Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Threat

"Sampai kapan lo mau di negeri ini? Sampai duit lo habis dan semua kontrak lo batal? Bilang sama gue." Lidya sedang berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerja apartemennya.

Tubuhnya berdiri menghadap jendela ke arah luar. Menatap tenang langit biru yang cerah hari ini. Perasaan nyaman mulai dia rasakan. Nyaman karena dia merasa mengendalikan segalanya sendiri. Apa yang ingin dia lakukan, apa yang tidak ingin dia lakukan, semua dia putuskan sendiri kali ini. Tidak bergantung pada persetujuan mama, atau jadwal yang mencekik dari Lidya. Ya, karena Lidya akan langsung benar-benar mencekiknya sekarang. Hahahaha...

Kamu tertawa, Lexa? Bagaimana bisa kamu tertawa? Gumamnya sendiri.

Lidya masih terus berjalan mondar-mandir gelisah dan merapalkan segala makian untuknya. Semalam, dia sudah membaca laporan kondisi keuangan. Untuk pertama kali dia melihat semua angka-angka itu dan segera tahu bahwa saat ini Lidya panik tanpa alasan. Lima kontrak masih berjalan hingga akhir tahun, dua di antaranya adalah perusahaan besar yang juga memiliki cabang di negeri ini. Mungkin dia akan meminta Lidya untuk menghubungi seseorang dari perusahaan tersebut untuk memindahkan kontraknya. Tiga lainnya, dia akan selesaikan segera, setelah dia menghadiri pernikahan Hanif Daud nanti.

Tabungannya baik-baik saja, dia bisa cuti selama 4-6 bulan jika dia ingin. Dia juga akan menghubungi langsung Yesenia, wanita tegas dari MODA untuk memberitahu perihal cuti yang akan dia ambil.

"Lexaaa!! Lo denger gue nggak sih?" teriak Lidya kesal.

"Aku harus siap-siap. Makan siang dengan Carro."

"What?"

"Hey, Lid. Jangan terlalu panik. Aku akan bertanggung jawab kali ini, atas semua tindakanku."

"Lo kesurupan atau apa? Sejak kapan seorang Alexandra yang agung bertanggung jawab? Emang lo ngerti apa arti kata tanggung jawab?"

Nafasnya dia hirup panjang kemudian dia berjalan tenang ke arah kamarnya. "Aku ingin mandi dan siap-siap, Lid. Tolong hubungi dua perusahaan yang aku minta tadi pagi dan cek apakah kontrakku bisa dipindahkan? Setelah makan siang dengan Carro, aku ingin menengok Sabiya di rumah sakit."

Satu tangan Lidya mencengkram lengannya. "Lexa, please stop it. Lo mau buang semua yang ada di sana?"

"Aku nggak bilang begitu, Lid. Aku bilang aku akan bertanggung jawab dan atur untuk diriku sendiri."

"Oke, sekarang lo mau atur sendiri? Silahkan kalau lo mau pecat gue..."

"Liidyaa, nggak ada yang bilang aku mau pecat kamu. Kenapa kamu menggila begini?"

"Karena lo akan melewatkan masa kejayaan lo di sana, Lex. Di sana karir model lebih dihargai ketimbang di negeri ini. Paradigma masyarakat untuk profesi model masih sangat kuno di sini, Lex. Pikir panjang untuk sekali ini."

"Kalau begitu gunakan istilah lain. Brand ambassador, artis, atau apalah. Pencitraan aku itu urusan kamu. Get it done."

"Lo serius? Mau kejar laki-laki yang bahkan sama sekali nggak menoleh dan tatap lo balik?"

Dadanya terasa sakit mendengar kalimat Lidya. "Bukan itu, Lid."

"Jadi apa? Menengok Sabiya di rumah sakit? Are you sure? Setahu gue lo hampir tidur sama selingkuhan sahabat lo sendiri dulu."

Emosinya mulai naik. "Gue memang brengsek, Lid. I'm a total bitch. Selingkuh sama suami orang, atau pacaran sama pecandu alkohol. Gue nggak pernah bertanggung jawab dan selalu merengek. Iya, benar. Kenapa sekarang saat gue pingin melakukan sesuatu dengan hidup gue sendiri, lo malah begini?"

Dia melanjutkan. "Nggak semua laki-laki itu brengsek. Apa salah kalau gue mau seseorang yang benar untuk diri gue sendiri. Tanpa settingan, tanpa perjodohan sialan. I want to fall, Lid. Kenapa kamu nggak ngerti?" Aksen bicaranya aneh sekali. Karena dia tidak terbiasa menggunakan bahasa slank di negeri ini.

Mata Lidya membelalak ngeri. "Kalau gitu siap-siap jatuh, Lex. Sembuhkan luka lo sendiri kalau itu terjadi."

Pintu tertutup kasar ketika Lidya sudah pergi dari apartemennya. Kemudian ponselnya berdenting.

William: Aku dengar kamu sudah tiba di Jakarta. Apa kabarmu, Alexa?

Pesan itu hanya dia pandangi tanpa ekspresi.

William: Aku ingin memperbaiki dan memulai kembali, hubungi aku.

Dia meletakkan ponsel di buffet terdekat, lalu berjalan ke arah kamar.

***

Arsyad menerima laporan pagi itu di meja. Anak buah Aryo mulai kembali bergerak. Aryo masih terluka parah, tapi orang-orang Aryo terus bergerak seolah juga memberi tahu bahwa laki-laki itu mengawasi mereka, sama seperti mereka mengawasi dan mencari tahu dimana lokasi Aryo.

Taktik yang bagus, Yo. Memberi tahu musuh bahwa lo masih ada dan hidup, taktik yang bagus.

Angel sudah memberitahu kedatangan Niko, Mareno, Hanif, dan Mahendra. Dia mengumpulkan semua jadi bisa memberitahu berita terbaru. Setelah membiarkan adiknya duduk, dia memulai.

"Anak buah Aryo bergerak lagi."

"Belum mati tu orang?" tanya Niko kesal.

"Belum, gue yakin belum. Tapi terluka parah pasti," sahutnya. "Sabiya akan pulang hari ini, bawa Damar dan Sabiya ke safe house. Gue akan pasang penjagaan di sana."

"Kalau Sabiya mau, Bang. Dia benci dikurung begitu," ujar Hanif.

"Ini perintah, Nif. Bukan pilihan." Kepalanya menoleh pada Mahendra. "Lo bisa ngomong ini ke Sabiya? Hanif dan gue harus cek tempat acara dan bertemu Bayu Tielman."

Mareno mulai tersenyum konyol.

"Kenapa lo senyum-senyum?" Mahendra bersungut kesal. "Bisa. Tapi dia belum tentu setuju. Ilmu persuasif gue nggak bagus. Hanif aja deh."

"Ilmu komunikasi lo juga langsung tiarap, Hen. Kalau ketemu sama Sabiya." Mareno tertawa kecil.

"Mulai, mulai kan. Brengsek banget jadi orang."

Niko dan Mareno terkekeh geli.

"Gue akan coba ngomong setelah kita selesai, Bang. Biar Mahen yang kawal Sabiya dan Niko jemput Damar," sahut Hanif.

"Oke."

"Gimana kalau dibalik? Gue yang jemput Damar dan Niko yang jemput Sabiya?" Mahen mengusulkan.

Duo jahil Mareno-Niko langsung tertawa lagi. "Hen, kalau nggak maju-maju, kapan dapetnya?"

"Kalian benar-benar menyebalkan." Mahendra langsung pergi dari ruangan.

"Hen, tunggu dulu." Suara Arsyad menghentikan Mahendra. "Aryo pasang orang-orang di sekitar keluarga kita."

Semua mata memandang Arsyad, air wajah mereka berubah serius.

"Tim ADS yang gue minta untuk memantau melihat orang-orang Aryo di sekitar perimeter MG. Ada Danika, Sabiya dan Tania di MG. Tiga orang sekaligus. Satu orang mengawasi sekolah Damar, dan juga mengawasi rumah Ayah. Dan satu lagi berada di sekeliling Bayu. Ini serius. Mereka nggak punya nyali untuk mendekat ke ADS. Faya ada di ADS."

Arsyad melanjutkan. "Pakai heli, untuk pindahkan Sabiya ke safe house. Lebih aman." Kepalanya menoleh ke Niko. "Bawa beberapa orang untuk jemput Damar. Jangan sendiri, Nik."

"Alexandra, sudah kembali ke Jakarta," Niko berujar cepat.

"Kasih tahu Max untuk cek Alexa. Kalau Aryo gila, dia akan menghabisi semua saksi mata. Hubungi Amy dan Esther di butik, tutup butik sementara ini. Bicara dengan Sabiya. Minta Deana dan Faya siaga."

"Kenapa lo belum turunkan master plan nya, Bang? Apa yang lo tunggu? Herman tahu Aryo kita lumpuhkan, dia juga pasti akan bereaksi dan membalas dengan menggunakan alibi orang lain." Mahendra menatapnya masih sambil berdiri.

"Apa serum GS-1 sudah siap, Hen?" tanya Arsyad.

"Kenapa?"

"Kita harus membangunkan paman kita segera. Ardiyanto harus bangun atau kita harus berurusan dengan Audra. Karena jika gue jatuhkan Herman, Ardiyanto akan jatuh bersamanya."

"What?"

Udara di ruangan terasa lebih dingin, dia benci untuk mengetahui bahwa Herman yang licik sekali sudah memasang banyak perisai alibi untuk dirinya sendiri. Menggunakan kedok badan usaha utama keluarga mereka untuk melakukan kegiatan ilegalnya. Bahkan beberapa usaha kecil yang keluarga mereka punya, turut terseret dan dijadikan jalan untuk money laundry. Jadi jika satu runtuh, efek domino dari hasil pemeriksaan perusahaan mereka oleh negara akan berakhir meruntuhkan semua yang mereka punya.

Untung saja ID Tech dan ADS tidak terlibat di dalamnya. Tapi, nama Ardiyanto ada dalam beberapa kegiatan illegal Herman. Dia harus membangunkan Ardiyanto dan mencari tahu, apa yang terjadi dulu. Kenapa Paman yang dia hormati bisa melakukan perbuatan kotor seperti itu? Apa alasannya? Apakah hanya terjebak pada tipu daya Herman? Sanggupkah dia menghancurkan seluruh usaha yang keluarga besar Daud punya untuk menghentikan Herman? Usaha yang dibangun susah payah lebih dari tiga generasi. Bagaimana dengan anggota keluarga Daud lainnya? Audra, Tante Sofia istri Ardiyanto, lalu sepupu-sepupunya yang lain. Mereka tidak akan bisa hidup tanpa apa yang mereka punya sekarang.

Ayahnya tidak tahu sama sekali perihal ini. Tapi firasat ayahnya kuat, karena itu beliau menyiapkan mereka semua dengan baik.

"Bang? Apa yang lo sembunyikan dari kami?"

Ekspresinya dia datarkan, belum saatnya untuk para adiknya mengetahui ini.

Satu per satu terlebih dahulu, Syad. Amankan seluruh keluarga, pernikahan Hanif, bangunkan Ardiyanto. Setelah itu, dia akan duduk dan menceritakan segalanya pada adik-adiknya. Rahasia kelam keluarga mereka.

"Lakukan apa yang gue minta tadi. Cukup itu dulu. Nanti, gue akan bagi semua. Sekarang tangani satu-satu. Prioritas utama, amankan semua orang yang ada dalam perlindungan kita. Prediksi gue Aryo akan serang balik, karena mungkin orang-orangnya mati karena ledakan itu."

"Sayangnya dia nggak mati, shit!" maki Niko lagi.

***

Di rumah sakit.

Suasana rumah sakit menjelang sore terasa lebih hangat. Karena jendela-jendela lebar yang terbuka membiarkan sinar matahari sore masuk. MG top priority floor selalu tidak terlalu ramai dan hiruk pikuk. Karena memang hanya orang-orang yang memiliki akses khusus saja yang bisa naik ke lantai ini. Tatanan area dan ruangan lebih mirip hotel bintang lima yang canggih karena teknologi ID Tech termutakhir dipasang di sini. Juga seluruh alat komunikasi yang digunakan juga disponsori perusahaan keluarga Daud.

Sabiya menempati kamar terbaik dengan jendela lebar, pemandangan menghadap ke pusat kota, dan juga balkon kecil dengan pot-pot bunga. Tim dokter juga selalu siaga 24/7. Jadi dia tahu bahwa wanita itu aman. Sekalipun begitu, rasa gugupnya tetap saja datang hingga membuat dia menghirup nafas panjang dua kali sebelum masuk ke ruangan.

Sudah ada Olivia dan Alexandra yang sedang mengobrol hangat dengan Sabiya. Dahinya mengernyit heran, bagaimana bisa Alexa datang lagi?

Dia berdehem canggung. "Sore."

"Sore, Hen," sahut Olivia sambil tersenyum hangat. "Kami sedang mengobrol ringan. Alexa masih di kota, jadi Tante ajak dia untuk kembali menengok Sabiya."

Kepalanya mengangguk kecil.

"Sabiya sudah bisa pulang hari ini, begitu kata dokter Reyn tadi."

Lagi-lagi dia mengangguk. Kepala Alexa menoleh ke arah luar jendela tidak mau menatapnya.

"Sayangnya Tante tidak bisa tinggal terlalu lama, Hen. Kami terbang malam ini. Om sudah berpamitan tadi pagi dengan Biya." Olivia sudah berjalan mendekatinya.

"Tante sangat berterimakasih karena kalian sudah selalu menjaga Sabiya dengan baik. Bulan depan Tante akan kembali ke sini untuk tengok Sabiya dan Damar. Tolong jaga Sabiya. Kalian adalah penjaga yang baik."

Tiba-tiba Olivia memeluknya, sementara dia diam saja karena ini terasa sangat canggung. "Kami akan menjaga Sabiya, jangan khawatir."

"Oke..." Pelukan mereka sudah Olivia lepaskan kemudian wanita itu berjalan kembali ke Sabiya untuk memeluk Sabiya hangat. "Jaga dirimu, Sayang. Tadi pagi Mama sudah pamit dengan Damar. Ingat pesan kami."

Sabiya hanya mengangguk terlihat sedikit sedih tapi tetap memaksakan senyumnya. Alexa masih diam saja dan tidak memandangnya. Kemudian Olvia berpamitan kembali pada mereka semua, dan menghilang di balik pintu ruang rawat.

"Jadi kapan aku bisa pulang, Hen? Apa bisa infusnya segera di lepas?" tanya Sabiya.

"Bisa, nanti saya mintakan." Dia berdehem lagi. Oh, ini sulit. Ada dua orang wanita di ruangan ini. Rasa gugupnya tidak mau pergi. Sial!

"Bagaimana latihan fisikmu? Apa kamu sudah bisa berdiri?" tanyanya.

Sabiya terkekeh kecil. "Aku sudah bisa berjalan ke kamar mandi sendiri, Hen."

"Oke." Dia ingin menyampaikan perihal ancaman bahaya Aryo yang masih ada. Tapi karena Alexa masih di sini, dia menahan diri.

Alexa berdiri lalu tersenyum pada Sabiya. "Bi, aku pamit dulu. Kamu sudah ada yang menemani. Aku akan usahakan datang ke pesta Hanif, setelah itu aku harus kembali ke New York. Kita bertemu lagi nanti. Semoga kamu segera pulih."

Dua wanita itu berpelukan hangat. Sementara dia masih berdiri canggung saja. Kemudian pintu ruangan diketuk.

"Selamat sore. Kiriman bunga dari kurir di bawah. Mungkin dari salah satu fans kamu, Biya." Aryan masuk membawa buket bunga berukuran sedang yang cantik sekali. Kartu berwarna hitam tersemat di atasnya. Dahinya mengernyit heran.

Ponsel Alexa berbunyi, kemudian wanita itu mengangkatnya. Sementara buket sudah di letakkan di buffet dekat pintu balkon dan Aryan memeriksa kondisi Sabiya dan berjanji dia akan segera membuka infusnya.

"Ya Lid?" Wajah Alexa pucat seketika. "Kamu nggak apa-apa kan?"

Seluruh sensor tanda bahaya segera berbunyi. Dengan cepat dia menghampiri Alexa dan merebut ponselnya, lalu menyalakan speaker phone. Suara Lidya yang histeris ada di sana.

"Lexa, ini lelucon kejam. Benar-benar kejam. Siapa yang mengirimkan bunga turut berduka cita dengan kartu hitam ke apartemen lo? Ini gila."

Refleks kepalanya menoleh ke arah buket bunga, dia segera meminta Aryan menghubungi security di MG.

"Buket bunga itu bahkan terbakar dengan sendirinya. Lexa, cepat pergi dari situ..."

Dia berpindah cepat ke buket bunga itu. Ketika tangannya menyentuh kartu hitam dan membuka kartu, dia bisa mencium serbuk mesiu yang terbakar.

"Aryan, buka pintu balkon!!" teriaknya cepat.

Aryan yang memang sudah berdiri di dekat balkon segera membuka pintunya, dan dia melemparkan buket bunga menjauh. Buket itu terbakar cepat. Matanya masih menatap buket bunga yang sudah jatuh ke arah taman di bawah sementara tangannya mengepal kuat.

Manusia bajingan. Laknat, geramnya dalam hati.

Ponsel Aryan sudah disodorkan padanya. "Arsyad, Hen. Jangan hilang fokus. Orang ADS sudah siaga di bawah."

"Hen, gimana Sabiya?" tanya Arsyad.

"Baik." Dia masih berada di balkon luar dan menatap Sabiya dan Alexa yang berwajah pucat di dalam. "Gue akan kejar Aryo lagi, Bang."

"Kita sedang mengejar Aryo, Hen. Jangan hilang fokus. Sabiya harus keluar segera dari MG. Larikan ke safe house. Olivia dan Janus akan bertolak malam ini, mereka aman dan dikawal orang ADS tanpa mereka tahu. Niko sedang jemput Damar. Sepertinya Damar akan dilarikan di markas ADS. Karena orang Aryo bisa mengikuti Niko dan lokasi safe house bisa terbongkar."

"Bang, Alexa mendapatkan bunga yang sama ke apartemennya."

Arsyad memaki di seberang sana. "Amankan Alexa, Hen. Bawa keduanya ke safe house. Langkah selanjutnya akan diputuskan nanti."

Ponsel dia kembalikan ke Aryan ketika dia sudah kembali masuk ke dalam ruangan.

"Persiapkan Sabiya untuk keluar dari MG malam ini, Yan. Kami akan amankan Sabiya, dan Alexa."

"Amankan? Maksudnya?" Alexa berdiri dan suaranya panik sekali.

Sementara Sabiya sudah mengerti apa artinya.

"Damar? Gimana Damar, Hen?" Dahi Sabiya mengernyit ngeri.

"Dengan Niko, akan dibawa ke markas besar."

Sabiya menghela nafas lega.

"Hey, hey. Ini maksudnya apa? Siapa yang mengirimkan bunga tadi?" tanya Alexa.

"Kamu nggak bisa kembali ke apartemen kamu dalam beberapa hari hingga ini semua mereda."

"No no no. Ini bercanda kan?" Tubuh Alexa sudah berdiri dan kepalanya menggeleng panik. Wajahnya menatap Sabiya dengan ekspresi mencari penjelasan. "Kenapa aku dikirimkan bunga? Oleh siapa? Kenapa semua jadi kacau begini?"

"Lexa, tenang dulu. Duduk dulu," ujar Sabiya.

"Bi, aku harus pergi. Sorry."

"Lex...Lexa. Di luar berbahaya." Sabiya yang belum pulih benar tertahan di tempat tidur, sementara dia hanya diam berdiri di sana.

"Oke, saya akan mempersiapkan Sabiya keluar." Aryan pamit ke luar ruangan.

"Hen, kejar Alexa." Nada suara Sabiya panik.

Dia diam terpaku. Rasa khawatir mulai merayap perlahan, tapi dia adalah Mahendra si canggung. Mengejar wanita? Selama ini dia bahkan diam saja di hadapan Sabiya.

"Mahendra!! Alexa bisa ada dalam bahaya. Kamu harus kejar dia."

Nafas dia hela kesal lalu dia melangkah panjang untuk menyusul wanita keras kepala dan menyebalkan itu. Alexa tertahan di lift dan berdiri membelakanginya. Ketika pintu lift terbuka, satu tangannya mencengkram lengan Alexa kuat dan membawanya ke kantor Tania untuk bicara.

"Apa-apaan kamu?" ujar Alexa marah.

Dia diam dan masih menarik lengan Alexa.

"Aku bisa jalan sendiri." Langkah Alexa tiba-tiba berhenti dan tangannya dia tarik hingga terlepas.

"Ikut, atau kamu mau mati di luar sana. Silahkan." Langkahnya terus lurus tanpa menoleh ke belakang.

Ketika sudah tiba pada ruangan Tania, dia mengetuk pintu. Tania menjawab dari dalam lalu dia masuk.

"Hai Tan, saya pinjam ruangan."

"Oh, hai. Silahkan-silahkan. Aku juga mau keluar harus visit pasien." Tania memang sudah berdiri lengkap dengan jas dokternya. "Sabiya jalan ke safe house malam ini?"

Dia mengangguk.

"Oke, aku siapkan dulu," sahut Tania.

"Mungkin sebaiknya kamu juga di sana," ujarnya lagi.

"Aku aman, Hen. Mareno bisa ngamuk kalau dia pulang aku belum di rumah."

"Hah, dasar si manja."

Tania sudah menghampiri Alexa. "Halo, saya Tania. Saya bekerja di sini."

"Kamu Tania Tielman." Alexa mengenal Tania dari pesta di tempat William dulu.

Mereka berjabat tangan.

"Saya pergi dulu. Silahkan gunakan ruangannya." Tania tersenyum penuh arti padanya yang makin kesal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro