12. Boom!
Ini setelah Mahen ngamuk dan lempar bom ke Aryo. Sambungan part akhir di OIYD. This is a deep part, one of my favorite part. Take a breath and enjoy.
***
Ruangan itu dingin, bukan suhunya, tapi seluruh hal yang ada di ruangan membuat perasaan langsung membeku ketika dia menginjakkan kaki di sana. Dia benci tempat ini, seperti dia benci melihat apa yang dia lihat dari jarak sedekat ini. Tubuh Sabiya yang terbujur kaku tidak sadarkan diri. Hasil test membaik, serum sudah diberikan, kenapa wanita ini keras kepala sekali dan tidak segera bangun. Apa dia tidak tahu kalau kondisinya sekarang membuat semua orang repot? Membuat semua orang seperti gila, seperti dirinya yang makin hari seperti makin hilang kendali.
Apa-apa yang Mahendra ucapkan terulang lagi di kepala. "Lo tunggu apa, Bang? Dia tembak Sabiya, dia mau bunuh Bang Hanif. Kalau tadi peluru itu nggak ditahan Faya, kita kehilangan Bang Hanif malam ini, atau Faya. Lo bahkan bunuh semua anak buahnya tanpa sisa. Apa yang lo tunggu?"
Dia menggelengkan kepalanya keras, mengusir keinginan gegabah untuk menjatuhkan musuhnya. Kontrol dirinya selama ini sangat baik, sangat-sangat baik. Semua resiko harus dia hitung cermat, paham benar bukan hanya keselamatan Sabiya yang harus dia pikirkan, tapi Hanif, Faya, dan juga orang nomor satu paling penting untuknya. Mama. Jadi, dia tidak bisa gegabah.
Tubuhnya berdiri diam di sana. Menatap kaku pada tubuh Sabiya. Senyum gadis itu lebar sekali biasanya, gigi putih yang berderet sempurna, atau sedikit lesung pada pipinya ketika dia tertawa.
Sial, jangan jadi melankolis, Bodoh!
Dua tangan sudah menggenggam pinggiran tempat tidur dan mencengkramnya kuat. Bangun Biya, bangun. Ini menyiksa.
Dia tahu Mahendra sudah mulai membuat rencana baru, memburu Aryo sendirian lagi. Adiknya itu benar-benar sudah sedikit gila. Tidak memperdulikan apapun lagi. Oh, betapa dia juga ingin berbuat sama gilanya. Membunuh Aryo dan menguliti laki-laki itu, seperti yang pernah dia lakukan dulu pada orang yang menyakiti Sabiya. Tapi dia tidak bisa gegabah kali ini. Ada banyak yang dipertaruhkan.
Lo harus lebih cepat, Syad. Harus. Sebelum Aryo berhasil melukai semua orang di sekitar Faya, sebelum Herman bergerak.
Nafasnya dia hirup dalam-dalam. Dia sudah mulai membaca si buku merah. Sayangnya dia menemukan apa-apa yang dia tidak suka. Dia tidak bisa menjatuhkan Herman begitu saja, karena ada seseorang yang lain yang akan ikut jatuh bersamanya. Seseorang yang dia lindungi selama ini. Ya Tuhan, ayah benar. Keluarga ayah benar-benar gila.
Jadi, bagaimana Syad? Bagaimana?
Dia tahu jawabannya. Yang salah adalah bersalah, sekalipun itu keluarganya. Tapi, dia harus memeriksa keseluruhan bukti-bukti terlebih dahulu. Sebelum dia berbicara pada adik-adiknya. Ini akan menjadi perang keluarga besar. Audra tidak akan diam saja. Adik-adik ayah yang lain akan bereaksi. Saham perusahaan keluarganya akan jatuh. Keluarga besar Daud, akan berada di ujung tanduk. Ini akan berat, dan dia harus mempersiapkan adik-adiknya untuk kemungkinan terburuk. Ya Tuhan.
Sejenak dia menundukkan kepala, lelah. Dua tangannya masih mencengkram tiang pinggiran tempat tidur Sabiya. Menahan keinginan keras untuk menyentuh kulit lembut itu, yang sekarang terlihat pucat. Kemudian monitor Sabiya mulai berbunyi aneh. Berkedip merah dan bersuara keras. Dengan cepat, tangannya menyambar tombol yang ada, memanggil Dokter Reyn atau siapapun dokter yang berjaga.
Tidak lama Aryan masuk bersama dengan dokter Pram, meminta dia keluar. Tubuhnya memang keluar dari ruangan, tapi mata dan pikirannya tinggal di sana. Menatap dari balik jendela kaca besar. Bagaimana tubuh Sabiya kejang, bagaimana Aryan dan dokter Pram kemudian disusul oleh dokter Reyn dan satu perawat lain menangani tubuh Sabiya yang lemas dan pucat. Atau bagaimana ketika angka pada monitor terus turun, para dokter mulai menghidupkan alat pemacu jantung. Alat terakhir yang digunakan untuk membangunkan Sabiya lagi.
Dia banyak beristigfar dalam hati, melihat pemandangan mengerikan itu. Dua tangannya sudah mengusap wajah berkali-kali. Tubuhnya berjalan mondar-mandir gusar. Mahendra, Hanif dan Mareno tidak ada di sini. Tapi dia selalu kuat ketika sendiri. Kenapa saat ini rasanya dia ingin jatuh bersimpuh dan memohon saja. Mengiba pada yang Mahakuasa. Ambil saja nyawanya, dia tidak perduli. Tapi jangan ambil orang-orang yang dia jaga.
Laki-laki yang tangguh, hanya menangis ketika berdoa. Bisik mama padanya dulu. Tapi bagaimana bisa dia diam saja. Bagaimana?
Ponselnya berbunyi. Niko.
"Ya." Dia menutupi suaranya yang bergetar.
"Mahendra menemukan Aryo." Niko menghela nafas di sana. "Dia akan langsung eksekusi, Syad. Dia bawa MCE, MM-TNT, si Hawk Eye juga di bawa. Gue lagi ke sana. Jadi, gimana?"
Matanya menatap tubuh Sabiya. Angka pada layar monitor sudah kembali muncul dan mulai stabil. Wajah para dokter juga sudah sedikit lega. Dia bisa pergi, dan menghabisi bajingan itu.
"Gue ke sana. Jangan info yang lain, Nik. Kita bertiga saja."
"Tapi, Syad. Protokolnya," Niko mengingatkan.
"Hanya kita bertiga, Nik. Ini perintah dari gue, gue yang tanggung jawab."
Niko menghela nafas di sana, kemudian dia berlari ke luar menuju titik kordinat yang Niko kirimkan dengan motor hitamnya.
***
Beberapa jam setelah ledakkan. Markas besar ADS.
Berita utama malam ini. Sebuah ledakan terjadi di salah satu bar yang terletak di pinggir kota. Menurut saksi mata, sebelumnya terjadi perkelahian di dalam bar oleh beberapa orang laki-laki yang tidak diketahui identitasnya. Saksi juga menyebutkan, bahwa ada tembakan senjata dari dalam bar ketika para pengunjung lain sudah keluar dari bangunan tersebut. Sementara ini, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan. Polisi masih menyelidiki siapa saja yang bertanggung jawab atas insiden...
"Good job! Bagus." Mareno bertepuk tangan sambil menatap abangnya dengan ekspresi tidak percaya. Mereka berlima berada di black room setelah insiden ledakan sambil mendengarkan berita yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV swasta.
Hanif berdiri di pinggir ruangan sambil bersedekap, sementara Arsyad berdiri sambil menyalakan rokok dengan pakaian yang berantakan, wajah kotor, dan darah yang mengering di beberapa bagian tangannya. Sementara Mahendra dan Niko duduk dengan wajah datar dan penampilan sama kotornya.
"Lo ketularan Mahendra jadi gila ya, Bang?" ujar Mareno kesal.
Hanif diam saja, berusaha menganalisa tindakan Arsyad yang ceroboh malam ini. Sikap Mahendra dia tidak pertanyakan, karena adiknya memang seperti kehilangan dirinya sendiri. Tapi Arsyad, ada sesuatu yang membuat Arsyad bersikap seperti itu.
"Apa lo udah confirm kalau Aryo sudah mati?" Arsyad mengabaikan tatapan Mareno dan beralih ke Mahendra. Asap rokok dia hembuskan kasar.
"Drone gue nggak bisa gue pakai, karena Bung Toto ngamuk."
"Gue urus Bung Toto, dan polisi. Lo pastikan kalau itu kunyuk bener-bener mati." Asap rokok dihembuskan lagi.
"Dengan senang hati." Mahendra tersenyum sadis.
Mareno menatapnya penuh arti. Ya, mereka semua paham benar apa prosedur dan peraturan yang mereka berlima sepakati di dalam ADS. Jadi dia berjalan menuju layar di depan untuk memijit tombol merah di sana.
Mahendra berdiri dan mengacungkan senjata yang berisi peluru bius. Mareno dan Niko juga langsung berdiri menghalangi Mahendra, sementara Arsyad diam saja terus merokok. Dia terus melangkah, karena ini harus dia lakukan. Bukan karena dia ingin atau suka.
"Gue nggak akan berhenti, lo tahu gue nggak akan berhenti!!" Mahendra berteriak marah sambil masih mengacungkan senjata.
"Ya, gue tahu, Hen. Kita semua tahu, karena itu ada protokol ini." Dia menatap Mahendra sedih, sama terlukanya. Tangannya memijit tombol merah itu dengan berat hati.
"Angel di sini. Protokol merah diaktifkan. Silahkan masukkan sidik jari." System itu berujar.
Panel sidik jari muncul dan Hanif meletakkan tangan kanannya pada panel tersebut.
"Akses tertinggi diberikan kepada Hanif Abraham Daud. Mengkonfirmasi."
"Saya, Hanif Abraham Daud."
"Pemeriksaan suara, akses disetujui. Halo, Tuan Hanif."
Mahendra sudah menembakkan senjatanya yang kemudian berhasil dilumpuhkan oleh Mareno dan Niko. Arsyad masih diam saja, berdiri di tengah ruangan dengan mata hitam gelap yang terluka, dan rokok yang terus dia hembuskan.
Protokol merah adalah alih kuasa dari pimpinan tertinggi, yaitu Arsyad sendiri. Ketika pimpinan tertinggi melakukan kesalahan secara hukum dan melanggar peraturan ADS yang sudah disepakati bersama, maka puncak pimpinan akan diganti. Seluruh akses akan dicabut dari pimpinan utama, dan pemberian akses baru akan jatuh kepada siapapun di antara empat saudara yang menekan tombol merah dan mengkonfirmasi. Ini dilakukan agar pimpinan tidak bisa memimpin semena-mena dan melanggar aturan seenaknya.
Hanif tahu, Arsyad diam karena dia tahu dia bersalah. Abangnya sedang terluka hebat dan ingin menghukum dirinya sendiri atas apa yang tadi dia perbuat. Dugaannya, Arsyad tidak menyesal sudah berusaha membunuh Aryo, tapi dia menyesal karena korban jiwa bisa jatuh. Karena kecerobohannya, dia hampir saja membongkar identitas ADS dan merusak reputasi keluarga Daud.
"Angel, perintah pertama, cabut seluruh akses Mahendra Zaidan Daud pada semua komputer, senjata, dan peralatan ADS, dan ID Tech. Termasuk akses ke laboratorium ID Tech juga laboratoriumnya di safe house. Hubungi Lexy." Dahinya mengernyit nyeri mengatakan ini.
"Perintah dilaksanakan." Angel menyahut.
"Lo pikir gue nggak bisa kerja di tempat lain. Apa lo nggak sayang sama Sabiya? Lo nggak bisa cabut akses..." Mahendra masih ditahan oleh Mareno dan Niko.
"Tahan Mahendra di white room," ujar Arsyad sambil masih menatapnya.
Mata Mahendra membelalak marah. "Bang!!"
"Bebaskan Niko, karena dia sudah mengingatkan dan gue tidak perduli. Cek rekaman pembicaraan gue dan Niko." Arsyad diam sejenak. "Gue juga akan berada di sana." Mata Arsyad menatap adik-adiknya tajam. Rokok dia remas dan buang pada tempatnya.
"Hey, gue nggak masalah ikutan dihukum. Dengan senang hati," ujar Niko masih sambil menahan tubuh Mahendra.
"Angel, cabut seluruh akses Arsyad Muhammad Daud pada gudang senjata di seluruh tempat. Lacak Arsyad dan Mahendra setiap saat. Siapkan ruangan putih terpisah, dan segel pintunya saat mereka sudah berada di masing-masing ruangan. Periksa rekaman suara Arsyad dan Niko hari ini."
Mahendra terus mengamuk hingga Niko dan Mareno harus menahannya habis-habisan, kemudian memaksa Mahendra untuk menuju ruangan putih tempat dia dan Arsyad akan dikurung karena melakukan kesalahan. Mereka bertiga sudah keluar, menyisakan dia dan Arsyad saja.
"Bang, maaf." Salivanya sulit sekali dia telan. Ini berat, untuk semua orang.
"You just do, what you have to do. Bukan salah lo. Pimpin ADS baik-baik."
"Gue akan pastikan semua prosedur pengecekan dampak dan analisa situasi selesai secepatnya. Ketika akibat tidak fatal, gue akan langsung kembalikan semua seperti semula. Dan..." Kata-katanya terhenti karena pundaknya ditepuk oleh Arsyad.
"You do the right thing, Nif. Kepala lo selalu dingin, itu yang gue suka."
Kemudian Arsyad berlalu keluar ruangan, berjalan menuju ruangan putih untuk menghukum dirinya sendiri.
***
Ruangan putih adalah ruangan berukuran sedang dengan satu tempat tidur, satu sofa dua dudukan dan rak yang menempel di dinding berisi beberapa buku, juga alat untuk beribadah. Satu dindingnya juga terdapat jendela besar anti peluru yang menghadap ke arah luar. Di dalam ruangan itu juga terdapat kamar mandi standar, dan dua CCTV yang selalu menyala ketika ruangan itu dihuni.
Semua yang pernah menghungi ruangan putih, adalah orang-orang ADS yang pernah melakukan kesalahan fatal. Jenis kesalahan yang bisa mengakibatkan korban jiwa. Memang belum sampai ada korban jiwa, karena jika ada si pelaku akan masuk ke penjara pemerintah. Atau kesalahan yang bisa mengakibatkan rusaknya nama baik ADS, atau bocornya informasi penting, atau tindakan konyol dan gegabah yang membuat tim ADS lain terluka.
Arsyad dan Mahendra bukan orang pertama, ada beberapa tim ADS lain yang pernah menghuni ruangan itu. Lama hukuman akan bergantung pada hasil investigasi dampak yang akan dilakukan oleh tim pencari fakta. Biasanya satu sampai dua minggu. Diharapkan ketika itu, yang bersalah bisa merenungkan kesalahannya, dan tidak mengulanginya lagi.
Mahendra masih tersengal dan berteriak ketika pintu itu terkunci. Dia marah pada Hanif, pada Arsyad, pada semua orang. Kenapa mereka tidak mengerti, bahwa Aryo adalah ancaman jelas yang harus segera dimusnahkan? Kenapa tidak ada yang bertindak? Apa yang Arsyad dan Hanif rahasiakan? Brengsek!!
Tubuhnya sudah duduk untuk menenangkan diri, matanya dia pejamkan, nafas dia hirup lebih panjang, dan dia hembuskan perlahan. Besar kemungkinan Aryo mati, atau jika sial, Aryo hanya terluka. Harusnya cukup parah, dengan skala ledakan seperti itu. Tapi sekarang dia tidak bisa tahu apa yang terjadi dengan Aryo dari dalam ruangan ini. Sial.
Ponsel dan seluruh sisa alat yang dia punya dia keluarkan satu per satu. Sekalipun dia tahu itu semua percuma. Karena seluruh aksesnya sudah dicabut untuk keseluruhan senjata, komputer, dan alat komunikasi. Ruangan ini juga memblokir semua sinyal, jadi tidak ada hubungan ponsel keluar yang bisa dia lakukan. Hanya pesan-pesan lama yang dia bisa baca pada ponselnya. Satu-satunya yang dia bisa lakukan, adalah menenangkan diri.
Serum sudah diberikan pada Sabiya, harusnya wanita itu akan bangun. Sekalipun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk membunuh Aryo, tapi mungkin sesak pada dadanya akan sedikit berkurang. Ya, dia hanya ingin melihat senyum Sabiya lagi. Menatapnya matanya, atau mendengar tawanya yang seperti genta. Indah menggema hingga membuat orang lain ikut tersenyum.
Sabiya selalu menjadi matahari, untuk dia dan juga saudara-saudaranya yang lain. Sejak kecil Sabiya selalu gembira, mudah disenangkan, sekalipun mudah juga menangis karena diledek oleh Mareno. Ketika mereka sakit, Sabiya akan selalu ada di dekat mereka. Sekalipun biasanya dia hanya diam kaku tidak mampu berkata-kata. Atau Mareno yang sekalipun sakit masih bisa meledeknya, atau Arsyad yang selalu marah padanya. Sabiya tetap di sana, selalu ada di sana.
Entah sejak kapan dia memiliki debaran yang berbeda. Dia tidak tahu. Yang dia tahu, dia selalu ingin melihat Sabiya tertawa bahagia, atau memeluk wanita itu ketika dia sedih dan terluka. Melindungi dia dari siapapun dan apapun yang akan menyakitinya. Apa itu cinta? Cinta itu apa?
Matanya terbuka dan tangannya mulai meraih ponsel. Dia membuka foto-foto lama. Foto Sabiya saat acara keluarga bersama Faya, Hanif, dan Niko. Senyum wanita itu lebar, matanya cemerlang seolah luka masa lalunya tidak di sana. Mereka selalu mengira, bahwa Sabiya adalah gadis yang lemah. Tapi, saat insiden kelam itu terjadi, predikat Sabiya yang lemah langsung sirna.
Dia pulang terburu-buru meninggalkan program S2 yang sedang dia jalani di Jerman. Mareno bilang ada hal penting, tapi kakaknya itu tidak mau memberikan detailnya. Kemudian setelah dia sampai, sungguh apa yang dia lihat membuat seluruh kewarasannya hilang.
Berita itu disampaikan padanya beberapa hari setelah kejadian. Penundaan informasi dari Arsyad, karena mungkin abangnya tahu dia akan mengamuk dan itu bisa membahayakan dirinya dalam perjalanan. Hanif bahkan terlihat hancur sekali, melihat kondisi Sabiya. Gadis kecil mereka, diperkosa. Di dalam kamar hotel oleh salah satu teman laki-laki yang memang sedang dekat dengannya. Mareno memberi tahu semua detail kejadian, dan itu membuatnya gila.
Dan apa yang Sabiya lakukan, gadis itu bersujud memohon pada mereka untuk tidak membunuh pelakunya. Oh, yang terburuk bukan itu. Yang terburuk adalah membiarkan Sabiya menikah dengan laki-laki bajingan laknat yang sudah memaksanya demi menyelamatkan nama baik keluarga. Mama dan papa Sabiya tidak bisa melimpahkan seluruh kesalahan pada si bajingan keparat itu. Karena Sabiya tidak berhati-hati dan membiarkan dirinya sendiri berada bersama laki-laki di kamar hotel. Tanpa mau mendengarkan penjelasan Sabiya yang memang dijebak oleh si keparat itu. Jadi jalan terbaik adalah menikahkan mereka.
Saat Sabiya berujar terbata-bata sambil menahan tangisnya, duduk bersimpuh setengah mengiba, mereka hancur karena tidak berdaya. Dia masih ingat, bagaimana tubuh Hanif bergetar menahan semua kemarahan. Atau mata Arsyad yang berubah gelap dan rahangnya yang mengeras kuat, atau Mareno yang menghancurkan meja. Sementara, dia menitikkan air mata untuk pertama kali, dia menangis karena seorang wanita.
Beberapa bulan setelah pernikahan, Sabiya hamil. Dia menolak mendengar kenyataan dari Hanif bahwa suami keparatnya itu kembali memaksa Sabiya. Karena awalnya Sabiya tidak hamil. Sabiya berusaha bertahan dari segala dera batinnya. Bukan hanya Sabiya, mereka berempat hampir gila karena melihat bagaimana Sabiya tersiksa. Lagi-lagi, wanita itu masih bisa tersenyum jika mereka bertemu. Sekalipun Hanif akan segera memeluk tubuhnya ketika dia melakukan itu. Atau Arsyad akan pergi menjauh dari Sabiya. Sementara dia hanya bisa diam, seperti orang bodoh, dia hanya diam.
Saat mereka tahu, laki-laki bajingan itu melakukan kekerasan. Sudah habis sabar mereka. Hanif langsung membujuk Sabiya untuk menempuh jalur hukum setelah bayinya lahir. Mareno, ayah dan mama bahkan datang dan bicara langsung pada orangtua Sabiya, berusaha meyakinkan mereka bahwa nama baik keluarga tidak sepadan dengan luka jiwa yang Sabiya derita nanti. Sementara Arsyad dan dia, langsung pergi berburu. Memburu jejak laki-laki bajingan itu yang menghilang tiba-tiba.
Ya, laki-laki itu tahu benar dengan siapa dia berurusan. Sayangnya dia sangat bodoh untuk mengulang kesalahan yang sama, atau mungkin besar kepala karena merasa bisa membuat mereka berempat tidak berdaya sebelumnya. Sabiya diam bersabar karena tidak ingin merusak nama baik keluarga. Tapi ketika papa dan mama Sabiya menganggukkan kepala setuju untuk memproses gugatan cerai itu, tidak ada lagi yang bisa menahan mereka untuk berburu.
Senyum Mareno mengembang lebar, wajah Hanif tenang, sementara ekspresi Arsyad benar-benar mematikan. Dia sendiri tertawa, bahagia. Melihat laki-laki itu mengiba. Bukan hanya menghukum si bajingan, tapi juga semua teman-temannya yang menjadikan Sabiya sebagai taruhan. Kelompok pertemanan anak-anak orang kaya manja yang gila. Sejak dulu, laki-laki itu sudah menatap benci pada mereka.
Oh, mereka berempat benar-benar menikmati permainan mereka. Berada pada semua tempat yang kelompok itu kunjungi. Menandai buruan mereka pada setiap kesempatan. Mengawasi dalam diam namun membiarkan mereka tahu jika mereka di awasi. Mengirimkan pesan-pesan berantai yang menyeramkan. Meretas seluruh sosial media yang mereka punya, dan menyiarkan aksi bullying yang pernah mereka lakukan. Menyebarkan desas-desus bahwa mereka akan dihukum mati. Hingga seluruh teman mereka menjauh.
Kemudian rasa takut mulai menggerogoti, hingga mereka semua saling menikam sendiri. Kelompok itu terpecah belah, saling menuduh dan memfitnah. Lalu entah bagaimana, saat Sabiya selesai melahirkan Damar dan proses perceraian selesai, dia bangun pada suatu hari, dan si bajingan itu sudah benar-benar menghilang.
Sabiya terluka dalam, dan saat itu dia tidak mengerti harus berbuat apa. Hanif selalu berada di sisi Sabiya. Tapi dia bukan Hanif, karena sungguh bibirnya kelu ketika dia berhadapan dengan wanita itu. Jadi dia hanya bisa diam, menjauh. Melihat dan menjaga Sabiya dari jauh. Sambil berjanji bahwa tidak boleh ada seorangpun lagi yang bisa menyakiti wanita itu.
Sekarang, Aryo Kusuma adalah ancaman yang nyata. Bajingan gila itu bisa menyakiti perempuan yang bahkan tidak memegang senjata hanya untuk melukai mereka berempat. Hal itu tidak bisa dia terima. Selama Aryo masih hidup, laki-laki itu akan selalu berusaha menyakiti keluarga mereka. Jadi, membunuh Aryo adalah harga mati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro