Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Coincidence

Semalam sebelumnya. Kantor Iwan Prayogo.

Faya berdiri diam termangu di hadapan pintu. Menatap dan menduga-duga apa reaksi dirinya sendiri ketika masuk ke dalam ruangan dihadapan-nya. Memaafkan itu tidak mudah, apalagi yang laki-laki ini perbuat dulu benar-benar parah. Karena itu semua melukainya dalam. Tapi, selama ini laki-laki itu diam, pasrah. Menerima segala sikap acuhnya ketika mereka bertemu. Oh, dia benci moment seperti ini. Perpaduan atas rasa benci, dan bercampur rasa bersalah karena abai, bahkan juga ada sedikit rindu.

Pintu itu dia ketuk dua kali dan dia langsung beranjak masuk tanpa menunggu. Di dalam, ada Brayuda dan Rajata duduk dihadapan Iwan Prayogo, ayahnya. Ayah, kata-kata indah yang dulu dia dambakan. Sosok yang tidak pernah ada tapi dia rindukan. Mereka terkejut, ketiganya. Tidak ada yang mengira bahwa dia akan bertandang.

"Gue permisi dulu, ada urusan lain." Brayuda berdiri dan mengangguk padanya seperti mengerti apa maksud kedatangannya.

Rajata hanya diam tapi mengekori Brayuda ke luar ruangan. Pintu ditutup dan menyisakan hanya dia dan Iwan saja yang ada di dalam. Iwan Prayogo berdiri. Hari ini dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung dan celana coklat tua. Sekalipun sudah usia, tubuhnya masih sangat bugar dan seluruh auranya masih memancarkan bahaya. Dia mengenal sosok ini sudah lama. Bahkan sangat menghormatinya. Tapi itu dulu, sebelum dia tahu bahwa ternyata sosok ini adalah ayahnya.

Iwan berjalan ke arah buffet dengan laci. "Masuk."

Dia melangkah masuk dan berdiri tidak jauh dari meja kerja Iwan. Tubuh Iwan berbalik dan menjejerkan dua jenis handgun, pisau besar dan tongkat dengan duri-duri besi di ujungnya. Iwan bahkan mengambil pedang samurai panjang yang dia pikir itu hanya hiasan ruangan. Tapi ternyata tidak, karena saat Iwan membuka sarungnya, pedang itu berkilat-kilat mengerikan.

"Wow, apa anda sedang pamer koleksi senjata?"

Iwan terkekeh. "Koleksi? Ini? Saya kasih tahu rahasia, dibalik guci itu ada tombol. Silahkan ditekan, ada ruang senjata dibalik kursi kerja saya. Kamu bisa ambil apa saja bahkan bazooka. Semua senjata pemusnah cepat dan yang akan kasih kematian cepat ada di sana. Tapi ini..." Iwan menatap senjata yang sudah dia jejer di meja. "Ini dapat membuat kamu mengiba-iba untuk mati saja."

Mata Iwan menatapnya lagi. "Pilih. Saya bisa terima."

Entah kenapa ini semua terdengar lucu. Setelah segala hal dan segala yang mereka lalui. Ini semua lucu. Jadi dia tertawa. Akhirnya dia tahu, darimana asal namanya. Akhirnya dia tahu, darimana asal keberaniannya, atau api di dalam matanya. Karena, dia sedang menatap api yang sama di kedalaman mata Iwan Prayogo.

Iwan diam saja menatapnya yang masih tertawa. Gila? Ya, mereka adalah keluarga yang gila. Brayuda, dia dan Iwan, adalah orang-orang gila yang tidak pernah takut mati. Darah mereka sama, seberapapun dia berusaha menyangkal itu semua. Seberapapun dia benci pada sosok dihadapannya ini dulu.

Setelah puas tertawa, dadanya terasa lega.

"Halo Ayah. Apa kabar lo?" Dia mengulurkan tangan untuk berjabatan.

Ekspresi terkejut Iwan membuat dia tersenyum miring. Kemudian laki-laki itu tertawa dan langsung menyambut uluran tangannya. Menariknya cepat dan memeluk tubuhnya.

"Begundal kecil."

"Jangan panggil gue dengan nama kesayangan, Brengsek."

Mereka tertawa lagi. Menertawakan getir pahit hidup mereka, atau kenyataan yang dulu mereka harus hadapi, atau perpisahan dan pertemuan, atau kenyataan yang ditutupi dan kebenaran yang terungkap. Menertawakan segala-galanya. Karena paling tidak, mereka saling memiliki saat ini.

***

Di bagian kota yang lain

Matanya mengerjap perlahan menyesuaikan dengan cahaya. Tubuhnya masih terasa sakit dan perih, karena insiden beberapa hari lalu. Mahendra dan Arsyad mengamuk padanya perihal Sabiya. Hal itu tidak penting. Setelah tahu bahwa Fayadisa selamat dari pelurunya, dia berpikir dia bisa bernafas lega. Tapi Daud benar-benar tidak memberinya jeda.

Tempat-tempat yang dia sering sambangi mulai di awasi. Beberapa kali anak buahnya juga berbenturan dengan tim ADS. Daud benar-benar ingin menuntut balas atas Sabiya. Kali ini situasi berbalik pada timnya sendiri. Karena Mareno dalam kondisi prima, konsentrasi dan fokus Hanif sempurna, ditambah Mahendra dan Arsyad yang terlilhat murka. Jadi si empat saudara mulai benar-benar bekerja sama. Ini buruk sekali.

"Saya akan sampaikan. Empat melawan satu selalu terlalu banyak. Semoga beruntung." Kalimat Mareno Daud terulang di kepala. Sialan.

Tubuhnya penuh dengan luka dan belum pulih benar. Lemparan bom Mahendra benar-benar melumpuhkan. Doni hampir saja mati, tapi Herman mengurus semuanya dengan baik. Membayar seluruh dokter terhebat dan menyembunyikan mereka hingga sekarang.

Dia tidak bisa beristirahat karena paham benar Daud juga tidak beristirahat. Jadi sejak kemarin dia sudah belajar berdiri tegak, berusaha mengabaikan seluruh rasa sakit yang menghantam hebat. Sungguh ini lebih baik daripada melihat Faya tertembak dulu. Kepalanya menoleh ke pintu karena salah satu anak buahnya masuk.

"Bos, ada kabar."

"Gimana Doni?"

"Sudah membaik. Tapi kabar yang ini nggak baik."

Dia hanya diam menatap anak buahnya.

"Bos besar, mengalihkan sementara semua urusan perlindungan dan penyerangan ke Wibowo. Cuma tersisa beberapa di sini untuk jaga yang terluka." Anak buahnya itu diam sejenak. "Maksudnya, kalau Daud menemukan tempat ini, kita nggak punya cukup orang untuk melindungi Bos."

Dahinya mengernyit berpikir. Bukan keselamatan dirinya yang dia khawatirkan, tapi kepemimpinan Wibowo akan membuat segalanya susah dia kendalikan. Termasuk jika ADS dan tim mereka berbenturan, anak buah Wibowo tidak akan segan membunuh Fayadisa.

"Jam berapa jadwal dokter hari ini?"

"Seperti biasa, Bos."

"Pastikan Doni baik-baik. Keluar."

Dia akan memastikan proses pemulihannya lebih cepat. Karena dia harus kembali mengambil alih, sebelum Faya terluka.

***

Herman termangu di dalam ruangan. Duduk diam dan menghitung ulang rencananya. Aryo terluka parah, mungkin butuh beberapa minggu untuk pulih. Daud bersaudara memang sebuah ancaman nyata, yang bisa menggagalkan semua rencananya. Pertahanan dan perlindungan sudah dia serahkan pada Wibowo, itu pilihan terakhir yang dia tidak suka. Wibowo adalah orang belakang meja dan tahu beres saja. Jadi terkadang Wibowo tidak bisa membaca situasi dan main langsung hajar habis. Seperti kasus di kediaman Aryo. Wibowo menurunkan banyak orang, untuk menghabisi wanitanya Aryo. Tapi yang terjadi malah anak buah Wibowo menjadi korban, dan wanita Aryo masih jadi misteri.

Aryo Kusuma juga adalah seseorang yang berbahaya. Saat ini Aryo masih bisa dia kendalikan, karena hutang budinya. Tapi ketika Aryo ingin memisahkan diri, dia tidak bisa mencegah laki-laki itu. Menyingkirkan Aryo juga bukan perkara mudah, malah bisa menjadi senjata makan tuan untuk dirinya sendiri. Jadi, dia memang memelihara seekor serigala liar.

Dia juga menyadari bahwa entah bagaimana konflik antara Aryo dan Daud bersaudara memanas. Apa mereka memiliki masalah pribadi yang dia tidak tahu? Jika ya, apa masalah sesungguhnya? Apa hanya karena Sabiya terluka? Tapi apa yang memancing kemarahan Aryo hingga dia tidak sabar untuk menghabisi Daud bersaudara? Dia akan mencari tahu. Mungkin saja hal itu nanti bisa dia jadikan alat untuk mengendalikan sang serigala peliharaannya itu. Agar Aryo bisa selalu berada disampingnya. Ponselnya berbunyi.

"Ya?"

"Pak, Tommy terlihat."

"Dimana?"

"Jauh di luar kota."

"Sedang apa?"

"Seperti mencari sesuatu, atau seseorang."

"Siapa?"

"Seorang wanita. Dia menghilang sebelum kami bisa menangkapnya."

Nafas dia hela panjang. "Jangan lepaskan dia, masih ada dokumen bukti padanya. Cari anak sialan itu sampai dapat, atau cari wanitanya. Dia akan datang sendiri."

"Baik."

Wanita-wanita-wanita. Semua tentang mahluk yang satu itu bisa benar-benar mengacaukan segalanya.

***

Tania sedang berjalan ke ruangan ketika pagernya berbunyi. Itu salah satu alat komunikasi di MG, menghindari suara yang tidak perlu pada speaker dan membuat lantai khusus itu menjadi ramai.

IGD stat. Anak Darusman ruang tiga.

Langkahnya tergesa. Sanjaya Darusman adalah sahabat keluarga suaminya. Bisnis Darusman di bidang properti juga membuat dia mengenal keluarga itu dari ayah. Jadi pasien ini tidak main-main. Tapi siapa yang terluka? Dokter jaga di IGD sudah mendekatinya dan memberikan semua laporan.

"Ardhana Sanjaya Darusman, usia 7 tahun. Jatuh karena bermain dan tangannya tergores pedang-pedangan yang besinya mencuat tidak terlihat. Pendarahan ringan tapi orangtuanya panik sekali."

Dia mengangguk mengerti sambil mendengar suara sayup-sayup seorang wanita dari ruang tiga yang terbuka.

"Dalen, sudah jangan menangis. Abang nggak apa-apa." Suara Dara menenangkan Dalendra yang masih menangis merasa bersalah.

Rafi sudah keluar dari ruangan dan berpapasan dengannya yang ingin masuk.

"Tania, akhirnya. Danan, apa dia baik?" Rafi langsung bertanya.

Dia tersenyum mengerti kepanikkan Rafi. "Sebentar saya periksa."

Tangan Dana yang masih berdarah dia sudah ambil. Luka sobeknya panjang, namun tidak dalam.

"Halo Danan, saya dokter Tania." Dia tersenyum menatap Danan yang cuek saja.

"Aku nggak apa-apa, Dok. Seorang kstaria meja bundar nggak akan nangis karena luka seperti ini."

"Wow, rupanya saya beruntung hari ini. Punya pasien yang juga seorang ksatria. Apa gelarmu ksatria?"

"I am the Knight Commander. Itu sedikit di bawah Knight Grand Cross dan Knight Bath. Aku nggak suka nama yang dua lagi."

Dia mendengarkan sambil mengangkat satu tangan Danan yang terluka. Dokter jaga sudah menyiapkan alat jahit, suntikan anti tetanus, dan bius lokal.

"Pilihan yang bagus. Tapi saya harus membersihkan lukamu dan menjahitnya. Apa kamu bersedia, Tuan Knight Commander?"

Danan tersenyum lebar. "Aku tidak takut."

"Luar biasa. Saya akan bilang pada sang Raja kalau kamu adalah ksatria paling berani."

Rafi menatapnya sambil memberi isyarat agar mereka berbicara di luar ruangan. Tania mengangguk kemudian menginstruksikan beberapa hal pada sang dokter jaga. Mereka beranjak ke luar ruangan sementara Dara mengangguk tersenyum menatapnya dan tetap berada di sisi Danan.

"Apa parah?"

"Tidak dalam, tapi sedikit panjang. Jadi mungkin sekitar 3 jahitan. Mereka main pedang-pedangan?"

"Ya."

"Apa Danan juga jatuh terbentur?"

"Saya minta pemeriksaan lengkap. Apa Danan butuh darah?"

Dia tersenyum lagi. "Saya sudah memeriksa tidak ada lebam di bagian kepala. Hanya sedikit di atas bagian lengan yang terluka, mungkin karena pukulan pedang Dalen. Pemeriksaan lengkap boleh dilakukan, tapi transfusi darah tidak diperlukan. Membuang-buang cadangan darah langka itu sia-sia."

Dahi Rafi mengernyit. "Maksudnya?"

"Dananjaya dan Dalendra memiliki golongan darah yang sama seperti Dara. AB negatif. Hanya 0,36 persen saja yang memiliki golongan darah itu. Di negara ini, hanya suami saya dan keluarganya yang saya tahu memiliki golongan tersebut."

"Apa benar-benar sangat langka?"

"0.36 persen dari seluruh penduduk dunia, Raf. Ya, sangat langka. Karena itu keluarga Daud yang kebetulan memiliki golongan itu menjadi pendonor tetap di rumah sakit ini. Daranindra bisa mendaftar untuk menjadi pendonor tetap juga. Jaga-jaga jika anak kalian membutuhkan. Sekalipun saya yakin Daud pasti akan membantu."

"Apa ini kebetulan?" Rafi diam sejenak. "Maksudnya, kenapa bisa istri saya memiliki golongan darah langka yang sama dengan keluarga Daud?"

"Apa kamu pernah bertanya pada orangtua Dara?" Dia memberi jeda. "Entah kenapa saya tidak pernah percaya sebuah kebetulan. Yang saya yakini, semua terjadi karena sudah ada yang mengatur untuk terjadi, bukan kebetulan."

Perbincangan mereka terhenti ketika mendengar Dalen menangis dari dalam ruangan. Dara keluar sambil membawa Dalen.

"Raf, tolong temani Dalen dulu. Dia histeris lihat Danan dibersihkan lukanya." Dara kembali masuk ke ruangan terburu-buru. Dalen langsung mendekati Rafi masih sambil menangis merasa bersalah.

"Saya juga harus menjahit lukanya, Raf. Danan baik-baik saja. Jangan khawatir." Dia kembali masuk ke dalam ruangan. Tanpa mengerti bahwa saat ini El Rafi sedang mengernyitkan dahi, berpikir.

Kalimat Tania tadi sudah mengusik Rafi.

Golongan darah langka, 0.36 persen dari seluruh penduduk dunia.

Apa kamu pernah bertanya pada orangtua Dara?

Tidak ada yang namanya kebetulan, Raf. Jadi apa? Siapa sebenarnya orangtua Dara?

***

Nah kan, nah kan. Dulu Bang Rafi panik dan sibuk sama keselamatan Dara saat melahirkan, jadi nggak kepikiran ya Raf? Mangkanya, jangan cemburu mulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro