Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Why not?

Hanif menatap layar CCTV dengan ekspresi sedih. Melihat Arsyad sungguh diam dan menjalani masa hukuman dengan sangat baik. Ya, tidak ada gurat emosi di sana. Hanya rasa sesal, kemudian kepasrahan total seolah abangnya itu lelah sekali.

Arsyad selalu menjadi penjaga mereka, sedari dulu. Dia selalu menjadi orang pertama yang ada, ketika adiknya dicemooh oleh anak lain, atau ketika mereka mendapatkan masalah karena kenakalan atau kekonyolan mereka. Arsyad yang akan selalu maju pertama. Seberapapun konyol kesalahan mereka, atau sesibuk apapun dia, abangnya itu selalu ada.

Saat mereka masih bersekolah dulu, Mahendra dicemooh karena selalu menjadi anak yang paling pintar di sekolah, Arsyad menjaga Mahendra pulang dari belakang agar yang lain tidak bisa mulai mem-bully Mahendra. Atau ketika salah satu pacar Mareno bertingkah, Arsyad yang menghadap ke ruang guru, karena Mareno mangkir. Atau ketika ayah sedang tidak dalam kondisi baik dan emosi padanya, Arsyad akan membelanya habis-habisan dan menerima seluruh pukulan dari ayah. Dia tahu, karena dia ada di sana dan memperhatikan segalanya.

Untuk mereka, dan juga ayah-ibunya, Arsyad adalah sosok yang luar biasa. Pintar, kuat, bijaksana, patuh, kebanggaan keluarga mereka. Tapi terkadang mereka lupa, Arsyad hanya manusia biasa. Abangnya bisa berbuat salah, atau ceroboh terkadang. Sekalipun dia tahu Arsyad melarang keras dirinya berbuat bodoh seperti itu. Tapi bayangkan, hidup di atas ekspektasi semua orang bertahun-tahun lamanya, itu sangat melelahkan.

Apa yang Arsyad mau? Apa benar mengelola ADS seperti ini? Siapa yang dia cinta? Karena dia tidak pernah sama sekali memikirkan dirinya sendiri. Sibuk melindungi orang-orang di sekitarnya. Seperti tidak pernah beristirahat barang sejenak, seperti tidak membiarkan dirinya lengah sedikitpun, bertahun-tahun lamanya.

Saat ini, dia bisa melihat seluruh lelah Arsyad pada matanya, sikapnya yang tenang sekali. Berada di dalam kamar, duduk membaca, berdiri berpikir, melaksanakan seluruh solat sunat dan wajib dengan khidmat, dan kemudian diiringi dengan doa yang panjang, kemudian tidur yang selalu terbangun setiap beberapa jam sekali. Ya Tuhan, kemana saja dirinya tidak memperhatikan Arsyad selama ini.

Mereka berpikir Arsyad baik-baik saja. Padahal, apa yang dia lihat adalah keresahan yang sudah menumpuk tinggi. Lalu meledak ketika melihat Sabiya terluka dan drop kondisinya di depan kedua matanya. Ya, dia tahu bahwa persis sebelum kejadian peledakkan bom itu, Arsyad ada di ruang rawat Sabiya. Melihat tubuh Sabiya kejang dan hampir saja tidak tertolong. Tapi lagi-lagi Arsyad diam, dan menyimpan semua sendiri.

Analisa dampak sudah selesai dilakukan, hasilnya tidak ada korban jiwa. Berita yang beredar juga sudah dinetralkan. Jadi dia bisa membebaskan Arsyad sesegera mungkin. Tapi hatinya ragu. Karena dia melihat akhirnya saat Arsyad berada di dalam white room, abangnya itu beristirahat sejenak. Tidak selalu berkubang dalam bahaya, atau menempatkan dirinya sendiri pada beban yang semakin berat. Jadi, bagaimana?

"Nif..." Niko menepuk pundaknya. "Harusnya Arsyad bisa keluar kan?"

Dia mengangguk.

"Kenapa? Kok muka lo begitu?"

Hanya ada mereka berdua di black room saat ini. "Lihat Arsyad, Nik."

Niko menatap ke layar. "Ada apa?"

"Dia kelihatan lebih tenang di dalam sana. Bisa istirahat."

Niko terkekeh kecil. "Raja hutan, tidak pernah beristirahat." Niko menghirup nafasnya. "Mungkin Arsyad terlihat beristirahat. Tapi, berhubung gue kenal dia sudah berbelas tahun, jadi gue sangat tahu bahwa pikirannya tidak istirahat. Lo tahu kalau singa itu selalu berburu dan setelah itu kasih makan keluarganya dulu? Binatang itu membunuh binatang lain, untuk melindungi keluarganya dan memastikan keluarganya makan. Padahal berburu bukan pekerjaan gampang."

Mata Niko masih menatap layar. "Arsyad yang gue kenal, sedang menenangkan diri dan menyusun langkahnya lagi. Paham benar, bahwa ancaman untuk keluarganya masih di luar sana. Selama masih ada ancaman, dia nggak akan istirahat, Nif. Lelah itu bukan opsi, tapi situasi ini membuat dia bisa berhenti sejenak untuk merencanakan dengan matang apa langkah selanjutnya. Itu adalah Arsyad."

"Apa gue harus berikan dia waktu lebih, untuk menyusun rencana?" tanyanya pada Niko.

"Saran gue, buka pintunya. Biarkan dia memilih. Kalau dia masih ingin istirahat dan memikirkan semua rencana, dia akan diam di sana. Kalau dia sudah siap, dia akan keluar dan mulai benar-benar melakukan sesuatu agar rencananya berhasil. Kasih Arsyad pilihan, Nif. Dia sangat mampu memutuskan sendiri. Setelah itu kita tunggu arahan dari dia."

"Dan kita bantu dia sekuat tenaga." Kepalanya mengangguk setuju.

"Itu wajib. Karena kalau dia yang menjaga kita semua, kita semua yang harus jaga dia." Niko tersenyum lagi. "Haah...gue nggak sabar pingin buru-buru beraksi lagi. Ayolah, jangan kelamaan. We miss him. Najis, males banget nggak tuh gue ngomong begitu."

Dia tertawa melihat senyum konyol Niko.

"Jangan lupa Mahendra. Udah adem belum tuh kepalanya si jenius konyol itu."

"Hey hey, elo sama konyolnya kemarin."

Niko tertawa. "Ya, ya."

"Mahendra sudah balik ke lab dari tadi pagi. Masih dalam pengawasan, tapi gue yakin dia aman."

"Oke, gue cabut dulu. Habis ini kita meeting soal Aryo kan?" Niko sudah berada di pintu.

"Ya, tiga puluh menit lagi."

Niko sudah berlalu dari ruangan, kemudian dia mulai memberi perintah pada penjaga yang ada di sana. Pusat kendali sudah membuka kunci pintunya, hingga pintu berkedip hijau. Arsyad yang sedang membaca, menatap pintu itu diam.

Abangnya keluar ruangan satu hari setelah pintu itu terbuka. Tempat pertama yang dia tuju, adalah rumah sakit MG, ruang rawat Sabiya.

***

Berita selanjutnya, kasus kejahatan Michelle Dinatra sudah menjalani sidang putusan. Michelle Dinatra dihukum dengan hukuman sepuluh tahun penjara atas tindakan perencanaan kejahatan atas korban pemerkosaan yang berinisial nama DA. Sementara pihak kuasa hukum Michelle sedang memproses naik banding, sampai saat ini Michelle sendiri masih tidak bisa ditemui.

Dia mendengar suara itu sayup, sebelum kemudian mengerjapkan mata. Wangi rumah sakit sudah langsung dia bisa baui. Matanya mengerjap perlahan, dan melihat dengan bayangan kabur sosok laki-laki yang duduk tertidur di sofa. Dia berdehem ringan karena tenggorokannya terasa kering. Lalu laki-laki itu langsung duduk tegak sambil mengacungkan senjata yang ternyata sedari tadi dia genggam. Matanya sudah siaga.

"Bang?" tanyanya dengan suara yang lemah. Sudah tidak ada alat yang menempel di mulut atau wajahnya kecuali selang oksigen di hidung, dan infus yang terpasang di tangan.

Arsyad menarik nafas panjang kemudian menggelengkan kepala. Senjata itu dia tarik dan simpan lagi. Mata Arsyad menatapnya seperti ingin memastikan sesuatu. Kemudian laki-laki itu berdehem juga. "Kamu sudah sadar."

Dia menatap selang infus yang menancap di tangan. Terakhir yang dia ingat dia berhadapan dengan Aryo Kusuma. "Berapa lama?"

"Tiga minggu lebih," jawab Arsyad.

"Damar?"

"Di kamar sebelah, bareng Mahendra."

"Bang Hanif?"

"Baik-baik, hanya benar-benar murka. Seperti semua orang."

"Maaf," lirihnya karena tiba-tiba ingatan itu datang.

"Ya, sekarang kamu tahu kenapa saya benci perempuan yang lemah. Mereka merepotkan." Arsyad sudah berdiri. "Ayah dan Mama kamu setiap pagi selalu datang, mereka baru pulang dua jam lalu. Saya akan hubungi mereka setelah ini."

Matanya menatap Arsyad marah. Masih sakit hati dengan apa yang dia dengar barusan. Ya, dia memang tidak sekuat Fayadisa atau Deana. Dia bahkan tidak tega jika memang harus membunuh seekor nyamuk saja. Kemampuan bela dirinya nol, tidak ada. Tidak sebaik kemampuan menggambar, menjahit, atau memasaknya. Tapi apa salahnya hingga Arsyad berkata kasar seperti itu. Arsyad selalu begitu. Lalu air mata itu bergulir lagi. Dia sakit hati.

"Hhh...apa saya salah kalau hubungi orangtua kamu. Kenapa kamu cengeng banget begitu aja?" Nada Arsyad kesal dan marah.

"Keluar," bisiknya sedih. Bukan ini yang dia harapkan ketika dia bangun. Kenapa juga Arsyad yang ada di sini. Kenapa bukan Hanif? Atau bahkan sikap Mareno masih lebih baik.

"Bagus, saya juga nggak suka lama-lama di sini." Arsyad berjalan keluar ruangan dan pintu tertutup dengan sendirinya.

Tidak berapa lama Mahendra masuk dengan wajah cemas sekali. "Biya?"

"Kenapa? Kamu juga mau salahin aku? Bilang kalau aku cewek lemah yang nggak bisa bela diri sendiri? Kalau aku ngerepotin? Kenapa jadi salah aku?" Sekalipun suaranya masih serak dan lemah, dia sudah memaki Mahendra yang tidak mengerti sambil menangis sedih.

Kemudian sebelum dia sempat melampiaskan kekesalannya lagi, langkah Mahendra panjang-panjang langsung memeluk tubuhnya.

"Ya Tuhan, kamu bangun. Ya Tuhan." Pelukan Mahendra bertambah erat dan dia tambah menangis.

Mereka bertahan pada posisi itu lama-lama. Dia seperti meluapkan apa-apa yang dia ingat sebelum dia kehilangan kesadarannya sendiri. Tentang betapa kala itu dia hampir mati, tentang betapa hanya ada satu laki-laki yang ada di dalam pikirannya saja selain Damar. Oh, dia sungguh menyedihkan.

Tangisnya mulai reda, lalu Mahendra melepaskan pelukan mereka. Sebelum dia sempat berkata apapun pada Mahendra, Damar masuk dan langsung menghambur ke pelukannya.

"Mama bangun, Mama bangun. Jangan tinggalin Damar lagi. Damar akan nurutin Mama." Damar menangis sambil memeluknya.

Nafas panjang dia hirup lega. Anaknya aman dan selamat. Mahendra beranjak ke luar ruangan. Membiarkan dia dan Damar melepas rindu.

***

Markas besar ADS

"Kamu luka, Fa. Kok bisa sih?" Hanif memegang lengannya yang terluka.

"Salahin Leo tuh, yang ceroboh lihatin cewek-cewek tadi." Dia terkekeh dan mengangguk pada Leo.

"Sial, bukan ngeliatin cewek. Tapi tiga lawan satu selalu merepotkan. Anak buah Aryo nggak main-main skillnya." Leo mendengkus kesal.

Mereka berada di markas ADS setelah kembali dari misi pengejaran Aryo. Saat ini Aryo terluka parah, tapi mereka memutuskan untuk tetap berburu dan menangkap Aryo hidup-hidup. Sebelum Aryo kembali berdiri tegak seperti semula dan mengamuk lagi.

"Tapi ini jadi menarik, Bang. Gila lo emang jago banget berburu begitu. Padahal nggak pakai alat-alat ADS karena Mahen banyak di MG," timpal Elang sambil menatap Hanif.

"Ya tapi tetep aja, kenapa jadi kalian yang luka-luka. Apa ada petunjuk baru?" sahut Hanif sedikit kesal.

"Tracker sudah terpasang. Entah mereka sadar atau nggak. Nanti kita laporan ke Erick biar dia operasikan."

"Good. Besok-besok gue ikut. Setelah dapet petunjuk berikutnya," ujar Hanif sambil membersihkan luka Faya.

"Pelan-pelan dong, Nif. Sini gue aja deh," ujarnya kesal karena perih luka tidak tertahankan.

"Hey, kalau udah ceroboh, main-main di lapangan, dan terluka, nggak berhak marah-marah atau protes." Tatap Hanif galak padanya.

"Cabut-cabut-cabut. Ada yang mau berduaan." Elang dan Leo tertawa.

"Leo, kamu juga jangan main-main begitu. Ingat, kamu sebentar lagi punya buntut." Dia memperingati Leo.

"Ya elah, Bang, Nggak usah diingetin sih. Jangan ngadu ke Risa ya." Leo menggeleng saja sambil tersenyum konyol.

"Gue yang ngaduin," sahutnya sambil tersenyum meledek. "Jangan lupa urus pernikahan secara hukum negara, Leo. Anak orang dikawin sirih doang. Dasar gila."

"Heh, nggak usah ngomong begitu. Ngaca? Situ udah nikah?" Leo dan yang lain tertawa sambil berlalu dari ruangan.

Dia dan Hanif tertawa kecil. Ya, pernikahan mereka tertunda lagi karena Sabiya yang masih terluka dan belum bangun.

"Besok-besok, aku ikut," ujar Hanif padanya saat mereka sudah berdua saja.

"Kita sudah bahas kan. Aku dan Niko yang cari Aryo, kamu dan Bang Arsyad fokus di markas besar susun master plannya. Mahendra fokus sama Sabiya, dan Mareno selesaikan sidang Danika yang baru kemarin selesai. Semua sudah punya tugas." Tangan Hanif dengan cekatan membebat tangannya yang terluka.

"Itu bukan pertanyaan," ujar Hanif lagi. Tangannya yang sudah selesai dibebat diambil dan dicium lembut oleh Hanif.

"Jangan di sini Nif, kalau ada yang lihat gimana?" bisiknya sambil menahan merah malu di wajah.

"Kamu tahu, setiap kamu terluka itu membuat malamku bahkan lebih buruk lagi."

Kali ini dia mengalungkan lengannya pada leher Hanif. Dahi mereka bersentuhan.

"Kita udah tinggal bareng demi alasan keamanan. Aku turuti semua keinginan kamu dan bekerja sama. Melakukan atau tidak melakukan apa yang kamu minta. Jangan minta lebih dari itu, please. Aku bisa jaga diri. Ada Leo, Max, Niko."

"Membiarkan kamu sendiri di lapangan rasanya salah, Fa."

"Aku nggak sendirian, Nif." Dia menghela nafas.

"Aryo cinta kamu, bisa jadi nanti dia salah sangka disangkain kamu mau nengokkin dia."

Dia tertawa kecil. "Dan perasaan aku cuma untuk kamu, Hanif. Kita sudah sepakat untuk tangkap hidup-hidup kan. Karena itu aku diturunkan."

"Kalau kamu bertemu, don't speak to him. Just arrest him."

"Kamu cemburu? Sama Aryo? Serius?"

"Serius aku pingin cium kamu sekarang."

Dia tersenyum sambil menggeleng. "Kamu mengalihkan pembicaraan, Bapak Hanif."

"Jangan berlatih dulu dengan Brayuda dan Rajata malam ini. Aku mau kita duduk berangkulan di sofa sambil makan popcorn dan bertengkar soal siapa yang harus cuci piringnya."

"Aku harus sempurna, Nif. Untuk bisa menangkap Aryo dan menghentikan dia."

"Kamu sudah sempurna."

"Masih jauh jika dibandingkan Aryo atau Arsyad. Kamu sendiri terus berlatih dengan Arsyad sekarang, curang."

"Itu untuk melindungi keluarga, Fa. Untuk melindungi kamu, Sabiya, Damar, Mama, semuanya. Arsyad setuju bahwa sudah saatnya aku, Mareno dan Mahendra untuk berlatih lebih serius lagi. Karena bahaya bisa datang kapan saja."

"Aku paham, karena itu aku juga harus berlatih. Seluruh teknik dan metode Arsyad atau Niko sudah aku tahu. Tapi Brayuda dan Rajata, teknik mereka benar-benar membuatku heran sendiri."

"Oh, aku benci harus berbicara soal pekerjaan lagi. Kamu cuci piring malam ini," ujar Hanif.

"Aku mau ke dojo Brayuda."

"Ya setelah itu." Hanif mencium pipi Faya cepat.

"Nggak mau, enak aja. Kamu dong yang lagi nggak ada jadwal latihan."

"Oke, aku yang cuci piring tapi kamu batalin latihan kamu malam ini."

"Hanif..."

Pembicaraan mereka berhenti karena ponsel Hanif berdering. Laki-lakinya itu menerima panggilan serius sekali.

"Nif? Ada apa?"

"Fa, Sabiya bangun."

Lalu mereka langsung melepaskan diri dan berjalan menuju garasi utama. Dia sudah mengenakan jaketnya kembali sambil berjalan cepat bersisian dengan Hanif.

"Mobil, Fa. MG itu dekat," ujar Hanif cepat.

"Motor, nanti macet," sahutnya.

"Faya, aku bilang pakai mobilku."

"Motor." Dia keras kepala seperti biasa.

"Oke, tapi latihan dengan Brayuda aku batalin malam ini."

"Hrrrghhh...Hanif."

***

Di rumah sakit

Ketika mereka tiba, langkahnya benar-benar panjang karena tidak sabar. Sabiya bangun, setelah tidak sadarkan diri berminggu lamanya. Peluru itu menembus dada tapi meleset dari organ vitalnya. Saat itu terjadi, dia benar-benar tidak menyesal karena untuk pertama kalinya dia menghabisi seseorang. Ya, siapapun mereka, mereka pantas mendapatkan itu semua setelah menyakiti Sabiya. Kemudian mimpi itu terus berulang. Bagaimana Aryo menatapnya murka, bagaimana Sabiya yang terbujur kaku di lantai dengan darah di bajunya, atau firasat-firasatnya tentang Faya dan Arsyad. Itu menyiksa. Tapi keberadaan Faya yang saat ini di dekatnya membuat segalanya sedikit membaik.

Tubuhnya berdiri di depan pintu melihat wanita kesayangannya itu duduk di atas tempat tidur rumah sakit sambil menatap ke luar jendela. Mahendra duduk di sofa dan membaca sambil diam.

"Sayang, kamu bangun."

Kepala Sabiya menoleh menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu dia suka. Lalu dia duduk di pinggir kasur rumah sakit dan memeluk Sabiya perlahan sambil menciumi kepalanya. Faya berdiri menatap mereka sambil tersenyum mengerti.

Sabiya menangis lirih sambil terus memeluknya.

"It's oke. Kamu aman, Bi. Damar juga aman. It's oke." Satu tangan menepuk-nepuk punggung Sabiya berusaha menenangkan.

"Kalian semua repot gara-gara aku. Karena aku nggak bisa apa-apa. Maafin aku, Bang."

"Ssst, jangan ngomong aneh-aneh. Kamu sudah sangat berani dengan berhadapan dengan Aryo seperti itu. Sudah, Bi."

Mahendra melirik sedikit kemudian menunduk diam lagi.

"Damar mana?"

"Sudah pulang di antar ke tempat Mareno dan Tania tadi sama Max," jawab Sabiya.

Dia melonggarkan pelukannya. "Apa yang kamu rasa, Bi."

"Agak sesak, tapi badanku pegal semua."

"Itu reaksi umum pasca trauma. Tapi serum sudah diberikan. Kondisi Sabiya baik, tadi dokter Reyn sudah ke sini dan melakukan pemeriksaan cepat lagi. Beberapa hasil test besok keluar. Tapi harusnya Sabiya bisa pulih," sahut Mahendra.

Hanif menengok ke Mahendra. Sedikit heran karena akhirnya Mahendra lancar berbicara dihadapan Sabiya.

"Lo punya serum buat Sabiya?" tanya Faya heran.

Mahendra mengangguk. Kemudian dia menggeleng pada Faya untuk mengisyaratkan agar menahan komentar lanjutannya.

"Kalian baik banget, terimakasih," ujar Sabiya lagi.

"Biya, kamu ngomong begitu seolah kita teman. Kita semua saudara, keluarga." Dia tersenyum sambil menatap Sabiya.

Tangan Sabiya menarik lengan Hanif agar duduk di dekatnya. Faya yang mengerti kemudian duduk di sebelah Mahendra.

"Gue heran kalian berdua bisa nggak jatuh cinta," ujar Faya dengan mimik serius.

"Fa..." Dia menatap Faya yang cuek saja.

"Gue nggak cemburu, Nif. Cuma nanya, serius."

Sabiya tertawa kecil sambil masih menggelendot manja. "Ya nggak lah. Masa adik-kakak pakai jatuh cinta. Iya kan, Hen?"

Mahendra hanya mengangkat bahunya saja sambil menatap ponsel. Kemudian pintu itu terbuka dan Niko masuk.

"My angel, my baby angel." Tanpa sungkan Niko melebarkan tangan dan menghampiri Sabiya. "Minggir nggak lo. Ada Faya juga." Niko mengusirnya pergi.

Faya dan Sabiya tertawa. Niko sudah memeluk Sabiya hangat.

"Princess, kamu nggak apa-apa kan?"

"Nik, makasih ya."

"Bukan saya, ada orang lain yang benar-benar tolong kamu dan jadi orang paling cemas tapi diam-diam aja," bisik Niko pada Sabiya lalu kaki Niko diinjaknya dengan pandangan mengancam.

"Lain kali serahkan Aryo pada kami, Bi. Kamu berlindung aja." Niko sudah melepaskan pelukannya tapi masih duduk di pinggir tempat tidur.

"Tapi ada Alexa. Loh, Alexa gimana?" Sabiya seperti tiba-tiba baru ingat tentang Alexa.

"Satu-satu, Bi. Alexa baik-baik aja. Nggak terluka sedikit pun, sekalipun setelah insiden itu Alexa kembali ke US," jawabnya menerangkan.

"Pernikahannya gimana?"

"Batal," jawab Niko.

"What? Kok bisa?"

"Alexa yang memutuskan tapi kita nggak tahu karena apa. Berita di ruang gossip bercampur hoax yang dilebih-lebihkan nggak bisa kita jadikan acuan."

"Minggu depan Alexa sudah balik lagi," timpal Niko.

"Tahu darimana?"

"Oh, tahu dong. Niko gitu lho. Dia mengirim pesan setiap hari, bertanya soal kamu. Begitu tahu kamu bangun, dia ingin datang untuk menengok kamu." Niko memandang ke atas sejenak. "Cantiknya itu perempuan, masya Allah. Matanya biru, Nif. Totally blue. Kayaknya waktu bagi-bagi jatah rupawan itu cewek kebagian nomer satu, dan Tuhan kasihnya kebanyakan."

Dia tertawa karena kalimat itu kalimat Sabiya. "Kalian texting-an? Luar biasa, Bung Niko." Tangannya menepuk pundak Niko dua kali.

Niko menghela nafas pasrah dengan wajah konyol. "High maintenance, Nif. Durability-nya diragukan. Apa boleh buat."

Mereka tertawa bersama. Kemudian dia memberi tahu tentang akhir dari kasus Danika. Juga segala perkembangan situasi terkini pada Sabiya.

"Aryo terluka parah, jadi sementara ini dia nggak bisa ganggu kita," ujar Hanif menerangkan.

"Tapi, kita berusaha berburu Aryo dan menangkapnya hidup-hidup," lanjut Niko.

Sabiya menghela nafas perlahan.

"Jangan khawatir, Bi. Kami nggak akan biarkan kejadian itu terulang lagi," Dia menggengam tangan Sabiya lembut.

"Aku lebih khawatir dengan kalian. Yang Aryo mau itu kalian, bukan aku. Gimana kalau kalian kenapa-napa?" Nada Sabiya sedih sekali.

"My princess..." Niko merangkul Sabiya mendekat. Kemudian dia berdehem keras memperingati Niko.

Tangan Niko tidak berpindah dan malah melanjutkan. "Ilmu silat kita akan ditambah dengan latihan yang banyak dan semedi yang banyak. Apalagi sekarang Pak Guru silatnya langsung turun gunung sendiri ngajarin kita. Biasanya kan dia sibuk tuh." Maksud Niko adalah Arsyad. "Jadi, jangan terlalu khawatir."

"Tangan lo, Bung Niko. Tolong kembali ke tempatnya." Dia memukul tangan Niko yang merangkul Sabiya. Yang diingatkan malah tertawa konyol.

"Masih aja posesif, udah punya Faya juga."

Mereka tertawa. Matanya menatap Mahendra yang diam saja. Setelah suasana lebih santai, Sabiya balik menggenggam tangannya.

"Bang, kamu dan Faya harus segera menikah. Jangan ditunda lagi. Maaf karena kalian harus menunda mungkin karena kondisi aku kemarin."

"Bi, gue marah banget lihat lo kayak kemarin. Kita semua marah dan emosi. Tapi sekarang semua sudah lewat, lo sudah bangun. Nggak usah pikirin pernikahan gue dan Hanif, Bi. Lo harus sehat dulu." Faya berujar.

Kepala Sabiya menggeleng kuat. "Nggak. Justru karena ini semua kalian harus cepat-cepat. Tadi aku udah cek ke Amy dan Esther. Gaunnya sebentar lagi jadi. Jadi jangan ditunda lagi, please. Aku juga sudah telpon Mama Trisa, dan beliau setuju agar acara diadakan sesegera mungkin."

Wajahnya menatap Sabiya heran, kemudian dia tertawa sambil menggelengkan kepala tidak percaya. "Princess, kamu baru bangun, dan yang kamu pikirin adalah orang-orang di sekitar kamu. That's why you're my favorite." Dia mencium puncak kepala Sabiya.

Lalu dia menoleh pada Faya. "Let's get married, Fa."

Kepala Faya menggendik sedikit. "Why not. Nggak ada bedanya juga sama sekarang. Kamu nggak bakalan berkurang cerewetnya kan?"

"Ada bedanya, nanti kalian udah bisa satu kamar. Apa sekarang udah?" tanya Niko usil.

Mereka semua tertawa melihat wajah Faya yang memerah kesal. Wajah Sabiya tersenyum lebar bersinar bahagia, dan lagi-lagi Mahendra menatapnya tanpa wanita itu sendiri tahu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro