2. Theory
Bertahun-tahun kemudian (sebelum peristiwa di butik Sabiya)
Semakin sering orang tidur, maka akan semakin banyak hal yang hilang dalam hidup. Mahendra sangat percaya filosofi yang konon juga dipercayai oleh orang-orang jenius dulu. Sebut saja Nikola Tesla dan Leonardo Da Vinci. Karena itu jam tidur orang-orang jenius biasanya sangat sedikit. Bukan rentang waktu yang dibutuhkan, melainkan kualitas tidur itu sendiri. Ya, lebih baik menjaga kualitas tidur daripada kehilangan waktu yang begitu berharga.
Bagi banyak orang termasuk saudara-saudaranya, pikirannya memang aneh. Karena sering kali dia memikirkan banyak hal kecil yang terjadi di sekelilingnya termasuk pola tidur tadi. Tapi tidur adalah kebutuhan dasar, persis seperti makan dan minum. Sayangnya hari ini, dia kesiangan dan dia tidak pernah kesiangan. Total Sleep Time yang dia butuhkan sesuai dengan Pittsburg Sleep Quality Index hanyalah maksimal empat jam. Jadi bagaimana bisa? Oh, dia harus pikirkan nanti faktor-faktor apa yang membuat dia terlambat bangun agar itu tidak terjadi lagi.
Seperti biasa, dia bangun di tempat tidur khusus yang berada di dalam laboratorium canggih miliknya di ID Tech. Ini rumahnya. Dia bahkan punya kamar sendiri di balik dinding lab. Siapapun tidak bisa masuk ke sini. Ya, ini adalah satu-satunya tempat dimana dia bisa menjadi dirinya sendiri dan tidak perlu banyak berinteraksi dengan sesama manusia lain. Hubungan sosialnya hanya terjadi pada keluarga dan orang-orang terdekat saja.
Mandi? Dia punya teori menarik lagi tentang mandi. Tapi nanti, karena dia benar-benar sedang terburu-buru. Ya, saat ini mereka sedang berada di tengah-tengah carut marut peristiwa. Tumpang tindih satu dan lain hal hingga membuat kecepatan waktu meraih kapasitas maksimalnya. Terkadang dia seperti hilang dan tenggelam dalam semua kesibukkan. Belum lagi abang yang dia kagumi akan menikah sebentar lagi. Hanif dan Faya, si singa betina yang dulu sering sekali mereka goda. Dia masih tidak mengerti kenapa manusia terkadang bisa melakukan hal-hal di luar akal. Lihat saja Hanif dan Mareno, kan? Seperti teori mind brain yang pernah dia baca dulu.
Teori lagi, Hen? Ayolah. Kamu harus memecahkan rahasia buku merah dengan Arsyad bersama dan juga meeting lanjutan tentang sidang kasus Danika. Belum lagi pemeriksaan tersangka baru yang Tania bawa. Ya Tuhan.
Jadi dia mandi cepat, menunaikan kewajiban solatnya sekalipun sedikit terlambat, dan mengambil satu buah apel dalam lemari pendingin dan mulai menyalakan komputer. Apel dia letakkan di meja kerja.
"Good morning, Angel. How are you today?" Layar-layar mulai berkedip dan menyala.
"As good as new, Sir."
Dia meregangkan dua tangannya ke atas, lalu ke samping kanan dan kiri, berlari-lari kecil di tempat lalu melakukan handstand sambil memejamkan mata. Oh, ini akan jadi hari yang sempurna. Begitu kan? Lalu setelah beberapa menit dia kembali ke posisi berdiri.
"Can you brew me a coffee?" pintanya pada Angel.
"Of course, Sir. One coffee, no sugar will be ready in a minute." Sahut Angel lagi lalu mesin kopi di sana bergerak sendiri.
Arsyad memang melarangnya memasang robot pembuat makanan atau minuman di safe house. Tapi ini rumahnya. Dia bisa berbuat sesuka hati. Dia juga jatuh cinta pada Artificial Intelligence buatannya yang sempurna. Suara merdu, tidak pernah membantah, tidak bisa menatapnya kembali karena itu terasa aneh sekali, dan yang paling baik, Angel tahu banyak hal. Atau jika Angel tidak tahu, dia akan meng-upgrade programnya agar system itu tahu. Mudah, praktis, dapat diandalkan dan tahan lama. Apa yang lebih baik dari itu?
Mulutnya menggigit apel sambil berujar.
"Angel, dimana Sabiya?"
"Mencari Aluna Sabiya. Ditemukan, Jalan Cemara Raya nomor...."
"Kamera."
Layar berubah menjadi gambar ruang makan dan dapur rumah Sabiya. Katakan dia seorang stalker, dia tidak perduli. Setelah insiden Sabiya dulu, dia tidak akan pernah lagi membiarkan ada hal buruk lolos dari pengawasannya. Apa? Seluruh kejadian buruk itu. Sungguh, jika Mareno tidak menahannya dulu, dia sudah menjadi seorang pembunuh.
Matanya menatap pemandangan pada layar. Sabiya berputar di dapur dan ruang makan, sibuk menyediakan sarapan untuk Damar sambil terus berbicara. Dia tidak memasang audio, tapi sepertinya wanita itu sedang kesal dengan Damar karena sesuatu sementara Damar malah asyik dengan sarapannya.
"Apa jadwal Sabiya hari ini?"
"Jadwal Aluna Sabiya. Pertemuan dengan Hanif dan Faya pukul 10 pagi di butik. Pukul 12, pertemuan dengan Alexandra Walton. Pukul tiga, janji temu dengan Stefano Bara..."
"Stop. Alexandra? Siapa dia? Klien baru?"
"Mencari." Angel berbunyi bip sejenak. Kemudian menampilkan foto seorang gadis berwajah sangat cantik dan bermata biru. Matanya benar-benar biru.
"Alexandra Amandari Walton. Anak dari Harold Walton, pengusaha di bidang retail yang berbasis di Amerika, dan Jovanka Sebastian, pebisnis asal Indonesia. Profesi, model. Nama Agensi, MODA. Nama tunangan, William Wongso."
"Apa dia aman?" Mahendra menggigit apelnya.
"Memeriksa." Kemudian Angel menjawab lagi. "Catatan penangkapan satu kali. Menyetir sambil mabuk. Dibebaskan dengan denda. Skandal dengan salah satu calon senator di Amerika yang sudah memiliki istri. Kembali ke Indonesia, dicurigai untuk bersembunyi dan membersihkan namanya dengan cara menikahi William Wongso."
"Oh, perempuan manja lainnya. Oke, dia aman. Sekarang kita buka kembali catatan dari Tania soal pelaku kedua, Angel. Let's get to work."
"Baik, Tuan."
***
Menjadi orangtua tunggal membuat Sabiya harus bangun lebih pagi. Karena, sebelum dia menyiapkan segala sesuatu untuk Damar, dia punya waktu sejenak untuk melakukan apa-apa yang dia suka di pagi hari. Malam hari biasanya dia sudah terlalu lelah karena banyaknya janji temu. Jadi yang dia inginkan hanyalah merebahkan diri di kasur saja.
Setiap harinya dia akan bangun pukul empat pagi dan mulai dengan beribadah, olahraga singkat dengan treadmill atau yoga ringan. Lalu mulai membuat smoothies dan sarapan untuk Damar sambil terus membunyikan alarm agar anaknya itu tidak kesiangan. Ya Tuhan, Damar susah sekali bangun pagi. Usia Damar sembilan tahun, jadi anaknya itu masih duduk di sekolah dasar. Tapi, seluruh sikap Damar benar-benar sudah terlalu dewasa. Oh, dia kesal sekali karena terkadang Damar terus menyahut jika mulai dinasehati. Misal saja.
"Damar, apa kamu bisa taruh baju kotor kamu di keranjang?"
"Oh ayolah, Ma. Bukankah Mama punya urusan lebih penting lainnya? Janji temu dengan klien, persiapan show Mama, belum lagi undangan dari televisi. Kenapa Mama harus ribut untuk hal kecil begitu."
Atau kali lainnya.
"Ma, kenapa lama sekali berdandannya?" Damar berada di pintu kamarnya karena mereka memang ingin pergi makan malam dengan Hanif dan Faya. "Ingat Ma, penampilan itu bukan segalanya. Dan aku tidak mau berbagi Mama kecuali dengan Ayah Hanif."
Ya, ya, ya. Anaknya itu posesif luar biasa. Damar juga terbiasa mengecek jadwalnya pada Amy. Agar anak itu tahu dengan siapa dia bertemu hari ini, dan memastikan mamanya tidak punya janji dengan laki-laki berdua saja. Oh, kecuali dengan Stefano yang Damar tahu dia gay. Ya Tuhan, anak itu.
Apapun itu, dia sungguh bahagia. Dia tidak pernah kesepian lagi, luka hatinya sembuh. Papa dan mama memang berada jauh di sana karena bisnis keluarga mereka, dia memang anak tunggal tapi dia memiliki Damar sekarang, juga si empat saudara. Jadi, dia tidak pernah merasa sendirian dan itu lebih dari cukup.
Sayangnya si empat saudara juga sama posesifnya dengan Damar. Di dalam rumahnya sendiri, mereka memasang kamera. Ya Tuhan, apa dia tidak bisa punya privasi. Hanif bilang itu hanya di area meja makan dan dapur. Tapi justru 70% kegiatan di rumahnya berpusat di sana. Hrrrghhh...
"Ma, Mama punya janji dengan Alexandra?" tanya Damar dari meja makan.
Tubuhnya bergerak-gerak di dapur sambil terus menyiapkan ini itu. "Ya, ada apa?"
"Alexandra si model terkenal itu?"
"Kamu tahu Alexandra?" tanyanya heran.
"Maaa...come on. Dia punya pengikut puluhan juta di Instagram."
"Damar, kenapa kamu nggak bisa fokus dengan pelajaran saja?"
Damar memutar mata. "Aku hanya bilang. Apa dia benar-benar secantik di foto?"
"Belum saatnya anak muda, belum saatnya. Habiskan sarapanmu dan segera berangkat."
"Selamat pagi." Sosok Niko masuk dari arah pintu depan.
"Hai Nik, masuk. Sudah sarapan?" Sabiya mengambil gelas kosong dan mengisi dengan smoothies yang dia buat tadi.
"Oh yeah, aku suka Niko daripada Elang," seru Damar bersemangat karena tahu Niko yang pagi ini akan mengantarnya.
"Aku tahu kalau aku adalah favoritmu, Boy," ujar Niko sambil tersenyum. Tubuhnya sudah duduk di kursi meja makan yang kosong.
"Apa kamu tahu kalau Alexandra sekarang klien ibuku?" ujar Damar pada Niko.
"Really? That Alexandra?" tanya Niko heran.
"Iya. Apa matanya benar-benar biru, Ma?" tanya Damar lagi.
Sabiya menggelengkan kepala sambil menyerahkan gelas smoothies pada Niko. "Sarapan, Nik. Dan kamu, anak muda. Tolong, fokus saja pada nilai bahasa Indonesia-mu yang entah kenapa bisa jelek. Ya Tuhan Damar, itu hanya bahasa Indonesia."
"Karena itu Mom, aku nggak paham kenapa kita harus belajar bahasa Indonesia. Kita orang Indonesia. Itu aneh sekali kan, Nik?" Damar menoleh ke Niko yang tertawa geli.
"Om Niko, Damar. Jangan nggak sopan." Sabiya sudah duduk dan melotot kesal.
"Mama nggak asyik. Ayo, Om-Ni-ko." Damar sengaja menekankan setiap kata. "Let's go. Sebelum Mama terbakar rambutnya karena marah-marah terus."
"Damaar."
Kemudian anaknya itu langsung mencium pipinya cepat. "I love you, Ma. Always."
Jika Damar mengucapkan itu, seluruh marahnya akan hilang, sirna. Oh, dia murahan sekali. Niko tertawa melihat itu semua.
"Aku selalu rindu dengan kalian, karena hal-hal seperti ini," ujar Niko.
Mereka berdua berlalu sambil sayup-sayup masih membicarakan Alexandra.
***
Ketenangan yang sempurna, itu yang Alexandra butuhkan ketika bangun pagi. Sebenarnya tidak terlalu pagi karena matahari sudah mengintip di daun jendela. Matanya mengerjap perlahan dan tubuhnya menggeliat ringan. Dia suka menatap apa-apa yang ada dihadapannya. Kamar apartemennya yang mewah dan besar, tertata rapih dan bersih dengan pilihan furniture terbaik dan ditata dengan gaya yang sangat berkelas. Apartemen ini dipilih dan dirancang sama dengan apartemennya di New York sana. Agar dia tidak homesick.
Papa dan mama masih berada di Manhattan. Papa sibuk dengan bisnis retailnya yang semakin berkembang. Sedangkan mama, sibuk dengan butik-butiknya. Sebentar lagi mereka akan menyusul ke negara tempat mamanya lahir ini, karena dia akan menikah.
Ah, dia lupa soal itu. Menikah. Menurutnya sendiri dia masih terlalu muda. Tapi bisnis butik mama yang berkembang pesat di beberapa negara asia, membuat mama ingin memperkuat pasarnya di Indonesia, tanah airnya sendiri. Dan keluarga William Wongso tunangannya memiliki bisnis besar di industri tekstil, dan juga memiliki beberapa agensi yang menaungi model-model papan atas asia dan artis-artis besar di negaranya. Jadi, perjodohan ini sempurna.
Sedikitnya dia setuju dengan mama. Salah satunya karena agensi yang sudah lama menaungi dia di Amerika sana, sebagian sahamnya dimiliki oleh keluarga Wongso. Bukan pemilik utama, tapi tidak bisa disepelekan begitu saja. Di Asia, Caroline Wongso terkenal sebagai si tangan dingin yang berhasil melejitkan anak-anak asuhnya menembus pasar dunia.
Karir modelnya sendiri sempat turun di New York karena skandal yang dia buat. Karena itu, dia harus memperbaiki itu semua. Menikah dengan William dan menjadi bagian keluarga Wongso, itu bisa banyak membantu. Karena itu dia setuju dan tidak banyak bertanya. Ponselnya berdering.
"Ya, Lid."
"Sudah bangun? Apa gue bisa bacakan jadwal lo, Nyonya?" suara Lidya di sana, asisten pribadinya yang merangkap sebagai manager, public relation, juga merangkap sebagai kritikus nomor satu, sekaligus orang paling cerewet dan menyebalkan di dunia ini. Tapi perkerjaan Lidya luar biasa. Jadi dia tidak pernah bisa menggantikan Lidya dengan asisten lain yang lebih menghormatinya. Sial.
"Oh, aku tidak bodoh, Lid."
"Ya, tapi lo pelupa." Lidya terkekeh di sana dan itu membuatnya kesal. "Anyway, lo harus fitting gaunnya, Lexa. Siang ini di butiknya Sabiya, Enchanted. Alamat sudah gue kirim, ada di ponsel."
"Ahh yaa...itu. Aku lupa."
Lidya tertawa menyebalkan lagi. "Gue bilang apa. Mau gue antar ke butik Sabiya?"
"Nggak perlu. Aku bisa sendiri dan aku nggak mau dikawal. It's so annoying."
"Oke, terserah. Pakai kacamata hitam dan masker. Kalau tidak perlu jangan turun dari mobil. Lo belum lama di sini dan semua fans sudah tahu lo di sini. Kita bertemu saat makan malam dengan Carro. Jangan terlambat, Carro benci itu."
"Carro benci semua hal."
"Kecuali kemenakannya tersayang sekaligus calon suami lo, William Wongso. Gue harus mengakui Mama lo pintar sekali berpolitik. Harusnya dia mencalonkan diri di sini. Maksudnya, setelah skandal lo yang menghebohkan di US, siapa sangka William setuju untuk menikahi lo kan."
Tubuhnya yang tidak mengenakan apapun sudah berdiri menatap cermin sambil masih memegang ponsel.
"Aku sulit ditolak, Lid. Akui saja. Aku terlalu sempurna." Matanya mengamati seluruh kondisi tubuh, memeriksa dengan cermat apakah ada goresan yang dia tidak tahu.
Tawa Lidya membahana. "Ya, sebelum lo mengeluarkan sifat asli yang sangat manja dan egois. Lo memang sempurna."
"Sialan kau, Lid. Apa kamu sudah cek soal William? Jangan-jangan dia gay yang hanya ingin menutupi statusnya dengan menikahiku."
"Harusnya enggak. Hmmm, dia pernah berhubungan dengan Davina, Agnes dan beberapa artis lain di sini. Mungkin dia hanya bosan dengan produk lokal dan ingin produk import."
"Dasar gila. Kamu pikir aku barang." Dia sudah berjalan ke kamar mandi dan menyalakan keran di bathtub.
"Elo itu komoditi, Lexa. Komoditi yang sangat berharga."
"Oh, Lid. Mulut pedasmu itu sekali-kali aku akan bungkam nanti." Dia menghela nafas kesal. "Bagus jika dia tidak gay."
"Jangan tidur dengannya dulu, Lexa. Tahan sampai pernikahan. Atau bisa saja William berubah pikiran dan menggagalkan segalanya. Ingat, pernikahan ini penting."
"Ya, ya, ya. Kamu dan Mama sama saja brengseknya."
"Oh, ayolah. Kita hidup dengan uang, bukan cinta."
"Dasar perawan tua. Aku ingin mandi dan bersiap-siap. Tolong aturkan tempat untuk sarapan, yang terbaik. Minta supir siap di bawah dua jam lagi. Setelah itu aku ke tempat Sabiya."
"Dan setelah itu lo harus bersiap-siap untuk bertemu Carro malam nanti. Jangan buat kesalahan, Lexa."
"Dasar cerewet."
Dia menutup ponselnya dan mulai masuk ke dalam bathtub. Masih merasa dia akan memiliki hari yang sempurna, tanpa tahu bahwa siang ini, nyawanya akan jadi taruhan di butik Sabiya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro