27. Red Zone
Part ini panjang banget dan nano-nano. This part is also a very special part. Enjoy!!
***
Mahendra tiba di safe house dan segera mencari Alexa. Satu koper wanita itu berada di luar kamar.
"Lexy, dimana Alexa?"
"Nona Alexa berada di dalam kamar. Terkunci."
"Buka kuncinya."
"Nona Alexa tidak ingin diganggu, Tuan."
Dia bersumpah serapah kesal. Pada dirinya sendiri yang tiba-tiba diserang cemas yang aneh, juga pada kenyataan tentang betapa impulsifnya dia saat ini. Tubuhnya juga mulai bereaksi dengan berjalan mondar-mandir di depan kamar Alexa yang terkunci.
Apa yang harus dia lakukan? Mengetuk sopan? Atau memaksa masuk yang bisa dia lakukan dengan mudah? Tapi lalu apa? Bertanya basa-basi? Sudah jelas Alexa marah dan sakit hati atas kalimatnya tadi. Kenapa juga dia perduli Alexa marah atau tidak? Akhirnya dia menuju ke lantai atas dan masuk ke dalam lab.
"Lexy, tunjukkan rekaman CCTV saat Alexa sampai malam ini."
Layar-layar itu sudah menyala dan menunjukkan apa yang dia minta. Alexa tiba dengan heli. Wajahnya terlihat kaku dengan ekspresi yang ditahan. Tapi dia berbalik pada sang pilot dan mengucapkan sesuatu. Terimakasih, mungkin. Dia suka dengan kenyataan itu. Alexa tidak bertingkah kekanakkan dan memaki semua orang saat dia sedang marah.
Kemudian wanita itu turun dari area landasan heli dan masuk ke dalam rumah masih dengan sikap sempurna. Sesampainya di ruang tengah depan kamar, satu tangan Alexa berpegangan pada kursi, lalu wanita itu menangis. Perasaannya sangat kacau melihat itu semua. Kenapa sikapnya buruk sekali.
Alexa berdiri tapi wajahnya menunduk dengan dua tangan yang menutupi. Dia bisa melihat tubuh Alexa bergetar perlahan karena berusaha menahan isak tangisnya. Kemudian setelah lima menit berlalu, Alexa melangkah ke dapur mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin. Wanita itu duduk dan minum untuk menenangkan dirinya sendiri. Beberapa menit kemudian Alexa masuk ke dalam kamar. Pintu kamar setengah terbuka jadi dia bisa melihat kamar Alexa yang berantakan dan wanita itu mulai merapihkan baju-bajunya.
Apa Alexa benar-benar memilih baju yang sesuai seperti yang dia minta? Apa karena itu dia membongkar semua yang dia bawa dan meminta Lidya membelikan lima gaun baru? Dia tahu semua ini karena Janice melapor padanya. Matanya menatap layar lagi dan Alexa sedang mengeluarkan satu koper ukuran sedang dari kamar, wanita itu ingin pergi. Kemudian Alexa berbicara sesuatu pada Lexy karena kepalanya yang sedikit mendongak dan bibirnya yang bergerak.
"Lexy, saya ingin dengar percakapan kalian tadi."
"Baik."
Lexy memperdengarkan percakapannya dengan Alexa.
"Lexy, apa boleh bantu aku untuk pesankan taxi?" tanya Alexa.
"Maaf, saya tidak diperbolehkan untuk melakukan itu."
"Bagaimana caraku agar bisa pergi dari sini?"
"Tidak ada, kecuali atas persetujuan Tuan Mahendra."
"Apa kamu bisa membantuku untuk menghubungi Lydia? Atau William?"
"Maaf, Tuan Mahendra sudah mencabut akses telepon. Anda bisa menenangkan diri dengan duduk dan minum jus atau soda. Jantung anda terlalu cepat detakannya, juga ekspresi anda tidak baik-baik saja. Bepergian dengan kondisi emosi yang tidak stabil akan meningkatkan potensi bahaya sebanyak 50%."
Alexa berusaha keras mengendalikan diri dan berpikir sambil melihat ke sekeliling. "Apa mereka memiliki mobil?"
"Lima jenis mobil terbaik ada di bawah."
Tubuh Alexa sudah ingin berjalan ke arah tangga bawah lalu berhenti karena Lexy berujar lagi. "Untuk masuk ke dalam garasi, anda perlu kode akses pintunya."
Terlihat makin kesal dan putus asa, Alexa menangis lagi tapi kembali ke area meja makan. Wanita itu duduk sambil mengurai rambutnya yang sebelumnya di tata. Alexa masih menangis marah dan bingung.
"Apa mereka benar-benar tidak punya alkohol? Atau rokok?" tanya Alexa sambil mengusap air mata.
"Saya tidak punya aksesnya."
"Oh, aku seperti orang gila yang bicara sendiri begini."
"Tuan Mahendra juga suka berbicara sendiri."
Lexy, kenapa memberi informasi yang tidak perlu, batinnya dalam hati.
Kepala Alexa menggeleng keras sambil terkekeh miris. "Apa gaunku saat ini terlalu terbuka?" Alexa berdiri seolah ingin memperlihatkan gaun yang dikenakannya.
"Memindai. Tidak, gaun tertutup delapan puluh persennya."
"Apa kamu tahu betapa sulit mencari gaun yang sesuai?" Alexa meletakkan kepalanya di atas meja makan dengan tangan yang terlipat sebagai tumpuan.
"Waktu persiapan anda enam jam lebih dua puluh empat menit."
"Apa Mahendra selalu bersikap buruk?"
"Jelaskan maksud dari sikap buruk lebih spesifik lagi."
"Misal, memaki, marah, menghina. Sikap buruk, Lexy. Ayolah, kamu pasti paham."
"Tuan Mahendra diam, tanpa sikap buruk. Terkadang tertawa dan bercanda bersama yang lain."
Alexa mendesah berat. "Tapi tidak denganku, Lexy. Dia benar-benar membenciku. Atau entahlah, sikapnya benar-benar membingungkan."
Ada jeda panjang setelah itu. Mata Alexa menatap kosong ke depan. Seperti sedang sibuk dengan ingatan-ingatan dari dalam pikirannya sendiri.
"Kenapa susah sekali menjadi orang yang baik, Lexy? Susah sekali."
Kemudian tubuh wanita itu berdiri lunglai, menuju arah kamar. "Lexy, aku paham kamu sistem buatan Mahendra. Tapi sebagai sesama wanita, apa bisa kamu tidak membuka pintu kamarku jika Mahendra datang dan meminta? Kemungkinan besar dia tidak akan meminta. Lupakan saja, Lexy. Aku berharap terlalu tinggi."
Lalu pintu kamar tertutup dan terkunci.
"Rekaman selesai," ujar Lexy.
Nafasnya sudah dia hela panjang. Dua tangan mengusap wajahnya perlahan. Ada banyak rasa bersalah. Sangat banyak hingga rasanya sesak. Saat ini dia benci pada dirinya sendiri yang sudah bersikap brengsek sekali.
Bagaimana cara memperbaiki ini? Bagaimana?
***
Tidurnya singkat karena dia masih memendam emosi. Sejak semalam dia tidak keluar kamar dan mengabaikan sedikit suara dari luar. Mungkin Mahendra sudah pulang dan sedang di dapur. Karena setelah beberapa hari menginap, dia mulai hafal rutinitas Mahendra di sini.
Mahendra akan turun untuk sarapan pagi, lalu kembali ke atas setelah selesai. Kemudian laki-laki itu akan turun lagi satu jam sebelum makan siang untuk memasak sendiri. Setelah makan Mahendra selalu kembali bekerja. Mereka hanya makan malam satu kali saja. Mahendra jarang sekali turun di malam hari. Kecuali ketika tengah malam, Mahendra akan turun entah kenapa. Dugaannya laki-laki itu lapar atau haus. Ya Tuhan, bahkan setelah berulang kali ditolak, dia masih tidak bisa menghilangkan Mahen di kepala.
Matanya menatap ke arah jendela. Matahari pagi belum muncul. Udara yang segar dan sejuk sudah menerpa dari sela-sela jendela. Tubuhnya berdiri dan mencari training suit pada kopernya. Lari pagi mungkin bisa meredakan emosi.
Setelah bersiap-siap, dia keluar kamar menuju pekarangan belakang. Dia berputar melalui taman luas di belakang menuju samping rumah lalu ke depan. Menyusuri hutan asri di sepanjang jalan ini sepertinya mengasyikkan. Kemudian dia mulai dengan pemanasan singkat dan langsung mulai lari.
***
Pintu kamar Alexa sedikit terbuka ketika Mahendra bangun dan menuju ke lantai bawah. Perlahan dia membuka pintu itu dan Alexa tidak di sana.
"Dimana Alexa?" dia bertanya cepat pada Lexy.
"Nona Alexa sedang lari pagi."
Tubuhnya setengah berlari ke lantai atas. Masuk ke lab dan berujar lagi.
"Lexy, cek pada CCTV di hutan. Dimana Alexa? Kenapa kamu tidak melarangnya pergi?"
"Nona tidak bertanya dan Tuan tidak memerintahkan."
Dia bersumpah serapah kesal. Ada banyak jebakan yang mereka pasang di perimeter luar area ini. Karena memang safe house bukan rumah biasa. Ini benteng perlindungan. Setiap benteng perlindungan yang baik akan memiliki penjagaan ketat pada perimeter di sekitarnya. Jadi ketika ada yang ingin menyerang mereka, jebakan-jebakan itu menjadi benteng terdepan untuk mengurangi jumlah musuh yang akan mencapai tempat ini.
Apa jenisnya? CCTV terbaik dipasang di sana. Yang bisa memindai panas tubuh dan merekam seluruh percakapan. Belum lagi jebakan-jebakan hutan dengan tali, jebakan besi tajam, juga beberapa ranjau dan ada red zone dimana Arsyad memasang senapan mesin yang bisa menembak cepat target yang mendekat. Hanya jalan utama yang berlapis beton yang aman dari segala jebakan. Semoga Alexa berlari di jalan itu saja.
Matanya sudah memindai cepat seluruh CCTV yang ditampilkan pada layar. Dimana kamu Alexa?
"Kamera nomor 15. Zoom tiga kali." Bagusnya pagi ini Alexa mengenakan pakaian olahraga berwarna magenta. Itu dia.
Dia menyambar koper tempat alat-alat dan drone kecilnya. Lalu segera menuju garasi mobil utama.
***
Suasana hutan yang rindang dan memutari area rumah sungguh sangat nyaman. Ada jogging treck di sepanjang pinggir jalan masuk yang panjang sekali hingga jalan utama di depan sana. Tapi dia tidak pernah suka mengikuti jalur yang ada. Ya, seperti sekarang kan. Jalur kehidupan cintanya seharusnya mengarah pada William, tapi apa yang dia lakukan. Berbelok dan ke luar jalur. Menunggu dan berharap pada laki-laki dingin yang bahkan tidak pernah perduli padanya.
Wake up, Lexa. Dia tidak punya perasaan apa-apa. Why you keep fooling yourself?
Lalu titik air mata itu jatuh lagi. Karena sungguh dia berharap saat sikap laki-laki itu melunak, maka akan ada jalan yang sedikit terbuka untuk mencairkan sikap kakunya. Mungkin nanti Mahendra bisa merasakan sesuatu padanya. Entah apa. Jadi ketika mereka mulai bicara seperti orang normal, bercerita, bahkan makan malam dengan suasana yang lebih santai dan memasak bersama, dia tidak bisa membendung harapan di dalam hati yang naik tinggi.
Dia berusaha, menuruti apa yang laki-laki itu mau. Tidak menjadi menyebalkan dan manja, berpakaian lebih sopan dan berdandan tidak berlebihan, tidak mengeluh sekalipun dia hampir mati karena bosan, tidak mengganggu ketika Mahendra bekerja di atas, sekalipun seringkali dia naik dan menatap pintu ruangan Mahendra tapi diam saja. Tuhan tahu dia berusaha.
Tapi kemudian semalam? Saya tidak suka jadi pusat perhatian. Silahkan pilih laki-laki manapun yang sedang mengantri dan jalan dengan mereka. Jangan berada di dekat saya. Oke?
Dadanya terasa sesak seketika mengingat kalimat Mahendra padanya. Laki-laki itu dengan sukses membuatnya seperti wanita murahan yang tidak pantas bersanding dengannya. Air mata terus meluncur dan dia biarkan saja. Tidak akan ada yang tahu dia menangis, dia selalu sendiri, tidak ada yang perduli selama ini. Jadi dia ingin menangis dan berlari. Kakinya terus berlari, berusaha mengabaikan sakit hati. Hingga matanya tidak melihat plang tanda berbahaya yang memang setengahnya tertutup daun-daun yang menjulur panjang.
Tulisannya. WARNING. DO NOT ENTER. RED ZONE.
***
"Lexy, dimana dia?"
Mahendra berada di dalam Bentley Bentayga miliknya sambil berjalan pelan menyusuri jalan utama sambil melacak Alexa.
"300 meter. Lokasi pada titik biru di layar."
"Non aktifkan area red zone."
"Memproses." System itu mengeluarkan suara. "80% di non-aktifkan."
"100%." Mobilnya terus berjalan dan dia masih menatap layar.
"Memproses. Gagal, akses utama pada tuan Arsyad Daud."
Dia butuh waktu tiga menit untuk me-reboot ulang sistem yang dia rancang sendiri. Tapi dia harus duduk di depan komputer di lab untuk melakukan itu, atau paling tidak dengan laptopnya. Bodohnya dia tidak membawa itu semua karena terburu-buru. Jadi pilihan satu-satunya adalah mengnon-aktifkan senjata secara manual.
Suara satu tembakan terlepas lalu jeritan wanita membuat refleksnya membelokkan mobil keluar dari jalan utama dan merangsek ke dalam area hutan.
"100 meter." Lexy berujar lagi.
Matanya melihat Alexa yang berdiri bingung dengan suara tadi dan dia makin memacu mobilnya. Dia hafal benar dimana Arsyad meletakkan senapan mesin di area itu. Ya Tuhan, Lexa. Diam di sana.
Sayangnya, Alexa melanjutkan larinya.
"10 meter. Tuan, Nona Alexa akan berada di titik tembak sempurna, dalam lima detik, empat detik, tiga detik..."
Ya, Alexa akan berada di titik sensor yang akan memicu senjata. Pintu sudah dia buka. Klakson dia bunyikan agar Alexa berhenti. Wanita itu berhenti dan menengok ke arah mobil yang dia kendarai.
"...dua detik..."
Dia melompat dan menangkap tubuh Alexa agar berlindung di balik Bentley Bentayga-nya. Kemudian suara senapan mesin memekakkan telinga menembaki mereka. Tubuh mereka berdua meringkuk di sisi samping mobil hitam anti peluru itu. Terlindung dari senapan yang terus menembak pada sisi lainnya.
Dia memeluk Alexa kuat. Tubuh wanita itu gemetar karena terkejut. Pintu belakang dia buka. "Masuk."
Suara tembakan memekakkan telinga membuat dia harus berteriak. Tubuh Alexa yang membeku kaku dia angkat dan masukkan ke kursi belakang. Satu tangan meraih koper perak yang dia bawa. Senapan itu harus dihentikan atau bisa menimbulkan kegaduhan. Koper dia buka untuk mengambil MCE yang dia bawa. Setelah mengaktifkan peledak berskala ringan itu, dia melemparkan MCE ke arah tempat senjata, lalu masuk ke dalam mobil dan berlindung di sana.
Nafasnya masih menderu ketika kegaduhan di luar sudah mereda. Mereka berdua berada di kursi belakang. Dia masih memeluk Alexa kuat, sementara wajah Alexa tenggelam di dadanya dan dua tangan wanita itu melingkar dan mencengkram kuat. Tubuh Alexa juga masih gemetar.
Dia melonggarkan pelukannya perlahan, sekalipun yang dia inginkan adalah terus memeluk wanita itu. "Kamu nggak apa-apa?"
Mata mereka bertemu.
"Apa sikapku semalam benar-benar buruk, hingga layak ditembaki?" bisik Alexa.
Ekspresi sedih Alexa, takut dan luka pada matanya, ketidak berdayaan wanita itu, juga mata birunya yang sedikit menggelap dan menatapnya dengan titik air mata. Semua perpaduan itu ditambah situasi yang sunyi di sekeliling mereka setelah pacu adrenalin terjadi, membuat seluruh keinginan untuk melindunginya bangkit. Dia merasa dibutuhkan, dan dipuja oleh wanita ini. Tidak ada seorang wanitapun yang menatapnya seperti Alexa menatapnya sejak pertama.
Jadi...persetan dengan teori.
Dia yang memulai, mencium bibir Alexa lembut dan perlahan. Merengkuh tubuh Alexa mendekat padanya. Wanita itu terkejut pada awalnya, tapi kemudian mata biru indah itu tertutup. Alexa menyambutnya. Membiarkan dia sendiri memimpin dengan insting yang dia punya. Ya, karena sungguh ini pertama kali dia mencium seorang wanita dengan sepenuh hati.
Bibir Alexa terasa asing, lembut, dan manis. Di saat yang bersamaan, seluruh reaksi kimia di dalam tubuhnya bekerja. Oksitosin, dopamine, adrenalin, dan ditambah dengan vasopressin. Perasaan gugup dan antusias datang karena stimulasi norepinephrine. Ini seperti candu terbaik, membuat dia tidak ingin berhenti. Tapi kemudian ponselnya berbunyi.
Tangannya melonggarkan tubuh mereka. Dia memilih abai pada dering ponsel yang masih terdengar. Hidung mereka bersentuhan. "Jangan menangis lagi, Alexandra."
Mata biru Alexa berubah menjadi terang, berpendar indah seperti langit pagi. Pipi wanita itu bersemu merah. Ya Tuhan, ini cobaan terberat. Sudah berapa kali dia bilang begitu sejak pertama dulu.
"Kita harus pulang jalan kaki." Dia melepaskan tubuh Alexa lalu menggendikkan bahu.
Kemudian senyum Alexa terkembang. "Pulang. Aku suka dengan kata itu."
Ponsel keparat itu terus berbunyi, menyebalkan. Dia turun dari mobil sambil mengangkat ponsel.
"Kenapa area red zone menyala? Tanda bahaya sampai ke ADS? Ada apa, Hen?" Arsyad panik di ujung sana. "Gue lagi jalan ke sana."
"Alexa lari pagi dan nggak lihat tanda," jawabnya.
"Sh*t, dia baik-baik? Senapan serbunya aktif."
"Gue ledakkan, sorry. Tapi Alexa baik-baik." Dia berjalan meninggalkan mobilnya di sana yang sudah rusak. Alexa berada di sebelahnya.
"Jaga dia baik-baik karena Harold sudah tahu putrinya bersama kita. Dan William berusaha mempengaruhi Harold dengan cerita-cerita yang tidak benar tentang keluarga kita."
"Itu berlaku untuk lo juga, Bang. Jaga Sabiya baik-baik di ADS. Kemarin kalian bertengkar dan lengan Sabiya membiru. Kita semua nggak suka lo kasar ke Sabiya. Hanif bilang ke gue."
Ada jeda yang panjang dan lama di sana.
"Itu...hanya salah paham. Kalian kompak banget kalau soal Sabiya."
"Harus. Kalau bukan kita, siapa lagi?"
Kalimat itu dia ucapkan mudah sekali. Frekuensi jantungnya pun baik-baik saja. Padahal biasanya organ yang satu itu akan bereaksi jika dia mulai membuka suara soal Sabiya. Begitu kan? Dia masih tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Sabiya, Alexa. Siapa? Kenapa bisa?
Hubungan ponsel disudahi oleh Arsyad. Benda itu dia simpan di saku celana training hitam yang dia kenakan. Alexa berjalan di sebelahnya dalam diam yang aneh. Canggung. Apa mereka sungguh berciuman tadi? Ya Tuhan, entah kenapa oksitosin sialan ini masih bereaksi.
"Hen..." langkah Alexa berhenti.
Tubuhnya berbalik menatap Alexa. Wajah wanita itu panik.
"Kamu berdarah, ya Tuhan." Alexa melangkah cepat ke arahnya. Dengan panik wanita itu memeriksa lengan bagian atasnya yang terluka.
Kenapa baru sekarang terasa sakitnya? Pasti karena si hormon-hormon sialan tadi yang memblokir seluruh sinyal tubuhnya.
"Apa sakit? Kamu baik-baik? Bagaimana ini?" Alexa mulai menangis panik karena darah memang merembes pada kaus yang dia kenakan.
Kenapa wanita ini cengeng sekali.
Dia mencermati lukanya. Mungkin tergores peluru saat dia melemparkan MCE tadi. Tapi tidak dalam dan tidak ada peluru di sana. Dia hanya perlu band aid gel khusus miliknya di safe house saja.
"Jangan menangis, tadi saya sudah bilang kan? Kenapa kamu cengeng banget."
"Aku panik. Apa sakit?" Alexa menghapus air matanya cepat.
"Dibandingkan di gigit buaya? Enggak."
"Jadi bagaimana ini? Kita harus ke rumah sakit."
Mahendra terkekeh kecil. "Kita lomba lari sampai safe house."
"Lari? Jangan bercanda, Hen. Kamu terluka."
"Kamu takut kalah?"
"What? Hey, aku juara kedua marathon di university ku dulu. Tapi kamu terluka."
"Yang kalah, harus menuruti apapun si pemenang minta." Dia mulai berjalan mundur sambil memasang wajah konyol.
Alexa tersenyum kecil dan menggeleng tidak percaya. "Trust me, I will do anything to win it."
Kemudian tanpa aba-aba Alexa melesat lari cepat meninggalkannya. Dia tertawa lalu berlari menyusul Alexa.
***
Mata Alexa memandang ke sekeliling laboratorium di lantai atas tempat Mahendra menghabiskan waktu. Mereka sudah di safe house dengan dia sebagai pemenang lomba lari tadi. Mahendra mengalah dan malah terus meledeknya dari belakang. Sikap Mahendra aneh sekali, berubah-ubah tanpa dia bisa prediksi. Tapi ciuman tadi, dia menahan geli di perutnya sambil tersenyum diam-diam ketika mengingat hal itu. Dia bahagia.
Berada di dalam lab, dia merasa berada di dunia lain. Maksudnya, safe house sendiri sudah terlihat mengagumkan, tapi lab Mahendra adalah sesuatu yang lain. Dia seperti berada di spaceship pada film-film Hollywood yang pernah dia tonton. Layar-layar bening besar yang bisa masuk ke dalam dinding, meja lebar di tengah ruangan yang memproyeksikan gambar tiga dimensi di atasnya, juga seluruh tombol panel yang ada di salah satu sisi ruangan.
"Jangan sentuh apapun." Mahendra terus berjalan ke salah satu tembok rata dan tembok itu bergeser terbuka. Memperlihatkan tempat tidur berukuran sedang, lemari gantung yang pintunya transparan, juga sofa dua dudukan yang futuristik tapi sangat nyaman. Semua berwarna putih atau abu-abu.
Pintu lemari terbuka otomatis ketika Mahendra mendekat. Dan semua pakaian di sana hanya punya dua warna, putih dan abu-abu. Mahendra melepas kausnya yang kotor lalu melemparnya dengan satu tangan tanpa melihat ke keranjang pakaian kotor dari stainless di ujung ruangan. Lemparannya masuk. Dasar tukang pamer.
"Jangan pakai bajumu dulu," ujarnya mendekat.
"Hey, aku bilang jangan sentuh apapun dan itu termasuk aku."
Dia tertawa kecil. "Duduk, lukamu harus dibersihkan atau kausmu kotor nanti." Matanya menatap Mahendra di hadapannya sambil mendorong tubuh laki-laki itu agar duduk di kursi.
"Dimana obatnya?"
Mahendra diam saja, ekspresi laki-laki itu aneh. "Aku nggak bermaksud apapun. Aku professional, maksudnya aku bahkan pernah satu kamar ganti dengan Robert Pattinson dan melihat dia telanjang karena berganti pakaian. Sayangnya bukan Ryan Reynold."
Senyum kecil Mahendra terkembang sambil menggelengkan kepala. "Kenapa dengan Pattinson?" Tangan Mahendra mengambil koper di dekat kursi dan membukanya.
"Hanya bukan seleraku."
"Dan seleramu seperti?" Mahendra mengambil band aid transparan dan botol semprot alkohol.
Kamu. "Ryan Reynold, dia lebih seksi." Dia merebut botol semprot itu lalu langsung menyemprotkan ke lengan atas Mahendra yang terluka.
"Auw auw, itu semprotan air keras."
"What? Ya Tuhan." Botol itu dia jatuhkan panik. Matanya berkeliling mencari air untuk membersihkan apa yang tadi dia semprotkan. Harusnya dengan air kan?
Lalu dia mendengar Mahendra tertawa. "Bercanda, Alexa. Aku bercanda."
"Jangan-pernah-bercanda-begitu. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu, dasar menyebalkan." Tangan Alexa memukul pundak Mahendra yang tidak terluka beberapa kali.
Satu tangan Mahendra dengan cepat menggenggam tangannya. Dia langsung diam, sungguh dia sedang sangat bahagia. Lalu Mahendra menyerahkan botol itu lagi. Kemudian dia mulai dengan teliti mencoba membersihkan luka Mahendra, juga darah yang ada di sekitar area lengan atas. Tubuh mereka dekat sekali. Berhadapan dengan dia yang berdiri dan Mahendra duduk di hadapannya.
"Maafkan saya."
Tangannya berhenti, sementara jantungnya berdetak lebih cepat daripada ketika dia lari tadi.
"Soal semalam. Maafkan saya." Mahendra mengulang kalimatnya.
Tatapan Mahendra tepat pada matanya sendiri. Mulutnya bungkam kaku, karena mengingat ciuman mereka tadi. Atau bagaimana Mahendra berusaha menyelamatkannya lagi. Dia mengangguk perlahan.
"Terimakasih, karena sudah menyelamatkanku tadi."
Suasana di sekeliling mereka hening, dengan wangi khas Mahendra karena memang mereka berada di kamarnya, atau lab-nya. Entah. Tinggi tubuh mereka yang tidak jauh berbeda membuat tatapan itu terjalin. Laki-laki ini berbeda, pancaran matanya bisa terlihat dingin tiba-tiba, tapi dibanyak kesempatan mata itu memancar tajam memperlihatkan seluruh kecerdasan yang dia punya, atau terkadang bersit konyol karena sedang menggoda. Apapun itu, dia suka apa yang dia tatap saat ini.
Jadi...apa boleh? Dia ingin sekali mengulang ciuman tadi.
Mahendra memecah sunyi canggung di antara mereka. "Saya bukan laki-laki yang..."
Masa bodoh, Hen. Masa bodoh.
Kemudian dia mendekatkan wajahnya lalu mencium bibir Mahendra. Dia tidak perduli dengan seluruh sikap buruk Mahendra sebelumnya, atau tentang informasi dari Lydia perihal betapa berbahayanya keluarga Daud, atau seluruh fakta yang dia lihat sendiri di tempat ini bahwa keluarga Daud memang berbeda. Mahendra mungkin bukan laki-laki biasa dengan kehidupan yang normal, pekerjaan yang normal. Dia tidak ingin menjadi normal, dia hanya ingin bersama dengan laki-laki ini saja.
Nafas Mahendra menghela perlahan, laki-laki itu benar-benar menatap dan membalas ciumannya. Persis seperti tadi. Dua tangannya dia kalungkan pada leher Mahendra, sementara tangan laki-laki itu merengkuh tubuhnya mendekat. Tubuhnya terasa ringan dan sedikit melayang. Karena...ini sempurna. Dia mencintai laki-laki ini dengan segala yang dia miliki. Sejak awal mereka bertemu, dia sudah jatuh, dan jatuh, dan jatuh lagi.
Ciuman mereka makin dalam, seperti mendesak lepas karena hasrat yang ditahan Kepala Mahendra sedikit miring lalu satu tangan laki-laki itu pindah ke leher bagian belakangnya. Sementara tangannya sendiri mencengkram kuat punggung polos Mahendra, dia takut jika ini hanya mimpi.
"Tuan Arsyad Daud tiba." Lexy melapor.
Mahendra berhenti sambil menghela nafasnya lagi lalu menggelengkan kepala. Tubuh mereka terlepas perlahan. Mahendra berdiri lalu dengan cepat menempelkan band aid transparan itu yang langsung menempel sempurna pada kulit yang terluka lalu mendesis seperti terbakar cepat. Garis luka itu tertutup begitu saja. Kaus abu-abu Mahen kenakan lalu tanpa dia duga Mahendra mencium puncak kepalanya cepat dan berjalan ke arah pintu. Dia sendiri masih berdiri di tempat yang sama menahan wajahnya yang bersemu.
Saliva dia loloskan lalu dia berujar. "Hen, itu Arsyad?"
"Ya. Kenapa?"
"Aku di sini saja."
Tubuh Mahendra berbalik menghadapnya. "Ada apa?"
"Aku...takut."
Mahendra tertawa. "Itu hanya Arsyad. Ayo keluar. Arsyad menanyakan kondisimu tadi. Atau aku matikan lampunya."
Dia mencebik kesal lalu berjalan mengikuti Mahendra ke luar.
Mereka menemukan Arsyad berjalan dari arah pintu depan ke tengah ruangan sambil menggenggam helm hitam.
"Kamu baik-baik, Lexa?" Arsyad menatapnya dari tempatnya berdiri.
Aura Arsyad selalu terlalu kuat. Laki-laki itu bertanya baik-baik tapi dengan suara besar dan tatapan tajam. Jadi dia mundur satu langkah lalu refleksnya adalah menggeser tubuhnya sendiri ke belakang tubuh Mahendra.
"Saya baik."
"Apa kamu terluka?" Sikap tegang Arsyad sedikit mencair, mungkin melihat bahasa tubuhnya yang tidak nyaman.
"Tidak, Mahendra yang terluka."
Arsyad beralih menatap Mahendra yang tersenyum konyol. Laki-laki itu memindai Mahendra cepat dan berujar lagi. "Oh, itu hanya goresan biasa. Bagus kalau begitu."
"Kita harus bicara soal perimeter area, Bang. Kita sudah lama nggak cek karena sibuk dengan semuanya."
"Cek semua karena lo masih akan di sini." Arsyad menoleh ke arahnya lagi. "Saya dan Mahendra perlu bicara sebentar."
Dia mengangguk mengerti kemudian memandang mereka naik ke atas dan menghilang di balik pintu lab.
***
Sekalipun panjang, tapi tetep kurang yaa? Gegara ada manis-manisnya mereka kaan...kaaan. Mahen-Alexa itu emang unik dan beda. Nulis mereka bikin auto senyum. Kalau kalian berpikir kok Mahendra cool banget yaaa...just wait until next part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro