Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Charm

Mata Mahendra menatap pantulan gambar di atas permukaan meja berukuran sedang dalam ruangan lab di safe house. Tubuhnya berdiri serta satu tangan menggenggam tablet sambil tangan lainnya sibuk menggeser layar pada tablet tersebut. Dia sedang memeriksa semua data William Wongso.

Keluarga Wongso adalah pemilik industry tekstil terbesar di negaranya. Juga satu rumah mode yang dikelola oleh Caroline Wongso. Dia sudah berhasil menjebol akses data perusahaan milik William dan sedang mengamati angka laporan rugi laba perusahaan itu. Segala data dia cermati, setiap barisnya. Kondisi kesehatan suatu perusahaan bisa terlihat dari laporan ini. Ada angka-angka yang memiliki fluktuasi benar-benar tinggi pada baris yang bertuliskan miscellaneous. Satu kata yang memiliki arti 'rupa-rupa.'

Matanya sudah berpindah dari laporan tahunan pada laporan bulanan. Dahinya mengernyit. William tidak berusaha menyembunyikan kenaikan tinggi pada cost line tadi. Apa orangtua William yang sekarang menjabat sebagai komisaris perusahaan mereka itu tahu mengenai keanehan ini? Dia akan mengabaikan pertanyaan tadi. Karena pertanyaan yang lebih penting adalah kemana dana-dana itu pergi? Apa mungkin jumlah yang fantastis itu dia kirimkan pada Alexa?

Mahendra kembali duduk di depan keyboard dan mengetik cepat. Setelah sepuluh menit berkutat, dia sudah bisa masuk pada akses laporan keuangan Alexandra Walton. Oke, kondisi keuangan Alexa sangat baik. Gadis itu bisa bersantai dengan sedikit berhemat satu tahun lamanya. Matanya kembali mencermati kolom pemasukkan Alexa. Bagusnya, laporan keuangan Alexa ditangani dengan professional. Tidak berantakan sekalipun Lexa tidak memiliki badan usaha. Dan dengan mudah dia menyimpulkan bahwa William tidak memindahkan dana besar itu ke Alexa.

Oke, itu berarti dia harus membobol akses perbankan William. Tangannya terus bergerak cepat dan matanya tidak berpindah dari layar. Ini akan sedikit makan waktu karena sistem keamanan perbankan yang digunakan konglomerat biasanya sangat-sangat baik. Tapi, dia adalah Mahendra Daud. Tidak ada firewall yang tidak bisa dia tembus. Sekalipun dia melakukan hal ini hanya ketika diperlukan saja. Ya, mengintip hidup orang bukan kegiatan favoritnya. Dia lebih senang menciptakan teknologi baru, bukan mengurusi kehidupan orang lain.

Akhirnya dia tiba pada laporan mutasi William Wongso. Seluruh pergerakan di rekening bank nya. Dia segera menemukan kemana dana itu pergi. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Yang tertulis di sana adalah nama seorang perempuan. May Liawati. Nama itu adalah nama perempuan Herman Daud. Mistress yang disembunyikan. Pamannya luar biasa, dia bahkan menggunakan nama mistress-nya untuk menutupi apa yang dia lakukan. Dasar gila.

Tapi tunggu, jadi William adalah kaki tangan Herman? What? Oh no.

"Lexy, hubungi Arsyad segera."

"Menghubungi Tuan Arsyad Daud." Lexy mengulang perintahnya.

Setelah Arsyad mengangkat ponsel, dia menjabarkan hasil penemuannya.

***

Mahendra ingkar janji. Laki-laki itu tidak turun hingga keesokkan hari. Tania memang datang untuk memeriksa kakinya kemarin, dan ternyata Mahendra benar. Kakinya baik-baik saja. Memar itu berangsur hilang ketika sore. Sekalipun masih meninggalkan sedikit biru di sekitar pergelangan kaki. Tania bilang ini karena obat yang disemprotkan Mahendra mengandung unsur kimia khusus yang mempercepat penyembuhan luka. Oh, entahlah. Dia tidak paham bahasa kedokteran yang digunakan Tania.

Sore hari kemarin Janice juga datang. Wanita berparas tegas dan berwajah kaku sekertaris keluarga Daud. Tubuhnya tinggi dibalut setelan kerja mahal. Sedikitnya sosok Janice mengingatkan dia kepada Josephine Zara. Wanita tangan besi yang menggembleng kemampuannya di NY sana. Janice membawa semua kebutuhannya. Baju-baju, pakaian dalam, seluruh peralatan mandi dan make up nya. Semua yang disiapkan Lidya untuknya. Wanita minim ekspresi itu menggeleng sambil memindahkan 6 koper besar dari dalam bagasi mobil besarnya.

Hey, enam koper itu sedikit. Karena dia tidak tahu sampai kapan dia harus berada di sini.

Pagi hari kedua dia sudah bisa berjalan perlahan. Rumah ini terasa sangat asing karena besar dan sepi. Dia sudah terbiasa dengan sepi. Tapi berada bersama laki-laki yang dia suka sementara dia ditinggal sendiri sungguh terasa sangat berbeda. Setiap lima belas menit dia akan menengok ke arah tangga. Berharap Mahendra turun dan menyapanya. Dia ingin sekali naik ke atas, tapi dia tidak mau memicu kemarahan Mahendra lagi.

Hari sudah menjelang siang ketika perutnya berbunyi. Belum ada makanan apapun lagi yang masuk selain sarapan karbo bersama Mahendra kemarin. Karena dia tidak bisa memasak, tidak pernah. Dapur ada hanya sebagai pelengkap apartemennya saja. Kenapa juga harus bisa memasak saat dia hanya tinggal pergi keluar untuk makan di restoran, atau jika sedang malas berurusan dengan fans dan wartawan gossip dia hanya tinggal melakukan pesan antar. Beres. Tapi sekarang, kemampuan memasaknya yang tidak ada sungguh membuat dia menyesal.

Tubuhnya berada di dapur sedang memperhatikan kompor tanam di hadapannya. Harusnya tinggal putar. Kepalanya mengangguk seolah 'memutar' tadi bisa dilakukan dengan mudah. Kemudian dia berjalan ke arah lemari pendingin. Dahinya mengernyit melihat pilihan telur, susu, keju, buah apel, juga irisan daging steak untuk dua porsi yang dikeluarkan dari dalam freezer entah sejak kapan.

Apa susahnya membuat omellete?

Satu butir telur sudah berada di genggaman. Wajan teflon kecil sudah dia letakkan di atas kompor. Tangan nya sudah bergerak dan berusaha menyalakan kompor. Sayangnya benda itu keras kepala sekali karena api tidak kunjung muncul dari sana.

Kenapa benda sialan ini tidak memiliki touch button? Itu akan lebih mudah kan?

Perutnya yang belum diisi mengirimkan sinyal lapar lagi. Oh, ini bencana. Kemudian keajaiban itu terjadi, api biru muncul dari kompor. Usahanya berbuah hasil. Karena terlalu senang dia melompat gembira sambil tertawa kecil dan meringis nyeri mengingat kakinya belum sembuh benar. Kelakuannya konyol sekali karena paham benar tidak ada siapa-siapa. Apa benar? Dugannya salah.

Mahendra berdiri di belakang menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca. Tubuhnya yang berbalik karena melompat ditempat dengan ekspresi gembira yang tidak ditutupi benar-benar terkejut. Ekspresinya langsung berganti karena wajahnya terasa panas.

"Selamat siang," sapa Mahendra.

"Oh, hai." Refleks dia kembali menghadap kompor sambil sedikit menggelengkan kepala. Berharap merah pada wajahnya bisa pergi.

Dia tidak tahu Mahendra tersenyum tipis saat dia berbalik tadi. Lalu dia fokus menatap telur. Oke, pecahkan telurnya sekarang, Lexa. Tapi bagaimana caranya? Telur pada genggaman tangan dia pandangi saja.

"Butuh bantuan?" tanya Mahendra dari belakang tubuhnya.

Nafas dia hembuskan kesal pada dirinya sendiri. Dia berbalik dan mengulurkan tangan pada Mahendra untuk menyerahkan telur yang dia genggam.

"Aku lapar sekali, dan aku nggak bisa masak."

Mahendra mematikan kompor lalu berjalan ke arah lemari pendingin. Mengeluarkan bahan-bahan makanan lain yang dia ambil dari benda itu dan menjejernya di counter dapur.

"Aku ingin membantu," ujarnya menatap Mahen. Mereka masih berdiri dekat.

"Nggak perlu, nanti malah tambah merepotkan."

Ekspresi Mahendra datar sekali, tidak terbaca.

"Tapi aku ingin membantu." Matanya menatap Mahendra.

Akhirnya Mahendra meletakkan jamur champignon serta alas dan pisau untuk memotong. "Saya suka dengan jamur. Kamu bisa potong jamurnya?"

Oke, dia tidak mau terlihat bodoh jadi dia mengangguk perlahan. Apa susahnya memotong, kan? Pada sudut mata dia melihat Mahendra memperhatikannya. Potongan awalnya terlalu besar, jadi Mahendra mengambil alih sejenak untuk memberi contoh. Dengan mudah laki-laki itu membagi empat satu jamur tadi.

"Kalau terlalu tipis rasanya akan rusak karena bumbu. Kalau terlalu tebal kamu akan kesulitan mengunyah. Buat saya ukuran ini pas."

Tubuh Mahendra yang dekat sekali membuat dia tidak terlalu mendengarkan apa yang Mahendra ucapkan. Tapi kepalanya berhasil mengangguk satu-dua kali. Kemudian dia mencoba lagi masih dalam pengawasan Mahendra. Jamur ketiga dia berhasil dan Mahendra mulai melanjutkan kegiatan memasak yang lain.

"Kukumu terlalu panjang. Bagusnya tidak berwarna," ujar Mahendra sambil bergerak-gerak.

"Nail extension bisa lebih panjang dari ini." Oke, jamur-jamur berikutnya bisa dia taklukan sambil bicara. Ini pencapaian hebat.

"Kamu tahu kuku yang panjang adalah salah satu tempat setan bersembunyi."

Dia terkekeh geli. "Serius? Kata siapa?"

"Semua aktifitas kita dilakukan dengan tangan. Makan, mandi, memasak, membersihkan tubuh, memegang benda-benda. Kuku yang panjang tidak bisa dibersihkan dengan baik. Akan ada kotoran yang ketinggalan. Segala yang kotor itu nggak baik."

"Karena itu ada jasa meni-pedi."

Mahendra menyodorkan asparagus yang sudah dicuci bersih untuk dia potong juga. "Ini, potong jadi dua saja." Mahendra kembali ke kompor sejenak, kemudian memasukkan wajan berisi daging steak dua porsi yang sudah dibumbui ke dalam oven tanam.

"Nggak semua orang bisa ke salon setiap hari seperti kamu, dan di sini nggak ada salon. Jadi potong kukumu atau itu akan menghitam."

"Hey, aku bisa menyikatnya. Aku bukan si jorok yang akan membiarkan kuku ku menghitam." Matanya beralih ke Mahendra sejenak.

"Kamu bukan si jorok, tapi si manja."

Karena kesal matanya berpindah ke Mahendra hingga tangannya teriris pisau. "Auw." Darah menetes dari jari. "Sssshh..." dia mulai mengibaskan tangannya karena nyeri yang tiba-tiba menyerang.

Mahendra menangkap tangannya tiba-tiba. "Darahmu bisa kemana-mana kalau kamu kibas-kibas begitu."

"Tapi sakit." Dahinya mengernyit.

"Dasar manja."

"Ya, memang. Mau apa?"

Tangan Mahendra menarik tangannya yang terluka ke kitchen sink. Jarinya yang terluka Mahendra genggam dan julurkan ke kran air yang menyala. Itu semua membuat irama jantungnya berantakan. Mahendra sudah mengambil band aid dengan gambar Iron Man. Dia sendiri sudah mengambil tissue dan mengeringkan jarinya.

"Ini, pakai."

Mereka berdiri berhadapan. Matanya melirik band aid lucu itu. "Nggak mau, pakaikan. Kamu sudah menghina aku tadi. Tanggung jawab." Tangannya yang terluka dia julurkan sambil bibirnya mencebik sebal. Paham benar Mahendra tidak akan menurutinya.

Tebakannya Mahendra akan makin memaki atau bersungut-sungut kesal dan pergi dari sana. Jadi, ketika Mahendra maju satu langkah kemudian menggenggam tangannya serta memeriksa luka tadi, jantungnya benar-benar ingin berhenti.

Kepala Mahendra miring sejenak menatapnya masih sambil menggenggam tangannya. "Wajahmu merah dan udara di sini sejuk. Kamu demam?"

Dengan cepat dia menarik tangannya kemudian mengambil band aid dari tangan Mahendra dan membalik tubuh. Berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah. "Aku bisa sendiri."

Anehnya lagi, tubuh Mahendra mendekat di belakang punggung, dekat sekali. Dan band aid sialan ini sulit diajak kerja sama. Mahendra membalik tubuhnya perlahan lalu mengambil jarinya yang terluka. Kemudian laki-laki itu memasangkan band aid Iron Man yang sudah pasti dia tidak akan lepas lagi.

"Mmm, terimakasih," ujarnya terbata.

"Makanan akan matang lima belas menit lagi. Saya akan turun lagi nanti."

Mahendra pergi dari sana, meninggalkan dia yang berdiri termenung di tengah dapur berusaha menenangkan detak jantungnya.

***

Pintu lab sudah tertutup di belakang. Kepalanya menggeleng keras. Apa-apaan itu tadi. Sejak kapan dia perduli? Ah, sial. Ada apa dengannya? Tapi wajah Alexa manis sekali ketika tadi dia menemukan gadis itu sedang melompat gembira karena kompor yang berhasil dia nyalakan. Atau bagaimana Alexa mencebik menggemaskan ketika tangannya terluka.

Sial, ini cobaan yang paling berat. Karena pada banyak kesempatan dia berada di dapur dengan Sabiya, dia tidak gusar begini. Sabiya wanita dewasa yang matang hingga jarang sekali melakukan kesalahan. Masakan Sabiya sama enak dengan masakannya sendiri. Jadi biasanya dia dan Sabiya hanya akan diam saja jika kebetulan berada di dapur yang sama.

Tapi dengan Alexa, gadis itu manja, kekanakkan, tidak bisa apa-apa dan ceroboh. Oh, jangan lupa soal betapa cantiknya dia. Rambut brunette yang bergelombang sempurna, dan tadi hanya digelung asal ke atas. Mata biru langit seperti telaga, tubuh tinggi semampai mengenakan setelan tidur dengan kerut dan renda dibalik jubah satin pinknya. Belum lagi wangi lembut parfume miliknya. Alexa seperti boneka yang cantik sekali. Apalagi ketika pipinya merona tadi. Semua itu membuat dia merasa...entah, entah.

Kakinya terus berjalan mondar-mandir gelisah. Bukan hanya karena pesona Alexandra, tapi juga karena apa-apa yang dia tahu tentang William atau hidup Alexa sendiri. Ya, setelah dia menyelidiki William tadi dan menghubungi Arsyad, rasa penasaran sudah menguasai seluruh pikirannya. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Alexandra Walton. Jadi dia mulai mencari seluruh data Alexa, mengunjungi seluruh sosial media wanita itu. Dia bahkan mencari tahu tentang Lidya, juga menjebol data-data pribadi milik Harold Walton.

Alexandra lahir di Indonesia, setelah itu keluarga Walton berpindah ke Los Angeles dan berpindah lagi ke New York. Alexa bukan wanita bodoh, karena dia diterima di Princeton, Stanford dan Colombia. Pilihan Alexa jatuh ke Colombia jurusan akunting. Wanita itu menyelesaikan kuliahnya dengan baik, sekalipun ketika detik terakhir dia memutuskan berbelok untuk mengejar karirnya bersama Lidya. Dia menemukan banyak foto Alexa dan Lidya ketika mereka bersama di apartemen yang sederhana sekali pada data yang disimpan Lidya.

Keluarga Alexa terkesan dingin dan berjarak. Karena setiap kali foto keluarga, senyum mereka terlihat sangat palsu. Juga wajah Alexa yang keras dan kaku, lalu mata birunya yang kosong, menunjukkan betapa Alexa tidak nyaman dan kesepian. Juga foto-foto Alexa dengan William. Senyum Alexa benar-benar terlihat palsu dan sorot mata gadis itu sedih sekali. Jumlah foto-foto Alexa banyak sekali setelah dia terkenal. Sikap Alexa selalu sempurna di semua foto. Postur berjalan yang sangat baik, tubuh tinggi dibalut dengan baju-baju dari rumah mode terkenal, wajah yang diangkat tinggi serta pandangan dingin menatap ke lurus ke depan. Sesekali gadis itu akan tersenyum tipis pada para penggemar.

Semua itu sangat berbeda dengan sikap Alexa di sini. Alexa memiliki banyak ekspresi. Acuh tak acuh ketika pertama tiba, menantangnya di pagi pertama depan kamar mandi, kesal dan marah saat dia hina, menangis sedih hanya karena Lexa ingin pakaiannya, bersorak kecil karena bisa menyalakan kompor tadi, penasaran ketika dia sedang bercerita tentang hutan dan buaya, tertawa lepas, atau tersipu malu dan membuat pipinya merona. Lihat, betapa dia sudah gila karena bisa mengingat seluruh ekspresi Alexa ketika bersamanya.

Ini sinting, gue harus keluar dari sini segera.

"Bang, gue pindah ke ID Tech." Dia menghubungi Arsyad lagi.

"No, lo tetap di sana. Pernikahan Hanif tinggal satu hari lagi. Kalau dugaan kita benar, William adalah salah satu sponsor Herman. Posisi Alexa berbahaya karena William sedang cari muka."

"Harusnya William brengsek itu nggak menakit-nakuti Lexa dengan cara konyol, hanya biar Alexa lari ke tempatnya? Dasar laki-laki gila!!"

"Hey, orang yang jatuh cinta akan melakukan apa saja. William sudah mencoba menghubungi Alexa saat gadis itu sampai dan Lexa tidak bergeming. Will panik dan melakukan cara yang berbahaya untuk mendapatkan Lexa kembali. Dia pikir Lexa akan berlari mencari perlindungan kepadanya ketika insiden bunga kemarin. Sekarang ini, Will membayar orang-orang untuk mencari Lexa, Hen. Jadi lindungi Alexa sementara ini."

"Bang, minta Niko atau Max ke sini, atau Elang. Mereka sangat cakap."

Arsyad menarik nafas panjang. "Hanif curiga sesuatu, Hen."

"Apa?"

"Hanif curiga ada seseorang di tim kita yang berkhianat. Penyusup. Lo tahu Hanif nggak akan bicara atau menuduh orang sembarangan."

"What?"

"Karena gerakan kita selalu diketahui anak buah Aryo. Mereka selalu satu langkah di depan kita soal pencarian Aryo ini. Jadi, selain Niko tidak boleh ada siapapun yang pergi ke safe house. Gue lagi butuh Niko di sini sekarang, bertahanlah dengan Lexa di sana. Lo masih bisa bekerja seperti biasa. Minta Erick siapkan seluruh hal yang lo butuhkan. Janice akan kirimkan ke elo."

Dia bersumpah serapah kesal.

"Hen, ada apa sebenarnya?"

"Nggak ada apa-apa."

"Lo menjawab terlalu cepat, Hen. Gue paham lo nggak biasa berada dekat dengan perempuan. Tapi Alexa bukan Sabiya..."

"Bang, ya Tuhan! Stop, oke? Sumpah gue nggak mau kita mulai berkomunikasi konyol dan bahas soal perempuan. Kita anti-perempuan, Bang. Water-proof, bullet-proof, women-proof. Do you got what I mean?"

Arsyad menghirup nafas panjang di sana. "Lo gugup dan meracau, Hen. Hati-hati. Jangan terlalu keras menghindar, karena jatuhnya bisa lebih parah lagi."

"Cukup, Bang. Sumpah gue benci pembicaraan ini. I'm out."

Hubungan dia sudahi dengan perasaan makin gusar. Pintunya diketuk dari luar.

"Hen..." suara Alexa di sana. "Ovennya berbunyi, apa kamu bisa kasih tahu aku harus apa?"

Tubuhnya sudah menghadap ke arah pintu. Teknologi yang dia pasang membuat dia bisa melihat siapa yang ada di balik pintu geser otomatis pada lab miliknya, sementara orang di luar tidak bisa melihat ke dalam. Matanya memandang wanita berpenampilan sempurna itu di hadapannya. Sikapnya yang serba salah, gugup dan ragu-ragu membuat Alexa terlihat lebih apa adanya. Juga membuat dia ingin berada lama-lama di dekat Alexa.

Ya Tuhan.

***

Sampai kapan Mahendra berhasil bertahan? Hehehe. Kita nantikan jawabannya. Stay tune terusss.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro