Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Nyctophobia

Setelah adegan intens mereka di depan kamar mandi-intens karena emosi, bukan yang lain. Dia menutup pintu toilet kasar lalu menahan makiannya di dalam. Wanita itu benar-benar gila.

Telanjang sepanjang hari? Apa dia tidak punya malu? Tapi tubuhnya sempurna, Hen. Sial, siapa yang bicara itu?

Kepalanya sudah dia gelengkan keras untuk menghilangkan apa yang dia lihat tadi. Kemudian dia merapal ulang sumpah serapah lagi.

Cewek gila, nggak punya aturan, nggak tahu malu, menyebalkan...

Kemudian setelah dia selesai apa yang dia ingin lakukan di kamar mandi dan ingin keluar, dia berdiri termenung menatap pintu. Bagaimana jika si gila benar-benar telanjang seharian. Tangannya sudah memijit kepalanya yang tiba-tiba sakit. Lalu dia mulai berjalan mondar-mandir gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil handuk mandi putih bersih yang baru dari dalam lemari bawah wastafel. Handuk itu berukuran besar. Jika dia menemukan Alexa masih tidak berpakaian, dia bisa menutupi tubuh gadis itu lagi. Karena dia sudah tidak mengenakan jubah panjangnya yang tadi dia gunakan untuk menutupi tubuh Alexa.

Ini merepotkan, ya Tuhan...hhrrrghhhh!!!

Pintu dia buka sedikit, dia ingin mengintip dan menilai situasi. Tapi bodoh sekali kan? Ini rumahnya, kenapa malah dia yang tidak nyaman begini. Lalu dia menghirup nafas panjang dan berdoa bahwa Alexa berada di kamar saja. Sayangnya, doanya tidak terkabul. Baru dua langkah dia sudah menemukan jubahnya tergeletak di lantai. Kepalanya menggeleng kesal.

"Jadi, apa sudah memutuskan?"

Ya, si gila itu berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang dan hanya mengenakan pakaian dalamnya tadi. Matanya berusaha menatap lurus ke depan.

"Saya mau Lidya antarkan barang-barang saya, siang ini juga."

Tangannya yang menggenggam handuk mengepal kuat karena emosi perlahan naik. Tidak ada yang boleh memerintahnya di rumahnya sendiri. Kecuali abang-abangnya pasti.

"Lexy..."

"Ya Tuan."

"Blokir akses CCTV sementara ini. Tutup semua pintu dan jendela, matikan lampu. Gelapkan semua. Tanpa sinar sama sekali." Tubuhnya berjalan ke arah salah satu kamar lain di lantai yang sama dan mengambil black glasses. Kacamata itu hanya bisa mendeteksi panas tubuh. Jadi tubuh telanjang Alexa tidak akan bisa dia lihat.

"Hen...stop. Aku takut gelap!!" Tubuh Alexa menegang seketika.

"Bagus. Sekarang, Lexy."

"Aku serius." Suara Alexa panik sekali.

Semua panel pintu dan jendela menutup sempurna, lampu-lampu otomatis dimatikan. Tanpa dia sadar, tangan Alexa bisa menggapai kausnya dan mencengkram kuat. Black glasses sudah dia kenakan. Dia bisa melihat siluet panas tubuh Alexa berada di dekatnya. Juga garis benda-benda di sekitar mereka.

"Lepas."

"Hen, aku beneran takut. Aku nggak main-main. I can't see anything." Tangan Alexa makin mencengkram bagian bawah belakang kausnya kuat. Suara gadis itu panik. Kepalanya bergerak ke sana kemari seolah berusaha menepis sesuatu.

Dia tidak perduli, siapa suruh menantangnya dengan mulai berulah tadi. Sekarang rasakan, Lexa. Tubuhnya berjalan tidak perduli dan Alexa mengikuti kemana dia pergi. Black glasses menampilkan garis-garis benda di hadapannya hingga dia tidak terantuk. Sementara kaki Alexa sudah menubruk kursi yang mereka lewati.

"Mahen, nyalakan lampunya. Please." Suara Lexa sedikit bergetar.

Tubuhnya terus berjalan menuju tangga lebar dan ingin kembali ke lab. Rencananya setelah sampai di labnya sendiri dia akan mengunci pintu dan menyalakan semua lampu lagi. Jadi dia bisa terbebas dari Alexa. Kemudian dia bisa merasakan pegangan tangan Alexa terlepas lalu suara tubuh terjatuh.

Kepalanya refleks menoleh dan melihat siluet merah tubuh Alexa di bawah tangga.

"Lexa?" Tubuhnya berbalik dan kembali ke bawah tangga.

Alexa berusaha berdiri namun karena gelap total dia jatuh lagi. Lalu Alexa duduk di lantai memeluk lututnya sendiri. Dia berjongkok dekat dengan Alexa dan langsung bisa mendengar Alexa yang berusaha menahan tangisnya sendiri sambil menggumamkan sebuah lagu anak-anak. Alexa benar-benar ketakutan.

Handuk tadi dia sampirkan di tubuh Alexa, membelit sempurna mengelilingi tubuhnya. "Lexy, nyalakan lampu."

Black glasses sudah dia lepas saat lampu-lampu menyala.

"Lexa...hei."

Posisi tubuh Alexa masih memeluk lutut dengan kepala menunduk dalam. Tubuhnya yang gemetar hebat sedikit bergoyang sambil masih menggumamkan lagu yang sama berulang-ulang. Dahi Lexa berkeringat dingin.

Nyctophobia atau fobia pada kegelapan. Sh*t, what did you do, Hen?

Satu tangan mengusap lengan Alexa perlahan. Tapi gadis itu tidak bergeming, dan tidak berhenti bersenandung. Bagaimana ini?

Tubuhnya berdiri cepat lalu menyambar ponsel di buffet.

"Hanif Daud," ujarnya.

Kemudian suara Hanif di seberang sana terdengar.

"Bang, gimana cara atasi orang dengan fobia gelap?"

"Siapa?"

"Alexa, Bang."

"Tapi ini masih pagi dan terang benderang. Ada apa, Hen?"

"Bilang aja caranya gimana?" sahutnya tidak sabaran.

"Bagaimana kondisinya sekarang?"

"Duduk di lantai, meringkuk, gemetar, keringatan, dan bersenandung."

"Kenapa akses CCTV lo blokir? Nyalakan." Kemungkinan besar Hanif berada di markas ADS dan ingin mengakses CCTV untuk melihat kondisi Alexa.

"Bilang dulu caranya bagaimana sebelum dia pingsan. Ya Tuhan." Dia tidak bisa menyalakan CCTV sebelum Alexa berpakaian dengan benar.

"Angkat dari lantai, bawa ke sofa atau tempat tidur. Nyalakan semua lampu atau buka semua jendela dan pintu. Nyalakan TV, dia butuh dialihkan dari rasa paniknya."

"Thanks..."

"Satu lagi, Hen. Lo nggak bisa tinggalin dia sendirian di kamar. Dudukkan Alexa di sofa ruang tengah."

"Oke..."

"Mahendra..."

"Apa lagi?" nadanya mulai panik.

"Kalau diperlukan peluk dia, Hen. Tenangkan."

"Sh*t, Bang. Cara yang lain aja."

"Gue serius, Mahen. Fobia yang terlalu lama bisa menimbulkan gangguan kejiwaan. Gue benar-benar serius."

Matanya terpejam sesaat kemudian dia menghirup nafas panjang. Ponsel sudah dia matikan dan letakkan di meja terdekat. Tubuhnya berbalik menghadap Alexa yang masih dalam posisi yang sama.

Dia berjongkok dekat dengan Alexa lalu mengangkat tubuh gadis itu perlahan. Kemudian dia dudukkan di atas sofa sambil memerintahkan Lexy untuk membuka semua jendela dan pintu serta menyalakan TV. Kepala Alexa masih menunduk dalam, gadis itu masih bersenandung dan memeluk lututnya.

"Alexandra, Alexa. Sudah terang, kamu aman..." ujarnya dengan nada yang lebih baik.

Apa dia harus memeluk wanita ini? Apa tidak ada cara lain? Kenapa juga dadanya mulai berderak tidak beraturan?

Beberapa menit berlalu dan Alexa masih pada posisi yang sama. Sementara dia duduk bingung di sebelah Alexa. Lalu dengan canggung dia memberanikan diri melakukan sesuatu yang dia pikir tidak pernah akan dia lakukan pada wanita ini, memeluknya perlahan. Tubuh Alexa terlindung dengan lututnya yang masih ditekuk. Kepalanya sendiri berada di samping telinga Alexa, sehingga dia bisa membaui wangi rambut panjangnya.

Di antara senandung lirih Alexa, dia berujar di telinga wanita itu. "Sudah terang, dan saya di sini. Semua baik-baik saja."

Selama beberapa menit mereka berada di posisi yang sama. Nafasnya berhembus tenang, berlawanan dengan frekuensi detak jantungnya yang tidak normal. Rasanya aneh karena berbeda. Saat dia memeluk Sabiya, dia merasa hangat. Tapi dengan Alexa, jantungnya berisik sekali. Besar kemungkinan ini karena dia tidak berpengalaman dengan wanita. Ya, pasti itu penjelasannya.

Alexa sudah berhenti bersenandung. Dia melepaskan pelukannya. Kepala Alexa mulai mendongak perlahan. Mata mereka bertautan. Wajah wanita itu pucat sekali, seperti seluruh darah pergi dari sana. Sangat kontras dengan mata biru Alexa yang penuh dengan air mata, menatapnya ketakutan dan tidak berdaya. Seumur hidupnya, baru sekali dia melihat jenis tatapan ini dari seorang wanita.

"Aku cuma mau pakaianku saja. Kenapa kamu jahat sekali," bisik Alexa lirih.

Air mata Alexa meluncur lagi. Itu membuat mata birunya seolah berubah menjadi telaga. Cantik sekali hingga membuat nafasnya berhenti. Salivanya dia loloskan. Perpaduan rasa bersalah naik ke tenggorokan, membuat bibirnya benar-benar kelu. Matanya sudah dia lepas dari wanita itu.

"Lexy, hubungi Janice. Minta Janice untuk mengambil seluruh kebutuhan Alexandra. Antarkan ke sini segera."

"Baik, Tuan," jawab Lexy.

"Terimakasih." Kepala Alexa menunduk lagi, lututnya masih dia peluk sekalipun dia sudah terlihat lebih tenang.

Sikap Alexa yang sopan seperti ini membuat dia makin merasa serba salah sendiri. Dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan tangis lirih Alexa. Jadi dia berdiri dan beranjak ke dapur untuk membuatkan Alexa segelas coklat hangat.

Setelah selesai dia kembali duduk di sofa, sebelah tubuh meringkuk Alexa. Tangis wanita itu sudah pergi. Kepalanya miring menatap ke luar jendela.

"Hey, cengeng. Saya punya coklat hangat. Kamu mau?" Gelas coklat dia sodorkan.

Alexa menghapus sisa air mata dan menegakkan kepala. Lalu mengambil uluran gelasnya. Dia tidak heran kenapa bisa wanita ini menjadi model kelas dunia. Wajahnya dari sudut manapun terlihat sempurna. Menangis, atau marah, bahkan saat Lexa berperilaku sangat menyebalkan, tidak ada yang bisa mengurangi kesempurnaan wajahnya.

"Saya udah nggak apa-apa." Gelas coklat Alexa genggam dengan dua tangan, lalu wanita itu mulai menyeruput perlahan.

"Trauma karena apa?"

Desahan pendek Alexa bisa dia dengar. "Cerita yang membosankan, kamu pasti masih banyak urusan yang lebih penting. Silahkan kembali bekerja."

Oke, dia tidak menyiapkan dirinya jika Alexa berperilaku normal begini. Sebelumnya dia menduga Alexa akan terus merengek dan bersikap menjengkelkan sekali. Tapi ketika berubah baik begini? Rasa penasarannya terusik dan dia ingin duduk bersama sedikit lebih lama.

"Kamu lapar?" tanyanya.

"Sedikit."

"Kamu bisa masak?"

Kepala Alexa menggeleng. "Apa kita nggak boleh pesan makanan delivery?"

"Dasar manja. Cengeng dan manja." Nadanya terdengar konyol.

Itu malah membuat Alexa tertawa kecil. "Ya, Lidya juga bilang begitu."

"Hey, kenapa malah tertawa? Cengeng dan manja bukan sifat yang baik."

"Jangan lupa egois, mau menang sendiri, sombong, suka mengancam, nekat dan hobby telanjang." Alexa mengangkat cangkir coklatnya. "Cheers?"

Reaksinya malah mendengkus dan tersenyum kecil. "Yes, cheers. Betapa sialnya saya sekarang."

"Ya, aku bersama Tuan Sempurna?"

"Oh ya pastinya, pintar cenderung jenius jangan lupa, tapi tidak sabaran dan benci dengan wanita manja."

"Kamu melupakan tukang marah-marah, usil dan suka menghina wanita tidak berdaya."

"Saya setuju soal itu."

Mereka terkekeh bersama. Senyumnya masih tinggal karena melihat wajah Alexa yang sudah lebih baik dari sebelumnya. Rona pipi Alexa sudah kembali karena uap dari coklat hangat. Itu membuat wajah Alexa berubah menjadi sedikit kekanakkan, dengan rambut coklat kemerahan yang tergerai panjang sedikit berantakan, juga handuk putih besar yang membungkus tubuhnya. Mata mereka terkait lagi.

"Saya bisa buatkan makanan, tapi janji pada saya satu hal."

"Apa?"

"Pakai pakaian yang benar. Kaum nudis bukan kaum favorit saya."

"Aku benar-benar nggak bisa pakai baju kemarin. Kulitku sensitif dan bisa merah-gatal. Itu fakta. Baju yang ada di lemari dalam kamar terlalu pendek, celananya terlalu kecil. Aku nggak masalah, tapi kamu pasti masalah."

"Kamu juga ringkih seperti porcelain."

"Apa aku juga harus minta maaf karena fakta itu? Biar kamu nggak marah-marah lagi?" tanya Alexa dengan wajah polos sekali.

Ya Tuhan, ini cobaan terberatnya.

Nafasnya dia hirup lagi dengan cepat memutuskan sesuatu. Lalu dia beranjak ke kamarnya di lantai atas yang menjadi satu dengan lab. Setelah itu dia kembali turun dan menyodorkan kaus bersih miliknya sendiri. Tinggi tubuh mereka hampir sama, sekalipun dia masih lebih beberapa senti di atas Alexa. Jadi kaus ini harusnya cukup.

"Mau pinjam celana juga?" tanyanya singkat.

"Tidak, terimakasih." Tangan Alexa mengambil kaus yang dia sodorkan.

"Pakai jubah saya. Tutupi kakimu." Dia menyodorkan jubah panjangnya yang tadi tergeletak di lantai.

Alexa berdiri sambil masih menutupi tubuhnya dengan handuk besar yang tadi dia lilitkan. Dahi wanita itu mengernyit ketika menginjakkan kaki di lantai. Memar terlihat di sekitar tumit.

"Auw...sssh." Tubuh Alexa kembali duduk.

"Ringkih seperti porcelain." Kepalanya menggeleng kecil menatap memar itu.

Satu tangan Alexa memegang tumitnya perlahan. "Aku jatuh dari tangga karena gelap. Gelas biasa juga akan pecah kalau jatuh dari ketinggian."

"Pakai bajunya, saya ambilkan sesuatu." Mahendra berjalan ke arah buffet yang menyimpan peralatan pertolongan pertama yang canggih miliknya.

Ketika dia kembali, Alexa sudah mengenakan kaus abu-abu yang hanya menutupi setengah bagian paha. Tapi handuk putih sudah menutupi sisa kakinya kecuali tumit yang memar tadi. Oke, begini lebih baik.

Dia berjongkok di hadapan Alexa. Koper P3K sudah dia buka.

"Apa itu?"

"Jangan berisik, dan jangan cengeng."

"Aku hanya bertanya."

"Maaf kalau aku harus memegang kakimu. Bukan bermaksud kurang ajar."

Tangan Alexa tertekuk dan sikunya bertumpu pada lutut, wajahnya dia topang dengan tangan itu. Senyum kecilnya terkembang.

"Ini hanya kaki. Kaki yang mahal pastinya, dan di asuransi kan."

Tangannya sendiri mulai mengangkat tumit Alexa untuk memeriksa luka. "Jadi benar bahwa kaum kalian itu mengasuransikan anggota tubuh?"

"Kaum kami..." Alexa tertawa. "Benar. Hey, semua ini asset. Kami bekerja menggunakan asset kami. Aku yakin tempat hebat ini juga di asuransikan."

"Ya, ya. Ada benarnya."

"Auw...pelan-pelan."

"Saya sudah bilang, jangan cengeng." Dia mengambil alat penyemprot memar yang ada di dalam koper. "Ini akan terasa dingin, dan kakimu harus saya bebat sementara."

Melihat Alexa mengangguk, dengan cekatan dia melakukan apa-apa yang dia bilang tadi.

"Lidya dan Mama akan mengamuk melihat aku memar begini."

"Ck...ini hanya memar sedikit. Jangan melebih-lebihkan. Saya dan saudara-saudara saya punya bekas-bekas luka lebih buruk dari ini. Mama saya baik-baik aja dan nggak masalah." Dia masih sibuk membebat kaki Alexa.

"Oh, andai aku bisa menukar Mamaku sendiri." Alexa menghela nafas kecil. "Alat-alatmu lengkap sekali. Apa kalian sering memar?"

Dia tertawa mendengar pertanyaan Alexa. "Kalau definisi memar adalah luka tusuk, patah tulang rusuk atau patah kaki, juga luka tembak, jawabannya ya, kami sering memar."

Kaki Alexa sudah dia turunkan ke lantai perlahan. Kemudian tanpa dia sadar, tangan Alexa menyentuh garis luka pada lengannya.

"Ini, kenapa?"

"Patah tulang dan harus operasi. Jatuh dari atas pohon setinggi dua meter."

Dahi Alexa mengernyit. "Yang ini?" Jari wanita itu tiba di lehernya.

"Berkelahi, kena pisau."

Dia menikmati ekspresi ngeri Alexa. Kemudian dia menunjukkan luka pada betis kakinya. "Digigit buaya."

"No, no, no. Buaya? Like a real crocodile? In the zoo?"

"In the river inside the jungle."

"I don't believe it. Ini tahun berapa, apa bahkan masih ada hutan yang ada buayanya?"

Entah kenapa dia diam-diam menikmati rasa kagum Alexa yang jelas terpancar pada matanya. Selama ini tidak ada satu wanita pun yang dekat dengannya dan mengobrol seperti ini, kecuali Tania atau Sabiya. Tapi bahkan Tania dan Sabiya tidak pernah memberikan tatapan terpesona seperti Alexa.

"Kamu pasti bohong. Nice try, Hen."

"Hey, saya nggak bohong." Peralatan P3K dia masukkan kembali ke dalam koper. "Kamu bisa tanya saudara-saudara saya yang lain nanti."

"Dan kamu selamat? Maksudnya setelah digigit buaya?"

"Arsyad yang menyelamatkan saya, juga Hanif dan Mareno." Tubuhnya sudah berdiri untuk menyimpan koper P3K.

"Apa kamu bisa bantu saya jalan ke kursi meja makan?" tanya Alexa.

Wanita itu sudah mengenakan jubah miliknya dan mengikat kuat bagian depan hingga tubuhnya tertutup sempurna. Dia mengulurkan tangannya dan memapah Alexa yang jalan terpincang ke arah kursi meja makan.

"Kenapa kamu nggak duduk di sofa aja dan menonton TV sementara saya memasak?"

"Dan melewatkan cerita hutan dan buaya? Nope. Itu jauh lebih menarik dari menonton acara apapun."

Dia tertawa. "Cerita yang membosankan. Kamu nanti bisa tertidur." Alexa sudah dia dudukkan di kursi meja makan.

"Mau coba? Paling buruk aku tertidur di meja makan kan?"

Biru pada mata Alexa berbinar terang, wanita itu menggulung rambutnya ke atas kemudian melipat tangannya di meja sambil tersenyum menunggu dia bercerita. Belum lagi tubuhnya yang hanya terbalut jubah hitamnya saja. Alexa terlihat sangat kekanakkan, berbeda dari kesan angkuh dan lady-like yang sebelumnya dia perlihatkan. Sungguh, dia menyukai apa yang dia tatap saat ini.

***

Ciyeee ciyee. Jadi udah baikan? Hahaha...you wish. Ini Mahendra, bukan Mareno atau Hanif. Stay tune yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro