11. Forgetting you
Tidur Mahendra sudah tidak nyenyak lagi, dan dia tidak perduli. Biasanya dia sangat memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Tapi sejak Sabiya terluka, malam-malamnya panjang karena dia harus berburu Aryo.
Arsyad dan Hanif masih diam. Entah karena menyimpan sesuatu, atau hanya ingin meredakan situasi. Tapi dia tidak mau diam. Sudah cukup. Jika dulu dia tidak bisa ada saat Sabiya membutuhkannya, saat ini dia akan melindungi wanita itu dari siapapun manusia yang ingin mencelakakannya.
"Halo." Ponselnya dia angkat karena berbunyi.
"Hen, ini Tania."
"Ya."
"Hasil test Sabiya membaik, Hen."
Tubuhnya berdiri dari kursi. "Jadi?"
"Serum baru saja diberikan dengan dosis yang kamu bilang. Setelah itu kita harus menunggu lagi."
"Bagus." Tangannya sudah bergerak di atas monitor untuk mengetikkan nama serum Sabiya kemudian seluruh hasil test yang pernah mereka lakukan terpampang di sana. Matanya menelusuri laporan hasil test molekul, antigen darah dan laporan lainnya.
"Hen..."
"Ya. Gue sedang memastikan kalau gue nggak melewatkan apapun."
"Entah kenapa, aku yakin Sabiya akan bangun dan akan baik-baik. Jadi kamu juga harus jaga diri, Hen. Aku dengar soal kemarin dari Mareno, yang sabar Hen. Semua akan baik-baik saja."
Mulutnya bungkam. "Terimakasih, Tan. Gue percaya lo karena lo salah satu wanita tercerdas yang pernah gue kenal."
"Jaga diri, Hen. Jangan sampai Sabiya bangun dan kamu nggak ada, oke?"
"Bye." Hubungan dia sudahi.
Dia tidak butuh simpati. Persetan dengan itu semua. Selama Aryo masih di luar sana tertawa, dia tidak akan beristirahat begitu saja.
Erick masuk ke dalam lab dan segera tahu bahwa salah satu bosnya itu belum beristirahat. Dia memang tidak tahu detail kejadian semalam. Tapi dia yakin sesuatu yang buruk terjadi.
"Rick, keluarkan sample senjata magasin kaliber 45 yang baru."
"Belum sempurna, Bos. Pelurunya masih terlalu berat 1 ons. Dendrotoksin yang ada belum stabil."
"Ganti dengan peluru listrik."
"Tapi itu terlalu kuat, Bos. Daya listriknya belum stabil."
"Kita selesaikan masalahnya hari ini, karena gue ingin gunakan secepat mungkin."
"Tapi senjata itu di desain bukan untuk menampung peluru listrik. Bahan pada senjata yang digunakan bisa menjadi konduktor yang malah bisa membahayakan pengguna."
"Kalau begitu. Kita sempurnakan pelurunya saja." Mahendra sudah menyalakan meja tengah yang juga berfungsi sebagai komputer layar besar. "Juga bawakan MCE, MM-TNT ke sini. Laporan maintenance HE-drone, kita harus upgrade sistemnya."
Erick diam membeku, karena apa-apa yang Mahendra minta adalah alat-alat yang berbahaya. MCE adalah mini chip explosive, peledak berskala ringan. MM-TNT adalah peledak dengan area ledakan yang bisa disesuaikan. Gedung ini bisa diratakan dengan tanah dengan MM-TNT. Lalu HE-drone adalah singkatan dari Hawk Eye-Drone. Drone pengintai yang bisa membelah dirinya menjadi tiga dan mengeluarkan senjata jika Mahendra minta. Alat-alat itu, adalah alat untuk berburu dan membunuh buruannya.
"Sekarang, Rick. Tutup lab hari ini, pindahkan karyawan ke lantai atas. Saya ingin sendiri."
Kemudian Erick mulai berjalan untuk mengambil apa-apa yang diperlukan.
***
Tubuhnya berdiri tenang sambil menatap ke luar jendela apartemennya di 111 West 57th Street, dekat dengan Central Park, Manhattan, New York. Satu tangan menggenggam gelas anggur sambil sesekali menyesapnya perlahan. Setelah membatalkan pertunangan dan mengurung diri di dalam apartemen karena pemberitaannya yang tanpa henti, dia memutuskan untuk kembali ke New York dan bekerja lagi. Kabar baiknya dia diundang pada salah satu acara bergengsi milik romah mode pakaian dalam ternama yang sebentar lagi mengadakan perhelatan tahunan akbar mereka.
Menyibukkan diri itu jalan satu-satunya untuk menyembuhkan dirinya sendiri, juga agar dia bisa berpikir jernih untuk menyusun langkah lagi. Mama dan papa murka. Mama setiap hari akan menelponnya dan memaki. Dia akan menghindar, dan mama beralih dengan menghubungi Lidya. Papa diam dan tidak mengangkat telpon dari nya. William? Entah. Laki-laki itu berwajah kaku sekali ketika pers meminta keterangan atas apa yang terjadi saat dia masih di Jakarta. Dia hanya melihat William dalam salah satu situs berita.
"Hey Nona besar, lo istirahat malam ini. Besok pagi lo harus gladi resik, pemotretan dua majalah, janji dengan klien untuk brand ambassador produknya."
"Tolak yang terakhir," jawabnya.
"What? Oke, perusahaan ini memang nggak terlalu besar, tapi menjanjikan. Saat ini produk mereka lagi hype di pasaran NY. Ini bagus untuk lo. Wajah lo akan ada dimana-mana. Ayolah, Lex."
Dia menyesap anggurnya lagi. "Aku nggak mau terikat di sini. Aku ingin kembali ke sana." Tubuhnya memutar perlahan menatap Lidya yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah panik.
"Ke kota itu?" tanya Lidya tidak percaya. "God, bilang lo bercanda. Lexa, apa yang lo pikiran hah? Lo di black list di sana. William murka, bagus dia nggak tuntut lo atau apapun itu. Belum lagi Carro yang heran dengan keputusan lo."
"Carro baik, Lid. Jangan melebih-lebihkan. Dia telpon aku sebelum kita berangkat ke sini."
"Itu namanya beruntung. And luck, it doesn't come twice. Get it? Gue nggak percaya dengan keberuntungan. Semuanya ada sebab dan akibat. Sikap lo aneh banget sejak kejadian di butik Sabiya. Lo bawa-bawa helm hitam sialan itu kayak itu jimat lo. Lo pajang benda itu di kamar tidur. Setelah itu lo bakar apartemen tunangan lo, oh mantan tunangan. Gue pikir lo udah waras dengan ambil keputusan untuk balik ke sini dan kerja lagi. Tapi, sekarang..." Kata-kata Lidya seperti menghambur begitu saja.
"Aku mau kembali ke sana, Lid." Dia masih berdiri menatap Lidya tenang.
"Apa yang lo cari di sana hah? Mahendra Daud?" Tubuh LIdya mulai bergerak gelisah dan asistennya itu mulai memaki keras. "Laki-laki itu berbahaya. Seluruh keluarganya berbahaya. Ini Daud, Lex. Mereka terlalu berkuasa. Bahkan di antara para konglomerat di negeri itu keluarga mereka tetap menakutkan. Apa lo gila hah?"
"Lid, kamu adalah orang yang paling tahu aku, dari dulu. Kamu asisten yang paling brengsek mulutnya, tapi kamu jujur."
"Nggak usah bertele-tele. Apa yang mau lo tanya?"
"Apa kamu pernah jatuh cinta, Lid?"
Tubuh Lidya berdiri kaku. Matanya menatap wajah asistennya yang makin memerah ingin meledak.
"Lo tahu berapa nilai kontrak untuk jadi brand ambassador produk ini? Iya memang nggak fantastis, tapi tetap besar. Belum lagi kalau lo sukses di brand ini, brand besar lain sudah antri untuk jadikan lo wajah produknya mereka. AN-TRI. Lo bakalan selevel dengan Hadid. Lo mau tukar itu semua dengan cinta bullshit? LO UDAH GILA APA?!"
Lidya makin gemas karena melihat ekspresi Alexa yang diam saja.
"Apa yang terjadi sama Jason dulu hah? Apa? Terus sebelum Jason, apa yang Mark lakukan sama lo?" Lidya menggeram lagi. "Hrrrghhhh...rasanya gue pingin tempeleng kepala lo biar waras. Semua laki-laki sama. Mereka brengsek, manipulatif, oportunis, tukang selingkuh, tidak bertanggung jawab, suka buang bola seenaknya. Mereka itu sampah, Lex. Sampah!" Lidya sedikit tersengal. "Laki-laki itu ada hanya untuk memuaskan kebutuhan kita aja. Setelah itu buang, lupakan, singkirkan."
"Lid, you're not fair!!" Kemarahannya terpancing juga.
"Alexandra, listen to me." Lidya mengatur nafasnya. "Gue nggak pernah setuju lo menikah dengan William. Gue nggak punya pilihan karena itu kemauan orangtua lo. Gue bahkan nggak percaya dengan konsep pernikahan. Tapi pernikahan dengan William akan mendatangkan banyak keuntungan, dan lo, masih tetap bisa bekerja."
"Karena William palsu, Lid. Dia palsu. Sama seperti Jason, Mark, bahkan sama seperti orangtua gue. Mereka semua palsu, hidup gue palsu!!" Dia juga mulai menjerit, terluka.
"Apa yang bikin lo yakin kalau perasaan lo sekarang juga nggak palsu? Lo bahkan belum tahu dia. Mahendra Daud akan sama palsunya. Bahkan perasaan lo juga palsu, semu."
Titik air matanya jatuh, dia bingung sendiri. Gelas dia ingin letakkan di meja tapi tangannya gemetar dan gelas itu jatuh ke lantai. Pecah berantakan. "Aku nggak bisa lupain dia, Lid. Aku sudah usaha. Tapi nggak bisa. Dia, berbeda."
"Semua laki-laki sama, Lex. Mereka sama. Setelah mendapatkan apa yang mereka mau, atau setelah mereka bosan, mereka akan pergi dan nggak akan menoleh lagi."
Air matanya makin mengalir. "Dia bahkan tidak memiliki perasaan apa-apa. He hates me." Oh, dia menyedihkan sekali.
Lidya diam sejenak kemudian menghirup nafas dalam. "Lalu, apa yang lo harapkan, Lexa? Cinta itu semu." Kaki Lidya melangkah mendekatinya sambil menghembuskan nafas panjang. "Lexa, lo tinggalkan semua di belakang. William, orangtua lo, jangan bilang lo lakukan itu semua untuk kejar laki-laki yang bahkan nggak suka sama lo. God, Lexa. You are better and stronger than that."
Nada suara Lidya sudah lebih tenang, satu tangan Lidya mengusap lengannya lembut. Apa yang Lidya katakan benar. Dia harus melakukan itu semua untuk dirinya sendiri, bukan karena orang lain. Untuk menghindari perasaan kecewa yang dalam. Karena bergantung pada orang lain tidak pernah berakhir baik.
Tapi, dia merindukan Mahendra, setiap malam. Bayangan pertemuan mereka yang selalu singkat, atau ciuman sesaat itu sungguh membekas di kepala. Atau bagaimana hanya dengan wangi maskulin Mahendra yang tertinggal di helmnya, sudah bisa membuat jantungnya berdetak. Dia seperti orang gila. Jatuh cinta pada laki-laki asing yang bahkan tidak menunjukkan ketertarikan yang sama padanya.
"So, get rid of your crazy thought to chase him, get up and work, make a lot of money. So, no one will ever dare to resist you. You are irresistible, sexy." Lidya tersenyum penuh arti menatapnya.
Ketika Lidya pergi, dia duduk di sofa kesayangan sambil menatap langit malam di luar sana. Kakinya dia naikkan dan dia peluk dengan kedua tangan. Dagunya dia angkat tinggi. Sambil terus mengulang dalam hati, bahwa dia bisa melupakan Mahendra Daud. Dia harus bisa melupakan laki-laki itu. Harus.
***
Dia berada di dalam mobil, kursi belakang. Menatap jendela bangunan yang masih menyala. Studio musik tua tapi masih sangat terawat. Tempat pertama kali mereka bertemu dulu. Setiap minggu, di hari yang sama, wanita itu akan datang. Ada satu piano klasik tua yang menarik hati sang wanita, sejak dulu.
Entah kenapa, si wanita tidak membeli dan membawa saja piano itu pulang. Tapi bagusnya, dia masih bisa melihat sang wanita tersenyum sambil memainkan piano itu dan mendengarkan dentingannya. Persis seperti dulu.
Dari seluruh waktu yang dia punya, dia hanya akan menuruti hatinya satu kali saja. Hanya satu hari dalam beberapa bulan dia akan datang, menunggu, mendengarkan. Karena sang wanita selalu membuka pintu toko, ketika memainkan pianonya. Dulu, dia bilang agar semua orang bisa mendengar, semoga juga bisa mengubah hari yang buruk menjadi lebih baik. Hari ini, adalah hari yang sangat buruk untuknya. Jadi sungguh, dia hanya ingin sejenak bernostalgia. Memiliki nada-nada itu untuk telinganya. Mungkin, memiliki wanita itu nanti. Sebentar lagi.
***
Setelah ini, adalah part yang judulnya BOOM! Part terakhir dari cerita Only if You Dare. Apa Aryo selamat? Mahendra, Arsyad, Niko bagaimana? Mau baca ulang part BOOM di OIYD dipersilahkan, sambil nunggu gue ngedit dan publish.
Buckle up ya, akan nano-nano rasanya. Seperti biasa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro