Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. The Dangerous Family

Faya sedang berjalan bersama Hanif beriringan di selasar ADS, membahas acara pernikahan mereka yang hanya tinggal esok hari.

"Nif, aku pikir kita bisa tunda. Ini lucu banget. Semua sedang punya misi penting, tapi acara kita malah berlanjut," ujarnya.

"Aku juga sudah ngomong sama Abang. Tapi Abang yang ngotot, karena kita sudah serumah. Lagian Sabiya ada di sini, Aryo masih terluka parah dan belum muncul lagi. Pelaku kemarin William, bukan Aryo. Jadi aku setuju, semua harus disegerakan atau bisa kebablasan." Mata Hanif malah mengedip satu meledeknya yang tambah kesal.

"Hah, mereka nggak tahu aja kalau aku serumah sama holy man."

Hanif terkekeh kecil. "Hey, aku normal. Mangkanya aku setuju ini cepat-cepat biar aku bisa masuk ke kamar kamu malam-malam."

"Kalau udah resmi, aku kunci kamarku. Biar rasain kamu."

Hanif tambah tertawa. "Siapa bilang kita akan ada di apartemen itu."

"Nif, jangan bercanda."

"Siapa bilang aku bercanda. Abang sudah setuju."

"Loh, terus di sini gimana?"

"Aryo masih terluka parah dan lagi cuti. Jadi aku mau cuti juga sambil bawa istriku ke pondok nanti."

"Aku nggak mau."

"Leo, Niko dan Max yang akan gantiin kamu, Fa. Santai aja."

"Santai? Bisa-bisanya kamu ngomong begitu."

"Bahkan yang terbaik, terkuat dan paling keras kepala pun butuh istirahat, Fa. Hanya sebentar." Mereka sudah tiba di depan ruang meeting.

"Satu hari." Langkahnya berhenti di depan pintu. Mereka berdiri berhadapan.

"Satu minggu, Fa."

"Nggak setuju, satu hari."

"Hey, nanti kamu yang minta nambah. Mau taruhan?" Hanif sudah akan membuka pintu.

Wajahnya memerah malu digoda Hanif seperti itu. "Dasar menyebalkan. Tiga hari and that's final."

Tangan Hanif menutup pintu kembali lalu meraih tubuhnya cepat dan memojokkannya di dinding. Wajah Hanif mendekat tiba-tiba tidak memberi kesempatan untuk dia bereaksi. Ini semua karena dadanya berantakan sekali. Apalagi bibir Hanif terasa hangat dan sedikit kasar. Menciumnya sedikit memaksa.

"Nif, gila kamu."

"Tujuh hari." Hanif menciumnya lagi.

"Han...hmmph." Ya Tuhan, kenapa Hanif seksi sekali jika memaksa begini. Hey Fa, jangan hilang kendali.

Ketika kesadarannya pulih dan tangannya bereaksi untuk menjauhkan tubuh Hanif, laki-laki itu sudah melepaskannya dan masuk ke dalam ruangan meeting. Seolah tadi tidak ada apa-apa. Rahangnya mengeras kesal dan menyusul Hanif masuk.

"Pagi." Sapa Niko di yang sudah duduk di dalam ruangan.

Arsyad juga duduk di seberang meja meeting besar dan sedang mengetikkan sesuatu di layar laptopnya.

"Pagi," jawabnya singkat.

"Lo kenapa, Fa?" tanya Niko.

"Abis gue cium di depan ruangan tadi," jawab Hanif santai sambil mulai menghidupkan layar besar untuk mereka meeting pagi.

Matanya melotot galak. "Hanif salah sarapan pagi ini, jadi ngomong sembarangan."

Mareno dan Leo sudah masuk ke dalam ruangan.

"Sayang, bibir kamu masih merah karena aku cium tadi. Besok kita sudah sah, jangan malu-malu lagi."

Mareno, Niko dan Leo tertawa melihat ekspresinya. Arsyad hanya menggeleng kepala menatap Hanif tidak percaya. Dia sendiri paham benar Hanif sedang meledeknya habis-habisan, seperti dulu. Dasar menyebalkan.

***

Ruang makan. Safe house.

Ini makan malam pertama mereka setelah hari ketiga di safe house. Biasanya dia sendiri tidak makan atau membawa makanannya ke ruang atas. Karena kerap kali dia merasa tidak nyaman dengan frekuensi jantungnya sendiri saat bersama Alexa. Tapi entah kenapa dia merasa tidak tega ketika melihat Alexa makan sendirian semalam dengan ekspresi benar-benar kesepian.

"Apa makanannya tidak enak?" tanyanya pada Alexa yang duduk di seberang meja. Alexa makan saladnya lebih lambat.

"Ini sangat enak," jawab Alexa dengan ekspresi datar.

Mereka diam, canggung. Matanya masih menatap Alexa yang kepalanya sedikit menunduk dengan ekspresi sangat tidak bersemangat. Nafas dia hembus perlahan.

"Oke, saya bukan laki-laki yang bisa membaca isi kepala dan saya nggak punya alat untuk itu. Jadi bilang saja ada apa?"

"Aku baik-baik, jangan khawatir." Alexa menatapnya sejenak dan tersenyum kecil.

Air mineral dia teguk perlahan. Pandangannya masih tetap ke arah Alexa. "Kamu bosan?"

Akhirnya nafas Alexa berhembus juga, tebakannya benar. "Besok aku akan mati bosan. Maaf, aku tidak mau mengeluh, tapi aku benar-benar nggak bisa melakukan apapun selain menonton TV dan duduk saja. Dua kegiatan itu bukan favoritku."

Jadi karena itu.

"Aku merindukan Lidya dan benar-benar cemas dengan klien-klien serta janji temuku."

"Semua sudah dibereskan oleh Lidya , dan Janice."

"Benarkah?"

"Ya, kontrakmu bahkan sudah disetujui untuk dipindahkan ke sini jika kamu masih mau memindahkan."

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

Karena aku menghubungi Lidya sendiri serta meminta Janice untuk membantu membereskan semua urusanmu dengan koneksi dan pengaruh keluarga Daud.

"Saya tahu, itu saja."

"Terimakasih." Alexa diam lagi.

Ekspresi wanita ini lucu sekali. Seperti ingin meledak bosan tapi benar-benar dia tahan. Mungkin karena ingin berkelakuan baik.

"Kamu boleh hubungi Lidya setelah ini."

Setelah selesai kalimat itu, mata Alexa membulat dan wajahnya langsung menatapnya gembira bercampur tidak percaya. Jenis mimik Damar ketika dia memberikan PS-5 dulu.

"Serius?"

"Habiskan makananmu. Kamu terlalu ringan."

"Aku serius bisa menelpon Lidya?" Alexa mengabaikan pertanyaan pertama darinya.

"Bisa, saya akan berikan aksesnya."

"Terimakasih."

Senyum lebar Alexa mengembang dan sungguh itu terlihat sempurna. Karena biru pada matanya kembali berkilauan gembira. Wanita ini sangat aneh sekali. Sikapnya yang kekanakkan membuat dia gemas.

Gemas, Hen? Ayolah. Ya Tuhan dia mulai gila.

Bagaimana tidak, makanan-nya sudah habis tapi dia memutuskan untuk tetap duduk karena masih ingin menatap mahluk cantik di hadapannya ini.

"Apa William pernah menghubungimu lagi?" Pertanyaan basa-basi, karena dia paham benar William mengirimkan pesan dua hari setelah Alexa tiba di Jakarta. Ponsel Alexa masih dia pantau.

Senyum segera pergi dari wajah Alexa, berganti dengan kecemasan. "Apa kamu temukan sesuatu soal ancaman kemarin? Itu ulah William?"

"Belum, saya belum selesai mengecek segalanya." Dia tidak suka melihat kecemasan Alexa.

"Aku harap bukan. Bagaimanapun aku pernah mengecewakan dia dan aku nggak mau mulai berprasangka buruk juga." Piring salad sudah Alexa dorong. "Tapi ya, dia menghubungiku. Dia bilang dia ingin bicara."

"Lalu apa responmu?"

"Tidak ada. Sebenarnya aku ingin bertemu untuk..."

"Jangan." Dia memotong karena cemas dan langsung menyesal saat itu juga. Kenapa dia aneh sekali hari ini?

Mata Alexa menatapnya heran. "Kenapa?"

Jalan satu-satunya adalah menghindar, karena tidak mungkin dia berkata bahwa dia cemas akan keselamatan Alexa. Itu akan membuat spekulasi yang tidak perlu. Jadi tubuhnya sudah berdiri sambil membawa piringnya yang kosong. Mereka berempat tidak terbiasa berbohong kecuali di hadapan musuh mereka. Apalagi tatapan polos Alexa yang penuh rasa penasaran benar-benar mengganggunya.

"Karena saya belum selesai mengecek segalanya. Jadi kemungkinan masih 50:50 bahwa William terlibat." Ini jawaban paling masuk akal.

Alexa juga berdiri membawa piring makannya ke kitchen sink. "Aku yakin Will tidak terlibat, Hen. Dia aman. Kemarin itu aku hanya panik saja hingga menuduhkan sesuatu yang tidak ada dasarnya."

Saliva dia loloskan karena justru dugaan Alexa yang tidak berdasar itu benar. Dia memilih diam dan beralih ke kalimat lain. "Hanif besok menikah."

"Benarkah? Aku sangat senang mendengarnya."

Mereka berdiri berhadapan dengan jarak lima langkah. Dia bisa melihat senyum lebar Alexa.

"Kenapa?"

"Karena akhirnya aku bisa keluar rumah ini sejenak."

"Kata siapa?"

"Hanif bilang dia mengundangku. Aku yakin undangan Hanif sudah tiba di ponselku yang kamu blok sinyalnya."

"Kamu berniat datang?"

"Aku sudah janji pada Hanif." Kemudian ekspresi Alexa seperti ragu-ragu. "Apa boleh...aku datang? Maksudnya, aku tidak tahu bagaimana caranya bisa sampai ke sana?"

Lagi-lagi, mimik penuh harapan itu menganggunya. Gestur tubuh Alexa seperti gadis kecil polos yang sedang minta dibelikan permen loli, di tambah lagi Alexa menggigit bibirnya ragu-ragu.

Wajah dia tolehkan. "Satu syarat."

"Apa?"

"Jangan berulah, dan gunakan pakaian sopan."

"Itu dua, bukan satu."

Dia mendengkus kesal sambil menatap Alexa lagi.

"Oke oke, baik." Senyum Alexa terkembang lebar, lalu tiba-tiba ekspresinya datar. "Tapi, aku tidak punya gaun yang pantas. Lidya hanya membawakan dua gaun santai saja. Ya Tuhan, ini bencana."

Ini dia. Akhirnya sang Ratu Alexandra ke luar juga.

"Aku harus meminta Lidya untuk mengirimkan gaun baru."

"Kirimkan melalui Janice."

Alexa mengangguk mengerti. "Apa aku sudah bisa menggunakan ponselku?"

"Lexy, tolong buka akses ponsel Alexandra Walton."

"Baik, Tuan."

Lalu Alexa langsung melesat masuk ke dalam kamar. Sementara dia berdiri di tempat yang sama, kemudian tanpa sadar dia tersenyum sendiri.

***

Setibanya di kamar, dia langsung menyambar ponsel dan menyalakannya. Benar saja, sinyal bisa ditangkap dengan baik. Sungguh dia ingin melompat gembira.

"Lidyaaaaa..." teriaknya sambil tertawa.

"Demi Coco Channel, dasar gilaaa!! Lo dimana Lexa?" Lidya tidak menutupi rasa terkejutnya.

"Di suatu tempat."

"Lo harus bilang atau gue pecat lo jadi model gue."

Dia tertawa lepas. Sungguh dia merindukan mulut pedas Lidya. "You won't dare. Gue komoditi yang sempurna, bukan begitu?"

"Sialan lo. Tapi gue serius, Lexa? William terus menghubungi gue untuk cari tahu dimana lo. Dia khawatir."

"Really?"

"Gue nggak bercanda. Lo baik-baik kan? Maksudnya, apa keluarga Daud memperlakukan lo dengan baik?"

"Hey, mereka bukan kriminal." Dia memberi jeda. "Aku dijaga oleh Mahendra." Pipinya langsung bersemu merah ketika mengatakan itu.

"Gue seneng lo baik-baik aja, Lexa. Dan gue tetap nggak setuju dengan Mahendra Daud." Lidya menghembuskan nafas lega di sana. "Sampai kapan?"

"Sampai pelaku yang mengancam gue ditemukan, Lid, Mahen sedang cari pelakunya. Apa benar seluruh janji temu dan kontrak sudah beres."

Lidya diam sejenak di sana. "Janice menghubungi gue dan dia memiliki seluruh data dan janji temu bahkan kontrak-kontrak lo. Seluruh penggeseran janji, pemindahan kontrak beres dalam waktu satu setengah hari, Lex."

"Wow."

"Mereka menggunakan koneksi keluarga mereka yang luar biasa di negeri ini." Ada sedikit jeda sebelum Lidya melanjutkan. "Keluarga Daud sedikit mengerikan."

"Mereka hanya berusaha membantu, Lid. Mereka orang baik."

"Apa benar begitu, Lexa? Karena penasaran, gue coba mencari tahu lebih banyak dua hari ini. Seluruh badan usaha milik Daud adalah jenis badan usaha utama. Produksi pangan, teknologi, juga keamanan. Tiga sektor industri penting. Bahkan rumor bilang keluarga Daud adalah orang yang mensponsori Iwan Prayogo. Lo tahu siapa Prayogo? Mereka mafia di negeri ini, Lexa. Ini nggak main-main. William bilang keluarga Daud juga bermain politik dari belakang layar. Mereka berbahaya, Lexa. Keluar lah dari sana. Will bilang dia bisa melindungi lo."

"Lid, dugaanmu nggak berdasar."

"Hey, itu fakta. William memaparkan semua dan gue mencari tahu. Ayolah, Lexa. Jangan dibutakan oleh perasaan sementara."

Dia menghela nafas perlahan. Pengetahuannya tentang keluarga Daud memang minim sekali. Tapi harusnya mereka orang-orang baik. Karena bahkan mereka mau repot-repot melindunginya yang bukan siapa-siapa.

"William memaafkanmu dan ingin kamu kembali, Lexa. Dia benar-benar sadar bahwa dia mencintaimu, tanpa pura-pura. Kembali ke duniamu, Lexa. You're not belong there."

Ketika Lidya mulai berbicara halus, itu pertanda bahwa dia serius dan benar-benar mencemaskannya.

"Aku baik-baik saja, Lid. Aku akan kembali pasti." Nafas dia buang lagi. "Oke, sekarang aku butuh bantuan. Aku butuh gaun malam yang mempesona."

"Ayolaah, Lexaaa. Kembali ke sini. Atau gue bakalan paksa Janice untuk antar ke tempat lo."

"Lid, kasih aku waktu. Sampai situasi sedikit tenang dan pelaku ditemukan. Aku akan kembali, Lid. But for now, get your lazy ass off the chair and buy me a stunning dress."

Dia bisa mendengar Lidya mendesah pasrah sementara dia tertawa kecil sebelum memutuskan hubungan.

***

Pernikahan Hanif dan Faya akan dilangsungkan di markas besar ADS. Gedung ADS yang berdiri di lahan seluas 20 hektar memiliki banyak area terbuka luas. Salah satunya pada sayap barat. Karena pernikahan hanya tinggal besok, tempat pernikahan itu sendiri sedang disiapkan.

"Tidak pink, ya Tuhan. Faya bisa marah-marah nanti." Sabiya menggeleng keras pada pilihan buket bunga yang disodorkan untuk hiasan meja.

"Sedikit biru atau hijau aku nggak keberatan. Putih semua terlalu pucat." Hanif merangkul tubuh Sabiya sesaat dari belakang.

"Putih dan emas. Jangan ikut campur soal warna, Bang. Aku desainer untuk keseluruhan acara."

"Hati-hati, Sayang. Kamu baru sembuh. Kemarin masih demam. Jangan terlalu dipaksakan." Hanif berujar pada Sabiya.

Arsyad melihat dan mendengar itu semua dari atas panggung berukuran sedang dan sedang didekor. Tempat pemain musik akan berada. Matanya menyusuri keseluruhan tempat dengan seksama. Memastikan pekerja-pekerja yang mereka sewa melakukan pekerjaan dengan sempurna. Tidak boleh ada kayu yang lapuk, atau paku-paku yang mencuat. Meja-meja dan kursi-kursi dia periksa kekuatannya.

Tamu tidak akan terlalu banyak, acara juga tertutup untuk banyak tamu dari luar. Hanya keluarga dan sahabat terdekat saja. Tapi ini pesta tim ADS. Jadi banyak tim yang juga membantu menyiapkan acara serta memeriksa perimeter area karena mereka memang dia liburkan hari ini.

Semua penjagaan dan protokol ketat akan diberlakukan. Senjata-senjata bahkan dia sendiri sembunyikan di beberapa tempat strategis. Seluruh makanan dimasak dan dibuat dari dapur besar ADS oleh koki keluarga mereka. Tidak ada yang didatangkan matang. Dan akan dicicipi sebelum di sajikan. Ya, dia harus memastikan segalanya aman untuk keluarganya.

Kepalanya sedang mendongak menatap langit dan berjalan mundur untuk memeriksa tiang-tiang pengait lampu cukup kokoh saat tubuh Sabiya menabraknya.

"Maaf, aku tersandung."

Matanya menatap Sabiya yang kembali sibuk lagi. Berjalan mondar-mandir dengan gaun santai midi berwarna pink lembut dengan bunga-bunga kecil. Rambut Sabiya ditata sederhana tapi tetap berkilau sempurna. Belum lagi wangi lembut Sabiya yang menguar ke sekelilingnya saat wanita itu melangkah kemana saja. Pandangannya beralih pada beberapa tim ADS yang mencuri-curi pandang ke arah Sabiya. Elang si konyol itu bahkan benar-benar mengikuti kemana Sabiya berjalan. Ram akan berulang kali menanyakan hal yang sama untuk penataan setiap meja pada Sabiya. Niko akan sibuk menggoda sambil sesekali merangkul Sabiya. Belum lagi Max yang berdiri di pinggir lapangan tapi matanya terus menatap ke arah yang sama. Wanita itu tidak sadar dan terus sibuk menjawab, tersenyum dan mengarahkan laki-laki di sekitarnya yang seperti dengan senang hati menyerahkan jiwa raga mereka.

Tangannya bertolak pinggang tidak percaya dengan semua kekonyolan ini. Kemudian dia memutuskan sesuatu sambil berjalan menuju Sabiya. Ini harus dihentikan. Dia menarik lengan Sabiya.

"Hey, ada apa?" protes Sabiya padanya.

"Ayolah, Bos. Kita sedang siap-siap," keluh Niko kesal pada sikapnya.

Sementara dia berjalan tidak perduli sambil terus menarik lengan Sabiya memaksa.

"Stop, Bang. Tanganku sakit. Apa-apaan sih?"

Mereka sudah berada di teras luar ADS yang dekat dengan area terbuka tempat acara. Tubuh Sabiya dia balik menghadap ke area yang sama. Niko masih bertolak pinggang kesal menatap mereka dari tengah area. Ram, Elang dan Max langsung berjalan seolah tidak melihat. Juga beberapa tim lain yang seperti berhenti sejenak tadi kemudian kembali melakukan kegiatan mereka dengan canggung.

"Lihat?" tanyanya dari belakang tubuh Sabiya.

"Ya, aku punya mata. Apa kamu yang buta, Bang? Dekorasinya belum selesai," ujar Sabiya marah dan membalik badannya hingga mereka berhadapan.

Dia menggeram kesal lalu membalik tubuh Sabiya lagi. "Lihat yang benar. Kamu jadi pusat perhatian. Semua laki-laki memandang kamu dan bertingkah berlebihan."

"Semua laki-laki memang begitu, bukan salahku. Aku hanya ingin melakukan tugasku." Mata Sabiya menatapnya tegas. Mereka sudah berdiri berhadapan lagi.

Rahangnya mengatup kesal. Sabiya menjadi jauh lebih berani dan selalu membantahnya sekarang. Wanita itu mendengkus kasar lalu membalik badan ingin berjalan menjauh. Kemudian dia menangkap lengannya.

"Biar Janice, Esther dan Amy yang urus."

Sudah cukup, tidak boleh ada yang membantahnya.

Dia menarik lengan Sabiya tanpa memperdulikan protes wanita itu. Sabiya berjalan sedikit terseret karena langkahnya yang panjang. Wanita itu bungkam namun berusaha keras melepaskan diri.

"Bang, ada apa?" Hanif sudah berlari mendekati mereka. "Jangan kasar, Bang. Lepaskan Sabiya." Adiknya berbisik sambil berusaha mensejajari langkahnya.

"Minta Janice, Amy dan Esther untuk memakai earphone mereka. Tunggu perintah. Jangan ikut campur." Dia tidak berhenti, terus melangkah sambil mencengkram lengan Sabiya.

Kepala Sabiya menggeleng pada Hanif dan wanita itu mengikuti apa maunya. Ya, harusnya sedari tadi Sabiya menurut saja. Langkah Hanif berhenti sambil menatap mereka menjauh.

Mereka sudah tiba di salah satu ruangan meeting berukuran sedang. Pintu tertutup dan dia langsung berujar.

"Angel, siapkan layar-layar monitor. Sambungkan pada seluruh CCTV yang mengarah ke tempat acara." Lengan Sabiya yang meronta lagi masih dia genggam kuat. Dia mengambil head set hitam dari dalam salah satu laci lemari.

"Tersambung," ujar Angel.

"Tampilkan area pada layar. Sabiya akan mengarahkan dari sini," perintahnya lagi pada Angel.

"Dimengerti."

Mereka berdiri berhadapan dan dia bisa melihat kemarahan yang jelas terpancar pada sorot mata Sabiya. Wajah wanita itu juga memerah menahan emosi. Lengan Sabiya sudah dia lepaskan.

Dengan cepat satu tangan Sabiya melayang menampar wajahnya keras. "Saya mengikuti maumu hanya karena ingin menjaga reputasimu di sini." Suara Sabiya bergetar, mata wanita itu melekat pada tatapannya sendiri yang masih terkejut.

"Sudah cukup, kamu memperlakukan saya buruk sekali selama ini. Kenapa kamu membiarkan saya hidup kemarin? Kalau saya begitu kotor untuk kamu yang suci, kenapa kamu tidak membiarkan saya mati saja!!" teriak Sabiya padanya.

Lalu, dia melihat luka itu di sana. Luka lama Sabiya yang selalu ada di dalam matanya. Membuat seluruh tubuhnya kaku, juga jantungnya yang seketika berhenti karena terasa sakit sekali. Mengingat bagaimana Sabiya bersimpuh mengiba pada mereka untuk mengampuni sang pelaku. Hal yang dia sangat benci tapi dia lakukan juga. Sabiya tidak tahu, bahwa justru dia yang merasa kotor sekali selama ini. Sudah ada banyak darah di tangannya. Salah satunya, darah dari Rangga.

"Pergi, dari hadapan saya." Getar tubuh Sabiya membuat tangan wanita itu juga bergetar. "Saya nggak akan mengganggu kamu, asal jangan ganggu saya. Nggak perlu repot-repot menghindari atau menyingkirkan saya. Sebentar lagi, kamu nggak akan melihat saya lagi. Saya akan menghilang dari dunia kalian. Seperti yang kamu selalu harapkan diam-diam."

Rahang wajahnya mengeras. Dia tidak mengerti apa arti kalimat Sabiya. Tapi Sabiya tidak mungkin bertindak bodoh karena wanita itu memiliki Damar. Tidak mungkin. Sabiya akan berani meninggalkan mereka. Jadi ini hanya ancaman kosong belaka.

"Gunakan head setnya untuk berbicara dengan Janice atau Amy dan mengatur segalanya dari sini. Bilang pada Angel jika kamu sudah selesai dan ingin keluar." Dia memberi jeda. "Angel, kunci ruangan ini dan hanya buka ketika saya ijinkan."

Sabiya masih mematung berdiri berusaha keras mengendalikan emosi sambil menatapnya tajam. Lalu tubuhnya melangkah ke luar ruangan.

Pintu tertutup dan dia bersender pada dinding yang dingin di luar, mengusap wajah dengan kedua tangan.

Lengan Sabiya merah, apa tadi dia terlalu keras mencengkram? Apa itu sakit? Suhu tubuh wanita itu masih hangat dan wajahnya pucat. Apa Sabiya baik-baik saja?

Dia menggeser dirinya untuk menatap pintu dengan kaca kecil di bagian atas. Sabiya masih berdiri sambil menggenggam lengannya yang tadi dia cengkram kuat. Wanita itu menunduk dan menangis dalam diam. Tangisnya tidak lama, karena setelah itu Sabiya menghirup nafas panjang dua kali lalu menghapus seluruh air mata dan kembali bekerja. Tangannya mengepal keras menyaksikan itu semua. Kemudian dia melangkah mundur dan pergi.

***

Aku no comment sama Bang Arsyad.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro