19. Transfer
Pintu sudah ditutup dan dia masih membelakangi Alexa. Sebelum berbalik, dia mengambil nafas panjang perlahan.
Elo memang selalu gugup, Hen. Jadi ini wajar.
"Ada apa, sebenarnya?" tanya Alexa sambil menatapnya bingung.
Mata biru gadis itu berkilau cantik sekali. Ini karena warnanya, bukan yang lain. Mereka berdiri berhadapan terpisah tujuh langkah. Tubuh Alexa tinggi, lebih tinggi dari Sabiya. Niko benar, matanya memukau. Juga paras wajahnya yang unik sekali. Ada perpaduan kekanakkan dalam sorot matanya, tapi sekaligus dingin di permukaan.
Hey, kenapa gue jadi kayak Hanif yang memperhatikan ekspresi orang.
"You need to start talking, or..." Alexa angkat bicara.
"What? You will go? Go, I dare you." Dia memotong kalimat Alexa.
Raut dingin merayap dan merajai mata biru Alexa. Kelihatan sekali gadis ini benci penolakan, atau pengabaian.
"Saya nggak tahu kenapa, sikap kamu luar biasa buruk pada saya. Saya bahkan nggak tahu salah saya apa. Kalian melibatkan saya pada sesuatu yang berbahaya. Tapi kemudian kamu malahan yang bersikap buruk."
"Oh ya, kamu nggak tahu kenapa saya bersikap buruk? Karena kamu merepotkan, tukang mengancam dan memaksa. Anak manja yang selama ini selalu dapat apa saja." Ingatan tentang ciuman mereka dulu datang tiba-tiba, membuat perutnya mual sekali. Brengsek.
Rahang wajah Alexa mengeras, membuat bingkai wajahnya naik tinggi dan wajah Alexa berubah menjadi lebih aristokrat. Dagu gadis itu terangkat tidak terima dengan kalimatnya tadi.
"Oke, terimakasih Mahendra. Saya pikir sudah cukup."
Tubuh Alexa berbalik dan berjalan menuju pintu. Ah, kenapa juga dia harus mengurusi gadis sulit ini. Sial.
"Alexa...Alexa! Kamu keluar dari pintu dan area ini tanpa perlindungan kami, nyawamu jadi taruhannya."
Dia masih berdiri menatap tubuh Alexa yang membelakangi tubuhnya dan berada di pintu.
Gadis itu mendengkus keras. "Jangan khawatir, tidak akan ada yang merindukan saya kalau saya mati. Selamat siang."
Seumur hidupnya dia tidak pernah merapal banyak kalimat makian seperti saat ini. Kakinya melangkah untuk menyusul Alexa cepat dan menghentikan gadis itu. Perintah Arsyad Alexa harus dibawa ke safe house. Jika ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu Arsyad bisa membunuhnya. Apa hanya itu alasannya? Kenapa juga dia mulai banyak bertanya-tanya? Dasar gila.
Mereka sudah kembali di luar ruangan. Langkah kaki Alexa panjang-panjang dan dia berusaha mensejajari.
"Alexandra, tunggu dulu," bisiknya kesal juga serba salah sendiri.
Kepalanya menoleh cepat dan melihat gadis itu meneteskan air mata. Lengkap sudah drama siang ini. Alexa cepat-cepat memasang kacamata hitam yang dia raih dari dalam tas tangannya, tapi dia tidak berhenti melangkah hingga tiba di depan lift yang pintunya terbuka. Ada dokter Reyn di dalam sana.
"Hai, Hen." Senyum penuh arti dokter Reyn membuatnya tambah kesal. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah sekalipun terlihat bersama seorang wanita. Jadi semua mata seolah menduga-duga. Apalagi ini Alexandra Walton, situasi yang sempurna. Lagi-lagi, sial!
"Dok, saya pinjam liftnya?" ujarnya tanpa basa-basi.
Alexa sudah masuk dan berdiri tidak perduli.
"Oh, silahkan-silahkan. Pinjam ruangan saya juga boleh."
Nafasnya dia hirup dalam. Dokter Reyn sudah keluar dari lift dan berlalu. Hanya mereka berdua di dalam lift yang sudah berjalan ke arah bawah. Alexa masih diam, dan ini benar-benar canggung. Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa Aryo Kusuma benar-benar bisa membunuhnya. Ini akan jauh lebih mudah jika Alexa memaki, jadi dia punya alasan untuk menjawab. Tapi Alexa diam saja dan dia tidak punya ide apapun untuk memulai pembicaraan setelah hinaannya tadi. Kenapa ilmu komunikasinya payah sekali.
Di lantai bawah, satu orang penjaga menunggu Alexa. Penjaga bayaran dengan tubuh besar sekalipun biasanya kemampuan mereka bertarung jauh di bawah orang-orang ADS. Penjaga itu bergegas ke lantai bawah untuk memanggil supir. Mereka berdiri menunggu di lobby. Matanya menyapu area, ada beberapa orang ADS yang dia kenali. Arsyad benar, penjagaan ketat sudah dipasang. Tapi kenapa hanya Sabiya dan Alexa yang dikirimi bunga. Ruangan Tania bersih, juga tidak ada laporan terkait dengan Danika.
***
Alexa tidak mengerti apa mau laki-laki di sebelahnya ini. Dengan lantang menghinanya tadi, namun sekarang mengikuti kemana dia pergi. Kalimat Mahendra menusuk tajam. Penolakan berulang yang pahit, hingga dia muak dan merasa sudah cukup. Tidak boleh ada yang menghinanya, tanpa terkecuali. Tapi yang paling menyebalkan, dadanya tetap berisik sekali. Bertalu-talu nyaring karena keberadaan Mahendra di sebelahnya. Sialan!!
Audi hitam meluncur mulus di seberang mereka. Dia tidak sabar hingga memutuskan untuk berjalan menghampiri saja. Tidak menyadari mobil van putih dengan logo toko bunga yang bersembunyi entah dimana sebelumnya melaju cepat ke arahnya. Dia hanya bisa terpaku, kakinya diam di tempat karena benar-benar terkejut. Selanjutnya tubuhnya di dorong dan tiba-tiba dia dilingkupi wangi yang dia rindu.
Mahendra segera berdiri tegak dan mengejar van putih dengan pengemudi yang mengacungkan senjata untuk menembak tombol palang parkir hingga terbuka. Beberapa laki-laki lain juga ikut mengejar dengan motor. Mahendra sudah kembali ke sisinya bersama dengan penjaga yang dia sewa.
"Mba nggak apa-apa?" tanya si penjaga.
Dia hanya menggeleng bingung. Lalu kalimat Mahendra terngiang lagi. Kamu keluar dari pintu dan area ini tanpa perlindungan kami, nyawamu jadi taruhannya. Bulu romanya meremang, siapa yang ingin membunuhnya? Itu semua membuat tangannya gemetar.
"Kalian pulang, Nyonya kalian lebih aman di sini." Mahendra berbicara pada penjaga dan supir yang dia sewa.
Setelah itu Mahendra menarik lengannya untuk kembali masuk ke dalam MG. Sementara dia hanya bisa menurut karena paham benar hanya ada satu keluarga yang bisa melindunginya jika dia terancam bahaya di negeri ini.
Mereka tiba di lantai khusus lagi dan kembali ke ruangan dokter Tania. Tangan Mahendra sudah terlepas ketika mereka berada di dalam lift tadi. Laki-laki itu paham akhirnya dia tidak bisa pergi kemanapun. Kesadaran baru ini membuatnya benar-benar takut.
"Minum." Satu botol evian di letakkan di meja oleh Mahendra.
Kacamata hitam sudah dia lepas. Tangannya meraih tissue di meja untuk mengusap air mata yang sedari tadi dia tahan. Juga titik-titik keringat dingin yang tiba-tiba muncul karena dia benar-benar menahan panik. Tutup bersegel sudah dibuka oleh Mahendra, laki-laki itu sedang bicara di ponselnya dengan seseorang. Melaporkan situasi tadi.
Pintu terbuka, seorang laki-laki yang luar biasa tampan beserta dokter Tania masuk lagi. Dia langsung bisa mengenali sosok nyaris sempurna itu, Mareno Daud. Mereka berdua datang saat pesta di tempat William. Mareno benar-benar mencuri perhatian seluruh wanita di sana. Tania langsung menghampiri dirinya sementara Mareno berbicara dengan Mahendra.
"Lexa, apa bisa kamu berdiri?" Tania tersenyum padanya.
Refleks tubuhnya mengikuti apa yang Tania minta. Ketika dia sudah berdiri, Tania memeluknya perlahan dan lembut sekali.
"Are you oke?" tanya Tania.
Awalnya terasa aneh, tapi wangi wanita ini menenangkan. Mungkin karena profesinya yang seorang dokter. Dua tangannya balas memeluk Tania, dia takut, dia panik dan cemas, dia tidak memiliki siapapun untuk melindunginya. Dia bisa membayar banyak orang, tapi apa mereka rela mati untuknya? Siapa orang jahat itu dan kenapa dia yang jadi sasarannya?
Satu dua air mata meluncur lagi tanpa bisa dia hentikan. Ternyata dia membutuhkan sebuah pelukan hangat seperti ini. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka terlihat dan terasa tulus sekali?
"Jangan khawatir, kamu sudah dalam perlindungan terbaik."
Tania melonggarkan pelukan. "Hirup nafas panjang dan duduklah. Aku jelaskan."
Dia mengangguk masih diam kehabisan kata-kata.
"Sayang, kita nggak bisa main bilang sesuatu yang masih asumsi," ujar Mareno.
"Dan membiarkan seseorang dalam bahaya yang dia tidak tahu. Ingat, aku pernah merasakan itu dan rasanya tidak enak. Bilang pada Arsyad aku yang bercerita, bukan kalian." Tania menatap tegas lalu duduk di sofa hadapannya.
"Hai, Lexa. Saya tahu kita tidak kenal dekat. Tapi saya ingin membantu menjelaskan situasinya. Apa Mahendra sudah berbicara sesuatu padamu tadi?"
"Ya, dia menghina saya." Matanya menatap Mahendra yang masih berdiri dengan tajam. "Terimakasih."
Tania tersenyum seperti mengerti sesuatu. "Saya yakin Mahendra tidak mempunyai maksud seperti itu."
"Saya yakin dia bermaksud begitu."
Mahendra mendengkus kesal kemudian ke luar ruangan disusul dengan Mareno Daud. Setelah pintu tertutup, Tania kembali melanjutkan.
"Jadi, para gentleman sudah pergi. Hanya ada kita sesama wanita sekarang. Saya akan jujur menjelaskan situasi dan kondisinya. Hanya pada bagian yang kamu boleh tahu atau nanti kamu akan makin cemas."
"Saya mendengarkan." Dagunya dia angkat tinggi.
Tania menghirup nafas sebelum melanjutkan. "Keluarga Daud saat ini sedang menghadapi masalah internal keluarga mereka. Yang akhirnya mengakibatkan semua ini."
"Kenapa saya terlibat?"
"Itu sedang kami selidiki. Karena seharusnya kamu tidak terlibat kecuali saat insiden Sabiya dan secara tidak sengaja kamu berada di sana."
"Siapa kalian?"
"Kami hanya keluarga biasa. Saya sendiri bukan Daud, tapi saat ini saya bagian dari keluarga mereka. Jadi saya pasti terlibat dan ikut membantu."
"Apa yang terjadi? Konflik keluarga apa? Siapa laki-laki jahat di butik itu?"
"Namanya Aryo Kusuma. Dia hanya kaki tangan dari seseorang yang lebih di atas lagi posisinya. Biasanya tindakan Aryo hanya berdasarkan perintah dari atas yang sudah lama membenci keluarga Daud. Tapi kali ini Aryo marah dan mendendam pada salah satu dari empat bersaudara, jadi berusaha menyakiti orang-orang yang dekat dengan mereka. Soal spesifik konflik, maaf saya nggak bisa bicara."
"Apa benar saya terseret hanya karena saya berada di tempat yang salah? Apa hanya itu?"
Tania tersenyum seperti senang karena akhirnya dia mulai bisa mulai berpikir jernih. "Itu juga yang aneh, karena saya tidak mendapatkan bunga, juga tunangan Hanif. Hanya kamu dan Sabiya. Tapi kenapa kamu dan Sabiya? Siapa yang ingin orang ini serang sebenarnya? Informasi yang kami dapat, Aryo masih terluka parah dan tidak mungkin menyerang begini. Atau mungkin Aryo bisa saja menyerang? Entah, itu masih diselidiki."
Dahinya mengernyit. Jika bukan Aryo, hanya jika. Jadi siapa yang ingin menyakitinya atau Sabiya?
"Apa Sabiya punya musuh?" refleks dia bertanya. "Maksudnya biasanya itu hal yang ditanyakan oleh detektif di serial TV. Saya baru saja tiba di negeri ini. Jadi harusnya bukan musuh saya."
"Wow, selera kita berdua sama untuk serial TV. Kecil kemungkinan Sabiya memiliki musuh yang ingin membunuhnya."
"Ya, ya, siapa yang bisa menyakiti wajah malaikat itu." Dahinya mengernyit berpikir.
Tania menghirup nafas sebelum bertanya. "Karena ancaman dikirim padamu juga. Jadi pertanyaan yang sama untukmu, Lexa. Alexa, apa mungkin kamu yang memiliki musuh? Atau fans yang fanatik di negara ini?"
Hal itu yang sedang dia berusaha ingat. Dulu, dia pernah dikuntit oleh seorang penggemar fanatik. Orang itu terus menerus mengirimkan bunga dan fotonya, juga kue, makanan, semua beserta foto-foto dirinya yang diambil tanpa dia tahu. Awalnya dia tidak perduli, tapi kemudian apartemennya berhasil dibobol masuk. Ketika itu terjadi, dia segera pindah apartemen dan LIdya memasang banyak penjaga.
"Orang di negeri ini biasanya tidak segila di NY sana, Tan."
Tania mengangguk setuju. Dia sendiri pernah bersekolah lama di luar negeri.
"Jika bukan fans, siapa yang kira-kira sakit hati dengan saya..." Kepalanya menggeleng keras karena ada satu nama dan dia tidak percaya orang itu bisa melakukan hal keji padanya.
Mata Tania lurus menatapnya. "Sepertinya kita berpikir orang yang sama?"
"Nggak mungkin. William bukan orang jahat. Nggak mungkin."
"Asas praduga tak bersalah sampai bukti ditemukan. Paling nggak, kita tahu ada dua tersangka. William, dan Aryo Kusuma. Kita lihat apa hasil penyelidikan Daud nanti."
"Kenapa kita nggak pergi saja ke polisi?"
Tania tersenyum. "Birokrasi. Ancaman pada artis ternama mungkin bukan kasus yang menarik ketimbang penyelundupan narkoba atau ancaman terorisme." Tubuh Tania berdiri. "Jangan salah, selama ini Daud membantu polisi untuk kasus-kasus yang sulit. Karena ADS memiliki semua sumber daya dan keahlian untuk melakukan itu. Oh, mereka sangat ahli."
"Keluarga mereka aneh sekali. Kenapa mereka melakukan semua itu?" tanyanya heran. Siapa juga orang yang mau repot-repot begitu, kan?
Tubuhnya juga sudah berdiri masih menunggu jawaban atas pertanyaannya pada Tania.
"Itulah mereka, Lexa. Saya pun awalnya heran. Tapi akhirnya saya terbiasa dan sesungguhnya ini sedikit seru dan mengasyikkan."
"Oh, kalian benar-benar gila. Sengaja mendekati bahaya."
Tania tertawa, "Bahaya yang mendekati mereka, bukan sebaliknya."
Pembicaraan mereka terhenti ketika laki-laki bertubuh tinggi, berkulit coklat gelap dengan bekas luka memanjang di wajah dan di tangan masuk. Harusnya ini Arsyad.
"Halo." Tubuh Arsyad berdiri menghadapnya.
Mata hitam laki-laki itu menatap matanya tajam. Rahang wajahnya keras, dan seluruh aura kuatnya sudah langsung menyergap. Gila, siapa orang ini? Keberadaannya saja membuat dia ingin menundukkan wajahnya.
"Hai." Tiba-tiba lidahnya kelu. Dia merasa sedikit takut.
"Saya Arsyad. Tania sudah menjelaskan situasinya?"
Tiba-tiba dia kehilangan kemampuannya untuk bicara dan malah menoleh pada Tania. Dokter wanita itu tersenyum tenang seperti sudah terbiasa dengan aura kuat Arsyad.
"Ya, saya sudah jelaskan. Tapi kita dapatkan sesuatu yang lain. Dugaan atas tersangka kedua. Bukan begitu, Lexa?" tanya Tania.
"Ya..." Salivanya dia loloskan. Sungguh dia tidak tahan berada bersama laki-laki menyeramkan ini.
"Bagus. Sementara ini sampai situasinya jelas kamu dalam perlindungan kami. Jika kamu bersedia. Apa kamu bersedia? Mahendra bilang kamu berusaha pergi tadi."
Kesalnya pada Mahendra yang tiba-tiba datang membuat dia memiliki sedikit keberanian untuk menatap mata Arsyad kembali. "Ya, setelah adikmu menghina saya."
"Oh, itu hanya salah paham. Mahendra tidak terbiasa berhadapan dengan wanita."
Kemudian Arsyad melipat kedua tangannya di depan dan itu membuat dia takut lagi. Sial!!
"Saya tanya sekali lagi, apa kamu bersedia berada dalam perlindungan kami?"
Dagunya sedikit dia angkat, kenapa susah sekali hanya ingin bicara pada laki-laki ini. "Baik. Tapi saya ingin mengetahui segala yang terjadi."
Rahang wajah Arsyad mengeras. "Itu bukan pilihanmu, Alexa. Jika kamu dalam teritori kami, kamu ikuti aturan kami. Atau silahkan pergi dan menantang bahaya sendiri."
What? Nafasnya dia atur perlahan. "Oke."
"Heli sudah siap, kamu akan pergi ke suatu tempat bersama Mahendra dan Sabiya."
"Untuk berapa lama?"
"Sampai kondisi tenang dan ancaman bisa diatasi."
"Dan berapa lama itu?"
"Selama yang dibutuhkan. Kamu bisa melakukan panggilan untuk menghubungi Lidya, asistenmu dan mengatur seluruh keperluanmu. Janice akan menghubungi Lidya setelah itu dan mengantarkan segalanya ke tempat kami. Saya sudah selesai, silahkan siap-siap. Niko akan datang menjemput."
Arsyad mengangguk pada Tania lalu keluar dari ruangan itu secepat dia datang tadi. Nafasnya yang sedikit tertahan dia hembuskan perlahan.
"Apa itu tadi?" tanyanya pada Tania.
Tania tertawa. "Itu Arsyad Daud. Tidak ada yang mau atau berani menentang keputusannya. Coba saja."
Situasi ini gila. Gila!
***
Sementara di ruang rawat Sabiya.
"Bi, ayolah. Jangan mempersulit keadaan." Mareno berusaha membujuknya yang menolak pergi ke safe house.
"Nggak, Ren. Aku nggak mau ke safe house." Dia bergerak-gerak sedang membereskan barang-barangnya yang hanya sedikit saja dari kamar rawat itu.
Dadanya masih terasa nyeri, tubuhnya kaku. Jadi dia bergerak perlahan. Mareno duduk di salah satu sofa sambil menatapnya. Sementara Mahendra hanya berdiri diam seperti biasa.
"Bi, tapi ini buat kebaikan kamu. Kamu habis ditembak, Bi," bujuk Mareno lagi.
Hanif masuk tidak berapa lama lalu langsung menghampirinya. "Sayang, kamu stay di safe house."
"Dasar pengadu," ujarnya kesal menatap Mareno dan Mahendra.
Tangan Hanif sudah menarik lengannya lembut dan memintanya berhenti sejenak. Hanif duduk pada pinggir tempat tidur dan sambil menatap matanya sayang. Jenis tatapan yang selalu bisa meruntuhkan segala kekerasan hatinya dulu. Dua tangan Hanif menggenggam dua tangannya sendiri.
"Ada apa? Kenapa kamu menolak?" tanya Hanif tenang.
"Damar, Nif. Aku nggak mau jauh dari Damar. Antar Damar ke safe house atau aku yang ke ADS."
"Damar belum bisa dipindahkan ke safe house. Terlalu beresiko. Ada orang-orang yang mengikuti dan bisa saja mereka tahu lokasi safe house."
"Kalau begitu aku yang ke ADS. Atau bawa Damar ke sini dan kita naik heli ke safe house. Selesai."
"Damar sudah sampai di ADS. Arsyad tadi yang jemput langsung dan antar. Arsyad juga sudah di sini."
"Kenapa aku nggak boleh ke ADS? Kamu yang nggak bolehin? Atau Arsyad?" Dia mulai kesal karena menduga bahwa Arsyad yang tidak mau dia datang ke sana.
Kemudian Arsyad masuk. Empat bersaudara pada ruangan yang sama, dan mencoba membujuknya. Oh, mereka menyebalkan.
"Heli sudah siap," ujar Arsyad singkat. Tubuhnya menjulang tinggi berdiri di dekat pintu yang sudah tertutup.
"Aku mau dengan Damar, dimana pun Damar berada. Jika Damar di ADS, aku di ADS. Atau bawa Damar ke safe house. Titik."
"No." Mata Arsyad menatapnya tajam.
Hah, dia pikir dia bisa mentimidasi begitu saja? pikirnya geram.
"Yes. Aku ke ADS. Atau aku stay di sini. Are you all clear?" suaranya tegas. "Kalian mau apa? Angkat dan paksa aku? Ibu dan anak nggak seharusnya berjauhan, apalagi pada situasi berbahaya. Kalau kalian nggak setuju, aku telpon Mama Trisa."
Dia bisa melihat Mareno tersenyum geli pada sudut matanya.
"Nggak ada yang mau paksa kamu, Bi." Hanif mencium keningnya lembut sambil tersenyum. "Oke, kamu ke ADS." Tubuh Hanif berdiri lalu merangkul pundaknya perlahan.
Arsyad menggelengkan kepala terlihat kesal.
"Mahendra dan Tania bawa Alexa ke safe house. Hanif dan Mareno bawa Sabiya ke ADS," ujar Arsyad sambil menatapnya tajam.
Dia tahu apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Dasar wanita menyusahkan, berani membantah, lemah dan menyebalkan. Ya, dia tahu benar apa isi pikiran Arsyad. Dan dia tidak perduli, dia hanya ingin berada dekat dengan Damar.
***
Jadi Mahendra sama siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro