brengsek sekali. Mahendra serius denganku."

"Yaaa, seperti Jason dan Mark. They were suuppeeerr serious with you."

"Wow, cruel. Dasar Cruella de Vill. Dan aku nggak akan terpengaruh pendapatmu yang tanpa dasar dan absurd itu."

"William memintamu untuk menikahi dia. Menikah, komitmen seumur hidup. Apa yang ditawarkan Mahendra?"

"Kami masih muda, santai saja. Kenapa terburu-buru."

"Aku benci kalau kamu sedang bodoh begini. Dulu kamu tidak mendengarkanku perihal Jason, atau Mark, dan lihat apa yang terjadi?"

"Mahendra bukan mereka. Stop saying bad things about him. I hate you."

"Yes, hate me. Karena gue akan memaparkan fakta dan realita." Lidya menghirup nafas panjang. "Alexandra, My Darling, listen to me. Kamu harus menyelamatkan dirimu sendiri dari kegilaan yang berkepanjangan dan obsesi semu tentang Mahendra Daud. Jika laki-laki itu serius, dia akan menawarkan komitmen jangka panjang. Jika tidak, tinggalkan dia Lexa."

"Bagaimana bisa aku memintanya berkomitmen jika hubungan kami baru saja dimulai. Dia bisa freak out dan pergi."

"Karena itu, Lexa. Daripada menghabiskan waktu dengan sesuatu yang tidak pasti, kamu punya seseorang yang menunggumu. Komitmen pasti."

"Tapi William tidak mencintai aku, Lyd. Damn it, percuma bicara denganmu." Dia mengatur nafasnya karena mulai emosi. "Oke, aku hanya ingin tahu kabarmu. Di sini aku baik-baik Lyd. Mahendra menjagaku dengan baik. Sampai nanti."

Hubungan ponsel dia sudahi kemudian pintunya diketuk. Dia berbalik dan menemukan pintu kamarnya sudah terbuka dengan Mahendra berdiri di sana.

"Kamu mau membantuku memasak makan malam?"

"Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanyanya merasa cemas karena dia tidak ingin Mahendra mendengar pembicaraan tadi.

"Belum lama." Tubuh Mahendra sudah berjalan menuju dapur. "Cuci kentangnya. Hari ini kita makan ayam panggang."

Suasana canggung langsung menyergap. Karena dia mulai merasa serba salah dan penasaran. Sejauh apa yang Mahendra dengar? Apa laki-laki itu tersinggung dan marah? Karena Mahendra diam saja, dan lagi-lagi ekspresinya datar. Padahal mereka sudah pernah... Oke, perutnya geli lagi hanya mengingat hal itu.

Setelah beberapa menit dalam diam dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Mahendra angkat bicara. "Kamu menghubungi Lidya?"

"Ya. Hanya untuk memeriksa beberapa hal."

Rupanya Mahendra sudah memasukkan setengah ekor ayam ke dalam oven entah sejak kapan. Karena laki-laki itu sedang mengeluarkannya dari dalam oven sekarang. Kemudian dia menyerahkan kentang yang dia sudah cuci dan Mahendra memotong besar dan membumbuinya dengan entah apa. Lalu memasukkan kentang itu ke dalam oven.

"Apa kamu bisa menata meja?"

Dia mengangguk dan segera mengambil peralatan makan dan minum untuk diletakkan di meja. Sungguh dia menikmati hal ini jika saja Mahendra tidak diam dan membuatnya salah tingkah sendiri.

"Lidya ..." karena sedikit ragu, dia berhenti sejenak. "Lidya memang sangat waspada jika berkenaan dengan laki-laki."

"Aku tidak menyalahkan." Mahendra mulai memotong setengah ekor ayam bakar yang sudah matang tadi menjadi beberapa bagian.

Tubuhnya sudah berhenti. Dia makin merasa tidak karuan. Cemas karena hubungan mereka beberapa hari ini benar-benar baik, dan dia tidak ingin mereka kembali ke titik awal. Kemudian dia menghirup nafasnya perlahan. Mereka berdiri berhadapan setelah Mahen selesai meletakkan piring ayam di meja makan.

"Hen, aku minta maaf jika kamu mendengar apa yang Lidya katakan tadi."

"Aku tidak mendengar apapun...mungkin." Mahen melangkah maju dan dia bersikukuh menghalangi.

"Mahendra..." satu tangan menahan tubuh Mahen. "Aku tidak perduli dengan apa yang orang katakan. Tidak pernah."

"Aku sangat menyarankan kamu mendengarkan saran Lidya."

"Kamu pikir apa yang aku lakukan berbulan lalu saat kamu mengacuhkanku? Apa kamu pikir aku nggak berusaha melupakan kamu? Aku berusaha, Hen. Ini semua bahkan bukan mauku. Maksudnya kejadian ini yang akhirnya membuat aku bersamamu di sini. Tapi aku nggak bisa, selalu gagal. Dan aku tidak mau."

Mata Mahendra menatapnya dalam. Ekspresi laki-laki itu selalu gagal dia baca atau mengerti. Pikiran Mahendra terlalu rumit untuk dia pahami.

"Aku benar-benar serius dengan perasaanku, Hen. Aku tidak berbohong, apa yang aku rasa tidak palsu. Akhirnya, aku menemukan sesuatu yang tidak palsu. Dan aku benar-benar hanya ingin dengan kamu."

Dia bisa melihat rahang Mahendra mengeras, atau betapa tegang wajah laki-laki yang dia cinta itu. Dua tangan masih menggenggam lengan Mahendra. Berusaha menahan tubuh laki-laki itu. Mereka dua yang sudah dewasa yang sangat mampu berbicara dengan kepala dingin.

"Aku beritahu dua hal, pertama dan terakhir." Mata Mahendra menatapnya dalam. "Aku hampir bisa dipastikan mahir dalam kebanyakan hal kecuali satu."

Diamnya adalah untuk memberi Mahendra ruang. Jadi dia menunggu sabar apa yang Mahendra akan katakan.

"I never good with words. Kemampuan berkomunikasiku payah, di bawah rata-rata," ujar Mahendra melanjutkan.

"I don't care."

"You will, someday you will care. Wanita selalu suka dipuji. Jangan pernah berharap soal itu denganku."

"I really don't care." Pandangan mata mereka masih bertautan.

"Aku benci dengan segala sesuatu yang berlebihan, dan kamu adalah definisi berlebihan yang nyata." Satu tangan Mahendra mulai menyentuh helai rambutnya. "Terlalu cantik, terlalu terkenal, reaksi tubuhku bahkan sangat berlebihan."

Jari-jari Mahendra menyentuh bingkai wajahnya perlahan sekali. Matanya terpejam perlahan karena dia merasakan getir pada kalimat Mahendra. Dia bersumpah akan melakukan apapun agar Mahendra tidak meninggalkannya. Apalagi setelah hari-hari mereka di sini, dia bisa gila. Matanya terbuka perlahan lalu kembali menatap Mahendra.

"Aku, tidak bisa melakukan apapun perihal itu. Itulah aku. Seperti kamu yang sangat penyendiri, canggung, sangat pintar hingga aku tidak mengerti dengan bahasamu, atau cuek sekali, seperti tidak perduli dan terus menolakku," bisiknya.

Tatapan Mahendra melembut. Satu jari Mahendra masih berada di rahang wajahnya, berhenti di sana.

"Tapi aku sungguh-sungguh mencin..." satu jari Mahendra berpindah pada bibirnya, menghentikannya.

"Aku tidak mau dengar. Buktikan saja. Aku juga akan melakukan hal yang sama."

Mahendra merengkuhnya mendekat, lalu mencium bibirnya perlahan, lembut dan tidak tergesa. Tangannya berpegangan kuat pada tubuh Mahendra. Karena lagi-lagi dia jatuh, hingga tidak tahu bagaimana cara untuk kembali lagi.

***

Manisss terooosss...enaknya part besok gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro