20. Naked
Wah, wah, apa nih? Kok judulnya begini?
***
Mereka sudah berada di ruangan terpisah. Berdiri berempat untuk memastikan rencana selanjutnya.
"Hen, setelah sampai safe house, cek William Wongso. Seluruh aktifitasnya."
"William?" tanyanya heran.
"Ya. Tania dan Alexa curiga padanya. Gue harus setuju. Aryo masih terluka parah, harusnya bukan Aryo. Cek aja, kalau William bersih berarti kita tahu siapa pelakunya."
"Masuk akal. Oke, gue periksa."
"Lo tinggal di sana, Hen. Untuk sementara waktu." Pinta Arsyad padanya.
"What? Nggak bisa. Minta orang lain. Max, Elang, siapapun kecuali gue."
"Itu bukan pertanyaan, Hen."
"Bang, lo nggak bisa..." Matanya menatap Arsyad tidak percaya. Sementara dia bisa melihat cengiran konyol Mareno.
"Seluruh tim sedang fokus mencari jejak persembunyiannya Aryo. Gue nggak bisa sia-siain waktu mereka."
"Loh, terus gimana dengan waktu gue?"
"Lo orang di balik layar, Hen. Lo bisa kerja darimanapun. Akses lo sudah dipulihkan, lab di safe house sama lengkapnya."
"Nggak bisa, gue nggak mau."
Arsyad mendengkus tidak sabar. "Oke, kalau gitu lo yang di ADS pimpin semua operasi dan gue yang di safe house."
Shit. Itu bukan pilihan, makinya dalam hati.
Hanif angkat bicara. "Bang, kalau memang masih berbahaya, sebaiknya pernikahan gue ditunda aja. Gue dan Faya paham."
"Kita tunggu, jika ini ulah William dan bukan Aryo, berarti Aryo masih rehat karena luka-luka. Jadi penundaan pernikahan nggak perlu dilakukan. Lagian kalian sudah tinggal bareng. Maksud gue, akan jauh lebih mudah kalau kalian sudah sah. Mama dan Ayah juga berharap begitu."
"Gue nggak ngerti sama lo, Bang. Kok bisa sih serumah tapi nggak ngapa-ngapain? Apa kami aja yang nggak tahu?" tanya Mareno pada Hanif yang langsung berekspresi kesal.
Kesempatan itu dia gunakan untuk menempeleng kepala kakaknya yang sedari tadi bersikap konyol sekali. "Otak lo, tuh."
"Hey, hey. Lo juga ati-ati adik kecil. Alexandra itu luar biasa." Mareno malahan tambah tertawa meledeknya yang makin gusar.
"Fokus-fokus. Pindahkan Sabiya dan Alexa ke tempat aman. Jaga mereka baik-baik. Cari tahu apakah ini ulah William. Jika bukan, lanjutkan pernikahan. Mahen, setelah itu tolong cek apa serum siap untuk Paman Ardiyanto? Jika siap, segera berikan. Kita harus segera membangunkan Paman."
"Bang, tapi gue nggak mau di safe house. Bareng cewek aneh itu lagi. Ayolah, Bang. Tania stay di sana juga deh."
"Heh, kenapa jadi bawa-bawa istri gue? Enak aja," timpal Mareno.
"Karena istri lo lebih pinter dari elo dan lebih nyambung diajak ngomong. Paham?" sahutnya sewot.
Mareno tambah terkikik geli. "Masa nggak mau sama Alexa? Yakin? Jangan-jangan abis berduaan di safe house langsung minta kawin sama Mama-Ayah."
"Lo...brengsek tingkat akut jadi orang." Seluruh sumpah serapah dan kata makian sudah dia luncurkan pada Mareno.
"Silahkan berantem, keputusan gue mutlak. Ayo jalan. Bercanda mulu." Tubuh Arsyad sudah berbalik dan mereka pergi berpisah ke masing-masing tugas.
Sekalipun pada kasusnya, dia enggan sekali melakukan misinya kali ini. Babysitting an adult, really? Come on. Tapi dia harus setuju pada pertimbangan Arsyad karena memang saat ini tim ahli yang ada jumlahnya terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah misi penting mereka. Jadi, dia hanya bisa memaki dalam hati.
***
Safe house
Mereka bertiga tiba ketika hari sudah gelap. Dia meminta paksa Tania untuk ikut serta dan mengabaikan tatapan protes Mareno yang kesal sekali. Untung saja Arsyad setuju.
Keberadaan Tania sangat membantu. Karena dia tidak pintar berbasa-basi dan benar-benar tidak ingin. Jadi Tania yang mengajak Alexa berkeliling di lantai utama, serta melarang Tania untuk membawa Alexa ke lantai bawah, atau atas. Tempat garasi, gudang senjata, dan juga laboratorium miliknya berada. Tania juga menunjukkan dimana kamar Alexa, letak kamar mandi, dan menjelaskan bahwa rumah ini dilengkapi dengan Artificial Intelligence bernama-what? Kenapa nama mereka mirip dan dia baru sadar? Lelucon apa ini?
Setelah selesai Tania menarik lengannya untuk masuk ke ruang baca hingga mereka bisa bicara empat mata.
"Hen, aku nggak bisa menginap di sini. Mareno bisa ngamuk."
"Ayolah, Tan. Satu malam aja."
"Kamu telpon Mareno dan minta ijinnya. Kalau dia ijinkan, aku tinggal di sini malam ini."
"Hah, Mareno kok ngijinin. Yang ada dia mulai bertingkah menyebalkan lagi," sungutnya benar-benar kesal. "Tan, lo lebih bisa ngomong sama Mareno. Ayolah, malam ini aja. Rasanya aneh berada berdua dengan wanita-entah-siapa itu."
Tania menghela nafas panjang lalu mengangkat ponselnya.
"Sayang, kayaknya aku harus menginap malam ini di safe house. Sudah terlalu malam."
Dahi Tania mengernyit kemudian ekspresinya pasrah. Tebakannya Mareno marah dan tidak setuju. Setelah beberapa menit berusaha, Tania menutup ponsel sambil menatapnya tidak berdaya. "Maaf, Hen. Mareno nggak kasih ijin."
Rahangnya dia katupkan kesal sekali. Awas Mareno nanti.
"Lagian ini hanya Alexandra...eh oh iya. Apa nama panjangnya Lexy?" Maksudnya, Lexy dan Lexa? Apa nama mereka sama?" tanya Tania heran tiba-tiba.
"Gue jawab kalau lo tinggal malam ini."
Lalu senyum geli Tania terkembang. "Jadi sama namanya? Alexandria jadi Lexy? Alexandra jadi Lexa? Well Hen, selamat. Akhirnya kesampaian dapat pasangan A.I ciptaan sendiri."
"Kenapa lo jadi berubah nyebelin kayak Mareno?"
Tania tidak bisa menahan tawa. Wanita itu tertawa sambil membungkam mulutnya agar tidak terdengar sampai keluar ruangan.
"Udah lo pulang aja sana. Dasar menyebalkan." Tubuhnya sudah berbalik untuk meninggalkan ruangan.
"Hen, jangan marah. Aku bercanda. Oke oke, aku nggak akan bilang siapa-siapa." Tania mengejarnya di belakang masih sambil tersenyum.
Mereka sudah berada di ruang tengah dengan Alexa yang masih berdiri menunggu.
"Lexa, sorry. Aku nggak bisa menginap malam ini." Tania berjalan menghampiri Alexa.
Matanya menangkap gurat cemas pada wajah Alexa. Hey, siapa juga yang mau berada berdua saja dengannya. Dasar menyebalkan.
"It's oke, besok Lidya menyusul ke sini."
"Hmmm soal itu. Semua akses tempat ini akan diblokir, termasuk sinyal untuk mengirim GPS lokasi. Kecuali Mahendra mengijinkan."
Wajah Alexa berpindah menatapnya penuh harap.
"Nope." Kepalanya menggeleng kuat. Bagaimana bisa dia mengijinkan dirinya berada bersama dua wanita manja sekaligus. Dia bisa gila.
Ekspresi kesal Alexa sudah tercetak jelas. Oh ya, sekarang dia yang kesal. Dasar manja.
Tania akhirnya pamit dan pergi ke landasan heli yang pilotnya masih menunggu untuk kembali ke MG.
Mereka berdiri berhadapan di ruang tengah. Sungguh aneh melihat wanita asing selain Sabiya dan Tania berada di tempat pribadi mereka. Ditambah lagi Alexandra memang benar-benar seperti manekin hidup yang sempurna. Maksudnya, lihat tubuh tingginya, atau warna asli rambutnya yang coklat kemerahan, atau warna matanya yang biru jernih kontras sekali dengan keseluruhan penampilannya. Postur tubuhnya tanpa cela. Tungkai jenjang yang indah, pinggang yang sangat ramping, ukuran dada...Hen, kenapa jadi ke sana? Pokoknya, seluruh sikapnya menunjukkan bahwa wanita ini biasa diperlakukan seperti ratu.
"Apa kamu nggak bisa mempertimbangkan soal Lidya? Maksudnya, saya butuh seluruh pakaian saya dan segala peralatan lainnya." Alexa angkat bicara.
"Ini bukan tempat umum atau hotel mewah. Jadi ikuti aturan di sini."
"Tapi Arsyad bilang seluruh perlengkapan saya akan disiapkan oleh Lidya."
"Silahkan tanya Arsyad sendiri, orangnya nggak di sini." Tatapnya dingin.
Alexa menggelengkan kepala kesal lalu mengangkat ponsel untuk menghubungi seseorang, mungkin Lidya. Kemudian langsung menatap ponselnya heran.
"Sinyal otomatis terblokir. Kecuali ponsel yang saya kehendaki." Sungguh puas merasa memiliki kuasa begini, senyumnya dalam hati.
Rahang wajah Alexa bergerak, wanita itu menahan emosinya sendiri. Kemudian dia meletakkan birkin yang dia bawa di salah satu meja. Lalu mulai melangkah ke arah dapur. Sementara dia berdiri memperhatikan dengan dua tangan berada di dalam saku celana. Penasaran apa yang manekin hidup ini akan lakukan.
Alexa membuka semua laci pada kitchen set besar mereka. Seperti mencari sesuatu. Makanan? Gelas? Atau pisau untuk membunuhnya? Apa yang wanita itu cari? Kemudian tubuh Alexa berbalik dan bicara lagi.
"Kamu punya alkohol? Brandy, whisky, vodka? Anything."
"Kami tidak minum alkohol, sama sekali. Mareno dulu mungkin, sekalipun harusnya sekarang dia sudah tobat. Ada alkohol 75% untuk membersihkan luka, mau saya ambilkan?" Dia tersenyum kecil. Ini sedikit menyenangkan.
Senyum sinis Alexa terkembang. "Kamu seperti menikmati ini semua. Benar begitu Mahendra? Sikapmu buruk sekali terhadap saya. Sekalipun saya nggak pernah tahu apa salah saya."
"Jangan mulai, Nona. Ini teritori saya."
"Jangan mulai? Kamu yang sudah memulai. Dan ya, ini rumah kalian, tempat kalian. Tapi saya tamu di sini. Harusnya kalian bisa memperlakukan saya dengan lebih baik. Bertanya apa saya sudah nyaman, menawarkan minum atau makan. Bukan tatapan mencemooh dan menilai sedari tadi."
"Saya sudah bilang, ini bukan hotel." Kepala dia miringkan sedikit, ketika Alexa marah, wajahnya akan sedikit merah dan matanya sedikit berubah warna. Dia tidak seperti manekin lagi, hanya wanita hidup yang cantik dan sedang marah.
"Percuma bicara sama kamu," desis Alexa emosi.
"Oke, selamat malam."
Dia meninggalkan wanita itu sendirian di ruang tengah. Kemudian dia naik ke lantai atas tempat laboratoriumnya berada. Ruang pribadi miliknya.
***
Udara dingin menyelinap melalui jendela. Suhu udara pagi di tempat ini berbeda, terasa lebih segar. Semalam dia memang lupa untuk menyalakan AC dan Tania membuka semua jendela kamar yang menghadap ke kebun belakang yang lapang. Uniknya lagi, banyak suara burung yang berkicauan. Terdengar indah karena dia hampir tidak pernah mendengar kicauan burung di kota besar tempat dia biasa tinggal.
Jadi semua hal baru ini membuat dia membuka matanya yang sedikit bengkak karena menangis semalam. Ya, dia kesal, marah, bingung, juga takut. Siapa yang ingin dia celaka? Atau apa dia hanya terseret pada konflik keluarga Daud saja? Lalu bagaimana dengan hidupnya nanti? Pekerjaannya? Ditambah lagi sikap Mahendra yang brengsek sekali. Menatapnya sambil menilai, bersikap dingin dan sinis, atau tersenyum seolah meledeknya senang.
Masih di tempat tidur, tangannya terulur mengambil ponsel di meja nakas. Kemudian dia memaki kesal karena sinyal yang masih hilang. Bagaimana dia bisa hidup tanpa internet. Tubuhnya dia topang dengan dua siku, lalu dia menatap lebih jelas ke sekeliling ruangan. Kamar ini putih bersih, dengan panel-panel kayu berwarna gelap. Satu tempat tidur berukuran 160, satu lemari kayu kualitas terbaik berukuran dua pintu berdesain modern, satu sofa nyaman dengan bantal-bantal dan selimut yang disampirkan, satu kaca besar tinggi dengan bingkai tembaga yang menempel di tembok, juga ada rak berisi buku-buku entah apa. Dia tidak pernah tertarik untuk membaca. Ruangan ini, membosankan. Tanpa TV, meja rias besar, internet, bahkan kamar mandi berada di luar. Kamar macam apa ini? Dia mengerang lagi tidak berdaya.
Tubuhnya berjalan ke luar kamar karena dia ingin buang air kecil. Toilet besar dan mewah berada di dekat kamarnya. Pintu kamar dia biarkan terbuka. Lalu dia masuk ke dalam kamar mandi itu dan mulai menilai segalanya lagi. Desain kamar mandi lebih baik. Maksudnya, bathtub bertengger di pinggir jendela besar ke arah luar, dua wastafel bersisian dengan lampu pada kaca yang menyala otomatis, toilet yang normal.
Tapi...? Itu apa? Benda yang menggantung di sebelah toilet. Dengan selang panjang seperti hand-shower berukuran mini. Oh, ya dia lupa. Dia tidak berada di New York. Orang-orang di negeri ini menggunakan alat itu untuk membersihkan alat vital mereka. Merepotkan.
Setelah melakukan apa yang dia ingin lakukan dan mencuci tangan, dia menatap peralatan mandi yang ada di sana. Sabun dan shampoo penuh terisi pada tempatnya yang menempel di dinding, sikat gigi khas hotel terbungkus rapi dan tersedia, handuk-handuk bersih ada di lemari bawah wastafel.
No, no, no. Ini bencana.
Lengkap sudah awal harinya. Dia tidak bisa menggunakan sembarang sabun dan shampoo, kulitnya bisa rusak semua nanti. Juga sikat gigi ini? Apa ini? Bulunya kasar dan manual? Lidya harus mengirimkan barang-barangnya sekarang juga atau dia bisa mati.
Dia membuka pintu kamar mandi dan terkejut melihat tubuh Mahendra yang mengenakan jubah tidur hitam panjang dengan kaus abu-abu polos dan celana training hitam. Laki-laki itu sama terkejutnya hingga mundur dua langkah lalu menolehkan pandangannya cepat-cepat dengan wajah memerah. Apa ada yang salah dengan penampilan dirinya?
"Ya Tuhan Lexa, pakai bajumu!!"
Kepalanya miring sedikit sambil menatap Mahendra heran. Dia masih mengenakan pakaian dalam. Apa yang salah dari itu? Mana bisa dia tidur dengan pakaian yang sudah kotor. Tidak sudi dan tidak mau.
"Aku pakai pakaian kok."
"Itu bukan pakaian, itu pakaian dalam!!" Tubuh Mahendra berbalik sempurna membelakangi dirinya. "Saya mau ke kamar mandi, minggir."
Senyumnya terkembang sempurna. Rasakan ini Mahendra.
"Nope. Saya masih mau pakai kamar mandinya. Apa rumah sebesar ini hanya punya satu kamar mandi?"
"Bukan urusanmu." Nada Mahendra tidak sabar dan mulai tinggi.
"Ya sudah." Dia menutup pintu kamar mandi seolah dia sudah pergi dari sana, sementara tubuhnya masih berdiri sambil bersedekap.
Mahendra pikir dia sudah pergi, jadi tubuh laki-laki itu berbalik lagi dan satu tangan otomatis menutup matanya cepat.
"Alexa!!"
Oh, ini sangat menyenangkan dan dia mulai tersenyum geli. Ada kepuasan ketika dia bisa membalas perilaku Mahendra semalam.
"Kamu nggak perlu teriak. Aku nggak tuli."
"Saya benar-benar harus ke kamar mandi."
"Silahkan...kalau berani." Tangannya dia letakkan di pinggang. Pose sempurna seperti ketika dia di catwalk. Tidak ada yang memalukan dari bentuk tubuhnya, dia sempurna. Pakaian dalam yang sedang dia kenakan pun cantik sekali dengan renda.
"Wanita gila."
Mahendra melangkah maju dengan satu tangan masih menutupi matanya. Dia tertawa kecil dan menghalangi. Karena kesal mendengar tawanya, Mahendra menurunkan tangannya dan melepas jubah tidur yang dia kenakan. Mata coklat gelap Mahendra lekat menatap matanya saja. Tidak berpindah ke bawah. Dengan berani laki-laki itu mendekatinya dan dengan satu gerakan tangan Mahendra membungkus tubuhnya dengan jubah mandi hitam itu.
"Wanita baik-baik dan terhormat, tidak berperilaku seperti ini. Hargai dirimu sendiri." Dua tangan Mahendra mencengkram kuat pinggiran jubah mandi yang sudah melilit ditubuhnya. Menutupi seluruh tubuhnya yang tadi terekspos.
Mata mereka beradu dalam. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
"Laki-laki baik dan terhormat akan menyediakan pakaian bersih untuk tamu wanitanya agar tamu itu tidak perlu telanjang. Panggil Lidya, atau seharian aku akan benar-benar melepas seluruh bajuku. Paham?"
"CCTV itu menyala, ya Tuhan. Kamu tahu saya dan saudara-saudara saya punya aksesnya."
"Bagus, berarti bukan cuma kamu yang akan menganggumi bentuk tubuhku yang sempurna." Dia tersenyum menang kemudian melanjutkan. "Lidya ke sini, atau aku telanjang. Pilih mana?"
Kepalan tangan Mahendra menguat. Kelihatan sekali laki-laki ini kesal. Sementara dia sendiri tersenyum puas. Akhirnya dia tahu, bagaimana cara mendapatkan keinginannya di sini.
***
Geleng-geleng kepala sambil tepok jidat. Pusiiiiing jadi Mahendra pusing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro