15. Arrival
Sabiya belum diperbolehkan untuk pulang, tubuhnya juga masih terasa sedikit melayang. Jadi dia mematuhi saran para dokter di sini. Dia selalu patuh, sedari dulu. Paham jika dia anak satu-satunya. Seluruh beban nama keluarga, tanggung jawab, ekspektasi orangtua, sudah ada di pundaknya sedari kecil. Itu resiko ketika dia tidak memiliki saudara kandung.
Sejak dulu papa dan mama mendidiknya dengan seimbang. Seluruh hadiah dan penghargaan akan datang ketika dia mendapatkan prestasi. Tapi hukuman keras juga akan diberikan ketika dia berbuat kesalahan fatal. Jenis kesalahan yang bisa menghancurkan nama baik keluarga, atau kesalahan yang bisa membahayakan orang lain. Dia pernah merasakan hukuman itu dulu.
***
Dulu
Matanya menatap nanar pada apa yang dia lihat. Tubuhnya hanya dibalut oleh selimut putih tempat tidur hotel. Kemudian dia merasakan sakit yang aneh pada bagian di antara kedua paha.
Apa yang terjadi semalam? Apa?
Yang dia ingat hanyalah dia benar-benar sedih dan patah hati. Mengetahui laki-laki yang dia suka akan pergi. Kemudian karena dia tidak ingin seorang pun tahu dan juga karena rasa frustasi, dia mulai pergi dengan salah satu teman perempuannya di sekolah dulu. Permasalahannya, teman itu bukan benar-benar teman yang dia kenal. Oh, selama ini dia hanya dekat dengan Hanif dan Mareno saja. Dia tidak pernah benar-benar punya teman lainnya.
Tapi kenapa dia berakhir di sini. Dimana Mia si teman perempuannya itu? Lalu dia mendengar ada suara seseorang di kamar mandi. Karena masih sangat terkejut dan bingung, refleksnya adalah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang sama ketika sosok itu keluar.
Tubuhnya beringsut ke arah kepala tempat tidur menatap tubuh setengah telanjang Rangga keluar dari kamar mandi dengan santai.
"Dimana Mia?"
"Di kamar sebelah sama Mike, atau Andrew, atau dua-duanya. Mia favoritnya mereka, bukan gue." Rangga menggendikkan bahu tidak perduli. Bagus lo udah bangun? Paling nggak lo tahu dengan siapa lo semalam."
Seluruh darah yang ada di wajahnya mungkin sudah berpindah saat ini. Tubuhnya kaku. Rangga adalah teman SMA-nya dulu. Laki-laki populer di angkatannya. Ada dua sahabat Rangga yang lain, Michael yang dipanggil Mike, dan Andrew. Tiga sahabat itu bukan tipe laki-laki baik-baik. Mereka kaya dan populer, tapi perilaku mereka jauh dari baik. Tukang bully, selalu merendahkan orang, dan yang paling buruk adalah untuk mereka wanita itu tidak berharga. Hanya teman tidur saja.
Lalu air matanya mulai turun mengalir, sadar kesalahan bodoh apa yang sudah dia lakukan. Keluarganya akan membunuhnya karena ini.
"Oh ayolah, kenapa nangis? Kemarin lo diam aja." Dengan santai Rangga mengenakan pakaiannya lagi.
Dia meraih bantal dan melemparnya kuat pada Rangga yang terkekeh ringan.
"Brengsek!!"
"Hey-hey. Kemarin lo diam aja. Lo frustasi karena apa sampai mau pergi ke klub? Kalau lo mau cari cowok baik-baik, lo pergi ke masjid sana. Kayak abang idola lo tuh."
"You jerk, asshole!! Kamu manfaatin saya." Dia mulai berdiri sambil mengernyit menahan sakit dari pangkal pahanya.
"Ya sedikit. Kapan lagi seorang Aluna Sabiya ada di depan mata, tanpa perlindungan sama sekali. Kesempatan nggak datang dua kali." Rangga berdiri menatapnya. "You drunk, Biya. And you're so sexy when you're drunk. Do you know that?"
Dia meraih benda terdekat agar bisa dia lemparkan pada Rangga. Sementara laki-laki itu hanya tertawa kecil sambil menghindar.
"Sekarang lo tambah sexy karena marah."
Tangisnya tambah hebat, tubuhnya bergetar. "Nggak mungkin cuma karena mabuk."
"Yes, itu benar. Mike dan Andrew selalu bertugas menyiapkan segalanya buat gue. Nanti gue tanya sama mereka, udah kasih lo apa semalam."
Tubuhnya ambruk ke lantai. Dia bodoh sekali, dia sudah rusak, cacat, kotor. Ya Tuhan. Dia benar-benar idiot karena terjebak begini. Kepalanya menggeleng keras, dia berharap ini mimpi. Mimpi kejam yang buruk sekali.
"Good news, I love it. Semalam, luar biasa buat gue. Ini pujian, karena gue nggak pernah bilang begitu. Oh come on, I don't even bother biasanya. Semua perempuan akan gue tinggal sebelum mereka bangun." Rangga berjalan mendekatinya, lalu membungkuk berbisik di telinga. "I will do it again, Princess."
Wajahnya menoleh murka, satu tangan melayang pada pipi Rangga. Rahang laki-laki memerah karena pukulan kuatnya, lalu mengeras marah. Satu tangan Rangga mencengkram lengannya kuat.
"Jangan besar kepala. Gue punya videonya. Lo harus datang ketika gue panggil, paham? Atau video gue sebarin."
"Silahkan, bajingan!! Sebarkan. Itu akan merusak nama keluarga kamu juga."
Rangga tertawa. "Gue pintar, Biya. Hanya ada wajah lo di sana. Lagian, gue anak kesayangan. Paling parah gue dikirim ke luar negeri nerusin kuliah di sana, anyway ini baru tahun pertama. Tapi lo? Wow, you lose everything. Tuan putri dan adik kesayangan anak-anak Daud rusak. Apa yang akan Hanif bilang nanti? Atau Mareno? Oh, I hate that man. Atau Arsyad? Mereka orang suci, mereka benci perempuan kotor. Dan sekarang...lo sudah kotor. Belum lagi keluarga lo yang sempurna itu." Lagi-lagi Rangga tertawa memuakkan.
Sikap Rangga yang brengsek sekali membakar semua emosi yang dia punya. Dia memukuli Rangga tidak beraturan, menjerit dan mengamuk histeris. Apa yang Rangga bilang benar. Mereka berempat tidak akan memaafkannya. Belum lagi kedua orangtuanya.
Kemudian tubuh Rangga bergerak menjatuhkannya di kasur. Menahan tangannya hingga tubuhnya terkunci.
"God, you are really something, Biya. Kemana aja lo selama ini."
Wajah Rangga dekat dengan wajahnya sendiri. Nafasnya masih tersengal marah, air matanya belum berhenti.
"Jadi, turuti gue. Datang, jika gue panggil. Oke?" ancam Rangga.
Dia meludahi wajah Rangga yang terkejut sekali.
"Nggak ada orang yang dengan sengaja mengulang kesalahan yang sama, Bajingan!" Dia mendorong dengan seluruh tenaga yang dia punya hingga Rangga terjatuh ke lantai.
"Dasar cewek brengsek!!"
Paham Rangga murka dan ingin menyerangnya, dia berlari ke kamar mandi dan segera mengunci pintu. Selimut sudah tanggal entah dimana, tubuhnya yang bersender di pintu merosot ke lantai, menangis marah pada dirinya sendiri. Rangga masih mengetuk pintu berkali-kali sambil berteriak sama marahnya.
"Gue akan sebarkan videonya, Bi. Biar semua orang tahu kalau lo cewek gampangan. Oh, gue nggak sabar lihat muka Hanif dan Mareno nanti."
Dua tangan menutup mulutnya yang benar-benar ingin berteriak dan merintih saja. Tapi dia tidak ingin memberikan kepuasan pada Rangga dan berusaha menghentikan tangisannya.
"Gue kasih lo kesempatan. Besok, kita ketemu di kamar ini jam 7 malam. Kalau lo nggak datang, video itu akan gue sebar. Paham?
Lututnya yang dingin dia peluk erat. Berusaha keluar dari rasa kalut yang mencengkram kuat. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana nasibnya nanti?
Dua hari kemudian
Dia menatap darah di toilet sambil mengerjap tidak percaya. Dia datang bulan. Setengah rasa khawatirnya pergi. Dia tidak hamil, sekalipun tetap sudah kotor. Setelah pulang dari hotel itu, dia mandi berendam lama sekali. Sambil menahan rasa mual karena ingatan akan malam bersama Rangga mulai datang. Dia jijik pada dirinya sendiri. Kemudian dia berdiam diri di kamar. Tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya sendiri atas apa yang sudah terjadi.
Hanif dan Mareno belum tahu. Dua hari ini dia diam dan berhenti bicara, hanya duduk di kamar dengan perasaan kacau. Terkadang menangis memikirkan betapa menyedihkan dirinya sendiri. Dia jatuh cinta pada laki-laki yang tidak pernah menganggapnya ada. Lalu laki-laki itu ingin pergi, tanpa meninggalkan apapun. Seolah dia benar-benar tidak berarti.
Kamu memang nggak ada artinya buat dia, Biya. Wake up. He doesn't love you back. He never does. Sekarang apalagi. Setelah kamu kotor seperti ini. Nobody wants you. He will hate you more.
Kemudian pesan itu datang lagi, dari Rangga.
Bajingan: Lo nggak dateng, Bi. Gue nungguin lo dua hari, two f**king days. Do you think I'm joking? Look what you made me do to you.
Dengan panik dia mengecek pesan lainnya. Benar saja, video itu sudah terkirim. Dia membuka jejaring sosial yang dimiliki oleh si kelompok gila itu. Dan ya, video itu sudah ada di sana. Air matanya sudah turun lagi. Dia tidak mau kembali dan menuruti apa yang diminta Rangga, dia lebih baik mati. Tapi, seluruh dunia melihatnya sekarang. Sebagai perempuan kotor.
Pintunya diketuk keras. Dia takut, dan tidak ingin membuka pintunya. Apa itu Papa? Atau Mama?
"Aluna Sabiya, buka pintunya." Suara mama sudah menggelegar di luar sana. "Sabiya, buka pintu!!"
Tubuhnya beringsut ke pojok ruangan. Meringkuk gemetar. Dia bersalah, dia berdosa, tidak akan ada orang yang membelanya, bahkan si empat saudara. Dia akan kehilangan segalanya.
***
"Ma, kok bengong. Mama." Suara Damar mengembalikan segala kesadarannya.
Dia menatap manik mata Damar, lalu dua tangannya memeluk Damar lembut.
"Mama kenapa?"
"Nggak apa-apa. Mama sayang kamu."
Damar adalah sumber kekuatan. Bagaimanapun kelam hidupnya dulu, Damar adalah cahaya. Akan selalu begitu.
Pintu kamar rumah sakit terbuka lagi, lalu sosok yang dulu membela dia habis-habisan di depan keluarganya, datang. Tersenyum hangat dengan buket bunga besar di tangan dan paper bag berisi makanan di tangan lainnya.
"Sayang, sudah makan? Aku bawain makanan kesukaan kamu."
Dia menatap tubuh Hanif yang beranjak ke vas bunga terdekat dan mengganti bunga di dalamnya dengan bunga yang dia bawa. Kemudian laki-laki itu meletakkan bungkus makanan di meja dan menghampirinya untuk mencium keningnya.
"Makan yuk. Makanan MG emang enak, tapi ini biar kamu nggak bosan."
Matanya terpaku pada sosok itu. Ingatannya masih di masa lalu, saat Hanif datang setelah mama berhasil masuk ke kamar dan memukuli tubuhnya sambil menjerit histeris. Papa masih berada di luar negeri saat itu. Hanif yang berhasil menenangkan mama, sambil memeluk tubuhnya yang bergetar hebat. Tidak berdaya.
"Aku mau makan ah, kalau Mama nggak mau. Sate ayam nih Ma. Dari restoran langganan Mama." Damar sudah duduk di sofa.
"Hey, hey, cuci tangan dulu, baca doa. Jangan main makan aja." Hanif berujar sambil tersenyum pada Damar dan membuka bungkus makanan. Kemudian wajah Hanif menoleh padanya. "Makan yuk."
"Kalian duluan aja." Dia tersenyum melihat Hanif dan Damar.
"Mau aku suapin?" tanya Hanif dengan wajah konyol.
"Jangan, nanti Tante Faya marah lagi. Lagian ini Mamaku, aku bisa suapin dia sekarang. Ayah nggak usah ikut campur," sahut Damar dari arah wastafel.
"Wow, kamu makin pintar ngomong, Boy."
"Jangan panggil aku itu, Yah. Itu panggilan Niko buat aku."
"Om Ni-ko, Damar," Hanif memperingati.
"Ya, ya, ya. Ayah sama cerewetnya kayak Mama. Om-Ni-ko. Aku makan ya, Mama kelamaan." Damar sudah makan sementara Hanif menatap Damar sambil tersenyum.
Senyum yang selalu ada sejak dulu. Orang pertama yang menyelamatkannya, yang ada untuknya, hingga dia tidak pernah merasa sendiri dan berakhir bunuh diri.
"Kamu mikirin apa?" Tubuh Hanif sudah duduk di sebelahnya.
"Nggak apa-apa." Satu tangannya merangkul Hanif mendekat. "Aku sayang banget sama kalian berdua."
Hanif balas memeluknya lembut.
"Jadi kapan? Kok aku belum terima undangannya?" Dia menatap Hanif sambil melepaskan pelukan mereka.
"Sebentar lagi, kami masih siap-siap. Tapi tamu benar-benar dibatasi, protokol keamanannya sangat ketat. Mungkin nanti akan jadi kayak pernikahan Mareno, hanya keluarga dekat saja. Juga Faya mau ketemu Om Iwan dulu."
"Kapan?"
"Malam ini."
"Kamu nemenin Faya, kan?"
"Nggak."
"Bang, kamu kayaknya harus nemenin Faya. Takut nanti kenapa-kenapa."
Hanif tertawa kecil. "Aku malah lebih khawatir sama Om Iwan daripada Faya."
"Ck..hsssh...Bang. Kamu harus nemenin dia."
"Ada Brayuda kok. Tenang aja."
"Lah, Yuda mah sama-sama kejamnya. Nanti yang ada Om Iwan dipukulin bareng-bareng lagi."
Tawa Hanif lepas lagi.
"Kok ketawa sih?" tanyanya sebal.
"Karena kayaknya kamu ada benernya dan aku baru sadar. Oke, oke, aku akan temenin Faya nanti."
***
Mahendra menatap layar CCTV kamar rawat Sabiya. Ya, dia memang sulit bicara dihadapan wanita itu. Tapi dia bisa melihat, selalu melihat untuk mengawasi dan menjaga Sabiya dalam diamnya. CCTV di dalam kamar rawat sama sekali bukan prosedur standar MG. Hanya orang-orang khusus yang sedang dalam perlindungan oleh ADS. Ardiyanto pamannya, dan juga Sabiya adalah termasuk di dalamnya.
Hal pertama yang dia lakukan setelah keluar dari white room adalah pergi ke lab. Mengecek seluruh laporan hasil test Sabiya yang sudah dikirimkan oleh Tania. Arsyad keluar satu hari setelah dirinya dan mereka langsung berkumpul kembali. Entah kenapa mata Arsyad lebih hitam dan dalam. Sikap tenangnya penuh misteri. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan, atau dia temukan ketika mereka sedang dalam masa penahanan.
Mereka membagi tugas. Mareno harus menyelesaikan kasus Michelle Dinatra secepatnya, Arsyad dan Hanif akan mulai mengintai Herman lagi, Niko dan Faya akan berburu Aryo, sementara dia akan membantu untuk semua hal sementara mengawasi Sabiya.
Hal terbaik adalah Sabiya sudah bangun. Gadis kecil kesayangan mereka sudah bangun. Kembali tertawa sekalipun masih ada gurat khawatir di matanya, kembali tersenyum sekalipun di banyak kesempatan Sabiya seperti lebih banyak berpikir. Karena sering dia lihat pandangan mata Sabiya yang kosong, menatap ke arah luar jendela besar kamar rawat sambil duduk di tempat tidur.
Apa yang kamu pikirkan, Bi? I wish I can see it or read it.
Lalu salah satu layar komputer yang menunjukkan lokasi berkedip. Dulu dia menyambungkan salah satu komputer canggihnya dengan ponsel Alexa yang dia bajak paksa. Karena gadis itu mengancam ingin menyebarkan berita insiden di butik Sabiya. Tapi semua hanya bisa tersambung lokal. Ketika Alexa pergi ke New York, sambungan itu terputus.
Sekarang, titik biru itu muncul. Dahinya mengernyit heran. Bagaimana bisa? Harusnya Alexa masih di New York. Atau ada seseorang yang menghidupkan ponselnya? Mungkin saja. Tapi layar titik itu menunjukkan dia sedang berada di airport.
Ayolah, Hen. Apa peduli lo. Biarin aja Alexa mau gimana, It's not your business.
Lalu ingatannya terbang pada pesan Alexa sesaat sebelum dia berangkat ke New York. Pesan lama yang baru saja dia baca ketika dia berada di dalam white room. Saat seseorang memberikan charger ponselnya yang tiba-tiba mati.
I burned the house and I left him. Because he doesn't love me, and I don't love him. I just realize how pathetic and cruel our life will be if we keep continue this.
Lalu pesan di hari lainnya. I really want to give up, I want to forget you. Knowing that, you don't give a damn.
I will leave tomorrow.
Nafasnya dia hirup dan dia menggendikkan bahu. Kemudian kembali asyik dengan apa yang sedang dia kerjakan sebelumnya. Apa benar begitu? Karena tiga puluh menit kemudian, matanya kembali menatap layar tadi, mengikuti kemana titik biru bergerak.
"Angel..."
"Ya, Tuan."
"Synchronize sistem utama dengan ponsel Alexa. Tampilkan apa-apa yang dilihat oleh Alexa pada ponselnya."
"Saya wajib mengingatkan bahwa itu termasuk pelanggaran HAM. Pada aturan pemerintah yang baru, penyadapan bisa dilakukan jika..."
"Angel just do it. I know the law. Ini diperlukan agar saya tahu apakah Alexa akan nekat menyebarkan informasi."
Ya, hanya itu alasannya Hen. Bukan alasan yang lain dan tidak akan jadi alasan yang lain.
"Baik, memproses."
***
Setelah meraung marah dan bersungut benci memakinya sepanjang perjalanan, Lidya akhirnya diam. Mungkin dia lelah, seperti dirinya sendiri. Perjalanan yang panjang, belum lagi dia berangkat langsung setelah turun dari atas catwalk. Untuk apa? Niko mengabari bahwa Sabiya sudah bangun. Satu pesan dan bisa langsung mengubah keputusannya. Tapi ini hanya kunjungan singkat untuk Sabiya, bukan yang lain.
Supir sewaan sudah datang menjemput dengan Audi hitam di airport. Lidya juga sudah menyewa beberapa penjaga karena masih khawatir pemberitaan pembatalan pernikahannya dengan William belum reda. Sudah menjelang sore sekalipun belum masuk jam sibuk. Jadi jalanan masing tidak terlalu ramai. Udara di kota ini selalu membuatnya sesak. Atau mungkin sesaknya karena alasan lain, entah. Dia sudah melupakan Mahendra, sudah.
"Halo Janice, ini Lidya."
Matanya membelalak kaget mendengar Lidya menghubungi sekertaris keluarga Daud. Satu tangan sudah mencengkram tangan Lidya yang menggenggam ponsel untuk memperingati, dan benci untuk tahu tiba-tiba jantungnya bereaksi.
Lidya hanya membuang muka kesal dan terus menghubungi Janice.
"Bagaimana kabar Sabiya?"
Lidya diam mendengarkan sambil sesekali mengangguk. "Jen, Lexa ingin bertemu Sabiya secara langsung. Kapan Sabiya bisa ditemui?"
Mata Lidya membelalak kesal. "Hey hey, ini nggak ada kaitannya dengan pembatalan gaun pernikahan Lexa. Ini masih soal insiden di butik Sabiya. Dan Alexa datang dari NY langsung, membatalkan semua janji dengan client, hanya untuk pergi ke sini dan bertemu langsung dengan Sabiya."
Lidya diam lagi mendengarkan. "I'm sorry, what did you say?"
Lalu Lidya menggeram kesal karena Janice menutup ponselnya. "Dasar keluarga sinting, Emang mereka pikir mereka siapa, sampai mau ketemu aja susah banget. Gue yakin mungkin jauh lebih mudah ketemu presiden di negeri ini daripada bikin janji sama mereka."
"Dulu, kita ancam mereka, Lid. Mangkanya mereka begitu."
"No excuse. Hey, elo itu Alexandra Walton. Orang antri mau ketemu lo. Bukan sebaliknya. Gue nggak terima. Mereka bikin marah orang yang salah." Lidya mulai mengutak-atik ponselnya. Mencari barang bukti yang dia simpan dulu.
Tapi saya bukan siapa-siapa buat Mahendra, itu kenyataannya. Mahen lagi, Lexa? Come on.
"Damn it. Kayaknya itu ada di ponsel lo, Lexa. Sini." Tanpa basa-basi Lidya mengambil ponsel Alexa.
"Lid, udahlah. Jangan pakai ancam mereka segala."
"Terus pakai apa? Mereka harus dikasih pelajaran biar nggak sombong jadi orang kaya."
"Lid, aku ingin istirahat dulu. Nggak ribut di hari pertama kita sampai."
"Gue harus memastikan lo cepet-cepet selesaikan apapun urusan lo di sini. Semua janji pekerjaan hanya bisa gue tunda satu minggu. Atau client-client mulai protes. Inget Lex, duit tu nggak turun dari langit. Apalagi lo terancam dicoret dari daftar warisan keluarga Walton."
Kepalanya menggeleng kecil, tapi dia bungkam dan mengalihkan pandangan keluar jendela mobil.
"Dan jangan berpikir lo gue ijinin ketemu Mahendra. Gue tahu ini akal-akalan lo aja dengan alasan ketemu Sabiya biar bisa ketemu Mahendra, iya kan? Kenapa lo jadi gila gini sih? Begitu semua koper dateng, gue bakalan buang itu helm norak jelek punya cowok sialan itu..."
Lidya terus memaki persis seperti ketika mereka di pesawat tadi. Sementara dia diam, tidak menyahut. Mulai mempertanyakan dirinya sendiri tentang alasan apa sebenarnya yang membuatnya datang lagi ke kota ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro