13. The old messages
There's no one who born as a villain. I believe that. Keluarga, teman, lingkungan dan kesempatan-kesempatan yang membuat orang berubah. As always, enjoy.
***
Ibrahim Daud menatap kakaknya yang masih terbujur tidak sadarkan diri. Dokter Reyn bilang jika Ardiyanto bangun pun, tubuh kakaknya tidak akan bisa berfungsi dengan normal lagi. Satu-dua kali dalam seminggu dia akan datang ke MG, menengok kakaknya itu di sana. Terkadang mengobrol satu arah dan juga membacakan doa-doa. Adik-adiknya yang lain sudah tidak perduli. Ya, keluarga Daud adalah keluarga besar. Sembilan bersaudara. Sayang sekali didikan yang salah dari orangtuanya membuat ikatan persaudaraan mereka tidak sekuat anak-anaknya sendiri.
Bagaimana tidak, ketika setiap anak selalu dibandingkan setiap waktu. Ardiyanto dan dirinya selalu menjadi kebanggaan. Tapi Arlita, Herman, Nugraha, Almira dan adik-adik lainnya sungguh tidak tahan atas sikap orangtua mereka. Jika nilai tidak baik, mereka akan dihukum dengan cara dipukuli. Jika satu anak mendapatkan prestasi, anak itu akan benar-benar diistimewakan dan dipuja-puji. Dulu, dia pun bersalah karena sempat besar kepala dengan posisinya. Sampai dia kehilangan Arlita.
Ya, Arlita yang muak pada sikap ayah-ibunya memutuskan untuk pergi dari rumah. Meninggalkan keluarganya. Dia hanya bisa diam, tidak bisa melepaskan apa yang dia punya dan mengejar adik perempuannya yang paling dia sayang. Dia melepaskan Arlita begitu saja. Juga Herman, insiden dulu membuat Herman terluka dalam, mendendam, membalas dendam.
Perilaku Herman memang lebih pemberontak, nakal, dan selalu berbeda. Karena itu ketika ada suatu kesalahan yang terjadi, orangtua mereka hampir pasti selalu menyalahkan Herman. Bahkan saat hal itu bukan kesalahan Herman, dia tetap disalahkan. Ayah akan menghukum Herman keras sekali. Dan lagi-lagi, dia hanya diam. Merasa tidak berdaya dan tidak punya pilihan. Itu terjadi bertahun-tahun lamanya sejak mereka kecil. Lalu insiden saat mereka sudah dewasa terjadi. Saat itu, Herman meledak murka. Adiknya pergi dari rumah, setelah bersumpah akan menghukum dia dan Ardiyanto.
Dia bersalah, dia bukan kakak yang baik. Dia diam, saat tahu ayah-ibunya melakukan hal yang tidak adil di depan mata. Dia tidak membela Arlita, juga Herman, atau adik-adiknya yang lain. Seperti orang bodoh dia hanya diam. Sebagian karena takut hidup susah, sebagian lagi karena doktrin keluarga yang menancap kuat. Kepatuhan pada orangtua yang bersifat mutlak.
Kesadaran selalu datang terlambat. Sangat terlambat. Saat dia bertemu Trisa, perempuan dengan didikan keluarga yang sangat berbeda dari keluarganya, dia baru menyadari bahwa dia sudah bersalah. Rasa ketakutan atas karma yang akan datang, sungguh menyiksanya. Karena itu dia memutuskan untuk membekali anak-anaknya dengan pendidikan dasar yang kuat, ikatan keluarga, kesadaran bahwa bukan harta yang mereka butuhkan, tapi kemampuan diri yang baik hingga mereka bisa bertahan pada dera apapun juga. Pendidikan yang tidak pernah diajarkan oleh orangtuanya sendiri. Untuk melindungi mereka kelak, dari amukan karma.
Nafas dia hela panjang.
Bang, Herman benar-benar menggila. Dia mulai menyerang kamu, Audra, anak-anak-ku, bahkan Sabiya. Nantinya, dia akan datang untuk Trisa. Bangun Bang, bantu aku berpikir. Bagiamana cara meminta maaf pada Herman, dan membuat dia sadar. Kita bersalah, Bang. Sangat bersalah.
Herman mulai menghalalkan segala cara. Tapi dia bersikukuh tidak mau membalas kekerasan dengan kekerasan. Melarang Arsyad untuk bertindak gegabah dan menyakiti pamannya sendiri. Karena dirinya sendiri turut andil membuat Herman jadi bersikap seperti itu.
Dulu, dia pernah pergi bertemu dengan Herman empat mata. Meminta maaf dengan tulus. Mengakui semua kesalahannya. Saat itu, Herman diam. Lalu berujar dengan nada yang sangat dingin.
Saya, akan mengambil semua orang yang kamu cinta. Satu per satu. Seperti dulu, kalian berdua mengambil segalanya dari saya. Sampai nyawa saya hilang, saya berjanji akan melakukan itu.
***
Sudah lewat satu hari, dan baterai ponselnya sudah hampir habis. Semua buku yang ada di ruangan ini sudah selesai dia baca dan isinya sangat membosankan. Apa bagusnya buku tentang pengendalian diri, self healing process, dan segala yang berbau psikologi seperti itu? Apa buku-buku itu pilihan Hanif? Kenapa seleranya buruk sekali.
Sungguh ini benar-benar menyiksanya. Apa? Terpenjara. Bukan tempatnya, tapi dia selama ini selalu bersama komputer kesayangannya. Dia bisa berminggu-minggu berada di dalam ruangan, tapi dengan komputernya dan segala teknologi yang biasa berada di sekelilingnya. Oh, mungkin dia bisa mati bosan.
Karena seluruh rasa bosan, dia mulai menatap ponsel lagi. Entah mencari apa. Foto Sabiya hanya akan menambah rasa tersiksa, jadi dia tidak mau membuka foto itu lagi. Tangannya mencari hal menarik lain. Lalu menemukan pesan dari nomor yang tidak terdaftar tertanggal beberapa minggu yang lalu dan dia abaikan.
08123xxx: Hai Hen, ini aku Alexa.
What, kenapa cewek gila ini bisa dapat nomornya?
08123xxx: Jangan tanya aku dapat nomor kamu darimana.
Gila, kenapa dia bisa tahu apa yang ada di otak gue?
08123xxx: Aku, nggak bisa menjelaskan semuanya. Seperti kalian yang tetap bungkam soal insiden di butik Sabiya. Tapi aku...
08123xxx: God, I don't know how to say it.
Don't-ever dare to say it. Tiba-tiba ingatan ciuman Alexa datang tiba-tiba, lalu perutnya terasa mual. Wajahnya bahkan sedikit merah hanya dengan mengingat itu saja. Matanya kembali menatap ponsel penasaran. Ada jeda sepuluh menit pada pesan Alexa yang Mahendra tahu dari waktu yang tertera pada tiap pesannya.
08123xxx: This is silly, ridiculous, stupid, clumsy...
Entah kenapa dia mulai membayangkan Alexa berjalan mondar-mandir dan terus memaki. Lalu tanpa sadar itu membuatnya tersenyum kecil sendiri. Wanita itu aneh sekali, sangat aneh.
08123xxx: I just hate you, for making me like this.
Hey, yang aneh itu elo.
08123xxx: This is so freaking awkward, and I am freaking weirdo.
Matanya membelalak heran lagi, kenapa seolah Alexa selalu tahu apa yang ada di pikirannya?
08123xxx: Can you just tell me how to get rid of you from my mind? Kamu bilang soal oksitosin atau apapun itu. Apa kamu bisa buatkan itu jadi aku bisa usir kamu sekarang? I want to sleep well.
Dia tertawa. Oksitosin justru akan bikin lo tambah nggak karuan, Nona.
08123xxx: Mahendra, I'm serious. Are you laughing right now?
Tubuhnya langsung berdiri karena untuk kesekian kali tebakan Alexa benar. Matanya terpaku pada ponsel di tangan. Wanita gila ini seolah benar-benar berbicara padanya langsung. Padahal pesan ini tiba satu hari setelah mereka makan malam, beberapa minggu lalu.
08123xxx: ...atau mungkin kamu benar-benar nggak perduli, dan abaikan pesan aku ini. Seperti kamu abai saat kita makan malam kemarin. Sialan, ini benar-benar sialan. Aku bahkan memaki sekarang. Ya Tuhan.
08123xxx: I hate you.
Gadis manja tukang merengek dasar. Dia bersungut dalam hati.
Sekalipun begitu, tangannya tidak bisa berhenti menggeser layar untuk mengetahui pesan selanjutnya.
Tiga hari setelah makan malam, pesan itu datang lagi. Pukul tiga pagi.
08123xxx: I can't sleep, can you just go? I need to go to work at 4 AM.
Entah kenapa bibirnya tersenyum kecil. Tubuhnya masih berdiri menghadap ke arah jendela luar.
Hari keempat malam.
08123xxx: He doesn't love me. Nobody does. And I'm freaking pathetic to keep sending you message that you don't bother to read.
Lalu pesan itu lompat pada setelah kejadian kebakaran di apartemen William. Otaknya tidak bisa dicegah untuk mengulang malam dimana mereka bertemu di balkon apartemen William Wongso. Saat itu Alexa menangis, sedih sekali. Lalu kalimat gadis itu yang aneh sekali.
Oh, Alexa memang aneh. Karena sudah menciumnya, karena berkata seolah-olah Alexa memiliki perasaan padanya. Padahal mereka baru pertama kali bertemu saat di insiden butik Sabiya. Sebelumnya dia abai dengan itu semua. Tapi kali ini, dia tiba-tiba memiliki seluruh waktu untuk berhenti sejenak, dan memikirkan segalanya selain urusan Aryo, Herman, atau Sabiya. Jadi dia terusik.
Tangannya kembali menggeser layar jadi dia bisa membaca.
08123xxx: Kmu pergi bgitu aj. Ya, kamu slalu begitu. Dtang pergi seenakny. Aku bahkn ga minta kamu untu ada.
08123xxx: Tap kamu ada, tibatiba aja.
Huruf-huruf pada pesan kacau. Lalu dia merasa Alexa menangis saat mengetik pesan ini, mungkin Alexa sedang kacau sekali. Entah kenapa juga otaknya mulai mem-visualisasikan apa yang gadis aneh itu lakukan. Matanya dia alihkan sejenak keluar.
Apa dia yang dia mau? Untuk meneruskan membaca pesan? Atau untuk berhenti dan menghapus semua saja? Firasatnya bilang, jika dia meneruskan untuk membaca, akan ada sesuatu yang terjadi. Sayangnya, ada saat-saat dimana kamu tidak bisa mengkontrol rasa penasaran kamu sendiri. Jadi sekalipun dia enggan, matanya kembali ke layar ponsel.
08123xxx: U said, I'm th selfish bitch. Yes, I am. I am. I'm selfish, I'm mean, I'm all the bad things dat u knoe. Cheers.
Alexa mabuk. Itu tebakannya. Dia menghela nafas. Typical gadis kaya lainnya. Menyelesaikan masalah dengan mabuk. Bagus, Lexa.
Hey, don't judge her. Lo sendiri menyelesaikan masalah dengan mengamuk emosi. Meledakkan tempat itu dan membahayakan semua orang. You are just the same kayak Alexa, Hen. Dia benci ketika dia mulai berkomunikasi dengan nuraninya sendiri.
08123xxx: I burned the house and I left him....
Matanya membelalak kaget tepat saat ponsel itu mati sebelum dia bisa membaca kelanjutan pesan Alexa.
Shit. She left him? Maksudnya Alexa putus dengan William?
Lalu kata-kata Alexa malam itu terngiang lagi.
"Hen, ini mungkin kedengarannya aneh. Tapi saya ingin kamu. Saya nggak ingin yang lain."
Tiba-tiba jantungnya bereaksi dengan berdetak tidak beraturan. Tubuhnya berjalan mondar-mandir di ruangan. Kenapa dia gelisah tiba-tiba? Oke, cewek ini sudah bertunangan dengan William Wongso. Mereka sangat serasi, sempurna. Setahu dia, Sabiya bahkan sudah membuatkan gaun pengantin untuknya. Yang berarti persiapan sudah hampir 100% selesai.
Kemudian mereka bertemu tidak sengaja saat insiden Sabiya. Lalu Janice menghubunginya karena wanita itu memaksa untuk bertemu. Kemudian mereka makan malam canggung yang di akhiri dengan ciuman pertamanya. Ya, itu pertama kali untuknya dan dia benci untuk tahu kejadian itu bukan dengan wanita yang dia mau. Dan diperburuk karena dia masih bisa merasakan itu pada bibirnya.
Oh, God, dia tiba-tiba mual. Lalu segera masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang entah kenapa memerah aneh. Dia benar-benar ingin menghantam cermin dihadapannya karena ekspresi wajahnya aneh sekali. Ini gila.
Bagaimana bisa wanita gila itu memiliki perasaan padanya hanya dengan satu kali bertemu. Bukan satu kali, tapi dua kali. Dan satu ciuman? Oh, really Lexa? Dan memutuskan untuk membatalkan seluruh pernikahannya. Apa itu Alexa lakukan untuknya?
Why are you so stupid, Alexa. Tapi kenapa juga gue perduli kan? Itu urusan dia, kenapa gue yang repot. Dia mulai resah lagi saat mendengar pintu ruangannya terbuka.
Langkahnya panjang keluar dari kamar mandi dan melihat Tania di sana. Ya, seluruh orang ADS akan dilarang untuk menjenguknya. Tania berdiri dengan blouse dan celana jins sambil menenteng paper bag abu-abu besar.
"Tan, gue harus keluar." Matanya menatap pintu di belakang Tania yang sudah tertutup dan terkunci otomatis lagi.
"Sayangnya aku nggak punya wewenang, Hen. Aku datang karena ingin memberi tahu perkembangan Sabiya, dan bicara denganmu."
"Apa Sabiya baik?" Nadanya langsung khawatir sekali. Ya, harusnya Sabiya. Dia tidak perduli dengan Alexa.
Tania tersenyum. "Sabiya baik. Seluruh hasil test terbaru hasilnya sangat baik. Serum kamu mulai bereaksi dan semoga aja bisa mempercepat proses penyembuhan."
Nafasnya dia hela lega. "Good."
"Aku boleh duduk?" tanya Tania.
"Oh please, sorry-sorry."
Tubuh Tania duduk di sofa sementara Mahendra duduk di pinggir tempat tidurnya menghadap ke Tania.
"Apa kabarmu, Hen?"
Dia terkekeh kecil. "Apa kita mau mulai sesi terapi untuk saya, Bu Dokter?"
Tania tertawa kecil juga. "Nggak, ya Tuhan. Aku datang ke sini sebagai teman. I'm worry about you."
"Gue baik, Tan. Dan lo satu-satunya wanita yang bisa membuat gue bicara selancar ini. Selamat."
"Hey, kita sama-sama aneh. Sama-sama gila, kalau kata Mareno. Terima aja. Kita juga teman, ya kan?"
"You try to win my trust. I notice that."
"Yes, I am. I won't lie. Tapi itu aku lakukan karena aku perduli. Kamu bukan hanya teman, kamu adik Mareno dan keluargaku sekarang."
"Wow, lo mulai pintar merayu kayak Mareno." Dia tertawa lagi.
"Dia mengajarkan dengan baik."
"Jadi, kita skip basa-basi. Karena lo perhatian sama gue, berarti lo mau membujuk Bang Hanif buat keluarin gue dari sini kan?'
"Sekarang kamu yang ngerayu, Hen." Tania tertawa sebelum melanjutkan.
"Setelah kamu bisa yakinkan kita semua kalau kamu sudah lebih tenang, dan nggak berbuat sesuatu yang bisa membahayakan nyawa orang lain, atau nyawa kamu sendiri. Ya, setelah itu aku janji untuk bujuk Hanif buat keluarin kamu."
Dia menarik nafas lalu menghembuskannya. Tubuhnya berdiri dan berjalan menatap jendela.
"Tan, apa yang lo lakuin pada Mario, kalau lo tahu dia dengan sengaja memperkosa Danika."
Tania diam sejenak. "Dulu, aku akan kejar dan ledakkan Mario sendiri. Tapi, tidak di tempat umum. Meracuni Mario pelan-pelan jauh lebih baik." Ada jeda di sana. "Sekalipun kenyataannya sekarang aku menghukum Michelle sesuai dengan jalur hukum yang benar. Karena akhirnya aku berpikir, Tuhan tidak pernah tidur Hen. Karma akan bekerja dengan sendirinya."
Kepalanya menggeleng keras. "Gue nggak sesabar itu buat nungguin Aryo kena karma. Karena kalau bukan Sabiya, itu bisa lo sendiri, Tan. Atau Faya, atau Damar, atau orang yang sudah jelas Aryo incar, Bang Hanif. Gue nggak bisa diam menunggu sampai dia datang."
"Hanif, Mareno, bahkan Bang Arsyad setuju soal itu, Hen. Arsyad bahkan sudah keluarkan perintah menangkap Aryo hidup atau mati. Tapi mereka nggak setuju kalau kamu jalan sendiri, dan akhirnya berpotensi membahayakan orang lain." Tania berujar panjang lebar.
"Revenge doesn't lead to anything than digging your own grave," ujar Tania perlahan.
"Wise words." Tubuhnya sudah berbalik menatap Tania yang berdiri.
"Itu berdasarkan pengalaman, Hen. Belajarlah dari kasus aku dan Mareno."
"Karena itu kamu memutuskan untuk menempuh jalur hukum yang benar untuk Michelle." Nafasnya dia hela.
Kepala Tania mengangguk, mata Tania menatapnya dalam. "Apa kamu nggak mau ada saat Sabiya bangun nanti? Sabiya pasti sedih kalau tahu kamu dan Bang Arsyad sedang ditahan."
"Dia akan mengerti, bahwa mata selalu harus dibalas mata," jawabnya.
"Aryo terluka parah. Luka bakar di sebagian tubuhnya."
Dia diam sejenak. Berusaha merasakan kepuasan karena dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Entah kenapa, dia tidak merasakan itu. Tapi malah ada sesak di dada. Untuk tahu dia sama jahatnya dengan penjahat yang melukai Sabiya.
"Aku punya koneksi sesama dokter."
"Kamu tahu Aryo dimana?"
"Jawaban jujur, aku nggak tahu. Setiap dokter wajib merahasiakan soal pasiennya. Kode etiknya begitu." Tania menghirup nafasnya. "Aku setuju kalian menghukum Aryo, sangat setuju. Tapi bukan seperti kemarin. Lakukan dengan cara yang benar, Hen. Kalian lebih baik dari mereka semua di luar sana."
Dua tangan dia masukkan ke saku celana. Jauh di dalam nurani, apa yang Tania ucapkan benar. Mereka berempat bukan pembunuh, bukan. ADS didirikan untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah. Bukan untuk melukai mereka. Tugas mereka untuk membantu polisi memecahkan kasus-kasus yang sulit, menangkap orang yang melakukan kejahatan. Bukan menghakimi mereka. Ya, apa yang dia lakukan salah. Emosi memburamkan segalanya.
Tanpa dia duga Tania berjalan menghampirinya dan memeluk tubuhnya lembut. "Kami benar-benar mengkhawatirkan kamu, Hen. Mareno merindukan kamu, Hanif dan Arsyad membutuhkan kamu. Hanif mengurung diri seharian setelah mengambil keputusan berat itu. Dia menghukum dirinya sendiri. Arsyad juga berada persis di sebelah ruangan ini. Dia menolak makan, hanya diam dan berdoa saja. Ya Tuhan, kalian semua terlalu keras pada diri kalian sendiri."
Lalu dua tangannya balas memeluk Tania. Wanita kedua setelah mama yang pernah memeluknya hangat. Dia mengerti, kenapa Mareno jatuh cinta pada wanita ini. Tania memang istimewa karena memiliki kecerdasan emosi, kecuali tindakannya yang ceroboh dulu. Tapi wanita ini belajar sesuatu dan tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, tekadnya kuat. Sikapnya yang dingin dan penuh misteri, bisa berubah menjadi hangat dan sangat perhatian. Memperhatikan hal-hal kecil seperti mengunjunginya sekarang.
"Thank you, Tan," ujarnya perlahan.
"Hey hey, jangan peluk bini gue lama-lama," ujar Mareno pada speaker yang terhubung dengan kamera CCTV.
Dia tertawa. "Tania wangi, Ren. Bener kata lo," sahutnya konyol sambil tidak melepaskan pelukan Tania.
"Hen, lepasin nggak? Gue bilang sama Hanif lo melakukan tindakan asusila ya. Biar tambah lama di situ," ancam Mareno.
Mereka berdua tertawa sambil melepaskan pelukan.
"Jadi gue bisa keluar sekarang?" dia berujar penuh harap.
"Belum, lo dihukum dua minggu lagi karena sudah kurang ajar peluk-peluk Tania."
"Reenooo." Kepala Tania menggeleng kesal.
"Gue harus bilang Hanif dulu, Hen. Dia sedang periksa hasil analisa dampak dari tim pencari fakta. Semoga hasilnya baik," jawab Mareno.
"Okey, fair enough. I made mistake." Dia menggendikkan bahu. "Tapi Tania di sini aja temenin gue."
"Enak aja lo."
Tania menggelengkan kepala lagi tidak percaya pada dua laku-laki dewasa yang benar-benar bersikap kekanakkan saat ini.
"Itu laptop?" tanya nya pada Tania sambil menunjuk paper bag yang tania bawa.
"Sayangnya aku nggak bisa bawain kamu laptop. Jadi..." Tania mengeluarkan buku-buku science, brain exercise, dan beberapa buku matematika lain dari paper bagnya. "Kata Erick, lo belum sempat baca buku-buku yang lo beli beberapa bulan lalu."
"Oh God, I love you, Tan." Mahendra sudah mengambil satu demi satu buku yang Tania bawa.
"Sayang, cepet keluar dari situ," ujar Mareno lagi.
Tania memilih mengabaikan Mareno dan malahan tertawa melihat ekspresi gembira Mahendra. Seperti Damar ketika dia belikan stick game baru saat mereka menjaga Damar minggu lalu.
"We love you too, Hen." Senyum Tania terkembang.
"Gue nggak ya, serius gue nggak," sahut Mareno kesal.
Tania pamit pergi tapi sebelum tubuhnya keluar, dia berujar lagi.
"Tan, gue minta tolong sesuatu." Matanya menatap ponsel di meja. Dia terlanjur penasaran dengan pesan dari Alexa. Benar-benar penasaran.
"Tolong minta seseorang antarkan charger ponsel."
Dahi Tania mengernyit heran. "Emangnya bisa dipakai di sini?"
"Nggak bisa, tapi gue harus cek sesuatu di pesan lama. Bukan soal Aryo, serius."
Tania mengangguk kecil. "Oke."
"Thanks, Tan."
Setelah Tania pergi, dia kembali duduk di sofa, sambil menatap ponselnya yang sudah mati. Mulai bertanya-tanya, tentang kenapa Alexa bersikap aneh seperti itu. Dia mulai mengaitkan tentang kebakaran, tangis Alexa, dan keputusan Alexa meninggalkan William. Untuk seseorang yang datang dari keluarga terpandang dan biasa hidup mewah, hal itu hal besar. Karena itu berarti Alexa mengorbankan seluruh yang dia punya. Tapi untuk apa? Kenapa? Bukankah lebih mudah jika Alexa menikah dengan William saja?
Wanita selalu penuh misteri untuknya. Kali ini, apa dia mau mulai usil dengan mencari tahu jawabannya?
Kepalanya menggeleng kecil kemudian dia berdiri untuk bersiap beribadah. Dia gusar, gelisah, marah, terluka. Lalu dia paham, saat semua orang tidak punya jawabannya, atau tidak bisa memberikan dia ketenangan hati, dia tahu dia harus kemana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro