22. Configuring a plan
Alexa berpikir harinya akan buruk sekali ketika bangun pagi tadi. Apalagi tahu sikap Mahendra sejak awal sangat tidak bersahabat. Tapi setelah insiden mati lampu, sikap Mahendra melunak dan dia sungguh gembira. Seperti dulu ketika dia diberi kejutan pergi ke Disneyland oleh papa.
Sekarang Mahendra sedang memasak di dapur sambil bercerita. Tentang petualangan si empat saudara. Dia pikir Mahendra berbohong dengan baik sekali, karena semua cerita itu terasa tidak nyata. Apa benar ada ikatan persaudaraan sekuat yang mereka punya? Military summer camp di hutan belantara? Pondok yang terbakar? Atau kisah buaya? Oh, dia tidak perduli benar tidaknya cerita itu karena sungguh dia sedang terbang tinggi. Berada bersama laki-laki yang dia cinta dalam diam, mengenakan pakaian laki-laki itu hingga seluruh tubuhnya seolah menguar wangi yang sama, lalu mendengar Mahendra sesekali tertawa. Laki-laki itu bisa tertawa.
Dunia rasanya berputar dan dia ingin menghentikan waktu. Begini saja, dia tidak mau yang lain lagi. Dia juga tidak perduli dengan segala etika, atau sikap sempurna yang biasanya dia junjung tinggi. Hah, dia bahkan menertawakan memar di kakinya. Dia terus jatuh, dan jatuh, dan jatuh lagi pada Mahendra. Dia tidak perduli.
"Saya harus segera kembali bekerja, jadi ini hanya makanan sederhana." Mahendra meletakkan piring berisi sarapan di depannya.
Dia menatap piringnya semangat. Biasanya dia hanya makan buah saja ketika sarapan. Tapi dia tidak ingin membuat Mahendra kecewa, juga dia ingin berlama-lama mengobrol begini. Jadi, dia abaikan seluruh karbo dan protein di depan mata. Dia bisa muntahkan nanti ketika Mahendra sudah sibuk bekerja di atas.
"It looks nice, thank you." Senyumnya mengembang lebar.
Tangannya mulai menyendok omellete keju sederhana lalu menggigit sepotong roti gandum yang dibakar tanpa mentega. Mahendra duduk di hadapannya dan menyantap makanan yang sama.
"Kamu terlalu ringan. Apa semua rekan seprofesimu begitu?"
"Entah, aku nggak pernah gendong mereka."
Mahendra terkekeh kecil. "Kamu bisa melucu."
"Memangnya ada orang yang nggak bisa?" tanyanya heran.
Kemudian Mahendra tertawa lagi. "Saya nggak sangka, saya pikir kamu akan terus bersikap seperti seorang putri raja yang egois dan angkuh."
"Sejujurnya, aku belum pernah bersikap begini..." dahinya mengernyit mencoba mengingat. "...oh hanya sekali, ketika aku dan Lidya mulai mengejar karirku sekarang. Kami tinggal bersama dan benar-benar bangkrut. Untung saja semua pakaian mahalku dari Mama masih pas di tubuh. Jika tidak? Aku benar-benar akan jadi gembel."
"Pasti melelahkan terus bersikap sempurna begitu."
"Aku sudah biasa. Tuntutan pekerjaan, lingkungan, keluarga, penggemar. Bahkan sesuatu yang kamu benci, jika kamu lakukan berulang-ulang kamu akan terbiasa dengan sendirinya."
"Terus, kenapa sekarang bersikap kekanakkan begini?" Mahendra sedang menyeruput kopi.
"Gampang, aku tidak sedang bekerja, tidak berada dalam lingkungan atau keluargaku yang menuntut, dan nggak ada penggemarku di sini." Atau mungkin aku hanya merasa sangat nyaman berada bersama kamu, Hen. Dia lanjut bergumam dalam hati.
"Apa kamu pernah berfikir untuk melakukan hal lain selain profesimu sekarang?"
Dia menggeleng. "Ini duniaku, Hen. Sesuatu yang aku suka dan aku perjuangkan sejak lama."
"Tapi profesimu itu tidak akan bertahan lama."
"Ya, ada benarnya. Jadi aku akan menikmati tiap detiknya."
"Lalu? Setelah itu apa?" Mahendra sudah selesai makan dan menatapnya.
"Entah, aku belum pikirkan. Karena masih ada yang belum aku capai sekarang. Hey, apa ini sesi wawancara? Bagaimana dengan kamu sendiri?"
"Saya sudah banyak cerita tadi. Sudah cukup." Mahendra berdiri untuk membereskan piring mereka.
Dia ingin berdiri dan segera duduk lagi karena tumitnya masih nyeri. "Aku nggak bisa kemana-mana sepertinya. Apa kamu punya alat bantu berjalan? Tongkat atau apapun?" Tongkat, Lexa? Serius? Kamu top model kelas dunia.
"Saya akan panggil Tania ke sini untuk memeriksa kakimu. Sementara kamu beristirahat di kamar dulu."
"Aku pasti akan benar-benar bosan," keluhnya. "Apa Lidya benar-benar tidak boleh ke sini?"
Mahendra menggeleng tegas. "Tidak. Ini tempat perlindungan kami. Titik terakhir ketika semua tempat lain hancur. Semua persediaan makanan, senjata, obat-obatan, bahkan pusat teknologi ada di sini. Jadi tidak sembarang orang yang boleh tahu. Apalagi sekarang situasi sedang tidak menentu."
"Ini benar-benar seperti tidak nyata untukku. Aku masih sulit percaya."
"Kamu yang tinggal di dunia mimpi, Lexa."
"Mimpi? Kalau maksudmu bekerja tanpa henti, tidur hanya 3 jam setiap hari dengan porsi makan yang dibatasi dan tuntutan sikap sempurna setiap waktu itu adalah mimpi. Oke baiklah, aku sedang bermimpi. Bangunkan aku, Hen. Karena mimpiku buruk sekali."
Mahendra mendengkus sambil tersenyum kecil dan mengangguk seperti mengerti. "Kalau begitu, anggap saja kamu sedang liburan."
"Apa aku benar-benar aman di sini?"
"Kamu belum tahu apa yang rumah ini bisa lakukan di saat terburuk."
"Oh, aku nggak ingin tahu."
Mata Mahendra menatapnya lagi, dia masih duduk di tempat yang sama sementara Mahendra berdiri di dekat tangga. "Kamu butuh bantuan untuk duduk di sofa atau masuk ke dalam kamar? Memar itu akan membaik 1-2 jam lagi. Jangan banyak gerakan kakimu dulu."
Salivanya dia loloskan perlahan. Iya, aku ingin kamu bantu jadi aku bisa berada dekat denganmu, menyentuhmu, Hen. "Tidak perlu, aku baik-baik. Terimakasih." Dia tersenyum singkat.
"Oke. Jika butuh apapun, katakan pada Lexy." Kepala Mahendra mendongak. "Lexy, ini tamuku, Nona Alexandra Walton. Tolong bantu dia jika dibutuhkan."
"Baik, Tuan." System itu menyahut.
"Apa kamu akan turun untuk makan siang nanti?" tanyanya berharap.
"Mungkin. Saya tinggal dulu." Tubuh Mahendra naik ke lantai atas sementara dia menatap punggungnya hingga menghilang.
***
Sementara itu di tempat lain.
"Wanitamu belum menghubungi?" tanya Herman pada penelpon di seberang.
"Belum. Dia malah berlindung di MG dan belum keluar dari sana."
Herman mendengkus. "Dia tidak akan keluar dari sana. Sekali Daud sudah ikut campur, maka jangan harap wanitamu itu akan berlari minta perlindunganmu."
"Sial, bukan itu rencananya."
Herman tertawa. "Hey, itu rencana konyolmu. Saya nggak perduli. Apa dana sudah masuk?"
"Sudah, saya bertaruh untukmu Herman. Jangan sampai gagal. Pastikan itu."
Suara Herman berubah menjadi lebih menekan. "Ini hanya bisnis. Kamu atau siapapun bisa mundur sekarang juga jika tidak mau ikut dalam rencana saya. Dan jangan coba-coba mengancam saya. Ingat, saya adalah Daud juga. Camkan itu."
Hubungan ponsel itu diputus oleh Herman, tapi lalu ponsel Herman berdenting lagi.
Wibowo: Janji temu dengan Yudo Mulyono, bapak wakil presiden tiga hari kedepan. Tempat akan diinfo menyusul.
Senyumnya terkembang.
***
ADS
Mata Arsyad menatap layar besar di depannya. Ada Hanif di black room bersamanya. Akhirnya dia memutuskan untuk membagi sedikit bebannya pada Hanif. Karena Mahendra dan Mareno punya kecenderungan emosi yang meluap-luap. Hanya Hanif yang selalu bisa berpikiran tenang sejak dulu.
Dia menoleh pada Hanif sejenak. "Apa lo sudah siap?"
Hanif tersenyum kesal. "Gue sudah menunggu lama, Bang."
"Ini hanya sebagian kecil informasi. Sementara ini Mahendra masih belum tahu karena gue masih khawatir perihal reaksinya nanti, juga Mareno."
Kepala Hanif mengangguk mengerti.
"Oke. Ini semua lini perusahaan keluarga Daud." Tangannya bergerak-gerak menunjuk pada layar. Hasil risetnya selama beberapa minggu ini ditambah dengan kaitan kejadian pada buku merah terpampang di sana. "Usaha utama keluarga kita adalah Sanggara Buana, pertanian. Kebun sawit, ternak sutra, ladang-ladang di berbagai daerah, juga pabrik-pabrik pangan. Lo sudah tahu pasti. Ada sembilan cabang usaha selain Sanggara Buana dan ADS karena ADS milik kita berempat. Sembilan itu termasuk ID Tech yang dipegang Mareno, dan Natabumi yang dipegang elo sendiri untuk konservasi lingkungan. Dua dari sembilan perusahaan itu bersih. Karena kalian yang pegang. Dua lagi dipegang Om Nugraha, dan harusnya baik-baik saja. Tapi yang lo nggak tahu kalau lima perusahaan ini digunakan oleh Herman untuk praktik money laundry."
Matanya melihat dahi Hanif yang mengernyit, lalu dia melanjutkan. "ID Tech didirikan oleh Ayah, Ardiyanto dan Herman. Setelah Herman mulai melenceng, kegiatannya di awasi oleh Ayah dan akhirnya ketahuan kalau Herman mulai menggelapkan sejumlah uang. Dana-dana itu diputar dan disimpan di lima perusahaan ini. Dua dipegang oleh Almira, satu dikelola Lesmana, dan dua dipegang oleh Herman sendiri."
"Herman masuk ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai Menteri di orde sebelumnya, menggunakan sebagian dana yang dia gelapkan. Sayang, keinginannya untuk maju terhalang karena salah satu pejabat yang mensponsori dia tertangkap tangan. Saat itu, yang menjatuhkan Herman adalah Ayah dan Sanjaya Darusman. Ayah bungkam perihal keterlibatan Herman, sekalipun Ayah tahu. Tapi pion-pion Herman diruntuhkan oleh Ayah. Itu membuat Herman murka. Sekalipun nama Herman hanya berhenti hingga status saksi, bukan tersangka."
"Nama-nama dan tanggal yang ada di dalam buku merah pas dengan seluruh kejadian. Siapa pion-pion Herman dulu, dan apa jabatannya ada di sana. Gue sedang melakukan pengecekan dimana orang-orang itu sekarang. Karena Herman saat ini akan mengulang hal yang sama. Posisi Menteri Dalam Negeri masih kosong, karena kasus penyelundupan senjata waktu itu. Herman ingin masuk, dan ini bahaya Nif. Mendagri adalah salah satu jabatan sangat strategis."
"Gue punya banyak pertanyaan, Bang. Pertama, apa Almira terlibat? Tante Almira orang bersih."
"Ya, Almira memang bersih tapi sayangnya suami Almira penjudi besar. Lo tahu kasusnya kan. Dugaan gue Almira terpojok karena ingin menyelamatkan suaminya. Itu belum jadi fakta. Gue belum minta Mahendra untuk cek."
"Bagaimana dengan tiga lainnya?"
"Dua adik ayah sudah meninggal. Saham-saham milik mereka jatuh langsung ke tangan Ardiyanto sebagai kakak pertama. Saham-saham itu yang sebagiannya dialihkan ke Herman atas seijin Ardiyanto. Ini aneh, tapi gue belum selesai mengecek segalanya."
"Bagaimana bisa Sanjaya Darusman terlibat?" Hanif bertanya lagi.
"Posisi yang ingin Herman curi di orde lama, adalah posisi yang diduduki oleh ayah dari Sanjaya Darusman."
"Menteri Pariwisata?"
"Saat orde itu, pariwisata negara kita sangat potensial. Dana-dana mengalir untuk meningkatkan kegiatan pariwisata. Ingat, tujuan Herman adalah ke puncak. Jadi, dimana ada lahan basah, dia akan berada di sana. Dana-dana bisa digelapkan mudah dan disimpan saat Herman ingin menggunakannya."
"Gila."
"Ya, sayangnya Paman kita memang gila," sahutnya.
"Karena itu El Rafi juga sudah bersiap-siap saat Herman kembali." Hanif langsung mengerti.
"Ya, El Rafi paham benar besar kemungkinan Herman akan membalas."
Hanif mengangguk lagi. "Kenapa Ayah tidak menyeret Herman jika dia memang bersalah, Bang."
Dia diam. Kali ini, dia belum bisa membagi rahasia itu pada Hanif. Tentang alasan Herman menjadi gila dan terobsesi. "Yang itu, gue belum bisa bicara sekarang. Kita hargai keputusan Ayah dulu."
Mata Hanif menatapnya mengerti.
"Nif, kalau kita jatuhkan Herman, seluruh pemeriksaan asset perusahaan akan dilakukan oleh negara. Kegiatan money laundry Herman akan terbongkar, lo paham artinya kan? Seluruh bidang usaha Daud akan diperiksa, disita, berhenti. Saham anjlok, seluruh keluarga kita akan jatuh. Ditambah lagi, ada beberapa dokumen bukti yang sudah berhasil gue dapat atas kegiatan money laundry Herman, yang ditanda-tangani oleh Ardiyanto Daud."
Wajah Hanif memucat, kelihatan benar adiknya ini berusaha mengendalikan rasa terkejutnya sendiri.
"Gue siap, Nif. Kita berempat sudah disiapkan untuk ini oleh Ayah sedari dulu. ADS adalah badan usaha terpisah dan bersih. ID Tech dan Natabumi sama bersihnya. Siapapun boleh cek perihal itu. Tapi, keluarga kita yang lain..." Kalimatnya menggantung. "Mereka tidak siap, Nif. Audra, anak-anak Nugraha, sepupu-sepupu kita yang lain. Mungkin karena hal itu juga dulu langkah Ayah menyeret Herman terhenti, karena nurani."
Dia bisa mendengar Hanif memaki. "Ini benar-benar kacau, Bang."
"Ya, sangat kacau." Nafasnya dia hirup panjang.
"Jadi, apa rencana lo?"
"Satu per satu. Bangunkan Ardiyanto, kita harus menanyakan kenapa dia bisa terlibat? Bagaimanapun Ardiyanto adalah kakak pertama. Jadi kendali atas segala usaha dia yang pegang." Dia memberi jeda. "Lalu, kita harus cari tahu pion-pion baru Herman. Siapa sponsornya, dana-dana itu disembunyikan dimana. Kemarin dulu Adrian Straussman terlibat, tapi bisa kita hentikan. Sekarang GT Techno dipegang Mahesa Tanandra, sahabat Mareno yang bersih. Jadi GT Techno aman. Gue akan minta Mahendra cek nama-nama pion lama Herman yang ada di dalam buku merah. Kita juga harus tembus sistem komunikasi Herman, kita butuh tahu janji-janji temunya. Pasti ada orang pemerintah yang berhasil Herman pikat dan perdaya untuk menjadi pion baru. Mungkin juga pengusaha-pengusaha lain."
"Gue setuju. Andai Aryo nggak terus-terusan mengganggu."
Dia mendesah. "Apa menariknya kalau segalanya dibuat terlalu mudah kan?"
"Kita benar-benar butuh Mahendra, Bang. Juga Mareno dan Niko. Sebaiknya, semua informasi ini juga dibagi ke mereka. Nggak adil kalau kita memberikan tugas dengan latar belakang yang nggak jelas. Adik-adik kita pintar, sekalipun sifatnya unik-unik. Mereka akan tahu pada akhirnya."
Nafas dia hirup panjang lagi. "Ya, gue harus akui lo benar. Pembagian tugas akan jauh lebih gampang kalau mereka tahu situasinya."
Tangan Hanif menepuk pundaknya, mereka masih berdiri. "Bang, kita hadapi bareng-bareng. Seburuk apapun itu, lo nggak sendirian Bang."
Senyumnya terkembang. "Gue suka lupa soal itu."
Hanif terkekeh kesal. "Kalau kata Mareno, dasar sok jagoan lo, Bang."
Mereka tertawa kecil.
***
El Rafi duduk menatap kertas yang dia pegang. Sudah sejak satu bulan lalu dia mulai menelusuri tentang asal-usul Daranindra, istrinya. Nama ayah Dara adalah Pradhana dan Ibunya bernama Arlita. Hanya nama singkat tanpa nama keluarga. Tapi dia berusaha mengingat lagi silsilah keluarga Daud. Kenapa? Karena golongan darah Dara dan keluarga Daud sama. Golong darah langka, 0.36% dari seluruh penduduk dunia.
Silsilah keluarga Daud yang dia dapat dari dokumen ayahnya sudah dalam genggaman juga. Keluarga Daud adalah keluarga besar. Ardiyanto Daud yang pertama, lalu Ibrahim Daud, kemudian Arlita, Herman, Nugraha, Almira, Lesmana, dan dua lain yang tersisa sudah meninggal dunia karena kecelakaan naas. Arlita Daud. Apa mungkin? Karena Arlita menghilang di tengah studi kedokterannya dulu, itu yang dia ingat dari cerita ayahnya. Dara pernah berkata, bahwa ibunya seorang dokter yang sedang bertugas di pedalaman. Dara juga pernah bilang bahwa ibunya berasal dari kota. Sekalipun tanpa nama kota. Kebetulan yang beruntun adalah bukan sebuah kebetulan, melainkan adalah fakta yang belum terungkap.
Tangannya sudah bergerak pada laptop mencari folder foto-foto keluarga lama. Ya, keluarganya dengan keluarga Daud sudah bersahabat sejak lama. Jadi beberapa kali dalam satu tahun mereka pasti menghabiskan waktu bersama. Matanya menelusuri folder yang ada, membuka satu demi satu, mencari sosok Arlita Daud.
"Martha, maaf mengganggu malam-malam." Akhirnya dia menghubungi Martha.
"Ya, Pak?"
"Saya butuh foto-foto lama keluarga Daud dan Darusman. Apa kamu simpan?"
"Ya. Saya bisa bantu carikan."
"Jangan tanyakan ini pada siapapun, termasuk Ayah, Mami atau Niko, bahkan Brayuda. Hanya kamu dan saya."
"Baik, Pak."
"Saya tunggu. Terimakasih, Tha."
Pintu ruang kerjanya diketuk perlahan. Belahan jiwanya itu masuk sambil tersenyum lebar. Mengenakan lingerie hitam dengan kimono satin panjang berwarna keemasan. Dara selalu terlihat sempurna di matanya.
"Malam, Bapak Rafi. Apa saya mengganggu?"
Tangannya dengan cepat memindah layar laptop dan tersenyum lebar. Dara langsung duduk dipangkuannya dan melingkarkan lengan pada lehernya. Kepala Dara tersuruk di antara leher dan bahunya. "Ini sudah hampir tengah malam. Kenapa aku dicuekin terus?"
"Maaf, aku keterusan." Bibirnya mencium tepian rahang Dara. Istrinya itu menyemprotkan perfume favoritnya. Kemudian tangannya menyentuh remote untuk mengunci pintu ruang kerja.
Tubuh Dara dia angkat perlahan dan dia dudukkan di meja kerja. Sudah satu minggu dia berada di luar kota. Ini hari pertama dia berada di rumah. Rasa rindu dan kebutuhan dasarnya untuk merasakan Dara mendesak hingga tenggorokan. Mata coklat terang Dara berbinar sempurna menatapnya.
"I miss you." Dia berbisik lalu mendekatkan tubuh mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro